SAMPAI SEJAUH MANA
PENGETAHUAN DALAM MEMAHAMI NISFU SYA’BAN
Ada beberapa SMS yang sempat pernah baca baik
yang dikirm kepada saya, ataupun SMS yang diterima teman-teman dari pengirim,
atau ketika saya buka facebook diberadanya ada beberapa facebookers yang update
statusnya mengenai malam Nisfu Sya’ban. Dari update status itu saya pengin tahu
lebih mendalam tentang eksistensi malam Nisfu Sya’ban. Ternyata setelah saya
telusuri para ulama berbeda-beda pendapatnya. Dari sekian pendapat itu ada yang
berpendapat bahwa derajat hadis yang mendasari sebagai argumentasi tentang
keutamaan malam Nisfu Sya’ban ternyata tingkatannya munqathi’ atau
terputus, sehingga mereka menghukumi amalan yang ada di malam Nisfu Sya’ban
adalah bid’ah. Namun demikian adapula yang berpendapat walaupun bid’ah
tapi termasuk dalam bid’ah hasanah (yang baik) sehingga mengamalkan
amalan-amalan tertentu selama amalan tersebut adalah segala hal mengenai
kebaikan.
Agar lebih lengkapnya pengetahun kita tentang
eksistensi Nisfu Sya’ban silahkan simak ulasan berikut mengenai malam Nisfu Sya’ban
di alamat: http://id.wikipedia.org/wiki/Nisfu_Syaaban.
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar
ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara
berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam
berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu
bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika
itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan
satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya
beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai
keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits
tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu
hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di
malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang
musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no.
1390).
Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata,
“Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut
dho’if].
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata:
قَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى
فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت
ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا عَائِشَةُ
أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ
لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ
الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku
menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku
bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan
kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan
shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau
sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku
menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau
telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah
engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia
akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati
orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.”
Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid.
Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul.
[Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena
terputus sanadnya].
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ
مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada
malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik
dan orang yang bermusuhan.
”Al
Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan,
“Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab
Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan
lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi
mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan
sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul
Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.”
[Hadits ini adalah hadits yang dho’if].
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى
خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا
اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya
pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang
yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.”
Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan
oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi
penilaian negative / dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti
hadits ini bermasalah].
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban:
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi
kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. Al Mundziri berkata.
“Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits
ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal,
ada sanad yang terputus].
Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula
oleh Ath Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ
لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ
الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam
Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan
orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.”
Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara
Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti hadits ini pun
dho’if].
Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ
فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ
مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى
فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di
malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke
langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman:
“Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah
orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang
mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah
yang begini, hingga terbit fajar.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam
sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al
Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada
yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh
memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al
Mizan mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak
Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad
berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia
adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara
maudhu’ dan dho’if] Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat
di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa
sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih
yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits
Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya
Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan
keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang
keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits
tersebut dho’if.[2] Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits
yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama
berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan
hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan
beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah
di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan
dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu
dicek kembali.”] Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam
di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari
sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban dengan shalat.”[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan,
yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat
sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau
rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu
Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran.
Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu
sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal
ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5] Begitu juga Syaikh Ibnu Baz
menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika
memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk
hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih
pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan
sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al
Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih
karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling
menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani,
‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq,
‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu
masing-masing riwayat.[7] Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al
Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya).
Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih
cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut.
Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah
mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak
ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam
bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam
Nishfu Sya’ban Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam
nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan
di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى
لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ
لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di
malam nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang
musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR.
Ibnu Majah no. 1390).
Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi
pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib. Imam Al Ghozali menjelaskan
tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara
yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan,
ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang
jelek). Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah
yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar. Mayoritas fuqoha
memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat
yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama
yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban
secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang
dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak
dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari
seorang sahabat pun. Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin
Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di
atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya. Pertama, dianjurkan
menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca
kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini
terlarang menurut mayoritas ulama. Kedua, dianjurkan menghidupkan malam
Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah
pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih
pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat
Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam
nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan
oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan
kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu,
seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat
Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah,
yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10] Ibnu Taimiyah juga
mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa
hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka
melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat
seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari
beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak
perlu diingkari.”[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam
Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari
pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam
perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum
yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al
Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah)
dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang
aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali,
maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu,
baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau
terang-terangan.”[12] Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya Dalam
masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat
bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan
secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah
do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau
dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun
yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban
diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun
dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil
yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan
hal ini. Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat
di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan
malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya. Perkataan yang amat bagus
dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan,
“Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam
tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa
tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali
tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun
pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul
biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban
(15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam
Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa
tertentu.”[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam
Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun
ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada
malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah
turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu
Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah
masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan. ‘Abdullah bin Al
Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban,
lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah!
Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa
Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).”
Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92). Al
‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu
Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat
yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam
berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah
termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh
Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki
amal ibadah kita. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat. Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah. Fatawa Al Islam Sual wa
Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar. Lathoif Al Ma’arif fii
Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al
Islami, cetakan pertama, 1428 H. Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin. Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan
ketiga, 1426 H. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’. Tuhfatul Ahwadzi bi
Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri
Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut. Kami harap para pembaca bisa
membaca artikel yang berkaitan dengan artikel ini di sini. Selesai disusun di
Panggang-GK, 4 Sya’ban 1431 H (16/07/2010) Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id .
[1] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 3/365-367. Kata
yang didalam kurung [...] adalah kesimpulan dari kami. [2] Lathoif Al Ma’arif,
245. [3] Lathoif Al Ma’arif, 245. [4] Lathoif Al Ma’arif, 248. [5] Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 1/188. [6] Idem. [7] Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144.
[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah (2/594) pada pembahasan “Ihyaul Lail”. [9]
Lathoif Al Ma’arif, 247-248. [10] Majmu’ Al Fatawa, 23/131. [11] Majmu’ Al
Fatawa, 23/132. [12] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190. [13] Liqo’ Al Bab Al
Maftuh, kaset no. 115. [14] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678. Dari
artikel Meninjau Ritual Malam Nishfu Sya’ban — Muslim.Or.Id by null
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini