1.
Pendahuluan.
Prof. DR. H. Muhammad Amien Rais, MA pernah
mengungkapkan bahwa hal yang selalu ditanyakan sahabat-sahabatnya kepadanya
kalau ia berkunjung ke luar negeri adalah ”bagaimana kabar Pak Natsir.”
Biasanya, pertanyaan tersebut diikuti dengan ungkapan sampaikan salam si
penanya untuk Pak Natsir.
Ini menunjukan bahwa pengaruh dan wibawa Mohammad Natsir bukan hanya pada
Masyumi atau Indonesia, melainkan telah meng-internasional. Tidak mengherankan
kalau Takeo Fukuda Perdana Menteri Jepang periode 1976-1978 yang merasa banyak
belajar pada Mohammad Natsir mengomentari ketka berpulangnya Natsir, ke
rahmatullah pada tanggal 6 Februari 1993, sebagai sesuatu yang lebih dahsyat
dari jatuhnya bom atom Hiroshima 1945.
Sepanjang hayatnya, Mohammad Natsir tidak
pernah diam dalam persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan. Setelah
menghirup udara kebebasan pada awal Pemerintahan Orde Baru, Natsir bersama
tokoh-tokoh Masyumi lainnya dan beberapa tokoh Partai Serikat Indonesia ditahan
Soekarno tanpa proses peradilan, niat Natsir untuk menghidupkan kembali partai
politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno terganjal oleh kebijakan penguasa.
Namun Natsir tidak patah arang. Ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII). Kalau sebelumnya ia berdakwah lewat politik, maka pada era Soekarno ia
berpolitik lewat dakwah, sebagaimana pernah disampaikan tentang DDII tersebut,
baginya dakwah dan politik bagaikan dua sisi mata uang. Dalam kondisi sakit pun
ia tidak mau diam. Kantornya pun berpindah di dalam kamar.
2. Besar dalam Suasana Pergolakan
Politik.
M. Natsir beruntung. Ia lahir di ranah
Minangkabau Sumatera Barat, tepatnya Alahanpanjang Solok pada tanggal 17 Juli
1908. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ranah Minang dikenal sebagai
daerah pergulatan pemikiran ; pergulatan antara kaum adat dan agama, antara
kelompok tradisionalis
(Kaum Tuo) dan kelompok modernis
(Kaum Mudo).
Prof. DR. H. Deliar Noer, MA mencatat bahwa daerah ini memegang peranan penting
dalam penyebaran cita-cita pembaruan pemikiran Islam ke daerah lain. Di daerah
ini pula terlihat awal tanda-tanda pembaruan tersebut, di saat daerah-daerah
lain merasa puas dengan praktek-praktek tradisional mereka.
Di sinilah Natsir mulai berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran Islam modern ketika ia mulai pendidikan formalnya. Ia
sekolah di HIS Adabiyah Padang sebuah sekolah modern yang didirikan oleh DR. H.
Abdullah Ahmad (1978-1933), salah seorang pembaru di Minangkabau yang banyak
menyebarkan gagasan-gagasan Muhamad Abduh (1849-1905), pada sore harinya ia
belajar Al-Qur’an, sesuatu yang lazim dilakukan oleh anak-anak Ranah
Minangkabau, setelah menyelesaikan sekolah formal di Minangkabau, ia
melanjutkan studi ke AMS di Bandung, Di sini ia berkenalan dan berguru pada
Ahmad Hassan (1887-1957) tokoh Persis yang terkenal modern, berani dan tegas
dalam pendirian.
Lewat A.
Hassan, perkenalan Natsir pada ide-ide gerakan modern Muhammad Abduh semakin
dalam dan intens. Natsir mengakui bahwa Muhammad Abduh sangat berpengaruh pada
dirinya dalam membangun apresiasinya terhadap Islam. Ia,sebagaimana
disampaikannya kepada Kahin, bahkan mengaku sangat terkesan pada tafsiran
Muhammad Abduh bahwa Islam merupakan satu sistem sosial.
Selain itu, tidak dapat dilupakan pandangannya tentang Islam dan modernitas
tentu tidak dapat terlepas dari pengaruh Haji Agus Salim. Untuk mengembangkan
bakat politik dan wawasan ke-Islamannya, di Bandung Natsir bergabung dengan
Jong Islamiten Bond (JIB) yang didirikan pemuda Sjamsurijal. Bahkan ia menjabat
ketua JIB Cabang Bandung. Dalam JIB ini
dibicarakan pandangan Islam terhadap berbagai permasalahan yang menjadi
perhatian kaum terpelajar. Di sini Agus Salim berperan sebagai tentor mereka.
Dalam JIB inilah H. Agus Salim memberi sentuhan ke-Islaman kepada para anggota JIB, seperti Mohamad Roem, Kasman
Singodimedjo, Yusuf Wibisono dan Prawoto serta Natsir sendiri, yang kemudian
mereka semua kelak menjadi tokoh-tokoh teras partai Islam modern Masyumi,
sesuai dengan nuansa modern.
