Kamis, 23 Juni 2011

BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL DAN EKSISTENSINYA

 A.     PENDAHULUAN

Dalam suatu hubungan dunia bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan atau dengan kata lain transaksi bisnis berpotensi timbulnya masalah yaitu silang sengketa. Silang sengketa yang perlu diantisipasi dalam hubungan dunia bisnis atau perjanjian; mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian atau pun disebabkan hal-hal lainnya di luar dugaan karena keadaan memaksa (overmacht; force majeur). Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya (problem solving) untuk menyelesaikan sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi dalam rangka penyelesaian sengketa yang bisa ditempuh, seperti melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa,[1] dapat dengan cara; konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[2] Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”[3]
Dengan demikian lembaga arbitrase yang ada di Indonesia, baik Badan Arbitrase Nasional Indonesia maupun Badan Arbitrase Syariah Nasional tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga (baca; al-ahwalu as syaksyiah). Arbitrase syariah hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah sengketa ekonomi syariah. Bagi kalangan pengusaha, arbitrase merupakan pilihan hukum (law choise) yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dalam banyak perjanjian perdata syariah di Indonesia, klausula arbitrase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase syariah bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Keputusan arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga ketua pengadilan[4]  tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan hukum dari putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional tersebut.
Jika dikaji ulang terhadap fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Diperoleh bagian penyelesaian sengketa dalam praktek ekonomi syariah. Seluruh fatwa itu menyebutkan, hanya Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang ekonomi syariah. Jika dilihat ketentuan Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah bahwa jelas penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas, namun ketika Undang-undang tersebut telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam ketentuan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang  Nomor 3 Tahun 2006 dan Penjelasannya, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, diantaranya disebutkan bidang ekonomi syariah.[5] Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah sesuai dengan penjelasan Undang-undang tersebut adalah kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. Meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas  syariah, pembiayaan syariah, pengadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan  syariah, dan bisnis syariah.[6]
Undang-Undang  Nomor 3 Tahun 2006 tersebut telah diundangkan  pada tanggal 20 Maret 2006 dan berselang 3 hari kemudian, Dewan Syariah Nasional MUI meluncurkan fatwa baru, yaitu: Fatwa Dewan Syariah Nomor: 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi dan Reansuransi Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Nomor: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reansuransi Syariah.[7] Dalam fatwa tersebutkan pada dictum kelima ketentuan penutup angka 2 disebutkan; jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak terjadi kesepakatan musyawarah[8], walau dalam pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor  3 Tahun 2006 jo. Penjelasannya nyata-nyata telah menyebutkan bahwa sengketa ekonomi syariah merupakan telah menjadi kewenangan Peradilan  Agama suatu penyelesaian melalui litigasi.
Sementara kewenangan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah hanya sebatas sebagai penyelesaian melalui non litigasi hal ini diperkuat dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang tersebut memberikan alternatif lain penyelesaian sengketa yang disesuaikan dengan isi akad atau perjanjian bahkan peluang penyelesaian senketa melalui Peradilan Umum. Munculnya alternatif penyelesaian tersebut memunculkan berbagai persoalan, diantaranya membinggungkan bagi para pihak, oleh karena itu perlu ketegasan tentang kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah agar adanya kepastian hukum. 
B.      SEKILAS PANDANG TENTANG ARBITRASE
1.      Pengertian
Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage (Belanda) yang berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan, artinya bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada atau mentaati putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih atau tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.[9]
Menurut Sudargo Gautama arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada penyeleasian melalui saluran-saluran biasa.[10] Sementara menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[11] Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang  Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Arbitrase (arbitration) dimana para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada para pihak yang netral. Dalam arbitrase, para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum yang diterapkan.[12] Arbiter hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi, putusan yang dimaksud bersifat final and binding, serta merupakan win-loss solution.[13]
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:[14]
1.   Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
2.  Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum Undang-undang  Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak  tetap diperbolehkan. Mantan Hakim Agung RI Prof. Yahya Harahap, S.H., menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 R.Bg, pada ketentuan Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur pengadilan apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.[15]
Dengan demikian arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Arbitrase dalam fiqh Islam, padanannya adalah tahkim dan kata kerjanya hakam yang secara harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah atau hakam bagi suatu sengketa.[16] Dalam hukum Islam istlah yang sepadan dengan tahkim adalah ash-shulhu yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Maksudnya adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengakhiri perlawanan atau pertengkaran antara dua orang yang sedang bersengketa.[17]
Dalam tradisi fiqh Islam, menurut Prof. Yahya Harahap,S.H., telah dikenal adanya  lembaga hakam yang sama artinya dengan “arbitrase”, hanya saja lembaga hakam tersebut bersifat ad-hoc,. antara sistem hakam dengan sistem arbitrase memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu:
a.  Penyelesaian sengketa secara volunteer.
