A. Pendahuluan.
Waktu terus berjalan dan berubah, dan tidak ada sesuatu yang
tidak berubah di jagad raya ini kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan
itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur suatu benda yang
lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan manusia dan orang
sering mengatakannya telah dimakan usia. Namun perubahan perilaku manusia
memerlukan ikhtiar yang diawali niat, termasuk memaknai pergantian tahun
baru Islam
(Hijriyah). Tak terasa kita telah telah
berada di ambang pintu untuk memasuki tahun baru 1433 Hijriyah, dan kita segera
menginjak bulan Muharram dan
meninggalkan bulan Zulhijah. Adapun
kata “muharram” berasal dari kata “harrama” yang mengalami
perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun“.
Bentukan “muharraman” berarti yang diharamkan.
Ketika kita mengupas bulan Muharram pasti tidak akan lepas dari peristiwa Hijrahnya Nabi
Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah yakni pada tahun 622M. Hijrah itu sekaligus
menjadi tonggak awal dimulainya Kalender Islam (almanak). Ini artinya hijrahnya Rasulullah Saw beserta para
sahabatnya ke Madinah telah berumur 1433 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah
yang patut dikenang dan bisa menjadi proses transformasi hukum sekaligus
sebagai transformasi spiritual. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah
pengorbanan sejati yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus
sikap konsistensi mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun, agar
ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus
berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri, harta, anak, isteri, sanak dan
handai taulan tercinta.
Memang di negeri ini yang nota benenya mayoritas muslim, kita
bisa masih merasakan bedanya peristiwa penyambutan tahun baru Masehi (Miladiyah) dan tahun baru Hijriyah.
Tahun baru Hijriyah disambut biasa-biasa saja, jauh dari suasana meriah, tidak
seperti tahun baru Masehi yang disambut meriah dan spetakuler termasuk oleh
masyarakat muslim sendiri. Sebagai titik awal perkembangan Islam, seharusnya
umat Islam menyambut tahun baru Hijriyah ini dengan semarak (imarah), penuh kesadaran sambil
introspeksi (muhasabah), merenungkan
apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun yang telah berlalu. Tapi ada
satu kelebihan yang masih banyak dilakukan masyarakat dalam memperingati tahun
baru Hijriyah, yaitu pada penghayatan makna peringatan itu sendiri untuk bisa
dijadikan sebagai sarana instrospeksi diri. Sebaliknya, di awal tahun baru
Masehi, pada umumnya yang ditonjolkan hanya aspek yang berkaitan dengan duniawi
(hidonis) dan perlente serta
cenderung memperlihatkan kulit luarnya saja. Banyak manusia yang terlena oleh
momen pergantian tahun. Waktu penting yang seharusnya dijadikan sarana
instrospeksi diri, malah telah disalahgunakan sebagai sikap melampaui batas,
berhura-hura semalam suntuk hingga terbit matahari bukannya untuk mendekatkan
diri untuk memohon ampun kepada Allah Swt (taqarub),
tapi malah sebaliknya, mengatasnamakan kegembiraan, mereka melupakan nikmat
Allah Swt, dengan menggelar kemungkaran dan sikap-sikap yang membawa kehancuran
dan amarah Allah Swt.
Oleh karena itu sebagai warga negara yang menghuni NKRI ini yang
mayoritas sangatlah wajar dan tidak berlebihan kiranya pada momentum tahun baru
Hijriyah ini mencoba merungkan sampai sejauh mana kita bisa mengali spirit yang
terkandung dalam peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. Sebagai imamul ummah di Madinah inilah Rasul
mencoba menata pemerintahan yang modern di bawah kendali beliau sebagai
panglima tertinggi bagi umat Islam (amirul
mukminin) sehingga beliau sebagai Nabi dan Rasul juga bertindak sebagai
Kepala Negara di Kota Madinah. Dari Kota ini beliau bersama para sahabatnya
menata tatanan Negara modern, sehingga sangatlah tidak berlebihan pada
kesempatan ini kita akan membuat sebuah gerakan pelaksanaan Hukum Islam di
Indonesia sebagai Negara yang moyoritas penduduknya muslim tanpa harus memecah
belah persatuan dan kesatuan NKRI ini.
B. Makna
Tahun Baru Hijriyah dan Hijriyah.
