Selasa, 31 Januari 2012

Maulid Nabi Muhammad SAW

TAULADAN SIFAT KERASULAN BAGI KEPEMIMPINAN APARATUR NEGARA

A.     Pendahuluan.
Setiap jatuhnya tanggal 12 Rabiul Awal umat Islam selalu merayakan datangnya maulid Nabi Muhammad SAW. demikian itu tidak lain merupakan sebuah warisan budaya atau peradaban Islam yang diperingati secara turun-temurun oleh umatnya. Jika dikaji dari catatan historis (tarekh), maulid telah dimulai sejak zaman Kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah binti Muhammad. Asal muasal pelaksanaan perayaan maulid ini dilaksanakan atas usulan panglima perang bernama Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran (mulud) Nabi Muhammad SAW. Ending dari perinagatan itu adalah untuk mengembalikan semangat juang umat Islam dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Zionis Yahudi. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara subtansial dapat dikatakan perayaan maulid nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan ketauladanan Nabi Muhammad  SAW. atas risalah kerasulan untuk menyiarkan Dinul Islam.
 Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam catatan sepanjang sejarah kehidupan, Nabi Muhammad SAW. adalah pemimipin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan tauladan agung bagi umatnya. Dalam konteks ini maulid harus juga diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat Islam. Yaitu sebagai semangat baru (spirit) untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokratisasi seperti adanya sikap toleransi (tasamuh), transparansi (tabligh), anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan hidup, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah sosiologis antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW. dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi satu sama liannya.
Dimensi pertama, dapat dilihat dan dipahami dari perspektif sosial-politik ke-Islaman (siasyah syariah), bahwa Nabi Muhammad SAW. di samping sebagai nabi dan rasul juga sebagai imamul ummah dari sini beliau sebagai sosok politikus ulung dan handal. Sosok individu beliau yang sangat identik sekali dengan sosok seorang pemimpin yang adil, egaliter, toleransi, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial bangsa Arab masa itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera, damai dan tentram di bawah ampunan Rabb (baldatun thoibatun warabun ghaffur).
Dimensi kedua, dapat dilihat dan dipahami dari perspektif teologis-religius, bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai sosok nabi sekaligus juga sebagai rasul akhiruzaman dalam tatanan konsep ke-Islaman. Hal ini beliau diposisikan sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang misi utamanya adalah bertugas membawa, menyampaikan, dan mengaplikasikan segala bentuk pesan suci (kudus) dari Tuhan kepada umat manusia secara universal.
Nah dalam kesempatan ini rasanya sudah datang saatnya bagi umat Islam untuk kembali memulai (merekonstruksi) memahami arti tanggal 12 Rabiul Awal yang sering disebut maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik ke-Islaman semata, namun jauh dari itu sesungguhnya menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin yang membawa spirit reformasi dan restorasi menuju perubahan  dalam tataran kepemimpinan umumnya dan kepemipinan peradilan khususnya dalam rangka menuju peradilan yang agung. Karena bukan menjadi rahasia lagi bila saat ini bangsa ini sedang membutuhkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana yang pernah dipraktekan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk seluruh umat manusia (rahmatan linnas). Sehingga kontekstualisasi maulid tidak lagi dipahami dari perspektif ke-Islaman semata, melainkan juga harus dipahami dari berbagai perspektif dan dimensi yang menyangkut segala persoalan dalam kehidupan umat manusia, seperti aspek persoalan penegakkan hukum, politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, maupun agama.

