A.
PENDAHULUAN
Dalam suatu hubungan dunia bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan atau dengan kata lain transaksi bisnis berpotensi timbulnya masalah yaitu silang sengketa. Silang sengketa yang perlu diantisipasi dalam hubungan dunia bisnis atau perjanjian; mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian atau pun disebabkan hal-hal lainnya di luar dugaan karena keadaan memaksa (overmacht; force majeur). Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya (problem solving) untuk menyelesaikan sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi dalam rangka penyelesaian sengketa yang bisa ditempuh, seperti melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa,[1] dapat dengan cara; konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[2] Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa
di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”[3]
Dengan demikian lembaga arbitrase yang ada di Indonesia, baik Badan
Arbitrase Nasional Indonesia maupun Badan Arbitrase Syariah Nasional tidak
dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga (baca;
al-ahwalu as syaksyiah). Arbitrase syariah hanya dapat diterapkan untuk
masalah-masalah sengketa ekonomi syariah. Bagi kalangan pengusaha, arbitrase
merupakan pilihan hukum (law choise) yang paling
menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dalam banyak perjanjian perdata syariah di Indonesia, klausula
arbitrase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat
hukum yang diberikan lembaga arbitrase syariah bersifat mengikat (binding) oleh
karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga
arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum
yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh
karena itu, tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Keputusan
arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga ketua pengadilan[4] tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan hukum dari putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
tersebut.
Jika dikaji ulang terhadap fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI). Diperoleh bagian penyelesaian sengketa dalam praktek
ekonomi syariah. Seluruh fatwa itu menyebutkan, hanya Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di
bidang ekonomi syariah. Jika dilihat ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah bahwa jelas penyelesaian sengketa ekonomi
syariah melalui Basyarnas, namun
ketika Undang-undang tersebut telah
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dalam ketentuan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Penjelasannya, Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam, diantaranya disebutkan bidang ekonomi syariah.[5] Adapun yang dimaksud
dengan ekonomi syariah sesuai dengan penjelasan Undang-undang tersebut adalah
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. Meliputi bank
syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah,
reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah
syariah, sekuritas syariah, pembiayaan
syariah, pengadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.[6]
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tersebut telah diundangkan pada tanggal 20 Maret 2006 dan berselang 3
hari kemudian, Dewan Syariah Nasional MUI meluncurkan fatwa baru, yaitu: Fatwa Dewan Syariah Nomor: 51/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa Dewan
Syariah Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad
Wakalah bil Ujrah pada Asuransi dan Reansuransi
Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Nomor: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada
Asuransi dan Reansuransi Syariah.[7] Dalam fatwa tersebutkan pada
dictum kelima ketentuan penutup angka 2 disebutkan; jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak
terjadi kesepakatan musyawarah[8], walau dalam pasal 49
huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 jo. Penjelasannya nyata-nyata telah menyebutkan bahwa sengketa ekonomi
syariah merupakan telah menjadi kewenangan Peradilan Agama suatu penyelesaian melalui litigasi.
Sementara kewenangan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa perbankan
syariah hanya sebatas sebagai penyelesaian melalui non litigasi hal ini diperkuat
dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang tersebut memberikan
alternatif lain penyelesaian sengketa yang disesuaikan dengan isi akad atau
perjanjian bahkan peluang penyelesaian senketa melalui Peradilan Umum.
Munculnya alternatif penyelesaian tersebut memunculkan berbagai persoalan,
diantaranya membinggungkan bagi para pihak, oleh karena itu perlu ketegasan
tentang kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah agar adanya kepastian
hukum.
B.
SEKILAS
PANDANG TENTANG ARBITRASE
1.
Pengertian
Arbitrase
berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage (Belanda) yang
berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan,
artinya bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa
orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada atau
mentaati putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih atau tunjuk.
Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum seperti
halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.[9]
Menurut
Sudargo Gautama arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang jauh
dianggap lebih baik daripada penyeleasian melalui saluran-saluran biasa.[10]
Sementara menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.[11]
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Arbitrase (arbitration) dimana para
pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketa kepada para pihak yang netral.