1. Makna
Tahun Baru Hijriyah.
Tahun baru
Hijriyah sering disebut dengan Kalender Hijriyah atau Kalender Islam, dalam bahasa Arabnya: التقويم الهجري; at-taqwim
al-hijriy. Yaitu kalender yang digunakan oleh
umat Islam, termasuk dalam
menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan masalah ibadah, atau
hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, karena
pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad Saw bersama Sahabatnya
dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622M. Di beberapa negara
yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai
sistem penanggalan sehari-hari, seperti sistem penanggalan Peradilan Agama di
Indonesia selalu memakai penanggalan Hijriyah dalam vonis disamping Masehi.
Kalender Islam menggunakan peredaran bulan
sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (Kalender Masehi) yang
menggunakan peredaran matahari. Sehingga kadangkala Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami
sebagai bulan Hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, yang
sebelumnya bernama Yastrib. Peristiwa hijrah tersebut terjadi tepatnya pada
malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabiul Awal. Adapun
pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah
bulan yang pertama dalam Kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab
ra, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar Ash Shidiq
ra, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun
Hijriah.
Selanjutnya bahwa penentuan dimulainya hari atau
tanggal dalam sistem Kalender Hijriyah berbeda dengan pada sistem Kalender
Masehi. Pada sistem Kalender Masehi hari
atau tanggal selalu dimulai tepat pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun
berbeda dalam sistem Kalender Hijriyah hari dan tanggal dimulai ketika
terbenamnya matahari di tempat tersebut (waktu maghrib). Kalender Hijriyah
dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan
menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya
adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan 1
tahun Kalender Hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun
Kalender Masehi. Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi, jumlah hari
dalam satu bulan dalam Kalender Hijriyah bergantung pada posisi bulan (hilal), bumi dan matahari. Usia bulan
yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon)
di titik apooge, yaitu jarak terjauh
antara bulan dan bumi, dan pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak
terdekatnya dengan matahari (perihelion). Sementara itu, satu
bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dengan bumi
berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion), dari sini terlihat
bahwa usia bulan tidak tetap melainkan berubah-ubah yaitu antara berjumlah 29-30
hari sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (Bulan, Bumi dan Matahari).
Penentuan awal bulan (new moon) ditandai
dengan munculnya penampakan (visibilitas) Bulan Sabit pertama kali (hilal)
setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, bulan
terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal
berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari
ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari (istikmal).
Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan bulan mana
yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal tadi. Penentuan hari diawali
dengan terbenamnya matahari, berbeda dengan Kalender Masehi yang mengawali hari
pada saat tengah malam sehingga jumlah harinya tetap yaitu 30 sampai 31 hari.
2. Makna
Hijriyah.
Secara harfiah hijriyah artinya berpindah. Secara
istilah mengandung dua makna yaitu, hijrah makani dan hijrah maknawi.
Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang
kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam.
Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju
nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju
ke-Islaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah
al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi
itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah
Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Secara makani jelas mereka berjalan dari Makkah
ke Madinah menempuh padang pasir yang jaraknya sejauh kurang lebih 450 km.
Secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah
berhubungan erat dengan al-wala’ wal-bara’, bal hiya min ahammi
takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi yang paling urgen. Urgen
karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian
kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam
menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi. Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan
tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas
kesetiaan keimanan yang berujung menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah
Swt.
Dalam bahasa Arab, hijrah bisa diartikan sebagai
pindah atau migrasi. Tafsiran hijrah
disini diartikan sebagai awal perhitungan kalender Hijriyah, sehingga setiap
tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagi hari besar Islam. Memang, sejak hijrahnya
Rasulullah ke Yatsrib, sebuah kota subur, terletak 450 km dari Makkah, keberadaan
hijriyah lebih memfokuskan pada pembentukan masyarakat muslim yang tidak
kampungan dibawah pimpinan Rasulullah. Itulah sebabnya kota Yastrib dirubah
namanya menjadi Al-Madinah yang artinya kota atau lebih tenar lagi
disebut Kota Rasulullah (al Madinah al
Munawwarah). Inilah satu nilai yang sangat penting kenapa hijrah dijadikan
sebagai titik awal terbitnya fajar baru peradaban umat Islam, terbitnya fajar
baru ini berkat hijrah. Maka hijrah dengan demikian selalu membuat perubahan.