b.  Di luar jalur peradilan resmi.
c. Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang atau lebih yang dianggap mampu, jujur dan independen.
            Sedangkan kesamaan dari segi kewenangannya, adalah:
a.   Bertindak sebagai mahkamah arbitrase (arbitral tribunal).
b.    Sejak ditunjuk tidak dapat ditarik kembali.
c.  Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara menjatuhkan putusan dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).


2.      Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui  Lembaga Arbitrase
Dalam ajaran Islam, semua aktivitas hendaknya selalu bersandarkan pada dasar hukum yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah atau pun melalui hasil ijtihad. Eksistensi  Majelis Tahkim atau Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata). Hal itu dimaksudkan agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiyah. Dasar hukum bagi keharusan ber-tahkim adanya anjuran al Quran tentang perlunya “perdamaian”, yaitu QS. al Hujarat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.[18]

Dalam ayat lain QS. an Nisa ayat 35: 
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[19]
Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al Hadis, selain al Quran dan al Hadis juga Ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. atas keabsahan praktek tahkim. Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara arbitrase di kalangan para sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya.[20] Bahkain Umar bin Khattab telah memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan:
الصلح جائز بين المسلمين الا صلحا آحل حرام آو حرم حلالا

Perdamaian itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.[21]
Pelaksanaan syariat Islam di Indoneia didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2,[22] impelmentasi adanya landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
1.  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3.   Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
4.   Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5.   Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika melakukan akad perjanjian.
3. Sejarah Arbitrase Syariah
       Berbicara masalah Arbitrase Syariah Nasional di Indonesia, tidak terlepas membicarakannya dari awal turunnya agama Islam. Dalam tarekh al Islamy dikenal seseorang yang bernama  Abu Sjureich dan sering juga dipanggil Abu al Hakam di kalangan masyarakat Arab ketika zaman Nabi Muhammad SAW. beliau sudah cukup populer (go public) dan dihormati karena kebijaksanaannya dalam menyelesaikan segala bentuk perselisihan anggota masyarakat yang diajukan kepadanya. Kepiawaian dan kelincahannya dalam menyelesaikan perselisihan tersebut sangat dihargai dan dipuji oleh Nabi sebagai suatu terobasan dan pekerjaan yang sangat mulia. Sehingga Nabi tidak melarang dan tidak pula menganjurkan (dalam hal ini Nabi diam saja ketika diminta pendapatnya) untuk menyelesaian sengketa melalui Abu al Hakam, dengan taqrir[23] Nabi tersebut, kiranya dapat dijadikan sebagai tonggak sejarah  titik awal dalam masyarakat Islam tentang adanya sistem hakam (arbitrase).
            Pada dasarnya pada masa pra-Islam sistem arbitrase sudah terlaksana. Dalam rangka menyelesaikan setiap persengketaan diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Umumnya orang yang ditunjuk sebagai arbiter adalah orang yang mempunyai kekuatan supranatural dan punya kelebihan-kelebihan di bidang tertentu (baca: ahli nujum,dan lain-lain). Karenanya dalam proses pemeriksaan perkaranya arbiter tersebut lebih banyak menggunakan kekuatan firasat daripada menggunakan alat-alat bukti seperti saksi atau pengakuan.[24]
            Dalam catatan sejarah para arbiter Arab yang terkenal di antaranya; Rabi’ ibn Rabi’ah ibn al-Dzi’b, Akstam ibn Shifi, Qass ibn Sa’idah al-Iyadi, Amr ibn Zharib al-Adawani, Ummaiyyah ibn Abi ash-Shilat, Abdullah ibn Abi Arbi’ah, dan lain-lain. Para arbiter tersebut dalam memeriksa atau menyidangkan perkaranya dilaksanakan di dalam kamp-kamp yang didirikan atau bahkan tidak jarang di bawah pohon-pohon. Setelah Khusai ibn Ka’ab membangun sebuah gedung di Makkah yang pintunya sengaja dihadapkan ke arah Ka’bah, maka di situlah sidang-sidang hakam dilaksanakan dan gedung itu dikenal dengan sebutan  Dar al da’wah.