B.      Ketauladan Bersumber dari Sifat Kerasulan bagi Seorang Pimpinan.
Ketika mengingat sosok Nabi Muhammad SAW. terutama di saat maulid setiap tahun sering diceritakan spektrum  tentang latar belakang biografi beliau serta perjalanan hidup dalam memipin umatnya. Sehingga wajar ada yang semakin rindu dengan sosok beliau, apalagi ditengah kedangkalan akhlak  serta budi pekerti yang merosot saat ini (dekadensi moralitas), merindukan sosok pemimpin sebagaimana sosok bijaksana dari Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan itu masyarakat sedang membutuhkan dan mengidamkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif.
Salah satu sikap mulia yang lekat dan yang paling menonjol dengan kepribadian Nabi Muhammad SAW. adalah “shiddiq” (kejujuran,  integritas). Dengan sifat ini diganjar dengan julukan al Amin oleh masyarakat setempat, baik pengikutnya maupun yang memusuhinya. Selain bakat kepemimpinan yang menonjol, sejak usia belia beliau sudah terlibat gerakan moral Hilful Fudul atau sumpah keutamaan. Sebuah gerakan demi membela rasa keadilan dan kebenaran terhadap siapapun dan dalam kondisi apapun. Jujur dan berani menanggung risiko, itulah warisan mulia kepemimpinan nabi yang mestinya ditauladani para pemimpin dan elite di negeri ini umumnya dan khususnya pimpinan peradilan. Faktanya, kadangkala amat susah menemukan elite negeri ini bersikap dan berperilaku mencontoh kepemiminan nabi. Rasanya untuk menemukan sebuah arti kejujuran saja misalnya sudah sulit, tak obahnya sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Padahal kejujuran dari ungkapan kata-kata saja belum cukup memadai untuk menjadi modal bagi pemimpin. Fakta sulitnya menemukan kejujuran itu berbanding terbalik dengan anjuran meneladani sikap dan perbuatan nabi. Di corong mimbar-mimbar maupun dalam teks-teks tulisan, hampir saban waktu mendengar para pemimpin dan penganjur mengajak untuk mencontoh sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang dijumpai akhir-akhir ini justru kian lekatnya hipokrisi atas fakta yang sudah telanjang. Kadangkala masyarakat masih saja dipertunjukkan bahwa kejujuran masih terus dikalahkan oleh kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek, kebenaran hukum telah dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat, hukum telah dijungkarbalikan oleh kemauan elit politik sehingga hukum tidak lagi menjadi panglima.
Menjadi seorang pemimpin yang katanya menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai tauladan terdepan sudah seharusnya berani pula mengambil segala risiko dan bertanggungjawab atas segala akibat kepemimpinan. Bukan justru malah sebaliknya buang badan dan melemparkan tanggung jawab itu kepada anak buah,  tepatlah dikatakan oleh orang bijak “ibarat lempar batu sembunyi tangan”. Bukan pula pemimpin yang gemar menyebut orang lain telah memfitnahnya padahal yang hendak disuarakan oleh orang itu adalah kebenaran sesungguhnya, atau justru malah tidak tahu akan kebijakan yang telah diperbuat oleh bawahannya sehingga lepas tanggung jawab ketika muncul persoalan. Maulid nabi bukan sekadar peringatan untuk seruan dan ajakan, maulid nabi merupakan momentum untuk merenung dan mulai berbuat sesuai apa yang diajarkan dan diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk para pemimpin di negeri ini, maulid nabi seyogianya menggerakkan hati nurani terbentuk pola diri untuk jujur, berani mengambil risiko, dan bertanggungjawab atas akibat dari kepemipinannya.
Sifat shiddiq artinya benar, bukan hanya sekedar perkataannya saja yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar, sehingga antara perbuatan sama dengan ucapannya. Jangan sampai pemimpin yang hanya kata-katanya yang manis di mulut, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Nabi Muhammad SAW. merupakan satu sosok figur yang sangat mempesona, sopan dalam bertutur kata, jujur manakala bicara sepanjang hayatnya, tidak pernah berdusta serta luhur budi pekertinya. Hal inilah yang membuat orang-orang terkagum-kagum kepada beliau bahkan dari dulu sampai saat ini semua orang di penjuru dunia mengagumi profil beliau, memiliki integritas kepribadian yang sangat luar biasa. Beliau mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umatnya tanpa membedakan atau memandang seseorang dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan tertentu. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat sekalipun atau orang yang tidak suka kepadanya.
Eksistensi sifat shiddiq, memiliki pengertian bahwa pemimpin selalu dianggap berada dalam tataran  slogan kebenaran dan jujur dalam ucapan dan perbuatannya. Segala sesuatu yang diucapkan jangan pernah ada punya tendensuis pribadi atau didasari oleh interest dan emosional pribadi, tetapi semua yang diucapkan oleh didasari atas panduan bisikan hati nurani. Integritas adalah sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika kepemimpinan, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan,   yang menganggap konsistensi internal sebagai suatu kebajikan, dan menyarankan bahwa pihak-pihak yang memegang nilai-nilai yang tampaknya bertentangan harus account untuk perbedaan atau mengubah keyakinan mereka.[1] Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain memiliki integritas sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang.  Integritas (shiddiq) seorang penegak hukum adalah landasan penting dari setiap sistem berdasarkan supremasi dan objektivitas hukum. 
Menurut Burt Nanus dalam “The Seven Keys to Leadership in a Turbulent World”, integritas itu dimana seorang pemimpin berlaku fair, jujur, terpecaya, peduli, terbuka, loyal, dan punya komitmen yang tinggi. Melakukan yang benar dalam pekerjaan adalah benar (haq) meskipun orang lain tidak melakukannya, sedangkan melakukan yang salah (bathil) adalah tetap salah meskipun orang lain melakukannya. Disinilah seorang pemimpin dituntut untuk memiliki moralitas yang tinggi dalam menjalankan kepemimpinannya. Karena sesungguhnya tindakan itulah yang dapat menjamin kemajuan. Bekerja juga harus membuang prinsip hanya mencari keuntungan besar semata atau hanya sekedar lepas dari tanggung jawab. Pekerjaan yang baik dengan sifat shiddiq adalah manajemen yang dijalankan secara jujur, adil, sehat dan tidak sampai mezalimin bawahannya bahkan jangan sampai merugikan negara.
Karakteristik sebuah integritas ini wajib dibangun dalam tiap pimpinan dalam level apapun hingga menyatu dalam karakter kepemimpinannya. Tekad untuk mewujudkan karya terbaik berdasarkan karakter integritas merupakan landasan utama keberhasilan sebuah instansi menghadapi sebuah kemajuan maupun menjadikan dirinya sebagai yang terpuji dan terpercaya. Suatu tekad yang bukan saja strategis tapi juga semakin langka diterapkan dalam budaya kerja saat ini.
Disamping sifat shiddiq sifat amanah (akuntabel) yaitu jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Makkah dengan gelar al Amin yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi nabi dan rasul. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Makkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Akuntabel  mempunyai pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW. selalu menjaga amanah yang diembannya dan bisa dipertanggunjawabkan. Beliau tidak pernah menggunakan wewenang (kompetensi) dan otoritasnya sebagai nabi dan rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk kepentingan pribadi, keluarga dan sukunya, namun yang dilakukan beliau semata untuk kepentingan Islam semata. Sebagai contoh dalam suatu riwayat diceritakan bahwa salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah pernah memberikan sebidang tanah yang subur kepada beliau tapi beliau tidak menggunakan tanah itu dengan seenaknya, tetapi beliau mencari sanak saudara Abu Thalhah yang berkehidupan kurang layak dan memberikan tanah itu untuk mereka, supaya taraf perekonomian mereka meningkat.
Bahwa amanah merupakan salah satu dari sifat wajib bagi para nabi dan rasul. Amanah artinya dapat dipercaya, lawannya adalah khianat. Pemimipin yang dipercaya artinya segala kegiatan baik ucapan maupun perbuatannya selalu dipercaya dan diyakini oleh bawahannya suatu kebenaran. Seseorang pimpinan dapat dikatakan dapat dipercaya, apabila ia dapat melaksanakan amanah atau kepercayaan dari orang lain kepadanya. Sifat amanah ini sejak kecil dimiliki oleh nabi, karena sifat amanahnya ini dipercaya menggembala kambing milik pamannya dan tetangganya. Atau ketika dipercaya membawa barang dagangan Siti Khadijah. Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja, tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Nabi Muhammad SAW. dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh memegang janji. Jika ada orang yang hendak menitipkan barang, maka yang dicari adalah Nabi Muhammad SAW. Ia sering mengorbankan kepentingan sendiri hanya untuk menepati janji. Suatu hari beliau pernah menjual beberapa ekor unta. Setelah terjual dan pembelinya pergi, beliau teringat bahwa ada di antara unta yang dijual itu yang cacat. Beliau segera menyusul pembeli tersebut dan mengembalikan uangnya. Oleh karena itu, tidak heran jika semua penulis sejarah mengatakan bahwa beliau ini mendapat gelar al Amin.
Seorang pimpinan baru dapat dikatakan amanah jika hasil pekerjaan tidak ada penyelewengan atas jabatannya dan tidak takut ketika diaudit oleh akuntan publik karena memang ia bekerja di jalannya (rel yang benar). Jangan sampai pimpinan ketika tidak menjabat lagi justru malah berurusan dengan aparat penegakkan hukum karena terindikasi adanya penyalahgunaan dan penyelewenangan wewenang selama memangku jabatan, potret kepemimpinan seperti inilah rasa-rasanya terekam dalam benak masyarakat ketika menonton, mendengar dan membaca dari mass media terlalu banyak pembesar negeri ini ketika masih menjabat, atau diakhir masa jabatannya bahkan ketika pensiun malah menjadi penghuni hotel prodeo akibat menjalahi standar operasional prosedur yang telah ditentukan.
Disamping sifat amanah, sifat yang ditonjolkan Nabi Muhammad SAW. adalah tabligh artinya menyampaikan (transparansi). Segala firman Allah SWT. sebagai titipan yang ditujukan untuk manusia, disampaikannya tanpa dipotong atau disunat satu ayatpun. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung persaannya. Tabligh (transpran) sifat ini mempunyai pengertian bahwa beliau selalu menyampaikan segala sesuatu yang diwahyukan Allah SWT. kepadanya meskipun terkadang ada ayat yang substansinya menyindir beliau seperti yang tersurat dalam surat Abbasa, dimana Rasulullah mendapat teguran langsung dari Allah SWT. pada saat beliau memalingkan mukanya dari Abdullah Ummu Maktum yang meminta diajarkan suatu perkara  sama sekali tidak disembunyikan oleh beliau. Beliaupun tidak merasa kwatir reputasinya akan rusak dengan sindiran Allah SWT. tersebut, justru sebaliknya para sahabat tambah meyakini akan kerasulan beliau.
Tabligh juga dapat diartikan bahwa sebuah media komunikasi yang memiliki korelasi yang erat sekali dengan kepemimpinan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa komunikasi. Kemampuan berkomunikasi akan menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin memiliki pengikut guna merealisir gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disinilah urgensinya kemampuan berkomunikasi bagi seorang pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku bawahannya. Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi. Nabi Muhammad SAW. dikenal sebagai komunikator ulung. Beliau berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai kadar intelektualitas dan lingkup pengalaman orang yang dihadapinya.
Dalam teori komunikasi itu disebut sebagai frame of reference (kerangka dasar ilmu pengetahuan) dan field of experience (lingkup pengalaman). Jauh sebelumnya, yakni empat belas abad yang lalu, beliau sudah menganjurkan kepada para sahabat tentang pentingnya kedua faktor itu dalam menjalin komunikasi yang efektif. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari mengungkapkan bahwa Nabi bersabda “Ajaklah mereka berbicara sesuai dengan apa yang mereka ketahui”, inilah yang disebut field of experience. Sedangkan pada sebuah hadis lain yang diriwayatkan Ad-Dailami, Nabi bersabda “Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan berfikir mereka”, inilah yang diistilahkan field of reference.
Dalam rangka menghindari terjadinya distorsi atau salah pengertian yang merupakan hambatan komunikasi, selalu berbicara dengan tenang dan jelas. Istri beliau, Aisyah, menceritakan, “Rasulullah tidaklah berbicara seperti yang biasa kamu lakukan (yaitu berbicara dengan nada cepat). Namun beliau berbicara dengan nada perlahan dan dengan perkataan yang jelas dan terang lagi mudah dihafal oleh orang yang mendengarnya.”(HR.Abu Daud). Dalam kesempatan lain Aiysah juga berkata, “Tutur kata Rasulullah sangat teratur, untaian demi untaian kalimat tersusun dengan rapi, sehingga mudah dipahami oleh orang yang mendengarkannya.”(HR.Abu Daud). Bahkan beliau sering melakukan penegasan dengan menaikkan nada (affirmation) dan pengulangan (repetition) agar ucapannya dapat dimengerti dan difahami dengan baik. Sebagaimana diriwayatkan, Anas bin Malik mengatakan: “Rasulullah sering mengulangi perkataannya tiga kali agar dapat dipahami.”(HR.Bukhari).
Sebagai seorang pimpinan juga sebagai komunikator, harus memiliki dua faktor penting yang harus ada pada komunikator yakni kepercayaan audiens/lawan bicara kepada komunikator (source credibility) dan daya tarik komunikator (source attraction). Dalam komunikasi, tidak hanya mengandalkan bahasa verbal, tetapi juga melalui bahasa tubuh (body language), bahasa imajerial, bahasa isyarat dan berbagai bahasa non-verbal lainnya, senantiasa berpikir. Pimpinan seharusnya lebih banyak diam, dan berbicara seperlunya serta lebih banyak berbuat. Ucapannya selalu padat, detail, dan jelas, tidak lebih dan tidak kurang, tidak kasar serta tidak merendahkan bahwannya. Jika kebenaran dilanggar tidak akan diam hingga kebenaran itu ditegakkan. Tidak pernah marah dan tidak pula memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Ketika menunjuk dan memerintahkan sesuatu, seharusnya selalu menggunakan seluruh telapak tangannya.
Sebagai pelengkap dari ketiga sifat di atas, adalah fathonah (profesional) artinya cerdas, mustahil Nabi itu bodoh atau jahil. Dalam menyampaikan 6.666 ayat al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus mampu menjelaskan firman-firman Allah SWT. dan maksud firman itu kepada umatnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya. Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa.
Sifat fathonah (cerdas, intelek) adalah suatu keniscayaan untuk para nabi dan rasul karena tidak mungkin Rasulullah bisa menyampaikan wahyu yang berupa al Qur’an yang sedemikian banyaknya hingga mencapai 6.666 ayat tanpa ada yang salah dan keliru satupun. Jika beliau tidak mempunyai fondasi intelektual yang tinggi hal itu mustahil terjadi. Kecerdasan Rasulullah tidak hanya intelektual semata tetapi juga cerdas dari segi emosional dan spiritual.  Kualifikasi seorang pemimpin, salah satu diantaranya adakah profesional yakni memiliki kemampuannya dalam mengelola emosi dirinya dan emosi orang yang dipimpinnya atau dikenal dengan Emotional Intelligence sehingga seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dituntut mampu memahami emosi dirinya, emosi orang yang dipimpinnya serta mampu mengelola emosi-emosi tersebut dalam hubungan sosial untuk mewujudkan tujuan bersama. Kemampuan tersebut diperlukan dalam merespon kondisi dan situasi, dan hanya pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi yang akan diterima dan memberi harapan kepada orang yang dipimpinnya.