Hijrah merupakan usaha dan semangat besar manusia yang ingin merubah masyarakat
yang beku (statis) menjadi manusia
yang maju, sempurna dan bersemangat (social
sofety) bahkan orang menyebut dengan istilah masyarakat madani.
C. Sejarah
Penetapan Tahun Baru Hijriyah.
Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriyah
dilakukan 6 tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Namun demikian, sistem
yang mendasari Kalender Hijriyah telah ada sejak zaman pra-Islam, dan sistem
ini mengalami revisi pada tahun ke 9 periode Madinah. Sebelum datangnya Islam di tanah Arab dikenal
sistem kalender berbasis campuran antara Bulan (qomariyah)
maupun Matahari (syamsiyah).
Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronisasikan dengan musim dilakukan
penambahan jumlah hari (interkalasi). Pada waktu itu, belum
dikenal penomoran tahun, penamaan tahun dikenal dengan keadaan peristiwa yang
cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Nabi Muhammad Saw lahir dikenal
dengan sebutan Tahun Gajah atau Al Fiil, karena pada waktu itu, terjadi
penyerbuan Ka'bah di Makkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah,
Gubernur Yaman (salah satu provinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).
Pada era kenabian Muhammad Saw, sistem penanggalan
pra-Islam digunakan pada tahun ke-9 pasca Hijriyah, tepat sewaktu turunnya
ayat 36-37 Surat At-Taubah, yang melarang
menambahkan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, diusulkan kapan dimulainya Tahun 1 Kalender
Islam. Ada yang mengusulkan adalah tahun kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagai
awal untuk penanggalan Tahun Hijriyah. Ada yang mengusulkan pula awal
penanggalannya adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad Saw. Namun untuk membedakan sistem
penanggalan Masehi (penanggalan Masehi diawali dengan kelahiran Nabi Isa as), akhirnya
pada tahun 638.M tepatnya pada tahun ke 17.H, Umar bin Khattab ra menetapkan awal
penanggalan adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad Saw, dari Makkah ke
Madinah. Penentuan awal penanggalan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh
bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1
Muharam Tahun 1 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622.M, dan tanggal ini bukan
berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw terjadi bulan September 622.M.
D. Haikikat
Hijriyah.
Bahwa inti dari sebuah peringatan tahun baru Hijriyah adalah
pada soal perubahan (tajdid), maka
ada baiknya momen pergantian tahun ini kita jadikan sebagai saat-saat untuk
merubah menjadi lebih baik (restorasi). Itulah fungsi peringatan tahun baru Hijriyah.
Relevan dengan refleksi tahun baru kali ini jika dicermati
dalam suasana kehidupan umat Islam dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang
harus ditranspormasi dalam makna memperingati tahun baru hijriyah sebagai
berikut:
1. Hijrah dalam
kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan) yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang
muslim, dimana dalam pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas
karena Allah Swt, tanpa dicampuri dengan anasir-anasir mengandung kemusyrikan, tahayul,
khurafat bid’ah dan keyakinan nenek moyang yang tidak ada dasar hukumnya.
Akhir-akihir ini keyakinan sebagian umat Islam telah mulai melenceng dari ruh
tauhid, orang lebih percaya kepada paranormal ketimbang ulama, percaya kepada mistisme
ketimbang qudrat dan iradat Allah Swt, percaya dengan nabi aspal
(nabi asli tapi palsu) ketimbang nabi akhiruzzaman Nabi Muhammad Saw.
Dalam hal ini umat Islam harus kembali kepada tauhid yang benar yaitu Aqidah
Islamiyah. Konsep hijrah dalam kategori ini wajib didakwakan oleh segenap
umat Islam untuk meluruskan keyakinan dan aqidah mereka agar jangan tersesat. Bahkan
pada konsep ini hanya ada satu ketentuan hukum yang akan menjawab persoalan
kebangsaan yakni hukum ilahiyah.
2. Hijrah dalam
kategori Fikriyah (pemikiran), yakni pemikiran yang dilandasi dengan
control wahyu ilahiyah, bukan cara berfikir liberalisme yang
menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya memakai kekuatan akal fikiran semata,
padahal tanpa disadari ternyata akal fikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak
normal, namun jika dilandasai wahyu akal manusia akan tetap stabil, oleh
karenanya tujuan hukum Islam salah satunya dalam rangka menjamin terpeliharanya
akal fikiran. Fenomena yang terjadi sekarang
orang sering hilang akal sehatnya, sehingga menghalalkan segala cara
untuk memenuhi ambisinya, sesungguhnya
dengan hijrah fikiriyah ini akan
mengembalikan manusia sebagai makhluk yang berakal yang terdapat dalam diri
manusia yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Tuhan yang tidak
diberikan-Nya kepada makhluk lainnya, sekiranya manusia tidak berakal niscaya
keadaan dan perbuatannya akan sama dengan hewan.
3.
Hijrah dalam
kategori Syuriyah (perasaan) yang muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis),
yang erat keterkaitanya dengan perasaan dan kesadaran, sebagai aspek
psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis,
hanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt, lewat zikir (dalam arti
luas beribadah) untuk menuju ketenangan jiwa, lupakan konsep-konsep meditasi
melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang dianggap membawa wangsit.
Dengan perasaan dan jiwa yang tenang hidup akan terasa nikmat.
4.
Hijrah dalam
kategori Sulukiyah (prilaku), dalam konteks ini dimensi pengalaman
sehari-hari tentunya harus diperhatikan, betapa banyak manusia hidupnya
bermasalah karena ulah tingkah lakunya yang tidak memperhatikan moral atau
akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang dengan maksiat dan dosa, momen
tahun baru ini mari kembali kepada prilaku Islami, sementara yang telah
berprilaku Islami konsisten dalam mempraktekannya. Dari
sinilah terasa akan sebuah pengalaman (emperik) yang bersentuhan dengan
waktu kuantitatif yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu
pengalaman yang dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris
dilakoni oleh mayoritas manusia, prilaku yang Islami-lah yang akan
menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia di dunia ini.
E. Tahun
Baru Hijriyah Sebuah Gerakan Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia.
Umat Islam perlu memahami makna hijriyah yang pernah
dilakukan Rasulullah bersama para sahabat dan pengikutnya. Bahwa sebelum
melakukan hijrah, Rasulullah Saw sebelumnya telah mengkaji kemungkinan dan
mempelajari langkah diplomatik. Sejarah mencatat bahwa hijrah Rasulullah terjadi
tiga kali pada masa itu. Pertama
hijrah Rasulullah Saw sendiri, kedua
para sahabat, dan ketiga Rasulullah
Saw dan sahabat. Dilihat dari sudut pandang hijrah itu sendiri tidak semuanya
berjalan mulus atau sukses. Hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw, sendiri
kurang mendapat perhatian dan sambutan, demikian juga perjalanan hijrah yang
dilakukan para sahabat ke wilayah Spayol tidak bertahan lama sebagaimana yang diharapkan.
Hijrah ketiga yang dilakukan Rasulullah Saw, bersama sahabat yang berjalan
sukses karena terprogram baik. Hijrah inilah menjadi cacatan sejarah karena Rasulullah,
dapat melakukan perubahan signifikan dalam tatanan kehidupan masyarakat Madinah
dan sekitarnya dari yang tidak baik menjadi lebih baik.
Tahun Baru Hijriyah ini, khususnya bagi umat Islam Indonesia
harus memahaminya secara makro. Hijrah bukan hanya dilihat dari statemen pindah
dari suatu tempat ke tempat lainnya (alkhariju
min baladin ila baladin ukhra). Tapi secara luas adalah gerakkan perubahan (tajdid), termasuk perubahan pola pikir
dalam menempuh perjalanan hidup bangsa yang besar ini. Suatu perubahan akan
bermakna manakala pelakunya berniat ikhlas apa yang dikerjakan bernilai ibadah
dan bermental reformis. Sebagai contoh kecil berzikir sambil bekerja mengandung
makna hijrah apabila sebelumnya kita biasa mengerjakan sesuatu tanpa nilai
ganda atau suka bernyanyi sambil bekerja.