            Tatkala Islam datang dan umat Islam mulai berkembang, sistem hakam (arbitrase) tersebut dikembangkan dengan dihilangkan hal-hal yang bersifat tahayul dan bid’ah. Sistem arbitrase ini pada awalnya lebih berkembang di kalangan masyarakat Makkah pada umumnya masyarakat yang bergelut di bidang bisnis. Di antara sahabat Nabi yang pernah dipercaya sebagai hakam (arbiter) selain Abu Sjureich (Abu al Hakam) adalah Sa’id ibn Muadz untuk menyelesaikan perselisihan di antara Bani Quraidzah, atau ketika Zaid bin Tsabit  menyelesaikan perselisihan antara Umar bin Khattab dengan Ubai ibn Ka’ab tentang nahl dan Jubair ibn Math’am dalam menyelesaikan sengketa antara Utsman dengan Thalhah.
Pertumbuhan sistem hakam atau sistem arbitrase di masa Khalifah Umar ibn Khattab mengalami perkembangan yang menggembirakan seiring dengan pembenahan lembaga peradilan (al-Qadla) dan tersusunnya pokok-pokok pedoman beracara di pengadilan yang dikenal dengan istilah Risalah al-Qadla Abu Musa al-Asy’ari, yang salah satu isinya adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase.[25] Pada penghujung masa al-Khulafa ar-Rasyidin masalah hakam ini tidak hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah atau sengketa keluarga dan bisnis akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah politik[26], perdagangan dan peperangan. Dengan demikian wilayah yurisdiksi arbitrase semakin luas dan fenomena yang demikian menjadikan bidang garapan badan arbitrase pada awal masa Islam datang juga semakin luas, sesuai dengan perkembangan atau kemajuan untuk pemenuhan kebutuhan hajat hidup ummat manusia terhadap hukum.
Demikian pula halnya dengan perkembangan Badan Arbitrase di Indonesia menurut Mr. R. Tresna, dalam bukunya Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, menceritakan bahwa ketika daerah Priangan berada di bawah kekuasaan Mataram pada masa kejayaan Sultan Agung dan Amangkurat I, di wilayah Priangan (menurut hasil penyeledikan kompeni) telah berkembang tiga macam bentuk badan peradilan, yaitu:[27]
1.   Peradilan Agama yang memiliki kompetensi perkara perdata yang dapat dijatuhi hukuman   badan atau hukuman mati, perkara-perkara perkawinan dan waris.
2.  Pengadilan Drigama mengadili perkara sepanjang tidak termasuk perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati.
3.  Pengadilan Cilaga yaitu pengadilan-wasit yang khusus untuk menyelesaikan sengketa di antara orang-orang yang berniaga. Perkara-perkara tersebut, diurus dan diselesaikan oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa utusan kaum berniaga.