Tokoh lain yang diakui Natsir juga berpengaruh
pada pemikirannya adalah Syeikh Ahmad Soorkati (1870-1940), tokoh pendiri
Al-Irsyad yang sangat menentang diskriminasi dan eksklusivisme kaum Sayyid.
Soorkati juga memiliki pandangan keagamaan yang modern seperti halnya Ahmad
Hassan.
Latar belakang pendidikan dan
pergumulan intelektualnya menunjukan bahwa Natsir sangat concern pada kemajuan
Islam. Ia berusaha menafsirkan Islam dalam semangat modernitas dan menjadikan
Islam sebagai landasan dalam setiap aktivitas kehidupan manusia. Natsir memandang
Islam bukan hanya sebagai agama pribadi yang memisahkan kehidupan dunia dari
agama dan moralitas. Ia kemudian dibelakang hari tampil sebagai pionir bagi
tegaknya cita-cita dan etika politik Islam.
Pada periode pasca kemerdekaan Natsir mulai
berkiprah di lapangan politik praktis. Pengalamannya di JIB sangat berharga
bagi perjalanan karier politiknya, terutama ketika ia memegang jabatan-jabatan
strategis di pemerintahan. Natsir yang kemudian aktif di partai politik
Masyumi, pada tahun 1946,
dalam kabinet Sutan Syahrir, diangkat sebagai Menteri Penerangan. Natsir dapat
bertahan dalam jabatannya ini selama tiga kabinet hingga tahun 1949. Satu hal
yang penting dicatat, pada bulan April 1950, Natsir berjasa menyelamatkan
Republik ini dengan mosi Integralnya yang terkenal. Mosi ini berhasil
menyatukan kembali Indonesia yang terpecah-pecah menjadi 17 negara bagian ke
dalam Republik. Seperti diketahui, baru beberapa tahun Indonesia merdeka,
Belanda ingin menjajah kembali. Belanda melakukan agresi militer pertama pada tahun
1947 dan kedua pada 1948. Akhirnya, untuk menghentikan pertikaian kedua negara
ini, Belanda berhasil memecah belah Indonesia menjadi negara federasi dalam
Konferensi Meja Bundar di Denhag Belanda. Dengan demikian, Belanda lebih mudah
melakukan di-vide et imperanya. Natsir melihat indikasi demikian sehingga
mengeluarkan mosi integral. Keberhasilan ini sekaligus mengangkat pamor Natsir
dan mengantarkannya ke puncak jabatan Perdana Menteri. Di sinilah bakatnya
sebagai administrator semakin terasah. Tak heran kalau Herbert Feith
mengungkapkan Natsir sebagai administrator berbakat yang pernah berkuasa
sesudah Indonesia merdeka.
3.
Pemikiran M. Natsir tentang Negara Islam.
Sejak awal Natsir berpendirian bahwa Islam
bukan hanya sekedar agama pribadi yang mengurus soal-soal hubungan manusia
kepada Tuhan. Islam adalah agama yang lengkap (paripurna) mengatur aspek
kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan politik. Memang, kalau di teliti ayat-ayat Al-Quran maupun
Al-Hadits Nabi, tidak ada satupun perintah untuk menegakkan negara. Namun, bagi
Natsir negara diperlukan baik ada ataupun tidak ada perintah Islam. Menurutnya,
tidak perlu ada perintah untuk mendirikan negara. Yang diperlukan adalah
patokan-patokan untuk mengatur negara supaya negara menjadi subur dan kuat
serta menjadi
wasilah bagi tercapainya tujuan hidup manusia dan bagi
keselamatan mereka.
Tentang pemimpin negara, bagi Natsir, namanya
biasa saja berbeda-beda dan tidak harus bergelar
Khalifah. Yang penting
adalah bahwa kepala negara haruslah
ulil amri kaum muslimin keturunan
bangsa tersebut dan sanggup menjalankan peraturan-peraturan Islam dalam susunan
kenegaraan. Karenanya,Natsir mensyaratkan kepala negara haruslah berwibawa,
amanah, cinta agama dan cinta tanah air.
Kepala negara adalah representasi dari negara tersebut. Oleh sebab itu, syarat
wibawa dibutuhkan agar apa yang diperintahkan kepala negara berjalan dengan
baik dan dipatuhi oleh rakyatnya, dan amanah dibutuhkan supaya ia tidak menyimpang
dari garis-gais besar ajaran Islam. Karenanya, Natsir juga mensyaratkan cinta
kepada agama bagi seorang kepala negara.
Pandangan Natsir juga kelihatan lebih modern
dan realistis, karena ia tidak memimpikan negara Khilafah universal sebagaimana
sebagian pemikir pemikir lain seperti Rasyid Ridha (1865-1935) atau Sayyid
Quthb (1906-1966). Dalam pandangan Natsir, perkembangan kenegaraan dan
pemerintahan pada masa Nabi dan
al-Khulafa al-Rasyidin serta pemikiran
umat Islam dalam masalah-masalah tersebut memperlihatkan bahwa Islam memberi
kelonggaran kepada masyarakatnya untuk berevolusi dalam batas-batas asas dan
ajaran Islam.
