BERSYUKUR DAN
SABAR SEBAGAI KUNCI KENIKMATAN HIDUP
Al Imam Ibnu
Qudamah ra menjelaskan bahwa rasa syukur tidak akan menyampaikan tingkat kesempurnaan
melainkan dengan mengetahui apa yang dicintai oleh Allah SWT, sehingga wajar
jika beliau mengatakan:
“Ketahuilah
bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui
segala apa yang dicintai oleh Allah SWT. Makna syukur adalah mempergunakan
segala karunia Allah Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya dan kufur nikmat adalah
sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau
mempergunakan pada apa yang dimurkai-Nya.”
Pengertian Syukur.
Ditinjau dari
sudut lughawi syukur secara bahasa berarti nampak bekas makan pada badan
binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya apabila nampak pada
kegemukan karena makan melebihi takarannya. Sedangkan syukur dalam tinjauan syara’
diartikan dengan nampaknya pengaruh nikmat Allah SWT., atas seorang hamba
melalui lisan dengan cara memuji dan mengakuinya, melalui hati dengan cara
meyakini dan cinta, serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan serta
ketaatan nya. Sementara itu pendapat yang lain juga mengemukakan defenisi
syukur, di antaranya:
1. Mengakui akan nikmat yang dikaruniakan dengann penuh
ketundukan (hanif).
2. Memuji (hamdalah) yang memberi nikmat atas nikmat
yang diberikannya.
3. Cinta hati (mahabbah al qulb) kepada yg memberi nikmat
dan anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan
menyanjungnya.
4. Menyaksikan (syahadah) kenikmatan dan menjaga
keharaman (wara’).
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberi dengan
ketenangan (qalbun salaim).
7. Melihat diri sendiri orang yang tidak pantas untuk
mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak
ada.
Banyak
definisi para ulama tentang syukur akan tetapi semuanya bisa saja dikembalikan
kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Namun
yang jelas syukur merupakan terminologi sebuah istilah yang digunakan pada
pengakuan dan pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat
merupakan jalan (thariqah) untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat
yaitu Allah SWT, sehingga Beliau menamakan Islam dan Iman dalam Al Qur`an
dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan
rukun dari rukun-rukun syukur itu sendiri. Dengan demikian jika seorang
mengetahui sebuah nikmat maka seyogianya mengetahui siapa yang memberi nikmat
itu sendiri, saat seseorang telah mengetahui siapa yang memberi nikmat itu
sudah tentu akan mencintainya dan akan terdorong untuk bersungguh-sungguh
mensyukuri nikmatnya.
Hakikat Syukur.
Jika dilihat dari defenisi syukur di atas, maka
sesungguhnya hakikat syukur akan memiliki 3 makna, yaitu:
1.Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuh
kepadanya, dan sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan
hak bagi Allah SWT., dan tanpa membeli dengan harga.
2. Mengetahui adalah sebuah nikmat, dengan pengertian lain akan
menghadirkan dalam benak mempersaksikan dan memilahnya. Hal ini akan bisa
terwujud dalam benak sebagaimana terwujud pada kenyataan. Sebab banyak orang
yang jika kita berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui. Gambaran ini
bukan termasuk dari rasa syukur.
3. Memuji yang memberi nikmat. dalam hal ini ada dua bentuk
yaitu umum (‘am) dan khusus (khas). Pujian yang bersifat umum
adalah menyifati pemberi nikmat degan sifat dermawan kebaikan luas pemberian
dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut
dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang
Pemberi tersebut, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Ad Dhuha ayat:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nimat Tuhanmu maka ceritakanlah.”
Sehingga menceritakan
nikmat termasuk syukur, dengan menceritakan nikmat yang didapatkan kepada orang
lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:
مَنْ
صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ
فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ
فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ
زُوْرٍ
“Barangsiapa yang
diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalas dan jika dia tidak
mendapatkan sesuatu utuk membalas hendaklah dia memujinya.
Oleh karenanya
jika memuji ketika diberi nikmat sungguh telah berterimakasih dan jika
menyembunyikannya sungguh telah kufur, dan barangsiapa yang berselimut dengan
sesuatu yang tidak diberi sama halnya dengan orang yang memakai dua baju
kebohongan. Para ulama berpendapat bahwa dalam rangka menceritakan nikmat yang
diperintahkan dalam ayat ini ada dua pendapat, yaitu:
1. Menceritakan nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah
berdakwah di jalan Allah SWT., menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat
manusia agar selalu bersyukur.
2. Menceritakan akan nikmat tersebut dan memberitahukannya
kepada orang lain seperti dengan ungkapan bahwa: Tuhan telah memberiku nikmat
demikian dan demikian.
Pendapat
tersebut di atas Al Imam Ibnul Qayyim ra mentarjih dengan perkataan
beliau:
“Yang benar
ayat ini mencakup kedua makna tersebut, karena masing-masing adalah nikmat yang
diperintahkan untuk mensyukuri dengan jalan menceritakan dan menampakkannya
adalah sebagai wujud kesyukuran.” Bahakan beliau berkata dalam sebuah atsar
yang lain dan marfu’ disebutkannya”:
مَنْ
لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ
النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ
كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak
mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan
barangsiapa yang tidak berterimakasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur
kepada Allah SWT. Menceritakan sebuah nikmat kepada orang lain termasuk dari
syukur dan meninggalkan adalah kufur bersatu adalah rahmat dan bercerai berai
adalah azab.” (Lihat Madarijus Salikin 2/248).