            Pengadilan Cilaga inilah yang serupa dengan sistem arbitrase dalam hukum perdata umum atau sistem hakam dalam hukum Islam. Untuk selanjutnya, sistem arbitrase lebih banyak digunakan oleh kalangan orang-orang Eropa atau kalangan pedagang Internasional. Sementara itu untuk sistem hakam atau arbitrase syariah belum banyak dikenal oleh masyarakat Islam. Namun dalam praktek kehidupan masyarakat, sesungguhnya sistem ber-tahkim kepada seorang yang ahli[28]  untuk meminta diselesaikan atau diputuskan perkara diantara mereka (sebagaimana cara-cara yang pernah dilakukan oleh Abu Sjureich di Arab) sudah lama dikenal di lingkungan masyarakat adat. Hanya saja masyarakat belum mengenal dengan istilah arbitrase (hakam). Menurut Prof. DR. H. Satria Effendi M. Zen, cara penyelesaiannya seringkali diawali dengan nasehat-nasehat keagamaan, tentang arti pentingnya persaudaraan sedemikian rupa, sehingga perselisihan dapat diselesaikan secara damai dan  orang yang bersegketa bermaaf-maafan, hilang segala karat di hati dan kembali hidup seperti biasa. Apabila salah satu pihak yang dirugikan, pihak lainnya secara rela mengembalikan hak saudaranya itu, atau sebaliknya pihak yang merasa dirugikan secara suka rela demi kepentingan perdamaian menggugurkan haknya dan bisa jadi disatu kali kedua belah pihak sama-sama mengalah yakni saling mengalah demi perdamaian.[29]
Sejarah mencatat bahwa  ide untuk melahirkan Badan Arbitrase Syariah Nasional muncul pada waktu Rakernas Majelis Ulama Indonesia tahun 1992, pada waktu itu Hartono Mardjono, S.H., ditugasi memaparkan makalahnya tentang arbitrase berdasarkan syariat Islam, yang kemudian mendapatkan sambutan dari kalangan peserta dan kemudian direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh Majelis Ulama Indonesia. Kemudian pada tanggal 22 April 1992, Dewan Pimpinan Pusat MUI, mengundang para pakar atau praktisi hukum dan cendikiawan muslim termasuk dari kalangan Perguruan Tinggi Islam guna bertukar pikiran tentang perlu tidaknya dibentuk arbitrase Islam. Pada rapat selanjutnya tanggal 2 Mei 1992, diundang juga wakil dari Bank Muamalat Indonesia dan untuk selanjutnya dibentuk tim kecil guna memepersiapkan bahan-bahan kajian untuk kemungkinannya membentuk Badan Arbitrase Islam. Demikian juga dalam Rakernas MUI tanggal 24-27 November 1992, juga diputuskan bahwa sehubungan dengan rencana pendirian Lembaga Arbitrase Muamalat agar MUI segera merealisasikannya.
Majelis Ulama Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor: Kep. 392/MUI/V/1992 tertanggal 4 Mei 1992, telah membentuk kelompok kerja pembentukan Badan Arbitrase Hukum Islam. Tugas utama panitia tekhnis, adalah:
1.      Menyusun rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
2.      Merancang struktur organisasi;
3.      Merancang susunan personalia kepengurusan;
4.      Menyusun rancangan prosedur berperkara dan biaya perkara;
5.      Mernacang kriteria arbiter, Inventarisasi calon arbiter.
Kemudian pada tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H / 21 Oktober 1993, dilakukan penandatanganan Akte Pendirian Yayasan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia oleh KH. Hasan Basri dan HS. Prodjokusumo (Ketua MUI) dan H. Zainulbahar Noor, SE (Dirut Bank Muamalat Indonesia). Badan Arbitrase Muamalat Indonesia yang didirikan oleh MUI ini adalah berbentuk yayasan. Badan Arbitrase Muamalat (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H., Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. BAMUI diketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H., sampai beliau wafat tahun 2003.[30]
Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia dengan Surat Keputusannya Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003, tertanggal 30 Syawal 1424 H / 24 Desember 2003 M, menetapkan:
a.   Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS);
b.    Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI;
c.  Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, Badan Arbitrase Syariah Nasional bersifat otonom dan independent;
d.    Mengangkat Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Dalam hal domisili, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai lembaga hakam satu-satunya dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia, berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia yakni di Jakarta. Dan apabila dipandang perlu, dapat dibentuk cabang atau perwakilan ditempat-tempat lain seperti provinsi.
4.      Objek Perjanjian Badan Arbitrase Syariah Nasional
            Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:  perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dengan demikian hanya perkara perdata bidang kebendaanlah yang objek arbitrase, demikian juga halnya dengan Basyarnas, hanya bidang sengketa ekonomi syariah yang menjadi objeknya yakni “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”.[31] Artinya jika isi akad menyebutkan penyelesaian melalui Basyarnas, maka melalui badan inilah penyelesaian sengketanya dilakukan.