Dalam arbitrase, para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim
dan hukum yang diterapkan.[12] Arbiter hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai
kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi, putusan yang
dimaksud bersifat final and binding, serta merupakan win-loss solution.[13]
Pada dasarnya
arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:[14]
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum
de compromitendo); atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum
Undang-undang Arbitrase berlaku,
ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara
di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap diperbolehkan. Mantan Hakim Agung RI
Prof. Yahya Harahap, S.H., menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bertitik tolak dari Pasal 377 HIR
atau Pasal 705 R.Bg, pada ketentuan Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan
kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan
menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur pengadilan apabila mereka
menghendakinya. Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya
kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.[15]
Dengan
demikian arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa keperdataan
oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum
terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa. Arbitrase dalam fiqh
Islam, padanannya adalah tahkim dan
kata kerjanya hakam yang secara
harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah atau hakam bagi
suatu sengketa.[16]
Dalam hukum Islam istlah yang sepadan dengan tahkim adalah ash-shulhu
yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Maksudnya adalah suatu
akad atau perjanjian untuk mengakhiri perlawanan atau pertengkaran antara dua
orang yang sedang bersengketa.[17]
Dalam tradisi fiqh Islam, menurut Prof. Yahya Harahap,S.H., telah
dikenal adanya lembaga hakam yang sama artinya dengan “arbitrase”, hanya saja lembaga hakam
tersebut bersifat ad-hoc,. antara
sistem hakam dengan sistem arbitrase memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu:
a. Penyelesaian sengketa
secara volunteer.
b. Di luar jalur peradilan
resmi.
c. Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang atau lebih
yang dianggap mampu, jujur dan independen.
Sedangkan kesamaan dari segi
kewenangannya, adalah:
a. Bertindak sebagai mahkamah arbitrase (arbitral tribunal).
b. Sejak ditunjuk tidak dapat ditarik kembali.
c. Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara menjatuhkan
putusan dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
2.
Dasar
Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui
Lembaga Arbitrase
Dalam ajaran Islam, semua aktivitas hendaknya selalu bersandarkan
pada dasar hukum yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah atau pun
melalui hasil ijtihad. Eksistensi
Majelis Tahkim atau Badan
Arbitrase sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahah dalam penyelesaian suatu
sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah
(perdata). Hal itu dimaksudkan agar umat Islam terhindar dari perselisihan
yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiyah. Dasar
hukum bagi keharusan ber-tahkim adanya anjuran al Quran tentang perlunya
“perdamaian”, yaitu QS. al Hujarat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.[18]
Dalam ayat
lain QS. an Nisa ayat 35:
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.[19]
Dasar
hukum arbitrase selanjutnya adalah al Hadis, selain al Quran dan al Hadis juga Ijmak
(kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. atas keabsahan
praktek tahkim. Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara
arbitrase di kalangan para sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya.[20] Bahkain Umar bin Khattab
telah memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan:
الصلح
جائز بين المسلمين الا صلحا آحل حرام آو حرم حلالا
Perdamaian itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.[21]
Pelaksanaan
syariat Islam di Indoneia didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29
ayat 2,[22] impelmentasi adanya
landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang
berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu:
1. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009.
2. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3.
Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
4. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam
undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai alternatif
penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan (non ligitasi) yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa ketika melakukan akad perjanjian.
3. Sejarah Arbitrase Syariah
Berbicara masalah Arbitrase Syariah
Nasional di Indonesia, tidak terlepas membicarakannya dari awal turunnya agama
Islam. Dalam tarekh al Islamy dikenal seseorang yang bernama Abu Sjureich dan sering juga dipanggil Abu al Hakam di kalangan masyarakat Arab ketika zaman Nabi Muhammad SAW. beliau
sudah cukup populer (go public) dan dihormati karena kebijaksanaannya dalam menyelesaikan segala
bentuk perselisihan anggota masyarakat yang diajukan kepadanya. Kepiawaian dan kelincahannya dalam menyelesaikan perselisihan tersebut sangat dihargai dan
dipuji oleh Nabi sebagai suatu terobasan dan pekerjaan yang sangat mulia. Sehingga Nabi tidak melarang dan tidak pula menganjurkan (dalam hal ini
Nabi diam saja ketika diminta pendapatnya) untuk menyelesaian sengketa melalui Abu al Hakam, dengan taqrir[23]
Nabi tersebut, kiranya dapat dijadikan sebagai tonggak sejarah titik awal dalam masyarakat Islam tentang
adanya sistem hakam (arbitrase).
Pada dasarnya pada masa pra-Islam
sistem arbitrase sudah terlaksana. Dalam rangka menyelesaikan setiap
persengketaan diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh
masing-masing pihak yang bersengketa. Umumnya orang yang ditunjuk sebagai
arbiter adalah orang yang mempunyai kekuatan supranatural dan punya
kelebihan-kelebihan di bidang tertentu (baca: ahli nujum,dan lain-lain).
Karenanya dalam proses pemeriksaan perkaranya arbiter tersebut lebih banyak
menggunakan kekuatan firasat daripada menggunakan alat-alat bukti seperti saksi
atau pengakuan.[24]
Dalam catatan sejarah para arbiter
Arab yang terkenal di antaranya; Rabi’ ibn Rabi’ah ibn al-Dzi’b, Akstam ibn
Shifi, Qass ibn Sa’idah al-Iyadi, Amr ibn Zharib al-Adawani, Ummaiyyah ibn Abi
ash-Shilat, Abdullah ibn Abi Arbi’ah, dan lain-lain. Para arbiter tersebut
dalam memeriksa atau menyidangkan perkaranya dilaksanakan di dalam kamp-kamp
yang didirikan atau bahkan tidak jarang di bawah pohon-pohon. Setelah Khusai
ibn Ka’ab membangun sebuah gedung di Makkah yang pintunya sengaja dihadapkan ke
arah Ka’bah, maka di situlah sidang-sidang hakam dilaksanakan dan gedung
itu dikenal dengan sebutan Dar al da’wah.
Tatkala Islam datang dan umat Islam
mulai berkembang, sistem hakam (arbitrase) tersebut dikembangkan dengan
dihilangkan hal-hal yang bersifat tahayul
dan bid’ah. Sistem arbitrase ini
pada awalnya lebih berkembang di kalangan masyarakat Makkah pada umumnya
masyarakat yang bergelut di bidang bisnis. Di antara sahabat
Nabi yang pernah dipercaya sebagai hakam (arbiter) selain Abu Sjureich (Abu al Hakam) adalah Sa’id ibn Muadz untuk menyelesaikan perselisihan di antara
Bani Quraidzah, atau ketika Zaid bin Tsabit
menyelesaikan perselisihan antara Umar bin Khattab dengan Ubai ibn Ka’ab
tentang nahl dan Jubair ibn Math’am
dalam menyelesaikan sengketa antara Utsman dengan Thalhah.
Pertumbuhan
sistem hakam atau sistem arbitrase di masa Khalifah Umar ibn Khattab
mengalami perkembangan yang menggembirakan seiring dengan pembenahan lembaga
peradilan (al-Qadla) dan tersusunnya pokok-pokok pedoman beracara di
pengadilan yang dikenal dengan istilah Risalah al-Qadla Abu Musa
al-Asy’ari, yang salah satu isinya adalah pengukuhan terhadap kedudukan
arbitrase.[25]
Pada penghujung masa al-Khulafa ar-Rasyidin masalah hakam ini
tidak hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah atau sengketa keluarga dan
bisnis akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah politik[26],
perdagangan dan peperangan. Dengan demikian wilayah yurisdiksi arbitrase
semakin luas dan fenomena yang demikian menjadikan bidang garapan badan
arbitrase pada awal masa Islam datang juga semakin luas, sesuai dengan
perkembangan atau kemajuan untuk pemenuhan kebutuhan hajat hidup ummat manusia
terhadap hukum.
Demikian pula
halnya dengan perkembangan Badan Arbitrase di Indonesia menurut Mr. R. Tresna,
dalam bukunya Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, menceritakan bahwa
ketika daerah Priangan berada di bawah kekuasaan Mataram pada masa kejayaan
Sultan Agung dan Amangkurat I, di wilayah Priangan (menurut hasil penyeledikan
kompeni) telah berkembang tiga macam bentuk badan peradilan, yaitu:[27]
1. Peradilan
Agama yang memiliki kompetensi perkara perdata yang dapat dijatuhi hukuman
badan atau hukuman mati, perkara-perkara perkawinan dan waris.
2. Pengadilan Drigama mengadili perkara sepanjang tidak termasuk perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati.
2. Pengadilan Drigama mengadili perkara sepanjang tidak termasuk perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati.
3. Pengadilan
Cilaga yaitu pengadilan-wasit yang khusus untuk menyelesaikan sengketa di
antara orang-orang yang berniaga. Perkara-perkara tersebut, diurus dan
diselesaikan oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa utusan kaum berniaga.
Pengadilan Cilaga inilah yang serupa
dengan sistem arbitrase dalam hukum perdata umum atau sistem hakam dalam
hukum Islam. Untuk selanjutnya, sistem arbitrase lebih banyak digunakan oleh
kalangan orang-orang Eropa atau kalangan pedagang Internasional. Sementara itu
untuk sistem hakam atau arbitrase syariah belum banyak dikenal oleh
masyarakat Islam. Namun dalam praktek kehidupan masyarakat, sesungguhnya sistem
ber-tahkim kepada seorang yang ahli[28] untuk meminta diselesaikan atau diputuskan
perkara diantara mereka (sebagaimana cara-cara yang pernah dilakukan oleh Abu
Sjureich di Arab) sudah lama dikenal di lingkungan masyarakat adat. Hanya saja masyarakat belum mengenal
dengan istilah arbitrase (hakam). Menurut Prof. DR. H. Satria Effendi M. Zen, cara
penyelesaiannya seringkali diawali dengan nasehat-nasehat keagamaan, tentang
arti pentingnya persaudaraan sedemikian rupa, sehingga perselisihan dapat
diselesaikan secara damai dan orang yang
bersegketa bermaaf-maafan, hilang segala karat di hati dan kembali hidup
seperti biasa. Apabila salah satu pihak yang dirugikan, pihak lainnya secara
rela mengembalikan hak saudaranya itu, atau sebaliknya pihak yang merasa
dirugikan secara suka rela demi kepentingan perdamaian menggugurkan haknya dan
bisa jadi disatu kali kedua belah pihak sama-sama mengalah yakni saling
mengalah demi perdamaian.[29]
Sejarah mencatat bahwa ide
untuk melahirkan Badan Arbitrase Syariah Nasional muncul pada waktu Rakernas
Majelis Ulama Indonesia tahun 1992, pada waktu itu Hartono Mardjono, S.H., ditugasi memaparkan makalahnya tentang arbitrase berdasarkan
syariat Islam, yang kemudian mendapatkan sambutan dari kalangan peserta dan
kemudian direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh Majelis Ulama Indonesia.