C.      Penutup.
Meneladani prinsip Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari, yaitu jujur / integritas (siddiq), tanggung jawab / akuntabel (amanah), transparan (tabligh), dan bersifat professional (fathonah) merupakan kunci sukses dalam setiap bidang kehidupan dan kepemimpinan.
Kepemimpinan yang berintegritas merupakan kepemimpinan yang mampu memberi insipirasi kepada yang dipimpinnya untuk menyumbangkan fikiran, tenaga dan kemampuan mereka yang terbaik demi tercapainya tujuan bersama. Pemimpin yang berintegritas dalam konsepsi Islam mempunyai sejumlah karakteristik atau ciri tertentu antara lain: (a) Shiddiq; mempunyai akhlaq yang mulia, jujur, (b) Amanah; beriman, bertaqwa dan akuntabel, dipercaya,  (c) Fathonah; cerdas, mempunyai kompetensi,  mempunyai visi ke depan yang jelas, dan (d)  Tabligh; terbuka, kebersamaan, dan komunikatif.



[1] Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Abstraksi mendalam Sebuah sistem nilai dan berbagai interaksi yang berlaku juga dapat berfungsi sebagai faktor penting dalam mengidentifikasi integritas karena kongruensi atau kurangnya kongruensi dengan pengamatan. Sistem nilai yang dapat berkembang dari waktu ke waktu  sementara tetap mempertahankan integritas jika mereka yang mendukung account nilai untuk dan menyelesaikan inkonsistensi.


Minggu, 22 Januari 2012

KRITIK SANAD


KRITIK SANAD
( ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil )
A.    PENDAHULUAN.
1.Latar Belakang Masalah.
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Quran, eksistensi hadis, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penelitian terhadap hadis baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan al Quran dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Hasil-hasil dan kajian ahli tersebut selanjutnya, telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan akademisi di perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada kalangan masyarakat pada umumnya, bagi kalangan akademisi, adanya berbagai hasil penelitian hadis tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam, yaitu bidang studi hadis.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, sebagaimana halnya hadis pun telah banyak diteliti para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap al Hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al Quran. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya al Quran dan al Hadis berbeda. Kedatangan  (wurud), atau turun (nuzul)nya al Quran secara mutawatir berasal dari Allah.[1]  Tidak satupun ayat al Quran yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah Swt. Atas dasar ini, maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan al Hadis. Dari segi datang (al-wurud)nya hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafal-lafal hadis yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhap penulisan hadis pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.[2]
Itulah sebabnya untuk memastikan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi perlu diadakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and propetest), sehingga diperlukan kaedah-kaedah pokok yang telah diletakkan para ulama untuk kritik hadis serta untuk mengetahui mana yang  otentik dan mana yang palsu. Dari situ nampak bahwa mereka tidak membatasi usaha mereka hanya kepada kritik matan saja tetapi juga  memusatkan perhatian mereka terhadap sanad. Telah kita lihat bagaimana mereka mengindentifikasi tanda-tanda kepalsuan. Buah lain dari usaha penuh berkah ulama itu ialah lahirnya ilmu al jarh wa al’ta’dil (evaluasi negatif dan evaluasi positif) atau juga dikenal sebagai ilmu mizan al-rijal (kreteria tokoh-tokoh).[3] Kritik sanad atau lazim disebut naql al-sanad atau al-naqd al-khariji (kritik ekstern). Untuk kritik sanad tingkat akurasinya sangat tinggi.
Oleh karenanya ilmu ini termasuk yang paling berharga, yang tumbuh dari gerakan yang diberkati, yang barangkali tidak terdapat dalam sejarah ummat-ummat yang lain., dimana jerih payah tersebut tidak membatasi usaha kepada kritik sanad saja atau menitik beratkan kepada matan saja. Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad dan matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Nabi itu memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi. Dalam karena itu sanad dan matan sama-sama harus diteliti, maka terbuka beberapa kemungkinan terjadinya perbedaan kualitas antara sanad dan matan hadis.
Makalah ini membahas beberapa hal penting tentang kritik sanad dalam hubungannya dengan upaya penelitian macam-macam kualitas hadis menurut kreterianya masing-masing; yang dengan hasil tulisan ini hadis yang bersangkutan dapat diketahui status kehujjahannya.

2.Permasalahan.
Dari uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah : Apakah yang dimaksud dengan kritik sanad (‘ilm al-jarh wa al-ta’dil) ?

B.     PEMBAHASAN.
1.      Pengertian, Obyek Kajian dan Kegunaan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
  1. Pengertian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Al-Jarh yang secara etimologis masdar dari kata jaraha-yajrihu[4]  berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitanya.[5]  Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, mislanya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi.” Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh sebagai berikut :
الطعن فى راوى الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه  [6]
“Kecacatan pada perawai hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.
            A. Qadir Hasan mendefinisikan  jarh menurut istilah ilmu hadis ialah menunjukkan atau membayangkan kelemahan, celaan atau cacat seseorang rawi, atau melemahkan dia, maupun semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak.[7] Lafd jarh ialah sifat rawi yang dapat mencatatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti mensifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.[8] Dari kata jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.
Sedangkan al-Ta’dil asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala artinya : mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang,[9] yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan),[10] meluruskan, membetulkan, membersihkan.[11] Sedangkan ta’dil menurut mushthalah hadits ialah menunjukan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seseorang rawi, maupun semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak.[12] Al-Ta’dil menurut istilah berarti :
عكسه هو تزكية الراوي والحكم عليه بأنه عدل أو ضابط [13]
“Lawan dari al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabit”.
Sedangkan Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan al-Ta’dil dalam satu definisi, yaitu :
علم يبحث عن الرواة من حيث ماورد فى شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة [14]
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau memberishkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.
             Kata al-ta’dil mempunyai arti : mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui para perawi, antara lain   فلان اوثق الناس (fulan orang yang paling dipercaya)  فلان ضاط (fulan kuat hafalannya) dan      فلان حجة(fulan hujjah).  Sedangkan  contoh  untuk mengetahui kecacatan para perawi tersebut antara lain  فلان اكذب الناس (fulan orang yang paling berdusta) فلان متهم اكذب  (fulan termasuk orang tertuduh dusta) فلان لا حجة (fulan bukan hujjah).
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa al-ta’dil sebagaimna yang didefinisikan oleh Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib adalah sebagai berikut :
هو العلم الذي يبحث فى أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها        [15]
Ialah sutu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
           
  1. Obyek Kajian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan; bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syari’ah; mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqaqah; ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.[16]
Sedangkan informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu :[17]
1.    Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga denga perawi yang terkenal dengan kefasiqkan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
2.   Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihkannya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Dalam kajian atau obyek jarh yang terdapat dalam kitab-kitab Rijalul Hadits dan sebagainya, dibagi kepada tiga macam, yaitu :[18]
1.      Jarh yang tidak beralasan, maka jarh yang tidak disebut alasannya, masih gelap.
2.  Jarh yang tidak diterangkan apa yang menyebabkan si rawi tercela atau jarh yang tidak dijelaskan sebabnya, maka jarh yang tidak diterangkan sebabnya itu, tidak dapat diterima karena gelap.
3. Jarh yang disebut sebabnya, dengan mengetahui sebab-sebab itu, dapat diukur derajat kelemahan seseorang rawi, yang menyebabkan seorang rawi tercela atau dianggap lemah, sehingga riwayatnya tidak boleh diterima.
Diantara beberapa sifat yang menyebabkannya adalah : Dusta yakni  kadzdzab atau dajjal; Salah yani ghalath (keliru), khatha ’(salah) atau waham (salah sangkaan); Lupa atau lalai (ghaflah); Dungu atau bodoh (mughaffal); Menyalahi (mukhalafah) yakni riwayat seseorang rawi menyalahi riwayat orang kepercayaan atau yang lebih kuat daripadanya; Fisq mempunyai beberapa makna diantaranya tidak taat, meninggalkan perintah-perintah Allah,  berbuat kejahatan, berbuat dosa; Tidak terkenal (mahjul); Buruk hafalan (suul hifzhi); Talqin (mengajar); Ikhthilath  (akalnya bercampur); Tadlis (menyamarkan); Bukan Ahlinya; Bersendiri dalam meriwayatkan; Mempermudah (tahasul) sesuatu urusan ;
Sementara orang yang melakukan ta’dil dan tajrih harus memenuhi syarat, sebagai berikut : berilmu pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil ini.

  1. Kegunaan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Ulama menilai sangat penting kedudukan sanad dalam riwayat hadis.[19] Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita itu oleh ulama hadis tidak dapat disebut sebagai hadis. Sekiranya berita itu juga dinyatakan hadis oleh orang-orang tertentu, misalnya oleh ulama yang bukan ahli hadis, maka berita itu oleh ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau maudhu’.
Sekiranya sanad tidak ada niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya, karena sanad merupakan bagian sangat urgen dari riwayat hadis. Eksistensi suatu hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.
Bahwa sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis tersebut dapat diterima, sedang bila sanad itu tidak shahih, maka hadis tersebut harus ditinggalkan. Sehingga lemahnya suatu sanad riwayat hadis tertentu sesungguhnya belumlah menjadikan hadis yang bersangkutan secara absolut tidak berasal dari Rasulullah. Dalam pada itu, riwayat hadis yang sanad-nya lemah tidak dapat memberikan bukti yang kuat bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Rasulullah. Padahal hadis Rasulullah adalah sumber ajaran Islam dan karenanya, riwayat hadis haruslah terhindar dari keadaan yang meragukan.
Karenanya ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.[20]
Faedah mengetahui ilmu jarh wa ta’dil itu ialah untuk menetapkan apakah periwatatan seorang rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apa bila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis dipenuhi.
Dengan adanya penelitian hadis dilihat dari segi sanadnya melalui ilmu jarh wa ta’dil kualitas sebuah hadis dapat diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahn hadis yang bersangkutan. Hadis yang tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadis merupakan salah satu sumber hukum  Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
Dalam penelitian sanad pada dasarnya yang diteliti adalah kualitasa pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad, di samping metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat itu. Menilai seseorang tidaklah semudah menilai benda mati. Dapat saja seseorang dinyatakan baik pribadinya, padahal kenyataan yang sesungguhnya adalah sebaliknya.[21]