Perlu dipahami bahwa
mmat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas dan sebagai kawal depan
berdirinya Republik ini. Dalam tataran internasional umat Islam Indonesia dapat
disebut sebagai komunitas muslim terbesar yang berkumpul dalam satu batas
teritorial kenegaraan yang berdaulat. Karenanya menjadi sangat menarik untuk
memahami alur perjalanan sejarah pemberlakuan Hukum Islam di tengah-tengah
komunitas Islam terbesar di dunia itu sebab sejarah mencatat ketika Rasulullah
hijrah ke Madinah dikenal dengan “Piagam
Madinah”
dan ketika Republik ini akan diproklamirkan pokok masalah yang dibicarakan adalah konstitusi
Negara dikenal dengan “Piagam Jakarta”,
yang jika dikorelasikan sama-sama pembentukan Negara modern yang regilius. Namun persoalanya adalah seberapa
jauh pengaruh kemayoritasan umat muslim Indonesia itu terhadap penerapan Hukum
Islam di Indonesia. Di samping itu, pelaksanaan
Hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi
umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan
dalam mendekatkan dan mengakrabkan bangsa ini dengan hukum-hukum yang
bernuansakan Islami meskipun tanpa harus mendirikan Negara Islam.
Meskipun
sesungguhnya proses sejarah penegakkan Hukum Islam di Indonesia yang diwarnai benturan dengan tradisi yang
sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan
termasuk di dalamnya politik penguasa, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu paling setidak dapat menjadi bahan
telaahan penting dalam momentum tahun baru Hijriyah ini. Setidak-tidaknya
sejarah itu telah menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat jika
dilihat dalam konsep antropologi bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Gemuruh demokrasi dan reformasi di Indonesia tidak henti-hentinya disuarakan
secara lantang oleh komponen bangsa ini. Setelah melalui perjalanan dan
perjuangan yang panjang, di era reformasi ini setidaknya Hukum Islam telah mulai
menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan Hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya
peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di
Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu
peraturan yang bersifat umum.
Bahkan lebih
dari itu tidaklah berlebihan rasanya, disamping peluang yang semakin jelas
upaya kongkrit merealisasikan Hukum Islam dalam wujud peraturan perundang-undangan
telah membuahkan hasil yang signifikan di era ini. Salah satu buktinya adalah lahirnya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era
reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem Hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita bisa saja melakukan
langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan
berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum
positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita (positifisasi hukum Islam ke
hukum nasional) atau dengan kata lain saat ini merupakan era qonunisasi fiqh
dalam kerangka sistem hukum nasional. Era reformasi yang penuh transparansi
tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin
menegakkan dan mendirikan Negara Islam. Disamping itu, kesadaran bahwa
perjuangan penegakan Hukum Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku.
Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya, sebab tanpa kesabaran
yang cukup upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan
anarkis yang justru tidak sejalan dengan
Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Proses pengakraban bangsa ini dengan Hukum Islam yang selama ini telah
dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping
tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat
ini. Sebab tidak dapat dipungkiri dalam sistem demokrasi, daya tawar politis
menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita. Daya
tawar tersebut bias dilakukan melalui perjuangan Partai Islam, Organisasi Islam
dan tokoh-tokoh Islam.
Transformasi Hukum
Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkam fî al-Nash al-Qanun)
merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas,
pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling
elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh,
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, peranan elit Islam cukup dominan dalam melakukan
pendekatan dengan kalangan elit di
tingkat legislatif, sehingga Rancangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat
dikodifikasikan. Adapun prosedur
pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal
legislasi Hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada
politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai
peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik
pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi
persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.
Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai
dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan
akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk
menjadikan Islam sebagai kekuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara
yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional).
Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan
antara Islam dan negara di Indonesia. Gagasan Transformasi Hukum Islam di
Indonesia dapat dilihat dari sudut ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara
yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan
politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan,
maka kedaulatan Negara / kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang
berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya
politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.
Dalam konteks ketatanegaraan
Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga
tinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi, munculnya pemahaman
tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan
bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR.
Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut
oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara
integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana
pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham
yang diajukannya, yaitu: 1). Faham
Individualisme; 2). Faham Kolektifisme; dan 3). Faham Integralistik. Dalam
sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai
ideologi Negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan
idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya
secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan
harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada
gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan Negara.
Semenjak tahun 1970-an sampai
sekarang arah dinamika Hukum Islam dan proses transformasi Hukum Islam telah
berjalan sinergik searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase
hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik
yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi
Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah
membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang bernuansa Hukum
Islam.
Sesungguhnya konsepsi negara berdasarkan hukum (rechtstaat)
memiliki muatan ciri-ciri prinsip; perlindungan Hak Asasi Manusia, pemisahan / pembagian
kekuasaan (trias political), pemerintahan
berdasar undang-undang, keadilandan dan kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan
ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 terdapat pintu
lebar bagi Islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum bernuansa Islami
di Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan Hukum Islam yang
secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan social-budaya, politik dan hukum
dalam masyarakat. Kemudian diubah muaranya secara kualifatif diakomodasikan
dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh
lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya
disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) Hukum Islam ke dalam bentuk
perundang-undangan (hukum nasional). Di antara produk undang-undang dan
peraturan yang bernuansa Hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, Hukum Islam yang secara formil
maupun material menggunakan corak dan pendekatan ke-Islaman; Kedua, Hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber
materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk
peraturan dan perundang-undangan; Ketiga,
Hukum Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive
source dan authority source.
Sampai detik ini eksitensi
Hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan
yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan
perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial,
budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Prof. DR. H.
Abdul Ghani Abdullah, S.H.,M.H., (Hakim Agung MARI) pernah mengemukakan bahwa
berlakunya Hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang
berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama,
alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita
hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi
terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran
Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang
dalam Pasal 24, 25 dan 29 Undang Undang Dasar 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat
materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa
penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama
hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA Nomor 7 Tahun 1989 dapat
disahkan sehagai undang-undang. Padahal sesungguhnya Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970
dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut
eksistensi dan kewenangannya. Eksisten Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah
perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde
lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut
kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UUPA pada tanggal 29 Desember
1989. Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun
1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan perkembangan Hukum
Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan
harmonisasi dalam proses Islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi
dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi Hukum
Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi dan nilai tawar politik
umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan
peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan
sejahtera sejalan dengan prinsip peringatan Tahun Baru Hijriyah sebagai spirit
dari makna hijrah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam membangun
peradaban ummat manusia.
Kehadiran tokoh-tokoh Islam di gelanggang percaturan
perpolitikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya merupakan realitas sosial dan
politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh
elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang
aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat urgen
terutama dalam meresponsif kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata
lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan Hukum
Islam bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan,
tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah
yang cukup lama dan berliku penuh dengan tantangan dan intrik. Sejalan
dengan itu bahwa spirit Piagam Madinah merupakan upaya yang dirancang tidak
lama setelah Nabi Muhammad Saw, hijrah ke Madinah beliau membuat suatu piagam
politik yang merupakan salah satu strategi umat Islam untuk membina kesatuan
hidup di antara berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut
dirumuskan aturan-aturan mengenai kebebasan beragama, hubungan antar kelompok,
kewajiban mempertahankan hidup, dan sebagainya.
Betapa tinggi nilai
substansi Piagam Madinah tersebut Prof. Dr. H. Nurcholis Madjid, pernah mengatakan:
“bahwa bunyi naskah konstitusi (Piagam
Madinah) itu sangat menarik. Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang
dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk
pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di
dunia”. Dalam korelasinya
antara Piagam Madinah dengan kehidupan politik di Indonesia, tepatnya pada
awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, maka umat Islam di Indonesia pada
masa itu juga membentuk kesatuan hidup bersama dengan pemeluk agama lain
berdasarkan UUD 1945. Letjend (Purn). H. Alamsyah Ratu Perwira Negara (Mantan
Menteri Agama RI) berpendapat bahwa “penerimaan
umat Islam terhadap Pancasila menurut rumusannya yang kompromistis sebagai
dasar negara Republik Indonesia, yang terdapat dalam Alinea ke 4 UUD 1945,
merupakan hadiah umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kedua
konstitusi tersebut (Piagam Madinah dan UUD 1945) memiliki banyak kesamaan
dalam hal pokok-pokok pemikiran, antara lain bahwa konstitusi merupakan bagian
yang sangat penting dalam hidup bermasayarakat dan bernegara, dan juga
berdasarkan perbandingan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa yang paling
penting dan harus selalu dipelihara dalam suatu konstitusi suatu masyarakat dan
negara adalah sifat Islami, bukan hanya label Islam. Korelasi Hukum Islam
Dengan Hukum Nasional Tata Hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD
1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan
bidang agama (hukum agama) dengan jelas. Sementara
menurut Prof. DR. Mochtar Kusumatmadja, mengatakan: “sila
KeTuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada
produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau
bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang
sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap
penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya
masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi
eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan
pelaksanaan hukum-hukum tersebut”.
Dengan demikian pola legislasi
berkaitan dengan kontribusi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia maka
terdapat 3 pola legislasi Hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan
nasional yaitu:
- Hukum Islam
berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini
dikenal sebagai pola unifikasi
dengan diferensiasi contohnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan);
- Hukum Islam
diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam contoh Undang-Undang Nomor
44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh;
- Hukum Islam
yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk
setiap warganegara contoh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang
Kesehatan.
Dengan demikian
pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk
tetap mendiskriminasikan Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional dengan alasan
eksklusivitas, sebab secara historis Hukum Islam dengan segenap pola
legislasinya telah teruji, baik eksistensinya maupun efektivitasnya, dalam
turut serta menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum Islam bukanlah sesuatu yang harus
dijadikan momok bagi masyarakat yang adil dan sejahtera karena hal ini telah
terbukti sejak periode Piagam Madinah dimana kaidah-kaidah (hukum) Islam dapat
menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara secara adil dan sejahtera. Untuk
mengimplementasikan semua itu tidak harus misalnya dengan menerapkan
aturan-aturan pidana Islam di Indonesia ataupun bahkan dengan mengubah Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam, namun yang terpenting bahwa Hukum
Islam harus dapat menjiwai dan menjadi pondasi utama bagi struktur Hukum Nasional.
Oleh karena itu, Hukum Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan dengan Hukum
Nasional, namun Hukum Islam juga dapat berperan sebagai pondasi utama dan
melengkapi kekurangan-kekurangan Hukum Nasional.
F. Penutup.
Hukum Islam di
Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik
melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan
realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi Hukum
Islam ke dalam sistem Hukum Nasional. Bukti sejarah produk Hukum Islam sejak
masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang
tidak pernah dapat digugat kebenarannya.
Dalam menghadapi
era globalisasi, Hukum Nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan
fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan
kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah (hukum) Islam, ditambah dengan nilai-nilai
intrinsik dari Hukum Adat dan modernisasi positif dalam Hukum Barat, maka
hendaknya Hukum Nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan
yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan
bernegara di Indonesia secara lebih baik dan berkeadilan.
Semoga Hukum
Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri dan jaminan
konstitusi dasar Negara Indonesia.
Catatan: Tulisan telah diterbitkan di http://www.badilag.net/artikel/8981-urgensi-tahun-baru-hijriyah-sebagai-gerakan-pelaksanaan-hukum-islam-di-indonesia-oleh-.html
Footnote:
Maksudnya bulan Haram yaitu
bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, tanah Haram (Makah) dan
ihram. Maksudnya janganlah kamu
Menganiaya dirimu yaitu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti
melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan. Sedangkan bulan
tersebut yaitu Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah adalah bulan-bulan yang
dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan,
tetapi peraturan ini dilanggar oleh mereka dengan mengadakan peperangan di
bulan Muharram, dan menjadikan bulan Safar sebagai bulan yang dihormati untuk
pengganti bulan Muharram itu. Sekalipun bilangan bulan-bulan yang disucikan
yaitu, empat bulan juga, tetapi dengan perbuatan itu, tata tertib di Jazirah
Arab menjadi kacau dan lalu lintas perdagangan terganggu.
Selain Piagam Madinah,
ia juga dikenali dengan pelbagai nama seperti Perjanjian Madinah, Dustar
al-Madinah dan juga Sahifah al-Madinah. Selain itu Piagam Madinah juga boleh
dikaitkan dengan Perlembagaan Madinah kerana kandungannya membentuk
peraturan-peraturan yang berasaskan Syariat Islam bagi membentuk sebuah negara (Daulah Islamiyah) yang menempatkan penduduk yang berbilang bangsa atau kaum.
Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia
Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan
perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya
sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat masyarakat secara
umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan materil merupakan terjemahan
dan wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal
Belanda. Di Belanda undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin)
merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal
bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah isinya peraturan (regeling)
atau penetapan (beschikking). Ini dilihat dari segi pembentukannya
atau siapa yang membentuknya.