Jalan Menuju Syukur.
Jalan menuju
bersyukur adalah sebagai alat untuk melakukan syukur itu sendiri, oleh sebab
itu Al Imam Ibnu Qudamah ra menjelaskannya sebagai berikut:
“Syukur bisa dilakukan dengan hati (bil
qalb), lidah (bi lisan) dan anggota badan (aljism). Adapun dengan
hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikan pada khayalak
ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan cara memuji
Allah SWT., artinya dengan menampakkan keridhaan kepada Allah SWT. Hal ini
sejalan sabda Rasulullah SAW”:
التَّحَدُّثُ
بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
“Menceritakan
nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalh wujud kekufuran.
Bersykur
dengan anggota badan dengan cara mempergunakan dalam ketaatan kepada a dan Allah
SWT, menjaga diri dari berbuat maksiat seperti nikmat kedua mata dengan cara
menutup tiap aib yang dilihat pada diri seorang muslim, kedua telinga menutup
tiap aib yang didengar. Al Imam Ibnul Qayyim menjelaskannya:
“Syukur itu
bisa dilakukan oleh hati dgn tunduk dan kepasrahan oleh lisan dgn mengakui
ni’mat tersebut dan oleh anggota badan dgn ketaatan dan penerimaan.”
Tingkatan Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan, yaitu:
1. Bersyukur mendapatkan apa yang disukai, tingkat syukur
ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam seperti Yahudi dan Nasrani
bahkan Majusi. Namun Al Imam Ibnul Qayyim ra telah menjelaskan:
“Jika engkau mengetahui hakikat syukur dan di antara
hakikat syukur adl menjadikan ni’mat Imamtersebut membantu dlm ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridha-Nya niscaya engkau akan mengetahui
bahwa kaum musliminlah yg pantas menyandang derajat syukur ini”.
Siti ‘Aisyah ra telah menulis surat kepada Mu’awiyah ra
sebagai berikut:
“Sesungguh tingkatan kewajiban yang paling kecil atas
orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai
jembatan untuk bermaksiat kepada Allah SWT.
2. Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai, bagi orang yang
melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikap sama dalam semua keadaan
sebagai bukti keridhaannya. Al Imam Ibnul Qayyim ra telah menjelaskan:
“Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat
dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi, oleh sebab itulah
syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama.
3. Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan dalam
kehidupannya kecuali Yang memberi kenikmatan itu sendiri yaitu Allah SWT, artinya
bila melihat yang memberi kenikmatan dalam rangka ibadah dia akan menganggap
besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena
rasa cintanya niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.
Korelasi Manusia dan Syukur.
Sebagaimana
yang diketahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang
dicintai oleh Allah SWT, akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya, dengan
arti kata lain ada yang diberi oleh Allah SWT dan ada pula yang tidak. Sehingga
dapat dikatakan bahwa manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
a. Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah
SWT.
b. Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur
nikmat.
c. Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang
bersyukur, sehingga yang seperti ini diumpamakan dengan orang yang berhias dengan
sesuatu yang tidak dia tidak miliki.
Argumentasi Harus Bersyukur.
Diantara dalil
yang dapat dikemukakan kewajiban bersyukur adaalah:
وَاشْكُرُوا
لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Bersyukurlah
kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.”
فَاذْكُرُوْنِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
“Maka ingatlah
kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah kalian
kepada-Ku dan jangan kalian kufur.”
وَاعْبُدُوْهُ
وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan sembahlah
Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan.”
وَسَيَجْزِي
اللهُ الشَّاكِرِيْنَ
“Dan Allah
akan membalas orang-orang yg bersyukur.”
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan ingatlah
ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan
menambah dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha ia berkata:
أَنَّ
نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ
حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا
رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟
قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua
kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah kenapa engkau melakukan yg
demikian padahal Allah telah mengampuni dosamu yg telah lewat dan akan datang?’
Beliau menjawab: ‘Apakah aku tdk suka menjadi hamba yg bersyukur?’”
Masih banyak
dalil lain yg menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yg dibawakan di sini mewakili yg
tdk disebutkan.
Akibat Tidak Bersyukur.
Yang tdk
bersyukur lbh banyak dari yg bersyukur. Hal ini tdk bisa dipungkiri oleh orang
yg berakal bersih. Sebagaimana orang yg ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
lbh banyak dari yg beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala di
dlm firman-Nya:
وَقَلِيْلٌ
مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit
dari hamba-hambaKu yg bersyukur.”
Sebuah
peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yg beriman. Di mana Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah memperingatkan dari kufur ni’mat setelah memerintahkan utk
bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapati sebagaimana penjelasan
Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsir beliau:
“Jika
seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabadikan ni’mat
yg dia berada pada dan menambah dgn ni’mat yg lain.”
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan Rabb
kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah dan
jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”
Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullahu menjelaskan:
“Jika kalian
mengkufuri ni’mat menutup-nutupi dan menentang mk yaitu dgn dicabut ni’mat
tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpa dgn sebab kekufurannya.Dan
disebutkan dlm sebuah hadits: ‘Sesungguh seseorang diharamkan utk mendapatkan
rizki krn dosa yg diperbuatnya’.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini