Jumat, 03 Agustus 2012

Khutbah Idul Fitri 1433.H / 2012.M

RAMADHAN SEBAGAI REFLEKSI MEMBANGUN KESHOLEHAN PRIBADI


الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر.

إنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ ونَستَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُورِ أنفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنا مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ ومن يُضْلِلْ فَلا هَادِي لَهُ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ ِفي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا أَلَا وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.

Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.
Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan ibadah, dalam bulan Ramadhan yang baru saja berlalu, demikian juga ibadah shalat Id pada pagi hari ini, karenanya kita berharap semoga semua itu dapat mengokohkan ketaqwaan kepada Allah SWT dalam menjalani sisa umur dalam kehidupan di dunia ini. Konsekuensi dari taqwa yang membuat kita bisa keluar dari berbagai persoalan hidup dan mengangkat derajat menjadi ummat yang mulia di hadapan Allah SWT. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para penerus risalahnya hingga akhir zaman kelak nanti.
Sekali lagi bulan Rmadhan yang penuh berkah dan kemulian telah berlalu, Ramadhan merupakan bulan penuh rahmat dan ampunan (maghfirah) telah memotong umur kita pada tahun ini untuk kembali pada tahun berikutnya. Boleh jadi kita masih berjumpa dengan bulan ini pada tahun yang akan datang, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Ramadhan yang telah berlalu itu merupakan penghabisan bagi kita Allahu’alm bi shawab.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin yang berbahagia.
Suasana pagi ini semua kita memiliki perasaan sama yang diselimuti rasa kegembiraan. Gembira bukan karena banyak makanan dan minuman tersedia di rumah, bukan karena uang lebih dari cukup dan bukan pula karena pakaian serba baru. Namun gembira karena berada dalam kefitrahan atau kesucian jiwa, kebersihan hati setelah melaksanakan ibadah Ramadhan, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ وَسَنَنْتُ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
“Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi mewajibkan puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan shalat malam harinya. Barangsiapa puasa Ramadhan dan shalat malam dengan mengharap ridha Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu seyogianya juga kita diliputi oleh rasa kesedih duka yang mendalam karena Ramadhan yang sudah berlalu belum kita jalani dengan penuh kesungguhan, mungkin banyak di antara kita yang berpuasa hanya sekedar meninggalkan tidak makan dan tidak minum di siang hari Ramadhan, shalat tarawih hanya mengejar jumlah rakaat tanpa kekhusyukan, tilawah atau tadarus Al-Qur’an yang hanya mengejar target khatam tanpa berusaha untuk memahaminya (tadabbur), demikian juga terlalu sayang dengan harta benda sehingga tidak mau bersedekah atau hanya sedikit bersedekah dibandingkan dengan banyaknya harta yang kita peroleh. Padahal tidak ada jaminan bahwa tahun yang akan datang berjumpa dengan Ramadhan karena mungkin saja umur kita tidak sampai pada Ramadhan tahun berikutnya sebagaimana hal itu dialami oleh orangtua, sanak saudara, handai taulan, teman sejawat dan jamaah kita, hingga tokoh-tokoh kita yang sudah lebih dahulu dipanggil menghadap kepada Allah SWT.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin yang Terhormat.
Selain daripada itu perlu dicatat bahwa Ramadhan yang telah usai merupakan traning centre sebagai sarana pendidikan kepribadian (tarbiyah) dan pembinaan yang luhur dan komprehensif, baik untuk pembinaan ruhiyah (mental spiritual), jasadiyah  (badan), ijtima’iyah  (sosial),  khuluqiyah (akhlaq),  hadloriyah  (peradaban)  serta jihadiyah (perjuangan) pada diri umat Islam. Ibarat sebuah lembaga pendidikan yang mempunayi standarisasi, yang di dalamnya para pelajar digembleng, dididik, dilatih dan dibina secara ketat, sehingga kelak setelah selesai belajar menjadi pelajar mumpuni dalam bidangnya, berprestasi terbaik, dan unggul (dapat bersaing) serta berdaya guna. Ketika mereka dididik dengan materi silabus yang sesuai, ditempa dengan pembinaan yang maksimal dan kurikulum yang jelas dan terarah, maka kelak mereka menjadi sosok yang bukan saja memberikan maslahat untuk dirinya sendiri namun juga akan bermanfaat untuk keluarga, lingkungan, masyarakat dan Negara serta agamanya, bukan sebaliknya dengan pola pendidikan yang instan tanpa memperhatikan nilai-nilai moralitas justru akan menghancurkan pribadinya bahkan akan menjadi orang bermasalah dalam hidupnya sehingga akan merusak tatan hidup masyarakat.
Akhir-ahkir ini kita agak terperanjat dan tentu kita menyadari betapa banyak pribadi, keluarga, masyarakat, jamaah hingga bangsa dan negara yang tidak baik, amat jauh perjalanan hidupnya dari ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT, bahkan bisa jadi kita termasuk orang yang demikian, semua itu berpangkal pada hati yang rusak akibat pola pendidikan yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Oleh karena itu hati memiliki kedudukan sentral yang sangat urgen dalam menentukan arah kepribadian seseorang. Baik dan buruknya seseorang sangat tergantung bagaimana keadaan hatinya, bila hatinya baik maka baiklah orang itu dan bila hatinya rusak maka rusaklah orang itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berbunyi:
أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.
“Ingatlah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, baiklah anggota tubuh dan apabila ia buruk, buruk pulalah tubuh manusia. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian juga dengan Ramadhan yang di dalamnya terdapat kewajiban, sunnah tarawih, tilawatil Qur’an dan amaliyah lainnya, merupakan sarana penempaan dan pendidikan yang memiliki kurikulum langsung dari Allah SWT, sehingga kelak ketika tamat dari madrasah Ramadhan ini diharapkan menjadi sosok pribadi shalih dan muslih sehingga menjadi panutan bagi generasi sesudah kita kelak (rol model), seperti dalam kaidah Arab disebutkan:
الصَّلاَحُ قَبْلَ الإِصْلاَحِ.
“Perbaiki diri sebelum perbaikan kepada yang lain.”