5. Jenis-jenis Arbitrase.
            Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.[32] Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.[33] BANI dan BASYRANAS memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:[34] "Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
            Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:[35] "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.” Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.[36]
 
6.      Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase 

            Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam Penjelasan Umumnya dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah:
1)   Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2)   Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari.
3)  Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil.
4)   Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya.
5)   Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase.
6) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
            Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah :[37]
1)   Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2) Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3)  Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4) Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut di atas, arbitrase juga memiliki kelemahan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. Untuk putusan BANI upaya eksekusinya melalui Peradilan Umum, sementara untuk putusan Basyarnas upaya eksekusinya adalah Peradilan Agama.
Menurut MUI dan Basyarnas, arbitrase syariah memiliki keuanggulan-keunggulan dibandingkan dengan arbitrase lainnya, antara lain sebagaimana pendapat Derta Rahmanto yang dikutip oleh Khotibul Uman:[38]
a.  Arbitrasre Islam memberikan kepercayaan kepada para pihak karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertangggungjawab.
b.   Para pihak menaruh kepercayaan yang besar kepada karena ditangani oleh orang-orang ahli di bidangnya (expertise).
c.   Prosedur pengambilan putusannya cepat dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya murah.
d.   Para pihak menyerahkan penyelesaian sengketa secara sukarela kepada orang-orang atau (badan) yang terpercaya sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter karena hakikat kesepakatan mengandung janji, dan setiap janji harus ditepati.
e. Dalam proses arbitrase, hakikatnya terkandung makna perdamaian dan musyawarah, sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang.
f.    Khusus untuk kepentingan muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia ataupun BPRS, arbitrase syariah akan memberikan peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian karena dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakukannya penyelesaian melalu Basyarnas.
C.    BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL DAN EKSISTENSINYA
1.     Mengenal Badan Arbitrase Syariah Nasional
Basyarnas merupakan lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan, untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Putusan Basyarnas bersifat final dan mengikat (binding). Untuk melakukan eksekusi atas putusan tersebut, penetapan eksekusinya diberikan oleh pengadilan agama setempat. Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) adalah merupakan cikal bakal lahirnya embrio Basyarnas. Lembaga ini didirikan berdasarkan Surat Keputusan MUI Pusat Nomor:  Kep-392/MUI/V/1992, bersamaan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut. Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Basyarnas. Perubahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan  Nomor: Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. “Basyarnas ini satu-satunya badan hukum yang otonom milik MUI,” 

Berdasarkan penelusuran awal berdirinya (tahun2003) hingga sekarang, baru dua sengketa perbankan syariah yang berhasil dituntaskan Basyarnas. Tiga sengketa lainnya sempat didaftarkan tetapi akhirnya tidak diproses lantaran kurang memenuhi persyaratan. BAMUI dari 1993 hingga 2003 menyelesaikan 12 sengketa perbankan syariah. Dengan demikian, Basyarnas plus BAMUI baru menyelesaikan 12 sengketa perbankan syariah. Sejatinya, arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Arbitrase ini dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku.
Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Harus digarisbawahi, penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter. Hal ini mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor  30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Karena itu, DSN-MUI tidak cermat ketika menyatakan sengketa di bidang ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Basyarnas. Sangat mungkin, di antara pihak-pihak yang meneken akad ada yang tidak sepakat menyelesaikan sengketa yang timbul melalui Basyarnas. Bisa jadi, karena mereka masih mempertanyakan kapabilitas Basyarnas atau karena pertimbangan lain.
.