Kemudian pada tanggal 22 April 1992, Dewan Pimpinan Pusat MUI, mengundang para
pakar atau praktisi hukum dan cendikiawan muslim termasuk dari kalangan
Perguruan Tinggi Islam guna bertukar
pikiran tentang perlu tidaknya dibentuk arbitrase Islam. Pada rapat selanjutnya
tanggal 2 Mei 1992, diundang juga wakil dari Bank Muamalat Indonesia dan untuk selanjutnya
dibentuk tim kecil guna memepersiapkan bahan-bahan kajian untuk kemungkinannya
membentuk Badan Arbitrase Islam. Demikian juga dalam Rakernas MUI tanggal 24-27
November 1992, juga diputuskan bahwa sehubungan dengan rencana pendirian
Lembaga Arbitrase Muamalat agar MUI segera merealisasikannya.
Majelis Ulama Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor: Kep. 392/MUI/V/1992 tertanggal 4 Mei 1992, telah
membentuk kelompok kerja pembentukan Badan Arbitrase Hukum Islam. Tugas utama
panitia tekhnis, adalah:
1. Menyusun rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
2. Merancang struktur organisasi;
3. Merancang susunan personalia kepengurusan;
4. Menyusun rancangan prosedur berperkara dan biaya perkara;
5. Mernacang kriteria arbiter, Inventarisasi calon arbiter.
Kemudian pada tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H / 21 Oktober 1993,
dilakukan penandatanganan Akte Pendirian Yayasan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia oleh KH. Hasan Basri dan HS. Prodjokusumo (Ketua MUI) dan H.
Zainulbahar Noor, SE (Dirut Bank Muamalat Indonesia). Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia yang didirikan oleh MUI ini adalah berbentuk yayasan. Badan
Arbitrase Muamalat (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai
dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H., Nomor 175
tanggal 21 Oktober 1993. BAMUI diketuai
oleh H. Hartono Mardjono, S.H., sampai beliau wafat tahun 2003.[30]
Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia dengan Surat Keputusannya
Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003, tertanggal 30 Syawal 1424 H / 24 Desember 2003 M,
menetapkan:
a. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS);
b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang
berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI;
c. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam,
Badan Arbitrase Syariah Nasional bersifat otonom dan independent;
d. Mengangkat Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Dalam hal domisili, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
sebagai lembaga hakam satu-satunya dan merupakan perangkat organisasi
Majelis Ulama Indonesia, berkedudukan di Ibu Kota
Republik Indonesia yakni di Jakarta. Dan apabila
dipandang perlu, dapat dibentuk cabang atau perwakilan ditempat-tempat lain seperti provinsi.
4. Objek Perjanjian Badan Arbitrase
Syariah Nasional
Objek perjanjian arbitrase (sengketa
yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang
perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas
Pasal 1851 s/d 1854. Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 59 ayat (1)
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa, dengan demikian hanya perkara perdata bidang kebendaanlah yang
objek arbitrase, demikian juga halnya dengan Basyarnas, hanya bidang sengketa
ekonomi syariah yang menjadi objeknya yakni “penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad”.[31]
Artinya jika isi akad menyebutkan penyelesaian melalui Basyarnas, maka melalui
badan inilah penyelesaian sengketanya dilakukan.
5.
Jenis-jenis Arbitrase.
Arbitrase
dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc
ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase
serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan
arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.[32] Arbitrase institusi adalah suatu lembaga
permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan
yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang
dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), atau yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International
Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di
Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase
sendiri-sendiri.[33]
BANI dan BASYRANAS memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:[34]
"Semua
sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya
mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat
pertama dan terakhir".
Standar
klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade
Law) adalah sebagai berikut:[35]
"Setiap
sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan
perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian
akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah
klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul
arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur
arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian
arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.[36]
6. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam Penjelasan Umumnya dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah:
1) Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2) Keterlambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari.