Atau menjadi pribadi:
الصَّالِحُ وَالْمُصْلِح.
“Baik secara individu dan sosial.”
Sosok pribadi muslim yang mumpuni memiliki syakhshiyah Islamiyah mutakamilah mutawazinah (sosok pribadi Islami yang komprehensif dan seimbang) tidak hanya berjiwa bersih, berbadan sehat dan kuat serta berakhlaq mulia, namun juga memberikan kebaikan kepada dirinya, lingkungan dan masyarakat sekitarnya bahkan juga membawa danpak positif untuk kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah Allah SWT tidak akan memperbaiki nasib suatu negeri, bangsa atau kaum, kalaulah bukan kaum itu sendiri yang mengubah nasib negeri, bangsa atau negaranya sendiri, yaitu dengan cara membangun sarana perbaikan jiwa-jiwa secara personal dan mendasar terlebih dahulu, sebagaimana Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (Ar-Ra’ad:11).

Dari hati yang bersih akan mampu merubah dirinya sendiri yang selanjutnya menjadi pribadi yang bertaqwa sebagai danpak pelaksanaan Ramadhan yang sesungguhnya sehingga menjadi orang bertqwa. Namun yang perlu dicatat untuk mencapai tingkat kualitas derajat taqwa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tingkat taqwa membutuhkan proses yang sangat panjang yang harus ditempuh oleh setiap muslim, selain harus melandasi dengan basic keimanan yang benar, namun juga menempuh proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan mulia. Begitulah ketika Allah SWT menginginkan derajat taqwa yang akan diberikan kepada hamba-Nya, dengan landasan iman, proses ibadah puasa yang benar dan hasilnya mencapai tingkat taqwa, sebagaimana Allah SWT telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah:183).

Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral kaum Muslimin yang Berbahagia.
Hingga saat ini kita belum sadar pada dasarnya terdapat kepincangan antara implementasi taqwa dengan keshalehan. Di satu sisi kita memiliki keshalihan personal yang tinggi di hadapan Allah SWT sementara di sisi lain hak-hak sosial dalam diri kita masih sering kita lalaikan, atau dengan frasa lain bahwa keshalihan sosial berada pada prioritas tertinggi dalam kewajiban sosial sehari-hari, sementara ibadah down grade dan dilalaikan bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Sesungguhnya agama pada esiensi diwahyukan untuk memberikan petunjuk (alhuda) dan sebagai way of life bagi setiap orang. Petunjuk tersebut tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks keshalehan personal semata, akan tetapi sebaliknya berlaku secara makro pada tataran keshalehan sosial dan personal. Andaikan setiap orang menilik secara bijak antara keshalehan personal dengan keshalehan sosial, keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal ibarat dua sisi mata uang atau ibarat “au jo tabiang” dalam pepatah urang Minang yang tidak dapat dipisahkan.
Sebuah ilustrasi dalam fakta sosial yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ummat Islam yang telah menunaikan rukun Islam kelima yakni ibadah haji ke Makkatulmakarramah lebih dari satu kali bahkan berulang kali bolak balik karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih dari cukup, namun sayang fakta ironisnya masih belum memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sementara syariat ibadah haji dan ibadah mahdhah lainnya pada dasarnya menjunjung tinggi kesadaran dan empati sosial, semisal muamalat (hubungan sosial), munakahat (hukum keluarga), jinayat (pidana), Qadha (peradilan), dan imamah al siyasah (politik kepemimpinan). Prinsip-prinsip beragama pada dasarnya mengarahkan pandangan (opinion) pada keshalehan sosial dalam arti yang komprehensif.
Sebagai ilustrasi yang lain fiqih telah menganjurkan untuk melaksanakan shalat berjamaah dalam bentuk perintah sunnah muakadah dibandingkan dengan shalat munfarid (sendirian), dengan skla 1 berbanding 27, filosofi dalam shalat berjamaah akan terbangun interaksi sosial yang rukun dan harmonis, terciptanya solidoritas antar sesama, empati satu sama lain dan aspek-aspek sosial lainnya. Demikian juga nilai filsafat ibadah puasa, mengajarkan untuk memiliki sikap tenggang rasa (tepo salareo), peduli, dan solidaritas tinggi yang merupakan tatanan dari kehidupan sosial bukan keshalihan pribadi semata. Sebaliknya agama obyektif  lebih bermakna akhlakul karimah, yakni kontekstualisasi sikap dan perilaku kita pada tataran sosial dengan menyandarkan perilaku tersebut pada ajaran agama salah satu contohnya adalah kejujuran (integritas). Sejarah mengatakan tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan pemeluknya untuk memiliki sikap tidak jujur dan korupsi, sebagai bukti kontekstualisasi ajaran agama pada aspek perilaku manusia. Agama selalu dilihat pada sisi subjektif dan obyektif sama halnya dengan konsep iman dan amal. Iman bersifat personal tetapi amal merupakan aplikasi iman dalam kehidupan sosial, iman menjadi landasan perilaku baik dalam konteks hubungan vertikal (hablum minallah) maupun hubungan horizontal (hablum minannas wa hablum minal ’alam). Sementara itu agama simbolik adalah agama nisbi yang hadir karena tuntutan dari agama subjektif dan obyektif. Diibaratkan jika agama subjektif dan obyektif adalah ruh dan jiwa, maka agama simbolik adalah raganya.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin yang Rahmati Allah SWT.
Jika dibahas lebih konkrit kelihatannya terlalu idealis untuk menyeimbangkan antara keshalehan personal dan sosial, tidak bijak rasanya jika tidak mencoba dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Agama akan menjadi kering dengan hanya menitikberatkan pada pemahaman yang bersifat personal tanpa menghadirkan nilai-nilai sosial di dalamnya. Karena esiensinya agama memiliki peranan yang sangat vital dalam membina prilaku dan mentalitas umat manusia. Agama tidak sekedar memiliki fungsi sebagai aturan kehidupan bagi manusia, sebaliknya agama memegang peranan yang bersifat universal. Ibadah puasa identik dengan pelatihan diri untuk bersikap jujur dan kepekaan sosial, karena puasa bukanlah ibadah raga namun ia merupakan ibadah hati, hanya orang yang  puasa dan Allah SWT sajalah yang tahu bahwa dirinya sedang puasa sehingga Allah SWT langsung menyandarkan kepada-Nya dan Dia sendiri yang akan membalasnya. Sebagaimana dalam hadis Qudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِه.
"Setiap amalan anak cucu Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah 'Azza wa Jalla  berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik Muslim).
Sifat jujur adalah tanda bukti keimanan seseorang, karena orang mukmin pasti jujur, andaikan tidak kejujuran, keimanannya harus dipertanyakan dan bahkan sedang terserang penyakit alias virus kemunafikan. Dalam suatu riwayat pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir?” Rasululullah SAW  menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?” Rasulullah SAW menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak.” (Imam Malik dalam kitab al Muwaththo’).
Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda:
“Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.” (HR Imam Ahmad, Muslim, at-Turmuzi, Ibnu Hibban).

