TAULADAN SIFAT KERASULAN BAGI
KEPEMIMPINAN APARATUR NEGARA
A.
Pendahuluan.
Setiap jatuhnya tanggal 12 Rabiul Awal umat
Islam selalu merayakan datangnya maulid Nabi Muhammad SAW. demikian itu tidak
lain merupakan sebuah warisan budaya atau peradaban Islam yang diperingati secara
turun-temurun oleh umatnya. Jika dikaji dari catatan historis (tarekh), maulid
telah dimulai sejak zaman Kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan
dari Fatimah az-Zahrah binti Muhammad. Asal muasal pelaksanaan perayaan maulid
ini dilaksanakan atas usulan panglima perang bernama Shalahuddin al-Ayyubi
(1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran (mulud)
Nabi Muhammad SAW. Ending dari perinagatan itu adalah untuk mengembalikan
semangat juang umat Islam dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di
Palestina dari cengkraman kaum Zionis Yahudi. Yang kemudian, menghasilkan efek
besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara
subtansial dapat dikatakan perayaan maulid nabi adalah sebagai bentuk upaya
untuk mengenal akan ketauladanan Nabi Muhammad SAW. atas risalah kerasulan untuk menyiarkan Dinul
Islam.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam catatan sepanjang sejarah kehidupan, Nabi Muhammad
SAW. adalah pemimipin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan tauladan
agung bagi umatnya. Dalam konteks ini maulid harus juga diartikulasikan sebagai
salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat Islam. Yaitu sebagai
semangat baru (spirit) untuk membangun nilai-nilai profetik agar
tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari
demokratisasi seperti adanya sikap toleransi (tasamuh), transparansi (tabligh),
anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan hidup, pluralisme, keadilan
sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah sosiologis
antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW. dapat dilihat dan dipahami dalam dua
dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi satu sama liannya.
Dimensi pertama,
dapat dilihat dan dipahami dari perspektif sosial-politik ke-Islaman (siasyah
syariah), bahwa Nabi Muhammad SAW. di samping sebagai nabi dan rasul juga
sebagai imamul ummah dari sini beliau sebagai sosok politikus ulung dan
handal. Sosok individu beliau yang sangat identik sekali dengan sosok seorang pemimpin
yang adil, egaliter, toleransi, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik,
yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial bangsa Arab masa itu
menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera, damai dan tentram di
bawah ampunan Rabb (baldatun thoibatun warabun ghaffur).
Dimensi kedua, dapat
dilihat dan dipahami dari perspektif teologis-religius, bahwa Nabi Muhammad
SAW. sebagai sosok nabi sekaligus juga sebagai rasul akhiruzaman dalam
tatanan konsep ke-Islaman. Hal ini beliau diposisikan sebagai sosok manusia
sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang misi utamanya adalah bertugas
membawa, menyampaikan, dan mengaplikasikan segala bentuk pesan suci (kudus)
dari Tuhan kepada umat manusia secara universal.
Nah dalam kesempatan ini rasanya sudah datang
saatnya bagi umat Islam untuk kembali memulai (merekonstruksi) memahami arti
tanggal 12 Rabiul Awal yang sering disebut maulid secara lebih mendalam dan
fundamental, sehingga tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai
hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian
ritual-ritual sakralistik-simbolik ke-Islaman semata, namun jauh dari itu
sesungguhnya menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin yang membawa spirit
reformasi dan restorasi menuju perubahan dalam tataran kepemimpinan umumnya dan
kepemipinan peradilan khususnya dalam rangka menuju peradilan yang agung.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila saat ini bangsa ini sedang membutuhkan
sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan
masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif,
sebagaimana yang pernah dipraktekan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. untuk
seluruh umat manusia (rahmatan linnas). Sehingga kontekstualisasi maulid
tidak lagi dipahami dari perspektif ke-Islaman semata, melainkan juga harus
dipahami dari berbagai perspektif dan dimensi yang menyangkut segala persoalan
dalam kehidupan umat manusia, seperti aspek persoalan penegakkan hukum,
politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, maupun agama.
B.
Ketauladan Bersumber dari Sifat
Kerasulan bagi Seorang Pimpinan.
Ketika
mengingat sosok Nabi Muhammad SAW. terutama di saat maulid setiap tahun sering
diceritakan spektrum tentang
latar belakang biografi beliau serta perjalanan hidup dalam memipin umatnya. Sehingga
wajar ada yang semakin rindu dengan sosok beliau, apalagi ditengah kedangkalan
akhlak serta budi pekerti yang merosot
saat ini (dekadensi moralitas), merindukan sosok pemimpin sebagaimana
sosok bijaksana dari Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan itu masyarakat sedang
membutuhkan dan mengidamkan sosok pemimpin yang mampu merekonstruksikan suatu
citra kepemimpinan yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif.
Salah
satu sikap mulia yang lekat dan yang paling menonjol dengan kepribadian Nabi
Muhammad SAW. adalah “shiddiq” (kejujuran, integritas). Dengan sifat ini diganjar dengan
julukan al Amin oleh masyarakat setempat, baik pengikutnya maupun yang
memusuhinya. Selain bakat kepemimpinan yang menonjol, sejak usia belia beliau
sudah terlibat gerakan moral Hilful Fudul atau sumpah keutamaan. Sebuah gerakan
demi membela rasa keadilan dan kebenaran terhadap siapapun dan dalam kondisi
apapun. Jujur dan berani menanggung risiko, itulah warisan mulia kepemimpinan nabi
yang mestinya ditauladani para pemimpin dan elite di negeri ini umumnya dan
khususnya pimpinan peradilan. Faktanya, kadangkala amat susah menemukan elite negeri
ini bersikap dan berperilaku mencontoh kepemiminan nabi. Rasanya untuk menemukan
sebuah arti kejujuran saja misalnya sudah sulit, tak obahnya sesulit mencari
jarum dalam tumpukan jerami. Padahal kejujuran dari ungkapan kata-kata saja
belum cukup memadai untuk menjadi modal bagi pemimpin. Fakta sulitnya menemukan
kejujuran itu berbanding terbalik dengan anjuran meneladani sikap dan perbuatan
nabi. Di corong mimbar-mimbar maupun dalam teks-teks tulisan, hampir saban
waktu mendengar para pemimpin dan penganjur mengajak untuk mencontoh sikap dan
perilaku Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang dijumpai akhir-akhir ini justru
kian lekatnya hipokrisi atas fakta yang sudah telanjang. Kadangkala masyarakat
masih saja dipertunjukkan bahwa kejujuran masih terus dikalahkan oleh
kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek, kebenaran hukum telah
dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat, hukum telah dijungkarbalikan oleh kemauan
elit politik sehingga hukum tidak lagi menjadi panglima.
Menjadi
seorang pemimpin yang katanya menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai tauladan
terdepan sudah seharusnya berani pula mengambil segala risiko dan bertanggungjawab
atas segala akibat kepemimpinan. Bukan justru malah sebaliknya buang badan dan
melemparkan tanggung jawab itu kepada anak buah, tepatlah dikatakan oleh orang bijak “ibarat
lempar batu sembunyi tangan”. Bukan pula pemimpin yang gemar menyebut orang
lain telah memfitnahnya padahal yang hendak disuarakan oleh orang itu adalah
kebenaran sesungguhnya, atau justru malah tidak tahu akan kebijakan yang telah
diperbuat oleh bawahannya sehingga lepas tanggung jawab ketika muncul persoalan.
Maulid nabi bukan sekadar peringatan untuk seruan dan ajakan, maulid nabi
merupakan momentum untuk merenung dan mulai berbuat sesuai apa yang diajarkan
dan diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk para pemimpin di negeri ini, maulid
nabi seyogianya menggerakkan hati nurani terbentuk pola diri untuk jujur,
berani mengambil risiko, dan bertanggungjawab atas akibat dari kepemipinannya.
Sifat
shiddiq artinya benar, bukan hanya sekedar perkataannya saja yang benar, tapi
juga perbuatannya juga benar, sehingga antara perbuatan sama dengan ucapannya. Jangan
sampai pemimpin yang hanya kata-katanya yang manis di mulut, namun perbuatannya
berbeda dengan ucapannya. Nabi Muhammad SAW. merupakan satu sosok figur yang sangat mempesona,
sopan dalam bertutur kata, jujur manakala bicara sepanjang hayatnya, tidak
pernah berdusta serta luhur budi pekertinya. Hal inilah yang membuat orang-orang
terkagum-kagum kepada beliau bahkan dari dulu sampai saat ini semua orang di
penjuru dunia mengagumi profil beliau, memiliki integritas kepribadian yang
sangat luar biasa. Beliau mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia
terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umatnya tanpa membedakan atau
memandang seseorang dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan
tertentu. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat
sekalipun atau orang yang tidak suka kepadanya.