Perbedaan
geografis dan etnis, menurut Natsir adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah
dan merupakan sesuatu yang alami karena itu, negara Islam dapat berdiri sesuai
dengan perbedaan-perbedaan tersebut hanya saja mereka diikat oleh satu ikatan
aqidah Islamiyah inilah yang menyatukan mereka.
Dari pandangan ini kelihatannya Natsir adalah
seorang nasionalis. Keberagamannya tidak harus mengantarkannya kepada penolakan
terhadap nasionalisme, sesuatu yang dianggap berasal dari Barat modern. Namun
nasionalalisme Natsir bukanlah sebagaimana dalam pemahaman nasionalisme barat,
orang berjuang dan bertindak untuk negara semata. Bahkan, demi semangat
nasionalisme, suatu negara bisa mencaplok negara lain. Nasionalisme
modern-barat menjadikan negara sebagai satu-satunya tujuan hidup seseorang dan
menganggap bangsa barat superior dari bangsa-bangsa lainya. Nasionalisme barat
mengantarkan barat kepada nafsu dan ambisi imperalisme. Sementara bagi Natsir,
nasionalisme hanyalah satu alat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama suatu
masyarakat. Ikatan-ikatan primordial yang melandasi nasionalisme tidak harus
mengaburkan pandangan manusia terhadap universalitas dan persaudaraan sesama umat
Islam. Bagi Natsir, nasionlasme adalah alat untuk mendekatakan diri kepada
Allah SWT. disamping sebagai permersatu dunia Islam. Karenanya, Natsir menolak
nasionalisme barat yang dipenuhi semangat rasisme dan imperalisme tersebut.
Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara
dalam Islam dan cara Al Quran maupun Sunnah Nabi mengatur permasalahan politik
kenegaraan, menurut Natsir, memang al-Quran dan Sunah tidak berbicara tentang
masalah-masalah teknis seperti penentuan Anggaran Belanja Negara, peraturan
valuta, aturan fevisa dan 1001 permasalahan lainnya. Menurut Natsir, “Al Quran
dan Sunah hanya mengatur dasar-dasar dan pokok-pokok peraturan hubungan sesama
manusia. Yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama manusia
masih bersifat manusia. Baik ia manusia zaman onta ataupun manusia zaman kapal
terbang. Atau manusia zaman kapal statosfer dan lain-lain nanti.
Islam mengatur sifat-sifat yang perlu ada bagi kepala negara, serta hak dan
kewajibannya. Islam menetapkan wajibnya melakukan musyawarah terhadap
permasalahan yang tidak diatur al-Quran dan Sunnah untuk mencapai kemaslahatan.
Islam menetapkan hak dan kewajiban antara penguasa dan rakyat. Islam menetapkan
aturan pembasmi bermacam-macam penyakit masyarakat. Islam menetapkan beberapa
peraturan tentang perekonomian seperti tertuang dalam kewajiban membayar zakat,
sedekah, dan larangan riba.
Inilah menurt Natsir beberapa aturan baku Islam yang harus diperhatikan dan
diamalkan oleh umat Islam dalam mengatur masalah-masalah kenegaraan.
Aturan-aturan tersrbut bersifat tetap dan mengikat. Hanya saja, pelaksanaan dan
teknisnya diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam sesuai dengan tantangan dan
permasalahan yang mereka hadapi.
Berdasarkan pandangan ini, Natsir tidak menolak
kemungkinan diterapkannya sistem pemerintahan Barat. Sejauh tidak bertentangan
dengan nilai-nilai ajaran dasar Islam tersebut. Sepanjang hal itu baik dan
sesuai dengan ajaran Islam, menurut Natsir kita boleh saja mencontoh dan
menirunya. Dalam hal ini, menarik dicatat pandangan Natsir tentang demokrasi
barat. Natsir yakin bahwa prinsip-prinsip Islam tentang
syura
(musyawarah) lebih dekat dengan rumusan demokrasi modern. Natsir, dengan
demikian, dapat menerima eksistensi parlemen sebagai representasi pelaksanaan
musyawarah tersebut. Namun Natsir menolak semangat demokrasi modern yang
berlatar belakang kultur sekuler barat. Karena itu, Natsir memandang bahwa
pengambilan keputusan dalam
syura harus mengacu pada prinsip-prinsip
etik keagamaan. Dengan demikian, Natsir berusaha mendamaikan teori
kedaulatan rakyat dengan teori
kedaulatan Tuhan. Menurut Natsir, Islam menganut faham
theistic democracy,
yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ke-Tuhanan.
Dalam tataran praktis, perjuangan Natsir untuk mengimplementasikan
gagasan kenegaraannya tersebut mulai mengemuka ketika Ia tampil sebagai anggota
Konstituante Pemilu 1955 menghasilkan
empat partai besar. Yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Masyumi, Parta Nahdlatul
Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Dari
komposisi ini terlihatlah tiga kekuatan politik Indonesia, yaitu nasionali s-sekular,
Islam dan marxisme / sosialisme. Konstituante yang merupakan hasil dari Pemilu
1955 bertugas menyusun dasar negara sebagai pengganti UUDS-1950 yang bersifat
sementara. Namun karena tidak ada partai pemenang mutlak atau mayoritas tunggal
(single mayority), maka perdebatan antara ketiga arus utama kekuatan
politik tersebut-yang kemudian hanya diwakili oleh Islam dan
Pancasila-menghangat di Konstituante yang bersidang pada 1956-1958. Dalam
perdebatan ini, Natsir adalah ujung tombak bagi kelompok Islam.