2.      Sejarah Munculnya Ilmu Jarh wa Ta’dil.
Hadis pada zaman Nabi belum tercatat secara resmi di zaman Rasulullah saw, seperti halnya dengan al Quran melainkan hanya dihafal. Namun setelah Nabi wafat banyak para penghafal hadis yang wafat karena ikut berperang.  Pernah terpikir oleh Umar bin Khattab untuk membukukan sunnah, kemudian ia bermusyawarah dengan para Sahabat, maka mereka mengemukan pendapat  untuk membukukannya.
Pada masa Tabi’in mulai timbul gerakan pemalsuan hadis, lalu generasi sesudah Tabi’in mencoba melawan gerakan pemalsuan hadis ini. Maka para Tabi’in mencoba untuk membukukan karena kuatir hilang dan guna mencegah dari kemungkinan penambahan dan pengurangan.[22] Bahwa khalifah yang pertama yang memikirkan mengumpulkan dan pencatatan Sunnah dari kalangan Tabi’in adalah Khalifah ibn Abdul Aziz (dari Bani Umayyah).
Kemudian untuk menjamin data sebuah hadis yang diriwayatkan, lalu mulailah pembicaraan tentang tokoh-tokoh riwayat, baik dalam arti positif maupun negatif, yang telah dimulai sejaka zaman para Sahabat muda seperti Ibn Abbas (w.68 H), ‘Ubadah ibn Shamit (w. 34 H), dan Anas ibn Malik (w. 93 H), lalu disusul oleh para tokok Tabi’in seperti Sa’id ibn al-Musayyib (w. 93 H), al-Sya’bi (w. 104 H), Ibn Sirin (w. 110 H), kemudian diteruskan oleh Syu’bah (w. 160 H) yang secara mendalam meneliti tokoh-tokoh yang ada dan tidak menuturkan sesuatu kecuali dari kalangan yang benar-benar handal, dan akhirnya Imam Malik (w. 179 H).[23]
Dari antara ulama al-jarh wa al-ta’dil pada abad kedua ini ialah Mu’ammar (w. 153 H), Hisyam al-Dustuwa’i (w. 154 H), al-Awza’i (w. 156 H), al-Tsawri (w. 175 H). Setelah itu muncul sekelompok ulama lain seperti Ibn al-Mubarak (w. 181 H), al-Fazari (w. 185 H), Ibn ‘Uyaynah (w. 197 H), Waki’ ibn al-Jarrah (w. 197 H). Juga sangat terkenal dari kalangan mereka ini Yahya ibn Sa’id al-Qathathan (w. 189 H) dan ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H), yang keduanya itu adalah hujjah (pribadi acuan dalam argumen-argumen dan handalan bagi orang banyak, sehingga tokoh yang mereka terima.
Berikutnya menyusul para sarjana di bidang itu dari kelompok lain seperti Yazid ibn Harun (w. 206 H), Abu Dawud al-Thayalis (w. 204 H), Abd al-Raziq ibn Hammah (w. 211 H), dan Abu Ashim al-Nabil ibn Mukhlad (w. 212 H). Setelah itu semua, maka mulailah penyusunan sistematis buku-buku tentang al-jarh wa al-ta’dil, dengan dipelopori oleh Yahya ibn Mu’in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Sa’ad (w. 230 H), penulis al-Waqidi dan pengarag al-Thabaqat, Ali ibn al-Madini (w. 234 H), dan disusul oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Zar’ah, Abu Hatim al-Raziyan, Abu Daud al-Sijistani, begitu seterusnya berturut-turut tampil para sarjana sampai akhir abad kesembilan belas Hijrah, karangan demi karangan yang ditulis dan membahas bebagai tokoh dan karenanya rampunglah persoalan megenai para perawi hadis itu sehingga tidak sulit menemukan sejarah siapapun tokoh yang kita ketemukan dalam kitab-kitab hadis.
Dari berbagai kitab al-jarah dan al-ta’dil itu ada yang mengkhususkan pada pemabahasan tokoh-tokoh handal semata, seperti kitab al-Tsiqat oleh Ibn Hibban al-Busti, dan al-Tsiqat oleh Ibn Quthlubgha (w. 879 H) dalam empat jilid, serta al-Tsiqat oleh Khalil ibn Syahin. Lalu ada juga yang membatasi pembahasannya pada tokoh-tokoh lemah (al-dlu ‘afa’) saja seperti yang ditulis oleh al-Bukhari, al-Nasa’i, Ibn Hibban, al-Daruquthni, al-Aqili, Ibn al-Jawzi dan Ibn ‘Abdi. Buku yang terakhir ini adalah yang paling baik dari semuanya di bidang ini. Dalam buku itu dibahas semua tokoh-tokoh kedua kitab shahih (al-Bukhari dan Muslim), sebagaimana juga dibahas beberapa tokoh panutan yang lain, karena mereka ini juga dibicarakan oleh lawan-lawan mereka semasa hidup mereka sendiri.
Di samping itu terdapat buku-buku yang menggabungkan pembahasan tentang orang-orang handal dan orang-orang lemah, dan ini banyak sekali. Yang paling terkenal ialah kitab Tawarikh oleh al-Bukhari, yang terdiri dari tiga bagian, yang besar memuat keterangan tokoh-tokoh secara alfabetis, yang sedang dan yang kecil disusun menurut urutan umur. Juga terkenal kitab al-jarah wa al-ta’dil oleh Ibn Hibban, al-jarah wa al-ta’dil oleh Ibn Hatim al-Razi dan al-Thabaqat al-Kubra oleh Ibn Sa’d. Yang paling bagus dari semuanya itu ialah kitab al-Takmil fi Ma’rifat al-Tsiqat wa al-Dlu’afa wa al-Majahil oleh al-Hafidh ibn Katsir, yang disitu ia menggabungkan antara Tahdzib oleh al-Mazzi dan Mizan oleh al-Dzahabi disertai berbagai tambahan dan editing dalam ungkapan. Ia merupakan buku yang paling bermamfaat untuk seorang ahli hadis dan fiqh yang datang kemudian.

3.      Tiga Macam Tipe Ulama Men-jarh wa Ta’dil.
Para ahli yang mencurahkan perhatiannya di bidang ini tidaklah sama dalam ukuran-ukran yang mereka gunakan untuk kritik atas para perwi. Ada tiga macam ulama yang men-jarh wa al-ta’dil, seperti berikut :
1.      Dari mereka ada yang moderat (tawasul) dan sedang, yang dapat digolongkan moderat ialah Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim. ;
2.    Ada pula yang sangat keras atau ketat (tasyaddud) ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. seperti Ibn Mu’in, al-Qathathan, Ibn Hibban dan Abu Hatim al-Razi.
3.      Juga ada yang sangat lunak atau longgar (tasahul), seperti al-Turmuzi, al-Hakim dan Ibn Mahdi.
Karena itulah pendapat mereka berbeda-beda tentag perawi hadis, sehingga ada yang sebagaian mereka percayai justru ditolak oleh yang lain. Ini semua adalah akibat perbedaan pandangan dan ukuran yang diletakkan oleh setiap sarjana dalam metode kritiknya itu, malahan terjadi dari satu orang sarjana dikutip dua pendapat yang berbeda tentang perawi. Satu saat ia berpendapat perawi itu handal, tapi kemudian ia terpaksa menarik kembali penilaiannya itu, atau bisa juga justru terjadi sebaliknya.[24]
Di antara sebab-sebab perbedaan dalam evaluasi itu, baik yang positif maupun yang negaif, ialah kecenderungan para ulama dalam melakukan ijtihad. Telah luas diketahui perbedaan kecenderungan antara ahl al-hadis (para pengkiut hadis) dan ahl al-rayi (para pengikut pendapat rasional), yang menyebabkan sebagaian ahl al-hadist melakukan pencacatan (al-tha’n) terhadap sebagian pemuka ahl al-rayi dan dimasukkan sebagian bersandar kepada sesuatu yang menfasiqkan sehingga ia menganggap orang tertentu lemah (dlaif),  padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, atau orang lain tidak berpendapat sama. Karena itulah disyaratakan adanya keterangan tentang sebab-sebab yang ada dalam evaluasi negatif.
Dengan adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayatan dan kualitas hadis tersebut berarti bahwa dalam penelitian hadis yang dinilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritukusnya. Sekiranya terjadi perbedaan dalam mengeritik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif.