Nilai kejujuranlah sahabat Ka’b bin Malik mendapat ampunan langsung dari langit sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surah at-Taubah dan akhirnya kita pun diperintah oleh Allah SWT untuk mengikuti jejak mereka sebagimana firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah:119).

Hanya ada satu kata bahwa sifat jujurlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga, masyarakat dan bahkan kelangsungkan hidup bernegara dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang muslim dari azab api neraka di kemudian hari. Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlaq, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidaklah lengkap, akhlaq tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia. Di sinilah urgensinya kejujuran bagi kehidupan Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan.” (Abu Dunya).
Ada tiga tingkatan kejujuran yaitu:
1. Jujur dalam perktaaan yaitu kesesuaian ucapan dengan realitas, sebagaimana dalam surat ash-Shaff : 2 dan al-Ahzab: 70.
2.  Jujur dalam perbuatan, yaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan sehingga terhindar dari perbuatan munafiq.
3.   Jujur dalam niat, yaitu kejujuran tingkat tinggi di mana ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk mencapai ridha Allah SWT.
Tidak cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan bagi seorang mukmin, tapi harus jujur dalam niat sehingga semua ucapan, perbuatan, kebijakan, dan keputusannya harus didasarkan atas tujuan mencari keredhaan Allah SWT. Kejujuran yang mesugesti Khalifah Umar bin Khattab ra memiliki tanggung jawab luar biasa dalam memerintah daulah Islamiyah sehingga ia pernah berkata:
“Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad (padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan ditanya kelak: “Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?”
Saat ini bangsa kita rasanya tak henti-henti diterpa berbagai macam musibah, krisis dan kasus amoral oknum pejabat, sehingga membutuhkan sosok orang-orang jujur baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, apaakh itu dalam ucapan, perbuatan, maupun niatnya. Terpuruknya kondisi bangsa akhir-akhir ini karena banyaknya orang-orang yang tidak jujur sehingga prilakunya tidak sejalan dengan amanat reformasi dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.
Bangsa ini umat Islam khususnya sangat mendambakan sosok pribadi-pribadi yang jujur, baik sebagai rakyat maupun pemimpin, seorang pegawai maupun direktur, eksekutif, legislatif dan yudikatif, para pedagang maupun pembeli, suami dan istri, ayah dan anak, keluarga, lingkungan dan dalam berbagai lini kehidupan lainnya. Bahwa dengan kejujuranlah, hidup suatu bangsa akan menjadi tenteram, nyaman dan sejahtera, bahkan akan kokoh dan tegak berdiri di kaki sendiri sehingga jauh dari tipu daya dan kecurangan, karena itulah Rasulullah SAW mengingatkan kita:
“Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.”
Seorang pemimpin dalam lini apapun sangat dibutuhkan sikap kejujuran dirinya, sehingga dengan demikian dapat memberikan keadilan, kenyamanan dan ketenteraman hidup bawahannya, kejujuran bukanlah sekedar ucapan pemanis lidah, atau hanya keluhan belaka, dengan mengatakan di hadapan orang banyak “sejujurnya saya katakan” namun ia merupakan praktek nyata yang kelihatan kebohongannya sehingga membuat bangsa ini semakin terpuruk. Sesungguhnya pejabat yang jujur, adalah dambaan rakyatnya, sehingga dengannya dapat memberikan kemaslahatan besar untuk rakyatnya, sekalipun kondisi dirundung masalah, saatnya kita harus berikan keterangan apa adanya, jangan disembunyikan atau jangan hanya tebar pesona. Demikian juga hakim yang jujur, adalah harapan semua pihak, sehingga dapat mengeluarkan putusan hukum yang adil, tidak memihak kepada  yang kuat atau punya uang dan ada mamfaatnya. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim ada tiga golongan, dua di antaranya penghuni neraka sebagai hakim menyembunyikan kebenaran dan satu di surga yaitu hakim jujur. Demikian juga sebagai rakyat tentu harus jujur, terutama dalam memilih seorang pemimpin masih banyak yang mudah dibuai oleh rayuan kata-kata dan harta yang sedikit (money politic), memilih pemimpin yang tidak mempunyai kepribadiannya adalah salah besar. Rusaknya tatanan sistem kenegaraan sebuah bangsa adalah tidak ada kejujuran dalam pengelolaannya, bahkan sampai hari ini banyak oknum pejabat yang masuk bui karena ketidak jujurannya, sangat ironis rasanya dulu pendiri republik ini keluar masuk penjara baru menjadi pemimpin, namun kini menjadi pemimpin dulu baru masuk penjara karena prilaku korupsinya na’zubillah minzalik.