Dalam pidatonya di depan Majlis Konstituante
1957, Natsir menegaskan bahwa Indonesia hanya mempunyai dua pilihan dasar
negara, sekuler
(ladiniyah) atau agama
(diniyah). Pancasila
adalah sekuler, tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila merupakan
penggalian dari masyarakat yang bersifat netral agama, termasuk gagasan ketuhanannya.
Dalam Pancasila, lanjut Natsir, ketuhanan hanyalah rasa adanya Tuhan tanpa
wahyu. Rasa ketuhanan tersebut bersifat relatif, berganti-ganti. Karena itu
lanjut Natsir, “negara yang berdasarkan Pancasila, yang terang sudah demikian
sifatnya itu, tidak dapat menjadi negara yang betul-betul mencukupi kebutuhan
hidup Indonesia, bukan suatu negara yang sebagai suatu
institution
akar-akarnya nyata menghujam dalam sanubari bangsa Indonesia.”
Natsir menandaskan bahwa suatu dasar negara akan efektif berlaku apabila
berakar kuat pada masyarakatnya. Islam merupakan agama mayoritas bangsa
Indonesia dan telah berabad-abad berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Karena itu, bagi Natsir, adalah wajar kalau Islam dijadikan sebagai dasar
negara.
Natsir menegaskan, ajaran Islam memiliki
sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan agama dan negara serta menjamin
keragaman hidup berbagai golongan. Islam memiliki toleransi yang besar terhadap
kelompok minoritas. Karena itu, kelompok minoritas tidak perlu takut pada
Islam, karena mereka akan dilindungi dan kebebasannya akan terjamin.
Pandangan Natsir di atas sepintas merupakan
pergeseran dari pandangannya sebelumnya. Ketika berpidato di Pakistan 1952,
Natsir mempunyai pandangan positif tentang Pancasila. Menurutnya, Pancasila
merupakan dasar spiritual, moral dan etika negara dan bangsa Indonesia.
Pancasila yang memiliki nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
musyawarah, dan keadilan sosial, menurutnya, tidak mungkin bertentangan dengan
Islam. Lalu, tahun 1954 Natsir juga menegaskan sikapnya terhadap Pancasila.
Dalam pidato Nuzulul Qur’an 1954 ia menyatakan bahwa Pancasila adalah hasil
rumusan musyawarah para pemimpin Indonesia yang serbagian besar beragama Islam
pada tahun 1945. pastilah mereka tidak akan membenarkan suatu perumusan yang
menurut pandangan mereka nyata bertentangan dengan asas ajaran Islam.
Bahkan secara retorik, Natsir mengungkapkan bahwa kelima sila dalam Pancasila
tidak mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Natsir menyimpulkan ”
Dalam
pangkuan Qur’an,Pantjasila akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak
apriori bertentangan tapi tidak pula identik (sama).
Tapi kenapa di Konstituante ia menyerang habis-habisan Pancasila sebagai
ideologi sekular yang menyebebkan lawan-lawan politiknya menyerang balik
perubahan pemikirannya?
Setidaknya, ada beberapa hal yang yang dapat
dicatat untuk menjelaskan sikap Natsir ini, yaitu :
Pertama, Pancasila, dalam perkembangannya, ternyata ibarat cek kosong yang bias
diisi dan ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan pandangan dan
kepentingannya. PKI yang nyata-nyata anti Tuhan mengaku sebagai Pancasilais dan
menafsirkannya sesuai dengan pendiriannya. Sementara Soekarno memeras Pancasila
menjadi Ekasila, yakni gotong royong. Dengan demikian Pancasila sebagai
ideologi terbuka sangat rawan penyimpangan dan pembelokan. Warna Pancasila
sangat relatif dan tergantung pada falsafah hidup para pendukungnya.
Sebenarnya dalam pidato Nuzulul Qur’an yang
dikutip diatas, Natsir sudah mewanti-wanti kemungkinan terjadinya penafsiran
yang beragama tersebut. Ia menegaskan,”Berlainan soalnya, apabila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sekedar buah bibir, bagi orang-orang yang
jiwanya sebenarnya sceptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi orang ini dalam
ayunan langkahnya yang pertama ini saja Pancasila sudah lumpuh. Apabila sila
pertama ini, yang hakikatnya urat tunggang bagi sila-sila berikutnya, sudah
tumbang, maka seluruhnya akan hampa dan amorph, tidak mempunyai bentuk yang
tentu. Yang tinggal adalah kerangka Pancasila yang mudah sekali
dipergunakanuntuk penutup tiap tiap langkah perbuatan yang tanpa sila, tidak
berkesusilaan sama sekali.
Natsir menegaskan bahwa Pancasila jangan digunakan untuk menentang
terlaksananya ajaran-ajaran agama Islam.