4.      Contoh Nama Orang Dinilai Sebagai  Jarh dan Ta’dil.
Sebagaimana yang telah diuraikan oleh ulama tentang ta’dil sebagai syarat-syarat seorang rawi yang diriwayatkannya, salah satunya apabila seseorang dipuji oleh seseorang, tetapi ada juga yang mencacat dia atau menunjukkan celaannnya, maka yang dipakai ialah celaan orang itu, jika celaannya ini beralasan. Tentang ini ulama-ulama ada membuat satu kaidah bunyi sebagai berikut :
الجرح مقدم على التعديل   [25]
Celaan itu didahulukan atas pujian.
            Contohnya seperti : Ibrahim bin Abi Yahya Abu Ishaq.
            Imam Syafi’i dan Ibnu Ash-Bahani menganggap dia sebagai seorang kepercayaan. Tetapi berkata Ibnu Hibban : “Adalah ia berpendirian Qadariyah, dan bermazhab kepada perkataan Jahmiyah, tambahan pula ia pernah berdusta dalam urusan hadis.” Syafi’i dan Ibnul-Ashbahani memuji dia, sedang Ibnu Hibban menunjukkan cacatnya. Jadi yang terpakai disini ialah perkataan Ibnu Hibban.
            Sedangkan nama-nama rawi yang dianggap adil dantaraya adalah :
1.      Said bin Abdil Aziz at Tanakhi ad Dimiyati, salah seorang imam, mufti Dimisyq. Kata Nasa’i : ia kepercayaan, lagi teguh, kata Ibnu Main : ia hujjah.
2.      Said bin Manshur bin Syu’bah al Khurasani, seorang Hafizh yang kepercayaan: seorang yang mempunyai kitab Sunan, Imam Ahmad memuji dia, Abu Hatim berkata ; ia dari golongan orang-orang yang teliti yang teguh.
3.      Sufyan bin Uyainah al Hilal, salah seorang kepercayaan, tersebut dalam Mizan : orang-orang telah ijma’ berhujjah dengan dia adalah ia seorang yang kuat hafalannya. Kata Ibnu Khirasy ia seorang kepercayaan.
4.      Salam bin Sulaim Abul Ahwash al Hanafi al Kufi, seorang yang benar, lagi kepercayaan, tetapi rawi lain lebih teguh daripadanya. Kata Ibnu Main ia seorang kepercayaan lagi teliti.

5.      Lafaz-lafaz dan Tingkatannya.
Berdasarkan hasil penelitian ulama ahli kritik hadis, ternyata keadaan para periwayatan hadis bermacam-macam. Sesuai dengan keadaan pribadi para periwayat itu, maka ulama ahli kritik hadis menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Keadaan para periwayat yang bermacam-macam itu dibedakan dengan lafal-lafal tertentu yang dalam istilah ilmu-jarh wat-ta’dil, urut-urutan lafal itu dikenal dengan sebutan maratib alfaz al-jarh wat-ta’dil (peringkat lafal-lafal ketercelaan dan keterpujian).[26]
Jumlah peringkat yang berlaku untuk al-jarh wat-ta’dil tidak disepakati oleh ulama ahli hadis. Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi empat peringkat untuk al-jarh dan empat peringkat untuk at-ta’dil, sebagian ulama ada yang membaginya lima peringkat untuk al-jarh dan lima peringkat untuk at-ta’dil dan sebagian ulama lagi ada yang membaginya masing-masing (yakni untuk al-jarh dan untuk at-ta’dil) kepada enam peringkat.[27]
Kerena terjadi perbedaan jumlah peringkat, maka ada lafal yang sama untuk peringkat al-jarh ataupun untuk at-ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz saduq, misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat kedua dalam urutan at-ta’dil dan ada ulama yang menempatkannya pada peringkat keempat.[28]  Terdapatnya ikhtilaf ketika menempatkan peringkat lafal untuk al-jarh wat-ta’dil itu memberi petunjuk bahwa untuk memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh lafal al-jarh wat-ta’dil diperlukan penelitian, misalnya dengan menghubungkan penggunaan lafal itu kepada ulama yang memakainya. Untuk memperoleh deskriptif yang lebih jelas tentang macam-macam lafal untuk al-jarh wat-ta’dil beserta peringkatnya masing-masing, perlu dipelajari lebih mendalam kitab-kitab yang membahas al-jarh wat-ta’dil.
Menurut Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, untuk lafaz-lafaz yang digunakan untuk men’jarh-kan rawi, yaitu :[29]
Pertama :         menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af’alut-tafdihil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya.
أوضع الناس                    Orang yang paling dusta,
اكذب الناس                   Orang yang paling bohong,
إليه المنتهى فى الوضع           Orang yang paling populer kebohongannya.
Kedua :            menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafaz berbentuk shighat muballaghah. Misalnya.
كذاب                         Orang yang pembohong,
وضاع                           Orang yang pendusta,
دجال                          Orang yang penipu.
Ketiga :            menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya.
فلان متهم بالكذب             Orang yang dituduh bohong,
او متهم با لوضع               Orang yang dituduh dusta,
فلان فيه النظر                  Orang yang perlu diteliti,
فلان ساقط                     Orang yang jujur.
Keempat :        menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya.
مطرح الديث                   Orang yang dilempar hadisnya,
فلان ضعيف                   Orang yang tidak dikenal identiasnya,
فلان مردود الحديث            Orang yang mungkar hadisnya.
Kelima :           menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya.
فلان لايحتج يه                 Orang yang tidak dapat dibuat hujjah,
فلان مجهول                               Orang yang tidak dikenal identitasnya,
فلان منكرالحديث              Orang yang mungkar hadisnya,
فلان مضطرب الحديث         Orang yang kacau hadisnya.
Keenam :         mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan ‘adil. Misalnya.
ضعف حديثه                            Orang yang didla’ifkan hadisnya,
فلان مقال فيه                  Orang yang diperbincangkan,
فلان فيه خلف                 Orang yang disingkirkan,
فلان لين                       Orang yang lunak.
Sedangkan lafaz untuk  menta’dil-kan rawi-rawi, yakni :[30]
Pertama :         segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya :
أوثق الناس                                Orang yang paling tsiqah,
أثبت الناس حفظ و عدالة        Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya,
أليه النمنتهى فى الثبت          Orang yang paling populer keteguhan hati dan lidahnya,
ثقة فوق الثقة                   Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
Kedua :            memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjukan keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhi itu selafaz (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalya :
ثبت ثبت                                  Orang yang teguh lagi teguh,
ثقة ثقة                         Orang yang tsiqah lagi tsiqah,
حجة حجة                    Orang yang ahli lagi patah lidahnya,
ثبت ثقة                        Orang yang teguh lagi tsiqah.
Ketiga :            menunjuk keadilan dengan suatu lafaz yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya.
ثبت                            Orang yang teguh (hati dan lidahnya),
متقن                           Orang yang menyakinkan (ilmunya),
ثقة                             Orang yang tsiqah,
حافظ                          Orang yang kuat hafalannya.
Keempat :        menunjuk keadilan dan kadlabitan, tetapi dengan lafaz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya :
صدوق                             Orang yang sangat jujur,      
مأمون                          Orang yang dapat memegang amanat,
لابأس به                       Orang yang tidak cacat.
Kelima :           menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabitan. Misalnya.
محله الصدق                              Orang yang berstatus jujur,
جيد الحديث                   Orang yang baik haditsnya,
حسن الديث                            Orang yang bagus haditsnya,
مقارب الحديث                 Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam :         menunuk arti mendekati cacat, seperti sifa-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafaz “insyaallah” atau lafaz tersebut di-tashghir-kan (pengecilan arti) atau lafaz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya.
صدوق إن شاء الله                    Orang yang jujur, insya Allah,
فلان أرجو بأن لا بأس به       Orang yang diharapkan tsiqah,
فلان صويلح                    Orang yang sedikit kesalehannya,
فلان مقبول حديثه              Orang yang diterima haditsnya.
 