Eksistensi
sifat shiddiq, memiliki pengertian bahwa pemimpin selalu dianggap berada
dalam tataran slogan kebenaran dan jujur
dalam ucapan dan perbuatannya. Segala sesuatu yang diucapkan jangan pernah ada
punya tendensuis pribadi atau didasari oleh interest dan emosional pribadi,
tetapi semua yang diucapkan oleh didasari atas panduan bisikan hati nurani. Integritas adalah sebuah konsep konsistensi
tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan
hasil. Dalam etika kepemimpinan, integritas dianggap sebagai kejujuran dan
kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan
seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan,
yang menganggap konsistensi internal sebagai suatu kebajikan, dan
menyarankan bahwa pihak-pihak yang memegang nilai-nilai yang tampaknya
bertentangan harus account untuk perbedaan atau mengubah keyakinan
mereka.[1] Dengan
demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain memiliki integritas
sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka
mengklaim memegang. Integritas (shiddiq)
seorang penegak hukum adalah landasan penting dari setiap sistem berdasarkan
supremasi dan objektivitas hukum.
Menurut
Burt Nanus dalam “The Seven Keys to Leadership in a
Turbulent World”, integritas itu dimana seorang pemimpin berlaku
fair, jujur, terpecaya, peduli, terbuka, loyal, dan punya komitmen yang tinggi.
Melakukan yang benar dalam pekerjaan adalah benar (haq) meskipun orang
lain tidak melakukannya, sedangkan melakukan yang salah (bathil) adalah
tetap salah meskipun orang lain melakukannya. Disinilah seorang pemimpin
dituntut untuk memiliki moralitas yang tinggi dalam menjalankan kepemimpinannya.
Karena sesungguhnya tindakan itulah yang dapat menjamin kemajuan. Bekerja juga
harus membuang prinsip hanya mencari keuntungan besar semata atau hanya sekedar
lepas dari tanggung jawab. Pekerjaan yang baik dengan sifat shiddiq
adalah manajemen yang dijalankan secara jujur, adil, sehat dan tidak sampai mezalimin
bawahannya bahkan jangan sampai merugikan negara.
Karakteristik
sebuah integritas ini wajib dibangun dalam tiap pimpinan dalam level apapun
hingga menyatu dalam karakter kepemimpinannya. Tekad untuk mewujudkan karya
terbaik berdasarkan karakter integritas merupakan landasan utama keberhasilan sebuah
instansi menghadapi sebuah kemajuan maupun menjadikan dirinya sebagai yang
terpuji dan terpercaya. Suatu tekad yang bukan saja strategis tapi juga semakin
langka diterapkan dalam budaya kerja saat ini.
Disamping
sifat shiddiq sifat amanah (akuntabel) yaitu jika
satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW
dijuluki oleh penduduk Makkah dengan gelar al Amin yang artinya
terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi nabi dan rasul. Apa pun yang
beliau ucapkan, penduduk Makkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang
yang pembohong.
Akuntabel mempunyai pengertian bahwa
Nabi Muhammad SAW. selalu menjaga amanah yang diembannya dan bisa
dipertanggunjawabkan. Beliau tidak pernah menggunakan wewenang (kompetensi) dan
otoritasnya sebagai nabi dan rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan sukunya, namun yang dilakukan beliau semata
untuk kepentingan Islam semata. Sebagai contoh dalam suatu riwayat diceritakan
bahwa salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah pernah memberikan sebidang
tanah yang subur kepada beliau tapi beliau tidak menggunakan tanah itu dengan
seenaknya, tetapi beliau mencari sanak saudara Abu Thalhah yang berkehidupan
kurang layak dan memberikan tanah itu untuk mereka, supaya taraf perekonomian
mereka meningkat.
Bahwa amanah merupakan salah satu dari sifat wajib bagi para nabi
dan rasul. Amanah artinya dapat dipercaya, lawannya adalah khianat. Pemimipin
yang dipercaya artinya segala kegiatan baik ucapan maupun perbuatannya selalu
dipercaya dan diyakini oleh bawahannya suatu kebenaran. Seseorang pimpinan dapat
dikatakan dapat dipercaya, apabila ia dapat melaksanakan amanah atau
kepercayaan dari orang lain kepadanya. Sifat amanah ini sejak kecil dimiliki
oleh nabi, karena sifat amanahnya ini dipercaya menggembala kambing milik
pamannya dan tetangganya. Atau ketika dipercaya membawa barang dagangan Siti
Khadijah. Keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya,tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan
tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja, tangung
jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Nabi
Muhammad SAW. dikenal sebagai orang yang jujur dan teguh memegang janji. Jika
ada orang yang hendak menitipkan barang, maka yang dicari adalah Nabi Muhammad SAW.