Kedua, dalam konteks politik ketika itu, adalah sah mengajukan gagasan
alternatif selain Pancasila sebagai konstitusi negara. Karena tugas
Konstituante memang untuk itu. Natsir sebagai pimpinan partai politik Islam
tentu sah-sah saja mengajukan Islam sebagai alternative dasar negara,
sebagaimana halnya pendukung Pancasila berjuang menggolkan pendirian mereka. Di
lembaga legislative inilah mereka, baik pendukung Pancasila maupun pendukung
Islam sebagai dasar negara, beradu argumentasi secara bebas untuk
memperjuangkan pendirian dan pandangan masing-masing.
Ketiga hal ini juga merupakan amanat dari para pemilihnya yang menyalurkan
aspirasi politik mereka lewat Masyumi. Natsir, dengan partainya Masyumi, telah
memilih Islam sebagai ideologi dan berusaha untuk memperjuangkannya ke dalam
konstitusi. Karenanya, perjuangan Natsir mengajukan Islam sebagai dasar negara
adalah sesuatu yang sah dan konstitusional.
Namun sejarah mencatat, perdebatan di
Konstituante tidak mencapai titik temu. Masing-masing kekuatan pada
pendiriannya. Presiden Soekarno tidak sabaran melihat kondisi demikian.
Akhirnya Ia mengeluarkan dekrit membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali
ke UUD 1945. Padahal, menurut Prof. DR. H. Ahmad Syafii, MA Konstituante sudah
menyelesaikan 90 persen tugas- tugasnya.
Kandaslah cita-cita Natsir dan kawan-kawannya untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara.
Meskipun gigih memperjuangkan ideologi Islam,
Natsir ternyata tidak setuju dengan cara-cara DI/TII memperjuangkan aspirasi
mereka. Ia bahkan menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah Darul Islam
dengan Pemerintah Republik, sehingga solusi politik tersebut dapat dicapai.
Natsir mengungkapkan mereka sebagai para pahlawan kemerdekaan yang masih belum
kembali ke kehidupan normal. Natsir juga mengajak mereka untuk meninggalkan
cara-cara kekerasan dan bersama-sama membangun negara Indonesia. Dengan cara
demikian, mereka juga memperoleh kesempatan untuk memperjuangkan aspirasi
mereka secara damai dan konstitusional. Ini memperlihatkan jiwa kenegarawan
Natsir. Ia tidak berpikir secara sempit tetapi berdasarkan kepentingan bangsa
Indonesia yang lebih luas. Ia hanya mau menjalankan misi dan visi politiknya
sesuai dengan koridor-koridor moral dan etika dan jauh dari kekerasan.
4. Mohammad Natsir dan
Soekarno.
Membicarakan Natsir terasa ”sempurna” tanpa
hubungannya dengan Soekarno. Kedua tokoh ini merupakan representasi dari dua
pemikiran yang bertolak belakang, Islam dan Pancasila. Di samping itu, sejak
tahun 1930 keduanya juga sudah terlibat polemik tentang masalah-masalah
keislaman dan kebangsaan. Meskipun secara ideologi keduanya berbeda pandangan,
pada awalnya hubungan Natsir dan Soekarno baik sekali. Soekarno tidak keberatan
atas usulan Perdana Mentri Sjahrir untuk mengangkat Natsir sebagai Menteri
Penerangan. Soekarno bahkan menegaskan bahwa memang Natsir-lah orang yang pas
untuk jabatan itu. Menurut pengakuan Natsir kepada Ahmad Syafii Maarif, selama
revolusi fisik di Yogyakarta, dia adalah menteri yang paling dekat dengan
Soekarno. Ia sering diundang Soekarno untuk sarapan pagi bersama di istana.
Natsir bahkan menjadi penulis naskah pidato Soekarno. Hampir seluruh naskah
pidato Soekarno dikonsep oleh Natsir. Hubungan mereka semakin dekat ketika
Natsir mengajukan mosi integralnya yang terkenal itu. Soekarno langsung
mendukungnya. Natsir bahkan ditunjuk sebagai formatur dan perdana menteri
pertama negara kesatuan, meskipun minus PNI. Soekarno pun tidak keberatan.
Hubungan mereka mulai retak ketika terjadi
perbedaan sikap dalam menghadapi masalah Irian Barat. Soekarno yang ketika itu
menjadi kepala negara menginginkan pendekatan bersenjata untuk mendapatkan
Irian Barat kembali. Bagi Soekarno, sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1951
Irian Barat harus kembali kepangkuan RI.
Namun Natsir sebagai Perdana Menteri menolak cara-cara tersebut dan menghendaki
cara-cara perundingan, karena RI masih terikat perjanjian KMB. Akhirnya,
diambilah pemungutan suara secara demokratis dari 17 orang, menteri kabinet
saat itu. Hasilnya, 12 menteri mendukung cara
Natsir dan 5 mendukung Soekarno. Kekalahan telak ini cukup memukul
Soekarno.
Sejak
itulah, menurut Natsir, hubungannya dengan Soekarno memburuk dan tidak pernah
oulih kembali.