3) Para pihak
dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil.
4) Para pihak
dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya.
5) Para pihak
dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase.
6) Putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana
ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga
mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti
bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau
perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan
cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan
arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah :[37]
1)
Penyelesaian
sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2) Para wasit
terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang
diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3)
Putusan akan
lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4) Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga
umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para
pengusaha.
Disamping
keunggulan arbitrase seperti tersebut di atas, arbitrase juga memiliki
kelemahan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah
masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan
untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup
jelas. Untuk putusan BANI upaya eksekusinya melalui Peradilan Umum, sementara
untuk putusan Basyarnas upaya eksekusinya adalah Peradilan Agama.
Menurut MUI
dan Basyarnas, arbitrase syariah memiliki keuanggulan-keunggulan dibandingkan
dengan arbitrase lainnya, antara lain sebagaimana pendapat Derta Rahmanto yang
dikutip oleh Khotibul Uman:[38]
a. Arbitrasre Islam memberikan kepercayaan kepada para pihak karena
penyelesaiannya secara terhormat dan bertangggungjawab.
b. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar kepada karena ditangani
oleh orang-orang ahli di bidangnya (expertise).
c. Prosedur pengambilan putusannya cepat dengan tidak melalui
prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya murah.
d. Para pihak menyerahkan penyelesaian sengketa secara sukarela
kepada orang-orang atau (badan) yang terpercaya sehingga para pihak juga secara
sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan
mereka mengangkat arbiter karena hakikat kesepakatan mengandung janji, dan
setiap janji harus ditepati.
e. Dalam proses arbitrase, hakikatnya terkandung makna perdamaian dan
musyawarah, sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani
setiap orang.
f. Khusus untuk
kepentingan muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia
ataupun BPRS, arbitrase syariah akan memberikan peluang bagi berlakunya hukum
Islam sebagai pedoman penyelesaian karena dalam setiap kontrak terdapat klausul
diberlakukannya penyelesaian melalu Basyarnas.
C.
BADAN
ARBITRASE SYARIAH NASIONAL DAN EKSISTENSINYA
1.
Mengenal Badan Arbitrase Syariah Nasional
Basyarnas merupakan lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa
antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, di luar jalur
pengadilan, untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak
menghasilkan mufakat. Putusan Basyarnas bersifat final dan mengikat (binding). Untuk melakukan eksekusi atas
putusan tersebut, penetapan eksekusinya diberikan oleh pengadilan agama
setempat. Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) adalah merupakan cikal
bakal lahirnya embrio Basyarnas. Lembaga ini didirikan berdasarkan Surat Keputusan
MUI Pusat Nomor: Kep-392/MUI/V/1992,
bersamaan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya
untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut. Pada
tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI
dirubah menjadi Badan Basyarnas. Perubahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Nomor: Kep-09/MUI
XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. “Basyarnas ini satu-satunya badan hukum
yang otonom milik MUI,”
Berdasarkan
penelusuran awal berdirinya (tahun2003) hingga sekarang, baru dua sengketa
perbankan syariah yang berhasil dituntaskan Basyarnas. Tiga sengketa lainnya
sempat didaftarkan tetapi akhirnya tidak diproses lantaran kurang memenuhi
persyaratan. BAMUI dari 1993 hingga 2003 menyelesaikan 12 sengketa perbankan
syariah. Dengan demikian, Basyarnas plus BAMUI baru menyelesaikan 12 sengketa
perbankan syariah. Sejatinya, arbitrase syariah merupakan
penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi
syariah, di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika
upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Arbitrase ini dilakukan dengan
menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan
kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku.
Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja
difungsikan. Harus digarisbawahi, penyelesaian
lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai
penyelesaian sengketa melalui Arbriter. Hal ini mengacu pada ketentuan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Karena
itu, DSN-MUI tidak cermat ketika menyatakan sengketa di bidang ekonomi syariah
harus diselesaikan melalui Basyarnas. Sangat mungkin, di antara pihak-pihak
yang meneken akad ada yang tidak sepakat menyelesaikan sengketa yang timbul
melalui Basyarnas. Bisa jadi, karena mereka masih mempertanyakan kapabilitas
Basyarnas atau karena pertimbangan lain.
.
.
2. Perlu Ketegasan Eksistensi Basyarnas
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, disebutkan
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam, diantaranya disebutkan berwenang
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Menjadi pertanyaan: bisakah pengertian orang dalam ketentuan mengenai
kewenangan tersebut diartikan melalui intepretasi analogi sebagai badan hukum?
Kalau bisa, mungkinkah Bank Syariah, misalnya, disejajarkan dengan orang Islam? Tentu pengertian
orang-orang disamping orang sebagai person juga orang sebagai badan hukum yang
dimaksud dengan orang-orang dalam Undang-Undang ini. Mengacu pada ketentuan perundangan yang sudah ada,
harus ditegaskan bahwa sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah mesti
diselesaikan lewat Pengadilan Agama, kecuali jika para pihak menyatakan dalam
akad perjanjiannya suatu klausula mengenai dilibatkannnya Basyarnas dalam
menyelesaikan sengketa. Tetapi
penegasan ini tidak cukup, berdasarkan pada ‘pengalaman’ penyelesaian sengketa
dalam hukum perikatan umum, lembaga arbitrase sebagai jalur penyelesaian
non-litigasi ternyata masih membutuhkan kekuasaan peradilan. Dalam hal melaksanakan putusan arbiter (eksekusi) misalnya, ternyata lembaga arbitrase jelas-jelas tidak
bisa melakukannya sendiri tanpa penetapan dari pengadilan. Karena itu, tugas
dan wewenang Pengadilan
Agama
pun kurang-lebih sama dengan Pengadilan Negeri dalam hal merespon putusan lembaga arbitrase ini. Pengadilan Agama dapat menggunakan asas doematigheid
dalam penemuan hukum, tetapi dalam bidang bisnis, di samping para pihak dapat
pula memilih jalur arbitrase
(Basyarnas). Tentu Hakim Peradilan Agama dan arbiter pada Badan Arbitrase Syariah
ketika memeriksa dan memutus adalah yang ahli di bidangnya (expert).[39]
Dalam dunia bisnis, sekalipun di bidang kegiatan ekonomi syariah, para
pihak ingin cepat menyelesaiakan sengketa mereka secara adil, dan bisnis dapat
berjalan kembali tanpa patah arang. Menurut peraturan hukum Arbitrase
Indonesia dan pengalaman arbitrase terlembaga domestik Indonesia, suatu
sengketa bisnis sudah dapat mempunyai kekuatan hukum tetap dalam waktu paling
lama 1 tahun (termasuk jika ada permohonan pembatalan putusan arbitrase), dibandingkan
melalui peradilan (agama) yang memakan waktu paling sedikit 4 tahun (belum
termasuk Peninjauan Kembali). Biasanya suatu pengurusan penyelesaian sengketa
yang memakan waktu bertahun-tahun akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak
sedikit, apa lagi aparat penyelenggara negara kita belum dapat memberikan
suasana kondusif dalam penegakkan hukum peradilan di Indonesia. [40]
Basyarnas sebagaimana yang diuraikBasyarnas A. Rahman
Ritonga yang menyatakan bahwa Basyarnas meruapakan badan hukum yang berbentuk yayasan,
bertugas menyelesaikan sengketa dalam masalah muamalah/perdata yang
menyangkut bidang perdagangan, insdustri, keuangan, jasa, dan lain-lain.[41]
Dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, proses
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat melalui jalur non ligitasi,
diantaranya melalui Basyarnas. Namun dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) point c
undang-undang tersebut mengandung kelemahan karena ada opsi arbitrase yang lain
kalau di antara pihak-pihak yang meneken akad ada yang tidak sepakat
menyelesaikan sengketa yang timbul melalui Basyarnas. Disinilah perlu sebuah
ketegasan bagi umat Islam apakah percaya dengan arbitrase syariah atau tidak
sebagai instrument memprensitasikan hukum Islam, meskipun ketentuan Penjelasan Undang-undang
ini masih memberikan peluang penyelesaian di luar Basyarnas.
3. Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
Pelaksanaan
putusan Badan Arbitrase Syariah
Nasional, sama dengan aturan yang berlaku dalam Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang diatur dalam Pasal 59-64 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri[42],
dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan
arbitrase oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera
Pengadilan Negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase
diucapkan. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan
Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai
kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan tidak diperkenankan memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut. Kewenangan memeriksa
yang dimiliki Ketua Pengadilan, terbatas pada pemeriksaan secara formal
terhadap putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.[43]
Berdasarkan
Pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah
pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak
memenuhi maka, Ketua Pengadilan dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap
penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.[44] Lembaga Peradilan diharuskan menghormati
lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut
merupakan prinsip limited court
involvement.[45]
Eksistensi Badan Arbitrase Syariah
Nasional dibentuk karena adanya kekosongan hukum, dan dalam rangka:
a. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa-sengketa keperdataan
dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian (islah) sebagaimana
yang dimaksud oleh QS. al-Hujurat ayat: 9 dan QS. An-Nisa ayat: 128.
b. Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof.
Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut,
sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan Hukum Islam dapat
diselesaikan dengan mempergunakan Hukum Islam.
c. Adanya Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai suatu lembaga
permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata
diantara bank-bank Syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka
pada khususnya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan keperdataan
yang menjadikan Hukum Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan
suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Dikatakan selanjutnya bahwa Basyarnas
akan lebih menitikberatkan pada tugas
dan fungsinya untuk mencari titik temu diantara para pihak yang tengah
berselisih melalui proses yang digali dari tujuan Hukum Islam disyariatkan menuju
jalan perdamaian hakiki (islah), tanpa merasa ada pihak yang dimenangkan
atau dikalahkan.
d. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa ekonomi
syariah yang timbul dalam perdagangan, industri, jasa dan lain-lain yang erat
kaitannya dengan bisnis syariah.
e. Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu perjanjian, dengan
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian tersebut.
Sebagaimana yang termuat dalam hukum perjanjian dikenal adanya
istilah sistem terbuka termasuk didalamnya mengenai pilihan hukum oleh para
pihak yang akan diberlakukan dalam perjanjian dan penyelesaian perselisihan
sengketanya jika di antara mereka terjadi persengketaan dan diselesaikan secara
arbitrase. Tentang pilihan hukum ini para pihak harus sudah sepakat sebelum
penandatanganan perjanjian atau pada saat terjadinya kesepakatan untuk
menyelesaikan sengketanya diserahkan kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
ditetapkan bahwa para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. Dalam
penjelasannya ditegaskan bahwa para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan
untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase.
Apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka hukum yang akan
diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan. Dengan adanya kebebasan
menentukan atau memilih hukum bagi para pihak inilah salah satu dari kelebihan
sistem arbitrase. Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. dan kemudian diperintahkan untuk menjadi seorang
muslim untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (termasuk berhukum
dengan hukum Islam) maka dengan sendirinya dan sebagai konsekuensi logisnya,
tidak ada alternatif lain selain akan memilih Hukum Islam untuk diberlakukan
dalam kontrak-kontrak bisnisnya, termasuk sebagai dasar bagi penyelesaian
sengketanya, telah mendapatkan jaminan secara konstitusional dan tidak ada
suatu halangan yuridis apapun juga. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 56
(2) tersebut. Basyarnas dalam memeriksa dan memutus perkara selalu dilandasi
dengan Hukum Islam atau dengan kata lain bahwa eksistensi Basyarnas merupakan
sebuah pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis
syariah yang eksistensinya telah diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakimana,
dan apabila salah satu pihak tidak menjalankan putusan tersebut dapat dimintakan
eksekusinya melalui Pengadilan Agama.
Namun
demikian Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah
dijatuhkan putusan Basyarnas, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum
terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila
putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Pengadilan Agama harus
menghormati lembaga Basyarnas, tidak turut campur, kecuali dalam pelaksanaan
suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan. Agar sejalan
kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Agama, maka beberapa
perundang-undangan harus diamandemen antara lain Pasal 59 Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 yang mengharuskan pendaftaran putusan Bani pada Kepaniteraan
Pengadilan Negeri diubah mejadi pendafatran putusan Basyarnas didafatarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Agama, demikian pula undang-undang lain yang erat
kaitannya dengan arbitrase syariah. Namun oleh karena adanya kekosongan hukum
maka ketentuan pendaftaran harus melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka
Pengadilan Negeri disini dapat diartikan dengan Pengadilan Agama.[46]
Upaya hukum
atas putusan Basyarnas dan eksekusi sebagaimana halnya putusan arbitrase
lainnya adalah ke Pengadilan Negeri, akan tetapi menurut Muh. Nasikhin,
sengketa perbankan syariah yang diselesaikan Basyarnas, maka pengajuan
permohonan pembatalan terhadap putusan Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama.[47]
Alasan tersebu didasarkan pada dua hal; pertama dasar legalitas wewenang
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, dan alasan
kedua; dasar relevansi subtansi hukum.[48]
Dengan maksud
dan landasan tersebut praktik-pratik perbankan syariah adalah hukum Islam, hal
ini relevan dengan lembaga Peradilan Agama sebagai institusi penegakkan hukum
Islam di Indonesia, baik bagi orang yang beragama Islam, atapun orang dan badan
hukum yang secara sukarela menundukkan diri terhadap hukum Islam (azaz
personalitas keislaman).
.
.
D.
KESIMPULAN
Pasca
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama diundangkan, dan dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasan Kehakiman sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan
Pengadilan Agama sebagai penyelesaian sengketa melalui litigasi, namun
para pihak yang melakukan perjajian akad dalam klausal perjanjian dapat
menyelesaikan sengketa yang timbul melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional dan
kedudukan arbitrase ini merupakan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui
jalur non-litigatasi, sementera
eksistensinya telah diakui secara yuridis dalam konstitusi. Meskipun demikian
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan peluang
selaian Basyarnas, yaitu arbitrase yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman Ritonga, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 4,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.