Ia sering mengorbankan kepentingan sendiri hanya untuk menepati janji. Suatu
hari beliau pernah menjual beberapa ekor unta. Setelah terjual dan pembelinya
pergi, beliau teringat bahwa ada di antara unta yang dijual itu yang cacat. Beliau
segera menyusul pembeli tersebut dan mengembalikan uangnya. Oleh karena itu,
tidak heran jika semua penulis sejarah mengatakan bahwa beliau ini mendapat
gelar al Amin.
Seorang
pimpinan baru dapat dikatakan amanah jika hasil pekerjaan tidak ada
penyelewengan atas jabatannya dan tidak takut ketika diaudit oleh akuntan
publik karena memang ia bekerja di jalannya (rel yang benar). Jangan sampai
pimpinan ketika tidak menjabat lagi justru malah berurusan dengan aparat
penegakkan hukum karena terindikasi adanya penyalahgunaan dan penyelewenangan wewenang
selama memangku jabatan, potret kepemimpinan seperti inilah rasa-rasanya
terekam dalam benak masyarakat ketika menonton, mendengar dan membaca dari mass
media terlalu banyak pembesar negeri ini ketika masih menjabat, atau diakhir
masa jabatannya bahkan ketika pensiun malah menjadi penghuni hotel prodeo
akibat menjalahi standar operasional prosedur yang telah ditentukan.
Disamping
sifat amanah, sifat yang ditonjolkan Nabi Muhammad SAW. adalah tabligh artinya
menyampaikan (transparansi). Segala firman Allah SWT. sebagai titipan yang
ditujukan untuk manusia, disampaikannya tanpa dipotong atau disunat satu
ayatpun. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung persaannya. Tabligh (transpran) sifat ini
mempunyai pengertian bahwa beliau selalu menyampaikan segala sesuatu yang
diwahyukan Allah SWT. kepadanya meskipun terkadang ada ayat yang substansinya
menyindir beliau seperti yang tersurat dalam surat Abbasa, dimana Rasulullah
mendapat teguran langsung dari Allah SWT. pada saat beliau memalingkan mukanya
dari Abdullah Ummu Maktum yang meminta diajarkan suatu perkara sama
sekali tidak disembunyikan oleh beliau. Beliaupun tidak merasa kwatir
reputasinya akan rusak dengan sindiran Allah SWT. tersebut, justru sebaliknya
para sahabat tambah meyakini akan kerasulan beliau.
Tabligh juga dapat diartikan bahwa sebuah
media komunikasi yang memiliki korelasi yang erat sekali dengan kepemimpinan,
bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa komunikasi. Kemampuan
berkomunikasi akan menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam
melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin memiliki pengikut guna merealisir
gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disinilah urgensinya
kemampuan berkomunikasi bagi seorang pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku bawahannya.
Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi. Nabi Muhammad SAW.
dikenal sebagai komunikator ulung. Beliau berbicara dengan bahasa yang mudah
dimengerti sesuai kadar intelektualitas dan lingkup pengalaman orang yang
dihadapinya.
Dalam
teori komunikasi itu disebut sebagai frame of reference (kerangka dasar
ilmu pengetahuan) dan field of experience (lingkup pengalaman). Jauh
sebelumnya, yakni empat belas abad yang lalu, beliau sudah menganjurkan kepada
para sahabat tentang pentingnya kedua faktor itu dalam menjalin komunikasi yang
efektif. Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari mengungkapkan bahwa Nabi bersabda “Ajaklah mereka
berbicara sesuai dengan apa yang mereka ketahui”, inilah yang disebut field
of experience. Sedangkan pada sebuah hadis lain yang diriwayatkan
Ad-Dailami, Nabi bersabda “Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia
sesuai dengan kadar kemampuan berfikir mereka”, inilah yang diistilahkan field
of reference.
Dalam
rangka menghindari terjadinya distorsi atau salah pengertian yang merupakan
hambatan komunikasi, selalu berbicara dengan tenang dan jelas. Istri beliau,
Aisyah, menceritakan, “Rasulullah tidaklah berbicara seperti yang biasa kamu
lakukan (yaitu berbicara dengan nada cepat). Namun beliau berbicara dengan nada
perlahan dan dengan perkataan yang jelas dan terang lagi mudah dihafal oleh
orang yang mendengarnya.”(HR.Abu Daud). Dalam kesempatan lain Aiysah juga
berkata, “Tutur kata Rasulullah sangat teratur, untaian demi untaian kalimat
tersusun dengan rapi, sehingga mudah dipahami oleh orang yang
mendengarkannya.”(HR.Abu Daud). Bahkan beliau sering melakukan penegasan dengan
menaikkan nada (affirmation) dan pengulangan (repetition) agar
ucapannya dapat dimengerti dan difahami dengan baik. Sebagaimana diriwayatkan,
Anas bin Malik mengatakan: “Rasulullah sering mengulangi perkataannya tiga kali
agar dapat dipahami.”(HR.Bukhari).