Akhirnya marilah kita instropeksi dan mengaca diri, bahwa kita semua memerlukan pembenahan secara personal dan sosial, dan kita jadikan bulan Ramadhan  yang telah kita lalui sebagai titik awal perbaikan diri menuju keshalihan diri dan social masyarakat, membangun kehidupan yang baik menuju keshalihan sosial sehingga berbuah hasil “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur” (suatu negeri  yang makmur, dan dibawah ampunan Allah SWT). Ramadhan merupakan refleksi mengasah ketajaman kepekaan jiwa sosial tinggi hingga menjadi seperti pisau yang tajam, sebilah pisau yang tajam akan mudah memotong dan menyanyit-nyanyit sesuatu. Andaikan kesholehan sosial telah tertanam akan mudah pula membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan jika sudah tertanam qaidah perintah pun tidak selalu harus disampaikan dengan kalimat perintah (amr), cukup dengan bahasa isyarat saja sudah dapat dipahami kalau hal itu merupakan perintah yang harus dilaksanakan tanpa harus bertanya dan mengulang pertanyaan. Menjadi orang yang memiliki kepekaan sosial, momentum puasa merupakan salah satu caranya, karenanya pada waktu puasa, teguran orang lain kepada kita meskipun dengan bahasa isyarat sudah menyadarkan akan kesalahan yang kita perbuat, ini membuat kita dengan mudah bisa menangkap dan membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, sesuatu yang selama ini semakin hilang dari pribadi masyarakat kita sehingga yang haq ditinggalkan dan yang bathil malah dikerjakan, sehingga Allah SWT mengingatkan persoalan ini dalam sebuah firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah:188).

Menjadi amat penting bagi kita untuk memperlakukan hati dengan sebaik-baiknya sehingga perbaikan (reformasi) diri, keluarga, masyarakat dan bangsa pasca Ramadhan berakhir dapat kita realisasikan. Pada akhirnya, marilah kita akhiri pelaksanaan ibadah shalat Id pagi ini dengan sama-sama berdoa kehadirat Allah SWT dengan menadahkan kedua tangan dan hati yang khusuk semoga doa kita diijabah-Nya:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. اَلْحَمْد ُلِلَّهِ رَبِّ اْلعَالمِيْنَ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ حَمْدًا يُوَافِىْ نِعَامَهُ وَيُكَافِىْ مَزِيْدَه يَارَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِىْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. سُبْحَانَكَ لاَ نُحْصىْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ وَلَكَ اْلحَمْدُ حَتَّى تَرْضَى. اَللَّهُمَّ صَلِّ وسلم عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْن.
 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.
Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan doa.

اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.
Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ.
Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbaikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا.
Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.

اَللَّهُمَّ اِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمِ لاَ يَنْفَعُ  وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَسْبَعُ وَمِنْ دُعَاءِ لاَيُسْمَعُ.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat, dari hati yang tak khusyu dan jiwa yang tak pernah merasa puas serta dari doa yang tak didengar (Ahmad, Muslim, Nasa’I).

 رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka. 