Abdul
Rahman Saleh, dkk., Arbitrase Islam di Indonesia, BAUI & BI,
Jakarta, 1994.
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan
dan Ekonomi Syariah, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007.
Budhy Budiman, Mencari Model
Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata Dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ,http://www.uika-bogor.ac.id.
Departemen Agama RI, Al Quran dan
Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah),
Makkah: Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi
Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.
Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase seri Hukum
Bisnis, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Muchtar Luthfi, Arbitrase Syariah dan Eksisitensinya, dalam
bentuk makalah.
Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah &
Sistem Penyelesaian Sengketanya, Semarang: Fatawa publishing, 2010.
Michael R. Purba, Kamus Hukum
Internasional & Indonesia, edisi terbaru, Jakarta: Widyatamma, 2009.
Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010.
Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA), Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com.
Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam
dan Hukum Positif, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2001.
R.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: PT.
Intermasa, 1978.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, di-Indonesia oleh Mudzakir
AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung: Alma’arif, 1993.
Sudargo
Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1979.
Yahya
Harahap, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Pustaka Katini,
1991.
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga
Terkait (BMUI & Takaful ) di Indonesia, Jakrta: Rajawali Press, 1996.
Footnote:
[1] Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1] Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[2] Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[4] Persoalan pengadilan mana yang berwenang untuk melakukan eksekusi
teragadap putusan Basyarnas terdapat dua pandangan, ada yang berpendapat Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang, dan yang berpendapat Ketua Pengadilan Agama
yang berwenang.
[5] Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
perkawinan; b. warta; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h.
shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.” Lihat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[6] Lihat
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[7] Lihat Ahmad
Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007,
hlm. 915-937
[8] Ibid.
[9] Gunawan
Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 3
[10] Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional,
Bandung: Alumni, 1979, hlm. 1
[11] Lihat juga
dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa, dalam undang-undang jenis pengadilan tidak disebutkan,
berbeda dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan jenis pengadilan
umum.
[12] Khotibul
Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2010, hlm. 12
[13] Ibid.
[14] Budhy
Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian
Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 ,http://www.uika-bogor.ac.id
[15] Yahya Harahap, Arbitrase Komersial
Internasional, Jakarta: Pustaka Katini, 1991, hlm. 21-22
[16] Lihat Q.S. An-Nisa ayat 65.
[17] Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam
Perspektif Islam dan Hukum Positif,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 43
[18] Departemen Agama RI, Al Quran dan
Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah),
Makkah: Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi
Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H, hlm. 846
[19] Ibid., hlm.123
[20] Warkum
Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI &
Takaful ) di Indonesia, Jakrta: Rajawali Press, 1996, hlm. 147
[21] Sayyid
Sabiq, Fiqh al Sunnah, di-Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih
Sunnah, Jilid XIV, Bandung: Alma’arif, 1993, hlm. 36
[22] Muchtar Luthfi, Arbitrase Syariah dan
Eksisitensinya, dalam bentuk makalah, hlm. 2
[23] Dalam kajian ulumul hadis: taqrir
merupakan hadis.
[24] Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Op,.Cit.,
hlm. 49
[25] Ibid., hlm. 52
[26] Seperti penyelesaian sengketa politik antara
Ali bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah bin Abi Syufyan melalui arbiter.
[27] R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari
Abad ke Abad, Jakarta:
PT. Intermasa, 1978, hlm. 21
[28] Sebut saja seperti Kyai / Ustadz / Ajengan /
Sesepuh / Tokoh Desa / Ninik Mamak / Angku Qadli.
[29] Dalam Abdul Rahman Saleh, dkk., Arbitrase
Islam di Indonesia, BAUI &BI, Jakarta,
1994, hlm. 24
[31] Penjelasan
Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[32] Gatot Soemartono, Arbitrase
dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 27
[34] Indonesian
Banking Restructuring Agency (IBRA), Arbitrase,
Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com/view.php?nid=104.
[37] Budiman,
Op.,Cit.
[38] Khotibul Umam, Op.,Cit., hlm. 83
[39] Kenyataan yang berkembang akankah hakim-hakim
Peradilan Agama pada saat ini mampu untuk menangani bisnis syariah? Dalam hal
ini tentu bias karena saat ini sudah banyak hakim-hakim Pengadilan Agama
disamping bergelar Sarjana Syariah (Hukum Islam) juga telah banyak mengambil
Sarjana Hukum, Magister Hukum bidang Hukum Bisnis, dan bergelar Doctor.
[41] A. Rahman Ritonga,
et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 2000, hlm. 163
[43] Dalam hal melaksanakan putusan Basyarnas juga sama dengan ketentuan
Pasal 59-64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
[45] Soemartono, Op.,Cit., hlm.70-71
[47] Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian
Sengketanya, Semarang: Fatawa publishing, 2010, hlm. 140
[48] Ibid.