Sebagai
seorang pimpinan juga sebagai komunikator, harus memiliki dua faktor penting
yang harus ada pada komunikator yakni kepercayaan audiens/lawan bicara kepada
komunikator (source credibility) dan daya tarik komunikator (source
attraction). Dalam komunikasi, tidak hanya mengandalkan bahasa verbal,
tetapi juga melalui bahasa tubuh (body language), bahasa imajerial, bahasa
isyarat dan berbagai bahasa non-verbal lainnya, senantiasa berpikir. Pimpinan
seharusnya lebih banyak diam, dan berbicara seperlunya serta lebih banyak
berbuat. Ucapannya selalu padat, detail, dan jelas, tidak lebih dan tidak
kurang, tidak kasar serta tidak merendahkan bahwannya. Jika kebenaran dilanggar
tidak akan diam hingga kebenaran itu ditegakkan. Tidak pernah marah dan tidak
pula memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Ketika menunjuk dan
memerintahkan sesuatu, seharusnya selalu menggunakan seluruh telapak tangannya.
Sebagai
pelengkap dari ketiga sifat di atas, adalah fathonah (profesional) artinya cerdas, mustahil Nabi itu bodoh
atau jahil. Dalam menyampaikan 6.666 ayat al Qur’an kemudian
menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar
biasa. Nabi harus mampu menjelaskan
firman-firman Allah SWT. dan maksud firman itu kepada umatnya sehingga mereka
mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang
kafir dengan cara yang sebaik-baiknya. Apalagi
Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan
terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang
berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun
melebihi luas Eropa.
Sifat fathonah
(cerdas, intelek) adalah suatu keniscayaan untuk para nabi dan rasul karena
tidak mungkin Rasulullah bisa menyampaikan wahyu yang berupa al Qur’an yang
sedemikian banyaknya hingga mencapai 6.666 ayat tanpa ada yang salah dan keliru
satupun. Jika beliau tidak mempunyai fondasi intelektual yang tinggi hal itu
mustahil terjadi. Kecerdasan Rasulullah tidak hanya intelektual semata tetapi
juga cerdas dari segi emosional dan spiritual. Kualifikasi seorang pemimpin, salah satu
diantaranya adakah profesional yakni memiliki kemampuannya dalam mengelola
emosi dirinya dan emosi orang yang dipimpinnya atau dikenal dengan Emotional Intelligence sehingga seorang pemimpin yang
memiliki kecerdasan emosional dituntut mampu memahami emosi dirinya, emosi
orang yang dipimpinnya serta mampu mengelola emosi-emosi tersebut dalam
hubungan sosial untuk mewujudkan tujuan bersama. Kemampuan tersebut diperlukan
dalam merespon kondisi dan situasi, dan hanya pemimpin yang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi yang akan diterima dan memberi harapan kepada orang yang
dipimpinnya.
C.
Penutup.
Meneladani prinsip Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
jujur / integritas (siddiq), tanggung jawab / akuntabel (amanah),
transparan (tabligh), dan bersifat professional (fathonah)
merupakan kunci sukses dalam setiap bidang kehidupan dan kepemimpinan.
Kepemimpinan yang berintegritas
merupakan kepemimpinan yang mampu memberi insipirasi kepada yang dipimpinnya
untuk menyumbangkan fikiran, tenaga dan kemampuan mereka yang terbaik demi
tercapainya tujuan bersama. Pemimpin yang berintegritas dalam konsepsi Islam
mempunyai sejumlah karakteristik atau ciri tertentu antara lain: (a) Shiddiq;
mempunyai akhlaq yang mulia, jujur, (b) Amanah; beriman, bertaqwa dan
akuntabel, dipercaya, (c) Fathonah; cerdas, mempunyai
kompetensi, mempunyai visi ke depan yang jelas, dan (d) Tabligh;
terbuka, kebersamaan, dan komunikatif.
[1]
Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam
konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas
seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Abstraksi mendalam Sebuah sistem
nilai dan berbagai interaksi yang berlaku juga dapat berfungsi sebagai faktor
penting dalam mengidentifikasi integritas karena kongruensi atau kurangnya
kongruensi dengan pengamatan. Sistem nilai yang dapat berkembang dari
waktu ke waktu sementara tetap mempertahankan integritas jika mereka yang
mendukung account nilai untuk dan menyelesaikan inkonsistensi.