2.   Perlu Ketegasan Eksistensi Basyarnas
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam, diantaranya disebutkan berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Menjadi pertanyaan: bisakah pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan tersebut diartikan melalui intepretasi analogi sebagai badan hukum? Kalau bisa, mungkinkah Bank Syariah, misalnya, disejajarkan dengan orang Islam? Tentu pengertian orang-orang disamping orang sebagai person juga orang sebagai badan hukum yang dimaksud dengan orang-orang dalam Undang-Undang ini. Mengacu pada ketentuan perundangan yang sudah ada, harus ditegaskan bahwa sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah mesti diselesaikan lewat Pengadilan Agama, kecuali jika para pihak menyatakan dalam akad perjanjiannya suatu klausula mengenai dilibatkannnya Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa. Tetapi penegasan ini tidak cukup, berdasarkan pada ‘pengalaman’ penyelesaian sengketa dalam hukum perikatan umum, lembaga arbitrase sebagai jalur penyelesaian non-litigasi ternyata masih membutuhkan kekuasaan peradilan. Dalam hal melaksanakan putusan arbiter (eksekusi) misalnya, ternyata lembaga arbitrase jelas-jelas tidak bisa melakukannya sendiri tanpa penetapan dari pengadilan. Karena itu, tugas dan wewenang Pengadilan Agama pun kurang-lebih sama dengan Pengadilan Negeri dalam hal merespon putusan lembaga arbitrase ini. Pengadilan Agama dapat menggunakan asas doematigheid dalam penemuan hukum, tetapi dalam bidang bisnis, di samping para pihak dapat pula memilih jalur  arbitrase (Basyarnas). Tentu Hakim Peradilan Agama dan arbiter pada Badan Arbitrase Syariah ketika memeriksa dan memutus adalah yang ahli di bidangnya (expert).[39]
Dalam dunia bisnis, sekalipun di bidang kegiatan ekonomi syariah, para pihak ingin cepat menyelesaiakan sengketa mereka secara adil, dan bisnis dapat berjalan kembali tanpa patah arang. Menurut peraturan hukum Arbitrase Indonesia dan pengalaman arbitrase terlembaga domestik Indonesia, suatu sengketa bisnis sudah dapat mempunyai kekuatan hukum tetap dalam waktu paling lama 1 tahun (termasuk jika ada permohonan pembatalan putusan arbitrase), dibandingkan melalui peradilan (agama) yang memakan waktu paling sedikit 4 tahun (belum termasuk Peninjauan Kembali). Biasanya suatu pengurusan penyelesaian sengketa yang memakan waktu bertahun-tahun akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit, apa lagi aparat penyelenggara negara kita belum dapat memberikan suasana kondusif dalam penegakkan hukum peradilan di Indonesia. [40] Basyarnas sebagaimana yang diuraikBasyarnas A. Rahman Ritonga yang menyatakan bahwa Basyarnas meruapakan badan hukum yang berbentuk yayasan, bertugas menyelesaikan sengketa dalam masalah muamalah/perdata yang menyangkut bidang perdagangan, insdustri, keuangan, jasa, dan lain-lain.[41]
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat melalui jalur non ligitasi, diantaranya melalui Basyarnas. Namun dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) point c undang-undang tersebut mengandung kelemahan karena ada opsi arbitrase yang lain kalau di antara pihak-pihak yang meneken akad ada yang tidak sepakat menyelesaikan sengketa yang timbul melalui Basyarnas. Disinilah perlu sebuah ketegasan bagi umat Islam apakah percaya dengan arbitrase syariah atau tidak sebagai instrument memprensitasikan hukum Islam, meskipun ketentuan Penjelasan Undang-undang ini masih memberikan peluang penyelesaian di luar Basyarnas.
3.      Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
Pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah  Nasional, sama dengan aturan yang berlaku dalam Badan Arbitrase  Nasional Indonesia yang  diatur dalam Pasal 59-64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri[42], dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase  oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera Pengadilan Negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.[43]
Berdasarkan Pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.[44] Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.[45]
            Eksistensi Badan Arbitrase Syariah Nasional dibentuk karena adanya kekosongan hukum, dan  dalam rangka:
a. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian (islah) sebagaimana yang dimaksud oleh QS. al-Hujurat ayat: 9 dan QS. An-Nisa ayat: 128.
b.   Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan Hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan Hukum Islam.
c. Adanya Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank Syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka pada khususnya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan keperdataan yang menjadikan Hukum Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Dikatakan selanjutnya bahwa Basyarnas  akan lebih menitikberatkan pada tugas dan fungsinya untuk mencari titik temu diantara para pihak yang tengah berselisih melalui proses yang digali dari tujuan Hukum Islam disyariatkan menuju jalan perdamaian hakiki (islah), tanpa merasa ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan.
d.  Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa ekonomi syariah yang timbul dalam perdagangan, industri, jasa dan lain-lain yang erat kaitannya dengan bisnis syariah.
e.  Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu perjanjian, dengan memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Sebagaimana yang termuat dalam hukum perjanjian dikenal adanya istilah sistem terbuka termasuk didalamnya mengenai pilihan hukum oleh para pihak yang akan diberlakukan dalam perjanjian dan penyelesaian perselisihan sengketanya jika di antara mereka terjadi persengketaan dan diselesaikan secara arbitrase. Tentang pilihan hukum ini para pihak harus sudah sepakat sebelum penandatanganan perjanjian atau pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya diserahkan kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, ditetapkan bahwa para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka hukum yang akan diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan. Dengan adanya kebebasan menentukan atau memilih hukum bagi para pihak inilah salah satu dari kelebihan sistem arbitrase. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.  dan kemudian diperintahkan untuk menjadi seorang muslim untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (termasuk berhukum dengan hukum Islam) maka dengan sendirinya dan sebagai konsekuensi logisnya, tidak ada alternatif lain selain akan memilih Hukum Islam untuk diberlakukan dalam kontrak-kontrak bisnisnya, termasuk sebagai dasar bagi penyelesaian sengketanya, telah mendapatkan jaminan secara konstitusional dan tidak ada suatu halangan yuridis apapun juga. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 56 (2) tersebut. Basyarnas dalam memeriksa dan memutus perkara selalu dilandasi dengan Hukum Islam atau dengan kata lain bahwa eksistensi Basyarnas merupakan sebuah pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah yang eksistensinya telah diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor  48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakimana, dan apabila salah satu pihak tidak menjalankan putusan tersebut dapat dimintakan eksekusinya melalui Pengadilan Agama.
Namun demikian Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan Basyarnas, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Pengadilan Agama harus menghormati lembaga Basyarnas, tidak turut campur, kecuali dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan. Agar sejalan kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Agama, maka beberapa perundang-undangan harus diamandemen antara lain Pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengharuskan pendaftaran putusan Bani pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri diubah mejadi pendafatran putusan Basyarnas didafatarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama, demikian pula undang-undang lain yang erat kaitannya dengan arbitrase syariah. Namun oleh karena adanya kekosongan hukum maka ketentuan pendaftaran harus melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri disini dapat diartikan dengan Pengadilan Agama.[46]
Upaya hukum atas putusan Basyarnas dan eksekusi sebagaimana halnya putusan arbitrase lainnya adalah ke Pengadilan Negeri, akan tetapi menurut Muh. Nasikhin, sengketa perbankan syariah yang diselesaikan Basyarnas, maka pengajuan permohonan pembatalan terhadap putusan Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama.[47] Alasan tersebu didasarkan pada dua hal; pertama dasar legalitas wewenang Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, dan alasan kedua; dasar relevansi subtansi hukum.[48]
Dengan maksud dan landasan tersebut praktik-pratik perbankan syariah adalah hukum Islam, hal ini relevan dengan lembaga Peradilan Agama sebagai institusi penegakkan hukum Islam di Indonesia, baik bagi orang yang beragama Islam, atapun orang dan badan hukum yang secara sukarela menundukkan diri terhadap hukum Islam (azaz personalitas keislaman).
.
D.     KESIMPULAN
Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diundangkan, dan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagai penyelesaian sengketa melalui litigasi, namun para pihak yang melakukan perjajian akad dalam klausal perjanjian dapat menyelesaikan sengketa yang timbul melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional dan kedudukan arbitrase ini merupakan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur  non-litigatasi, sementera eksistensinya telah diakui secara yuridis dalam konstitusi. Meskipun demikian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan peluang selaian Basyarnas, yaitu arbitrase yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman Ritonga, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.
Abdul Rahman Saleh, dkk., Arbitrase Islam di Indonesia, BAUI & BI, Jakarta, 1994.
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,  Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ,http://www.uika-bogor.ac.id.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah: Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.
Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase seri Hukum Bisnis, Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada, 2000.
Gatot Soemartono,  Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Muchtar Luthfi, Arbitrase Syariah dan Eksisitensinya, dalam bentuk makalah.
Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya, Semarang: Fatawa publishing, 2010.
Michael R. Purba, Kamus Hukum Internasional & Indonesia, edisi terbaru, Jakarta: Widyatamma, 2009.
Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.
Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA), Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com.
Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,  Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: PT. Intermasa, 1978.
ricco akbar riak@cbn.net.id.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, di-Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung: Alma’arif, 1993.
Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1979.
Yahya Harahap, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Pustaka Katini, 1991.
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful ) di Indonesia, Jakrta: Rajawali Press, 1996.

Footnote:

[1]  Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[2]  Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3]  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[4] Persoalan pengadilan mana yang berwenang untuk melakukan eksekusi teragadap putusan Basyarnas terdapat dua pandangan, ada yang berpendapat Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, dan yang berpendapat Ketua Pengadilan Agama yang berwenang.
[5] Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. warta; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.” Lihat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[6] Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[7] Lihat Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,  Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 915-937
[8] Ibid.
[9] Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 3
[10]  Sudargo Gautama,  Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 1
[11] Lihat juga dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dalam undang-undang jenis pengadilan tidak disebutkan, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan jenis pengadilan umum.
[12] Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 12
[13] Ibid.
[14] Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ,http://www.uika-bogor.ac.id
[15]  Yahya Harahap, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Pustaka Katini, 1991, hlm. 21-22
[16]  Lihat Q.S. An-Nisa  ayat 65.
[17]  Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,  Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 43
[18]  Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah: Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H, hlm. 846
[19]  Ibid., hlm.123
[20] Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful ) di Indonesia, Jakrta: Rajawali Press, 1996, hlm. 147
[21] Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, di-Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung: Alma’arif, 1993, hlm. 36
[22]  Muchtar Luthfi, Arbitrase Syariah dan Eksisitensinya, dalam bentuk makalah, hlm. 2
[23]  Dalam kajian ulumul hadis: taqrir merupakan hadis.
[24]  Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Op,.Cit., hlm. 49
[25]  Ibid., hlm. 52
[26] Seperti penyelesaian sengketa politik antara Ali bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah bin Abi Syufyan melalui arbiter.
[27]  R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: PT. Intermasa, 1978, hlm. 21
[28]  Sebut saja seperti Kyai / Ustadz / Ajengan / Sesepuh / Tokoh Desa / Ninik Mamak / Angku Qadli.
[29]  Dalam Abdul Rahman Saleh, dkk., Arbitrase Islam di Indonesia, BAUI &BI, Jakarta, 1994, hlm. 24
[31] Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[32]  Gatot Soemartono,  Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 27
[33]  Ibid.
[34] Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA), Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com/view.php?nid=104.
[35]  Ibid.
[36]  Ibid.
[37]  Budiman, Op.,Cit.
[38]  Khotibul Umam, Op.,Cit., hlm. 83
[39]  Kenyataan yang berkembang akankah hakim-hakim Peradilan Agama pada saat ini mampu untuk menangani bisnis syariah? Dalam hal ini tentu bias karena saat ini sudah banyak hakim-hakim Pengadilan Agama disamping bergelar Sarjana Syariah (Hukum Islam) juga telah banyak mengambil Sarjana Hukum, Magister Hukum bidang Hukum Bisnis, dan bergelar Doctor.
[40]  ricco akbar riak@cbn.net.id, dakses pada tanggal 11 Mei 2008.
[41] A. Rahman Ritonga, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000, hlm. 163
[42]  Putusan Basyarnas semestinya melalui Pengadilan Agama.
[43] Dalam hal melaksanakan putusan Basyarnas juga sama dengan ketentuan Pasal 59-64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
[44]  Budiman, Op.,Cit., hlm. 74
[45]  Soemartono, Op.,Cit., hlm.70-71
[46]  Hal ini sebagaimana yang pernah ditafsirkan oleh Prof. DR.Bagir Manan.
[47] Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya, Semarang: Fatawa publishing, 2010, hlm. 140
[48]  Ibid.