Ketika Pintu Syurga Sangat Rindu Untuk Dilewati

Ketika Pintu Syurga Sangat Rindu Untuk Dilewati

Syurga (aljannah) adalah suatu tempat di alam akhirat yang penuh dengan kesenanagan, keselamatan, kesejahteraan, dan kemuliaan yang abadi, sebagai imbalan amal kebaikan seseorang yang diberi Allah SWT, wajah para penghuninya akan rupawan, tidak ada perselisihan, karena hatinya menyatu, senantiasa bertasbih pada pagi dan sore. Nah persoalannnya siapa saja calon penghuninya, berikut saya akan terangkan nama surga sekaligus calon penghuninya, sebagaimana yang telah diterangkan dalam al Quran, yang jarak tingkatan syurga yang satu dengan lainnya terdiri dari seratus tingkat, dan jarak antara satu dengan yang lainnya, seperti antara langit dan bumi.
Selanjutnya kita tidak lupa mengutip hadits riwayat Ibn Abbas r.a. berkata: Raulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:  “Sesungguhnya ahli syurga itu muda semua, lurus, tidak ada rambut di kepala, alis dan kelopak mata, sedang janggut, kumis, ketiak dan kemaluan tidak ada rambut, tinggi mereka setinggi Nabi Adam a.s., enam puluh hasta, usianya bagaikan Nabi Isa 33 tahun, putih rupanya, hijau pakaiannya, dihidangkan kepada mereka hidangan, maka datang burung dan berkata: Hai waliyullah, saya telah minum dari sumber salsabil dan makan dari kebun syurga dan buah-buahan, rasanya sebelah badanku masakan dan yang sebelahnya gorengan, maka dimakan oleh orang itu sekuatnya.”
Sementara itu pintu syurga berdasarkan hadis riwayat Ibnu Abbas ra. berkata: “Surga mempunyai 8 pintu yang terbuat dari emas, yang dihiasi dengan jauhar (sejenis mutiara) dan pada pintu yang pertama tertulis kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH MUHAMMADUR RASUULULLAH, yaitu pintu bagi para Nabi dan Rasul, syuhada’ dan juga pintunya orang-orang yang dermawan. Pintu yang kedua yaitu pintu bagi orang-orang yang mendirikan shalat, orang yang menyempurnakan wudhunya dan orang yang menyempurnakan rukun-rukun shalatnya. Pintu yang ketiga yaitu pintu bagi orang-orang yang memberikan zakatnya dengan senang hati dan ikhlas. Pintu yang keempat yaitu pintu bagi orang-orang yang memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah terhadap perbuatan munkar. Pintu yang kelima yaitu pintu bagi orang-orang yang dapat memelihara syahwatnya dan mencegah dari nafsu yang buruk. Pintu yang keenam yaitu pintu bagi orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah. Pintu yang ketujuh yaitu pintu bagi orang-orang yang berjihad (dijalan Allah). Dan pintu yang kedelapan yaitu pintu bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang memejamkan matanya dari perbuatan dan sesuatu yang haram, orang-orang yang melakukan kebaikan, diantaranya: berbuat baik kepada orang tua, mempererat tali persaudaraan (silaturrahim) dan lain sebagainya.”
Sementara syurga ada 8 macam lanjutnya  yakni Darul Jalal yaitu surga yang terbuat dari mutiara putih, Darus Salam yaitu surga yang terbuat dari yaqut merah, Jannatul Ma’wa yaitu surga yang terbuat dari zabarjud hijau, Jannatul Khuldi yaitu surga yang terbuat dari marjan yang berwarna merah dan kuning, Jannatun Na’im yaitu surga yang terbuat dari perak putih, Jannatul Firdaus yaitu surga yang terbuat dari emas merah, Jannatul ‘Adn yaitu surga yang terbuat dari intan putih, Darul Qarar yaitu surga yang terbuat dari emas merah.
Tidak lupa bahwa seseorang akan dipanggil masuk syurga berdasarkan amal ibadahnya seperti pintu arroyan untuk yang berpuasa bulan Ramadhan, sementara itu juga ada pintu syurga, dimana pintu itu sangat rindu bahkan memanggil seorang hamba agar masuk melalui pintunya, menurutnya itulah orang-orang yang mempunyai amal yang kompleksitas, seperti; Beriman dan beramal saleh, Bertakwa, Taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Berinfak di kala senang maupun susah, dan Memiliki hati yang selamat.