Dalam perkembangan politik selanjutnya,
pengaruh Natsir yang memegang kendali Masyumi hingga 1958 begitu kuat. Sebagai
demokrat sejati, gigih menentang berbagai penyimpangan yang dilakukan Soekarno.
Ketika Soekarno mengemukakan rencana pembubaran Konstituante, pembubaran partai
politik dan pemberlakuan demokrasi terpimpin sejak 1957, Natsir menentang keras
gagasan tersebut. Dalam beberapa tulisannya ia mengecam gagasan Soekarno yang
inkonstitusional tersebut. Natsir menganggap rencana ini merupakan awal dari
sikap diktator Soekarno. Apalagi Soekarno sudah terlalu dekat dengan PKI.
Puncak dari pertentangan ini adalah ketika Natsir ikut dalam pemberontakan PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), 1958 di Sumatra Barat. Beberapa
tokoh Masyumi lainnya seperti Syafrudin Prawiranegara dan Burhanudin Harahap
ikut dalam pemberontakan tersebut. Akhirnya mereka dipenjarakan tanpa proses
peradilan hingga tumbangnya rezim Soekarno tahun 1960. Baru tahun 1966, setelah
gagalnya pemberontakan G.30 S/PKI, Natsir dan lawan-lawan politik Soekarno bisa
menghirup udara kebebasan.
Hal lain yang menambah kebencian Soekarno
kepada Natsir dan Masyumi umumnya adalah peristiwa Cikini pada bulan November
1957, waktu itu terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno oleh
aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia, sebuah organisasi yang dekat dengan
Masyumi. Soekarno menuduh Natsir di belakang peristiwa itu dan dianggap
bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Padahal, Natsir tidak punya kaitan
sama sekali dengan peristiwa tersebut.
5. Dari Politik ke
Pemikiran Dakwah.
Setelah jatuhnya rezim Soekarno, Natsir
sebenarnya masih berharap dapat berkiprah di lapangan politik. Namun, Presiden
Soeharto sebagai penguasa Orde Baru tidak memberi kesempatan kepadanya -dan
kepada tokoh-tokoh Masyumi lainnya- untuk menghidupkan kembali Masyumi. Bahkan
Ali Moertopo, tangan kanan Soeharto, mengancam Natsir dan kawan-kawannya dengan
pernyataan bahwa penjara masih terbuka lebar bagi mereka kalau mereka masih
ingin berkecimpung di lapangan politik.
Keputusan Orba ini tentu didasarkan pada
ketakutan terhadap kekuasaan mereka yang mungkin akan goyah oleh para politisi
eks Masyumi yang memang cerdas dan terasah oleh pengalaman. Orba tidak
menginginkan tampilnya kembali Islam politik dan ingin kekuasaan yang
besarserta berusaha ”membunuh” demokrasi dengan berbagai keputusan dan
kebijakan politik yang otoriter. Bagi Orba para eks Masyumi merupakan batu
penarung yang tajam dan akan mengganjal kekuasaan mereka. Karena itu, sebelum
bangkit kembali, “Orba terlebih dahulu memarginalkan” eks tokoh-tokoh Masyumi dari
kancah politik nasional. Meskipun demikian, Natsir tidak pernah diam melihat
perkembangan politik Orba. Ia tidak segan-segan melakukan kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan
Orba. Ia ikut menandatangani Petisi 50, sebuah pernyataan keprihatinan terhadap
situasi dan kondisi politik bangsa Indonesia yang ditandatangani 50 tokoh
politisi pada Mei 1980. Akibatnya, Natsir mengalami pencekalan tidak boleh keluar
negeri. Aktivitasnya pun diawasi dan dibatasi.
Namun Natsir tetaplah Natsir. Ketika ruang
politik tertutup untuknya, Natsir berkiprah lewat dakwah. Ia mendirikan Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII) pada tanggal 26 Pebruari 1967. Lewat lembaga
inilah Natsir menyalurkan “darah” politiknya. Ada tiga garapan yang dilakukan
DDII, yaitu:pembangunan mesjid, pengiriman da’i ke daerah-daerah terpencil dan
penerbitan. Dalam kenyataanya bidang-bidang garapan tersebut merupakan respons
langsung maupun tidak langsung DDII terhadap pesatnya gerakan Kristenisasi di
Indonesia. Di beberapa daerah, khususnya wilayah transmigran, gerakan mereka
sudah terlalu jauh melakukan penukaran agama penduduk. Mereka mengiming-iming
makanan dan pendidikan untuk masyarakat desa agar mau menukar agama. Demikian
juga dengan majalah-majalah yang diterbitkan DDII, seperti Suara Masjid
dan Media Dakwah. Nuansa respon dan kecaman terhadap maraknya gerakan
mereka tercium sekali pada isi kedua majalah tersebut.