6.      Pengaruh Kelompok, Ideologi dan SARA dalam Jarh wa Ta’dil.
Orang-orang yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai ‘itibar (tempat membanding).[31] Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat di atas sebagai hujjah. Sedangkan hadis-hadis para rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadis perawi lain[32]
Tumbuh dan berkembangnya ilmu ini ialah sebuah keinginan para ulama untuk mengetahui hal-ihwal para perawi hadis, sehingga mereka bedakan mana hadis shahih dari yang lain. Karena itu mereka sendiri mengadakan penelitian atas tokoh-tokoh yang hidup sezaman dengan mereka, yang terdiri dari para para perawi hadis, dan mencari informasi tentang tokoh-tokoh terdahulu yang tidak hidup sezaman dengan mereka, kemudian mereka mengumumkan pendapat mereka tentang para tokoh itu tanpa bermaksud jahat atau pun dosa karena memang diperlukan untuk mencari keotentikan sebuah hadis.
Para ahli yang mencurahkan perhatiannya di bidang ini tidaklah sama dalam ukuran-ukuran yang mereka gunakan untuk kritik sanad. Dari mereka ada yang moderat dan sedang, dan ada pula yang sangat keras. Sehingga ada yag sebagian mereka dipercayai justru ditolak oleh yang lain. Ini adalah akibat perbedaan pananganan dan ukuran yang diletakkan oleh kritukus sanad dalam metodenya itu. Satu saat ia berpendapat sanadnya handal, tapi kemudian ia terpaksa menarik kembali penilaiannya itu, atau bisa juga justru terjadi sebaliknya. Dalam al-jarh wa al-ta’dil pengaruh kelompok, ideologi dan SARA juga sangat dominan, sehingga sanad yang dianggap dapat dipercayai oleh suatu kelompok bisa saja ditolak oleh kelompok lain dan sebagainya.
Seperti halnya hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sering dipersoalkan karena beberapa alasan. Pertama, ia terlalu sering meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah saw, kebiasaan ini menunjukkan kecenderungan adanya kecerobohan dan ketidakhati-hatiannya dalam meriwayatkan hadis-hadis. Kedua, diduga keras bahwa ia adalah orang yang pelupa dan ia mengakui sifat pelupa ini. Tetapi berusaha menutupi kelemahan itu dengan kisah ajaib bahwa Nabi Muhammad saw, pernah menyuruhnya membentangkan jubahnya bila beliau berbicara. Ia mengaku bahwa dengan cara aneh ia tidak lagi melupakan sesuatu pun. Ketiga, terlalu banyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam waktu yang singkat. Ia meriwayatkan 5300 hadis hanya dalam waktu tiga tahun.[33] Keempat, ia adalah orang yang pemalas yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, selain mengikuti Rasulullah ke mana pun beliau pergi. Ia pernah menolak pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar Ibn al-Khattab. Kelima, banyak hadis yang diriwayatkannya bertentangan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang terpercaya. Keenam, menurut Ahmad Amin karena ia tidak punya pekerjaan yang tetap untuk makan sehari-hari ia tidak punya, sehingga ia dekat dengan Nabi karena ingin mencari sesuap nasi saja.
Perbedaan madzhab mempunyai dampak pada ta’dil dan tajrih. Ahlussunnah melakukan tajrih terhadap banyak kalangan Syi’ah sampai-sampai mereka mamastikan bahwa tidaklah sah sesuatu dari Ali bin Abi Thalib yang dituturkan oleh para pendukung dan partainya. Yang sah hanyalah apa yang dituturkan dari Ali oleh para pendukung Abdullah ibn Mas’ud. Begitu pula sikap kaum Syi’ah terhadap Ahlussunnah. Mereka tidak percaya kecuali kepada apa yang diriwayatkan oleh kaum Syi’ah sendiri dari kalangan Ahlulbait, dan begitulah seterusnya.[34]
Dari situ timbul bahwa seseorang yang dianggap jujur oleh sebagian, dianggap cacat oleh sebagian yang lain. Al-Dzahabi berkata, “Tidak ada dua orang dari kalangan para ulama bidang ini yang sepakat untuk menganggap handal orang yang lemah dan menganggap lemah orang yang handal.” Meskipun dalam ucapannya itu ada nada berlebihan, namun menunjukan kepada kita tingkat perbedaan pandangan dalam tajrih dan ta’dil. Dapat penulis kemukakan sebagai contoh Muhammad ibn Is’haq, penulis sejarah terbesar tentang peristiwa-peristiwa Islam masa awal: Qatadah mengatakan, “selama Muhammad ibn Is’haq masih hidup maka ilmu akan bertahan pada umat manusia.”  Tapi al-Nasa’i berkata: “Ia tidak termasuk orang yang handal.”  Sedangkan Sufyan mengatakan: “Tidak pernah kudengar seorang pun mengajukan tuduhan terhadap Muhammad ibn Is’haq.” Namun al-Daruquthni berpendapat: “Baik dia sendiri maupun ayahnya tidak dapat dijadikan sumber argumen.” Dan kata Malik: “Aku bersaksi bahwa dia itu pembohong.
Pembasan pada pokok ini menyangkut dua pokok pembicaraan: pertama, berkenaan dengan kaedah-kaedah tajrih dan ta’dil, dan kedua,  mengenai pernyataan al-Dzahabi dan pendapat mengenai Muhammad ibn Is’haq.
Pembicaraan pertama, Ahmad Amin mengatakan telah melakukan generalisasi pembahasan di sini tentang kaedah-kaedah tajrih dan ta’dil sebagaimana ia juga menggeneralisasikan dampak perbedaan kemazhaban. Lahiriah ucapannya, “Dari situ timbul bahwa orang yang dianggap jujur oleh sebagaian…” mengesahkan bahwa sumber perbedaan dalam tajrih dan ta’dil ialah perbedaan kemazhaban. Padahal pembahasan yang lebih rinci menunjukkan bahwa perbedaan dalam tajrih dan ta’dil itu dapat terjadi antara sesama Ahlussunnah sendiri, atau antara Ahlussunnah dengan kelompok-kelompok lain yang  menentang mereka.[35]
Adapun perbedaan antara sesama Ahlusunnah, maka sumbernya ialah perselisihan pandangan tentang kebenaran penutur (rawi) atau kebohongannya, juga tentang kejujuran dan kefasiqkannya, serta tentang daya ingat dan kelupaannya. Sedangkan perselisihan antara Ahulussunnah dengan golongan lainnya tidaklah muncul dari perbedaan madzhab, melainkan bahwa Ahlussunnah itu, sebagaimana telah  diterangkan dalam pembahasan tentang  jarh wa ta’dil, tidak memandang cacat orang yang menentang mereka kecuali jika bi’dahnya menjurus kepada kekafiran atau menodai sahabat Rasulullah atau jika orang itu propagandis bagi bid’ahnya, atau kalaupun bukan propagandisnya namun hadisnya itu mencocoki apa yang menjadi pandangannya. Mereka Ahlussunnah memandang hal itu menyebabkan keraguan dalam kebenaran dan kejujuran orang tersebut. Jadi pengaruh golongan dalam tajrih antara Ahlusunnah dan kelompok lain sebenarnya berpangkal pada keraguan tentang kejujuran musnad dan rawi bukan hanya semata-mata perbedaan kemazhaban.
Kelompok Khawarij dan Syi’ah menganut pandangan tertentu yang tidak sama dengan pandangan mayoritas kelompok kaum Muslimin.  Khawarij memandang seluruh sahabat (sanad) sebelum terjadi fitnah jujur. Tapi karena alasan ideologi mereka mengkafirkan Usman, Ali, dan mereka yang terlibat dalam  “Peristiwa Unta” (perang antara Ali dan Aisyah isteri Nabi) dan dalam tahkim (perdamaian antara Ali dan Mu’awiyah  di Shiffin) serta siapa saja yang menerima tahkim itu dan dapat membenarkannya. Khawarij menolak hadis-hadis sebagian besar Sahabat setelah fitnah karena menerima tahkim dalam pandanganya golongan itu termasuk yang tidak bisa dipercaya.
Kaum Syi’ah sesungguhnya mendiskualifikasi umumnya para Sahabat kecuali beberapa orang yang dikenal kecintaannya kepada Ali, mereka membangun aliran mereka sendiri saja dan menolak hadis dari umumnya para Sahabat. Syi’ah menyaratkan sanad hadis harus dari kalangan mereka sendiri.
Sedangkan kelompok mayoritas kaum Muslimin, memandang kejujuran para Sahabat semuanya, baik mereka sebelum maupun sesudah fitnah. Juga sama apakah mereka terlibat dalam fitnah itu atau menjauhinya. Umumnya orang-orang Muslim itu menerima penuturan para Sahabat yang jujur dan dapat dipercaya, kecuali yang datang dari jalur para pengikut Ali.

C.    KESIMPULAN.
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut ini :
1.      Pentingnya penelitian hadis dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu ada yang berkaitan dengan kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, di samping Alquran; ada yang berhubungan dengan diri Nabi dalam berbagai kapasitasnya; dan ada yang berhubungan dengan kesejajaran hadis Nabi itu sendiri, termasuk di dalamnya proses dan metode serta sanadnya.
2.      Peneitian yang cakupannya sanad, kaedah kritik sanad yang dilakukan oleh ulama hadis memberikan hasil penelitian yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi sepanjang kaedah yang dilaksanakan secara tepat dan cermat.
3.      Pengaruh kelompok, ideologi dan SARA juga sangat mempengaruhi dalam al-Jarh wa al-Ta’dil.

DAFTAR PUSTAKA
A.    Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, cetakan VIII, Bandung: CV.  Penerbit Diponogoro, 2002.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cetakan kesembilan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2004.
Ali al-Qadri, Syarh Nukhbah al-Fikr, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978 M.
Fachtur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’i-Hadits, cetakah kedua, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978.
Ibn Abi Hatim ar-Razi, Kitab al-Jarh wat-Ta’dil, Haiderabad: Majlis Da’irah al-Ma’arif, juz II, 1371 H / 1952 M.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Al-Isabah fi Tamyz al-Shahabah, Kairo: Maktabat al-Dirasah al-Islamiyah dar al-Nahdhah, vol. 7 t.t,.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 M
-----------------------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cetakan 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
-----------------------, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuanya, cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Musthafa Al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanathua fi al-Tasyiri’ al-Islami, peny. Nurcholish Madjid, cetakan ketiga, Jakarta: Pustaka Firdaus,  1995.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, cetakan keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,   2003,
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulu al-Hadits wa ‘Ulumuhu, Kairo: t.p, t.t.
Nur Al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Fikr, 1979.
Subhi Al Shahih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayin, t.t.

 Footnote:

[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cetakan kesembilan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2004, hlm.237-238.
[2] Ibid, hlm. 138.
[3] Musthafa Al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanathua fi al-Tasyiri’ al-Islami, peny. Nurcholish Madjid, cetakan ketiga, Jakarta: Pustaka Firdaus,  1995, hlm.80.
[4] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuanya, cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 73
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, cetakan keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,   2003, hlm.31. Lihat juga A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, cetakan VIII, Bandung: CV. Penerbit Diponogoro, 2002, hlm. 445.
[6] A. Qadir Hasan, Loc.,Cit.
[7] Ibid.
[8] Fachtur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’i-Hadits, cetakah kedua, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978, hlm.268
[9] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuanya,Op.,Cit., hlm.73..
[10] Munzier Suparta, Op.,.Cit., hlm. 31
[11] A. Qadir Hasan, Loc.,Cit.
[12] Ibid.
[13] Nur Al-Din ‘Itr, Op.,Cit., hlm. 92
[14] Subhi Al Shahih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayin, t.t, hlm. 109
[15] Fachtur Rahman, Op.,Cit., hlm. 268
[16] Munzier Suparta, Op.,Cit., hlm. 32
[17] Ibid, hlm. 33
[18] A. Qadir Hasan, Op.,Cit., hlm. 449-457
[19] ‘Ali al-Qadri, Syarh Nukhbah al-Fikr, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978 M, hlm. 194
[20] Munzier Suparta, Op.,Cit., hlm.32
[21] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cetakan 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm.29
[22] Musthafa Al-Siba’i, Op.,Cit, hlm. 74
[23] Ibid., hlm. 81
[24] Ibid., hlm. 83
[25] A. Qadir Hasan, Op.,Cit., hlm. 468
[26] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 75
[27] Ibn Abi Hatim ar-Razi, Kitab al-Jarh wat-Ta’dil, Haiderabad: Majlis Da’irah al-Ma’arif, 1371 H / 1952 M, juz II, hlm. 37. Lihat juga Faturrahman, Op.,Cit., hlm. 273
[28] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 M, hlm. 176-181
[29] Lihat dalam Faturahman, Op.,Cit., hlm. 276-278
[30] Lihat dalam Faturahman, Op.,Cit., hlm. 274-276
[31] Ibid, hlm. 278.
[32] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulu al-Hadits wa ‘Ulumuhu, Kairo: t.p, t.t, hlm, 277
[33] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Al-Isabah fi Tamyz al-Shahabah, Kairo: Maktabat al-Dirasah al-Islamiyah dar al-Nahdhah, t.t, vol. 7, hlm. 432.
[34] Mushthafa Al-Siba’i, Op.,Cit, hlm. 222.
[35] Ibid, hlm. 223