Narsir memang sangat peduli terhadap
perkembangan Kristen yang begitu pesat pasca pemberontakan G.30.S/PKI. Menurut
Natsir, kegiatan misi diarahkan pada keluarga orang-orang komunis
dan umat Islam yang miskin. Mereka bahkan menggunakan cara-cara yang menusuk
hati umat Islam, yaitu mendirikan gereja dan sekolah-sekolah Kristen di
lingkungan umat Islam. Gerakan Kristenisasi memang sudah melampaui kode etik
beragama. Karena itu, Natsir perlu melakukan counter agar tidak terjadi tragedi
dan konflik berdarah antar anak bangsa. Natsir bahkan melayangkan surat kepada
Paus di Vatikan. Dalam surat tersebut, Natsir menegaskan bahwa cara-cara yang
ditempuh oleh misionaris Kristen bias melahirkan hubungan yang disharmoni
antara umat Islam dan umat Kristen. Sikap tidak toleran mereka harus segera
diakhiri, karena bisa menghilangkan kesabaran umat Islam untuk menempuh caranya
sendiri menghadapi misi tersebut.
Karena itu, Natsir menawarkan jalan keluar bagi
hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Tawaran ini antara lain agar kedua pemeluk
agama ini saling menghargai, tidak menyampaikan agama kepada orang yang sudah
memeluk agama, tidak memanfaatkan kemiskinan suatu umat untuk menyampaikan
agama. Hanya dengan cara-cara demikian hubungan antar umat beragama dapat
terjalin dengan baik dalam suasana yang saling menghargai, tidak dalam suasana
saling curiga.
Tertutupnya jalur politik bagi Natsir di zaman
Orba ternyata bagaikan blessing in disguest. Natsir lebih banyak
kesempatan untuk berkiprah di dunia Internasional. Ia menggerakan solidaritas
Islam untuk pembebasan Masjidil Aqsha dan Palestina dari zionis Israel. Natsir
juga pernah menjabat Wakil Presiden Muktamar Alam al-Islami dan Dewan Masjid
se-Dunia, keduanya berkedudukan di Mekkah. Ia juga terlibat dalam penyelesaian
konflik Muslim Moro Filipina.
Bahkan, meskipun Orba tidak adil kepadanya,
Natsir memperlihatkan jiwa besarnya. Ia bersedia membantu Orde Baru untuk
mewujudkan program-programnya. Melalui utusannya, Ali Moertopo, tangan kanan
Soeharto yang “garang” terhadap tokoh-tokoh Masyumi, meminta kepada Natsir
memperbaiki hubungan diplomatik Indonesia dengan Malaysia. Natsir menulis surat
tulisan tangan yang isinya supaya Tengku Abdurrahman, PM Malaysia ketika itu,
berkenaan menerima niat baik Indonesia untuk memperbaiki hubungan dengan
Malaysia. Berkat “Katebeletje” Natsir ini Orba berhasil membuka lembaran baru
hubungan diplomatik dengan Malaysia. Padahal, ketika Natsir berada di Rumah
Tahanan Militer. Demikian juga dengan Arab Saudi. Hubungan yang buruk pada masa
Soekarno juga membaik berkat lobi dan diplomasi Natsir yang memang memiliki
hubungan baik dengan keluarga Raja Saud. Ali Moertopo juga pernah mendatangi
Natsir untuk meminta bantuan kredit dari negara-negara Arab. Ketika Soeharto
gagal memohon bantuan Jepang bagi pemerintah Indonesia, Natsir sekali tampil
meyakinkan Jepang. Ia mengusulkan kepada Fukuda, PM Jepang ketika itu, untuk
membantu Indonesia lewat lembaga yang akhirnya lahir IGGI. Fukuda menyetujui usul Natsir. Ia bahkan
menegaskan Natsir adalah sosok paling tepat dalam menjembatani antara dunia
Barat dan Islam. Fukuda sendiri menyebut Natsir dengan panggilan “Ayahanda”.
Ini menunjukan betapa dekatnya hubungan pribadi kedua tokoh ini dan besarnya
pengaruh Natsir pada mantan Perdana Menteri Jepang tersebut.
Kiprahnya di dunia Islam dan Internasional juga
mendapat penghargaan dari Faisal Award dari Faisal Foundation, Arab Saudi. Universitas
Kebangsaan Malaysia juga menghargai jasa Natsir dengan menganugerahkan gelar
Doktor Honoris Causa. Namun karena mengalami cekal dari pemerintah Soeharto, Natsir
tidak dapat menghadiri pengukuhan tersebut. Ironisnya, karena pertimbangan
politis hubungan dua negara tetangga ini, pemerintah Malaysia akhirnya
menangguhkan pemberian gelar tersebut untuk waktu yang tidak ditentukan. Hingga
wafatnya, gelar tersebut tidak jadi dianugerahkan.
6. Pengaruh Pemikiran
Mohammad Natsir terhadap Pemikiran Modern Islam.
Natsir adalah sosok negarawan, pejuang, demoKrat,
administrator dan pemimpin umat yang memiliki reputasi dan pengaruh yang luar
biasa terhadap pemikiran moderen Islam baik nasional maupun internasional
bahkan bagi non muslimin sekalipun. Melihat karir politik dan
pemikiran-pemikirannya, kita dapat mencatat beberapa spesifikasi dalam diri
Natsir. Ia adalah potret ulama modern yang menempuh jenjang pendidikan Barat.
Berbeda dengan para ulama Indonesia lainnya yang menggeluti pendidikan
formalnya di dunia pesantren, Natsir adalah seorang didikan Barat (Belanda).
Dalam hal ini, Natsir sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh seperti
Soekarno, Sutan Sjahrir atau Mohammad Hatta. Namun, Natsir mendapat didikan
khusus dari Ahmad Hassan yang terkenal radikal dan modern. Lewat ulama ini
Natsir mengenyam pendidikan agama dalam wawasan kemodernan. Ia juga mendapat
sentuhan intelektual dari Haji Agus Salim, sosok ulama yang di kenal sebagai
ulama pemikir-modern yang mampu berbicara masalah-masalah keislaman dalam
bahasa modern.
Kombinasi pendidikan keislaman modern dan Barat
ini juga membias dalam pemikiran dan aktivitas politiknya. Di satu sisi ia
menerima konsep Islam sebagai addin wad daulah dan konsep syura
(musyawarah). Namun, ia juga mengakui dan dapat menerima parlemen sebagai
bentuk modern dari syura sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal Islam. Ia tidak menolak prinsip-prinsip demokrasi yang relevan dengan
jiwa agama. Ini terlihat dari keterlibatannya di konstituante pada masa
demokrasi Liberal. Ini berbeda dengan ulama seperti al-Maudidi yang menolak
demokrasi modern dan menganggapnya sebagai bentuk kemusyrikan. Natsir berusaha
menjalankan demokrasi dengan nilai-nilai agama. Dengan kata lain, demokrasi
yang ingin dikembangkannya adalah demokrasi teistik, demokrasi yang
berketuhanan.
Pandangan politik Natsir ini lebih dekat dengan
Mohammad Abduh tokoh pembaharu Islam dari Mesir dan Muhammad Iqbal (1877-1938),
tokoh pemikir Islam modern Pakistan. Abduh memandang institusi Khilafah atau
negara dibentuk berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan kepala negara
hanyalah penguasa sipil yang bertanggung jawab kepada rakyat. Penguasa bukanlah
bayang-bayang Tuhan di bumi dan tidak kebal terhadap kesalahan. Tidak ada
aturan baik al-Qur’an yang bersifat teknis dalam masalah kenegaraan ini.
Seperti diungkapkan di atas, Natsir juga berpandangan demikian. Ada hak dan
kewajiban antara kepala negara dan rakyat yang harus dipatuhi kedua belah
pihak.
Sementara Iqbal berupaya menggabungkan
gagasan-gagasan politik Islam dengan pemikiran Barat modern. Iqbal tidak
menolak parlemen yang merupakan realisasi dari demokrasi sebagaimana halnya
Natsir. Namun, Iqbal tidak bisa menerima model demokrasi Barat yang diselubungi
kabut secular peradaban Barat. Iqbal berupaya memberi ruh bagi demokrasi dengan
gagasannya tentang demokrasi spiritual. Hal ini senada dengan pandangan Natsir
yang menggagas demokrasi ketuhanan (demokrasi teistik). Barangkali cara pandang
politik Natsir pula telah melahirkan berbagai pakar politisi Islam dewasa ini
seperti Prof. DR. H. Deliar Noor, MA, Prof. DR. HM. Amien Rais, MA, Prof.DR. H.
Yusrizil Izha Mahendara, M.Cl dan lain sebagainya.
Dalam bidang dakwah, cara pandang Natsir pengaruhnya juga berbeda dengan beberapa
organisasi sosial keislaman seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Lewat DDII
yang didirikannya ternyata lebih kreatif menciptakan terobosan. DDII lebih
resfonsif terhadap berbagai permasalahan keislaman, terutama tentang
Kristenisasi. Selain aktif sebagai pembendung arus Kristenisasi di Indonesia
dengan mengirimkan para da’i ke berbagai pelosoktanah air, Natsir dengan
DDII-nya memanfaatkan media massa sebagai alat dakwah. Yang penting. Media
massa milik kedua organisasi besar lainnya, Muhammadiyah dan NU, malah kurang
memperhatikan sarana ini. Hal ini merupakan bisa langsung maupun tidak langsung
dari pengaruh gurunya Ahmad Hassan. Seperti diketahui, Ahmad Hassan
mengembangkan gagasan-gagasan ke-Islamannya lewat media massa, seperti Pembela
Islam, Al-Fatwa dan AL-Lisan. Setelah lepas dari kegiatan politik praktis.
Natsir berusaha meneruskan tradisi gurunya dengan menerbitkan majalah Media
Dakwah dan Suara Masjid. Selain itu, setiap Jumat DDII juga menerbitkan
sebuah buletin dakwah.
Dari perjalanan hidup dan pemikirannya yang dapat kita petik adalah bahwa Natsir
mengajarkan pada kita bagaimana seharusnya seorang politisi berperilaku dan
bersikap dalam setiap aktivitas politiknya. Ia menekankan pentingnya
nilai-nilai moral dan etika dalam politik. Natsir adalah seorang idealis yang
ingin menjalankan politik sesuai dengan semangat ajaran agama yang dianutnya,
meskipun untuk itu harus menelan kekecewaan akibat prinsip dan pendiriannya
yang lurus dan konsisten.