KEDUDUKAN
NIKAH SIRRI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
1.
Pendahuluan.
Membicarakan nikah sirri ditinjau dari
berbagai aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka
pendekatan yang harus digunakan adalah perangkat hukum yang telah diatur dan
diakui oleh sistem perundang-undangan nasional. Secara umum dalam perspektif
Hukum Islam[1],
nikah sirri cenderung memperbolehkan, meskipun dapat menjadi tidak sah
karena tidak tercapai mashlahat dalam pernikahan karena perubahan hukum. Sementara dalam
hukum positif dapat ditegaskan sebagai pernikahan yang ilegal, bahkan tidak ada
satu katapun yang menyebut eksistensi nikah sirri. Hal ini suatu
indikasi nikah sirri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional. Berikut ini ada tiga perangkat peraturan yang dapat dijadikan kajian untuk
menentukan eksistensi nikah sirri.
2.
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Status Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum
positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum
Peradilan Agama.[2]
Secara konstitusional hadir melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991. Sehingga Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu bentuk positivikasi
terhadap hukum Islam yang bermaksud mengembangkan pesan-pesan agama dari nuansa
normatif, dari sekedar dicita-citakan (ius constituendum) menjadi hukum yang benar-benar berlaku (ius
constitutum). Bagaimana sesungguhnya pengaturan pernikahan dalam Kompilasi
Hukum Islam ini sehingga dianggap sah? Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal ini
jelas sekali terlihat bagaimana posisi Kompilasi Hukum Islam yang mendukung
ketentuan pernikahan harus sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif, jadi
erat kaitannya antara ketentuan tentang sah atau tidak pernikahan antara
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 5 Ayat (1)
menyebutkan bahwa pentingnya pencatatan adalah untuk menjamin ketertiban
pernikahan, penegasan ini dapat dikatakan bahwa nikah sirri yang tidak
dicatatkan, di samping tidak sesuai dengan aturan formal juga dianggap tidak
memenuhi ketertiban pernikahan, yang dimaksudkan agar pernikahan itu memiliki
kekuatan hukum. Karenanya apapun yang terjadi setelah berjalannya proses akad
nikah bisa diproses secara hukum dan juga digunakan untuk mengurus administrasi
catatan sipil bagi suami-isteri dan anak-anaknya. Selanjutnya pada Pasal 6 Ayat
(1) dijelaskan setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, Ayat (2) lebih tegas menyatakan bahwa
perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam
ini sudah mengantisipasi lebih jauh ke depan dan tidak hanya sekedar
membicarakan masalah administratif. Sehingga dalam klausul ini dinyatakan agar
terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, yakni dalam hal
menyangkut ghayat al-tasyri' (tujuan hukum Islam) yakni menciptakan
kemaslahatan bagi masyarakat, dan klausul yang menyatakan perkawinan tidak
mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah jika tidak dicatat dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga pada prinsipnya KHI tidak
membolehkan adanya praktek nikah sirri, meskipun istilah ini tidak
ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
diatur di dalamnya, maka jelas sekali menunjukan ketidakbolehan nikah sirri.
Menurut Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam, idealnya suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya akta
nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah, dalam Ayat (2) dapat diajukan isbat
nikahnya ke Pengadilan Agama,
selanjutnya dalam Ayat (3) diberi batasan untuk mengajukan isbat. Isbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
1.
Adanya perkawinan
dalam rangka penyelesaian perceraian.
2.
Hilangnya Akta Nikah.
3.
Adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
4.
Adanya perkawinan
yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
5.
Perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Apabila terbukti telah terjadi akad nikah
permasalahannya bagaimana sikap hakim dalam menilai perkawinan tersebut tanpa
mencatatkannya pada instansi yang diberi wewenang. Bagi Hakim yang berpandangan
bahwa nikah sirri sah secara agama dan kepercayaannya, sementara
pencatatan perkawinan merupakan administrasi semata, asalkan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah tersebut sudah dianggap sah, maka nikah sirri
yang telah terlanjur dilakukan pada masa sekarang, meskipun pasca berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat saja dmintakan isbat
nikahnya kepada Pengadilan Agama.
Namun timbul permasalahan yang perlu penegasan
apabila hal itu terjadi (isbat) terhadap nikah sirri di masa
sekarang akan terjadi dualisme kekuatan hukum dalam pencatatan perkawinan, satu
sisi tidak diakui oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi sisi lain
dapat disahkan menurut sidang isbat nikah. Hal ini akan berakibat kepada
eksistensi Undang-undang Perkawinan. Pada kasus ini bukan isbat yang
dijadikan sebagai jalan keluar akan tetapi bagaimana menertibkan nikah sirri,
seperti mengefektifkan ketentuan denda yang tertera dalam Undang-undang
Perkawinan. Apabila nikah sirri menjadi tradisi dalam arti dipatuhi oleh
masyarakat, mengikat dan dipertahankan secara terus-menerus, dengan suatu
asumsi nikah tersebut bisa dimintakan isbat-nya kepada Pengadilan Agama,
maka efektifitas pelaksanaan makna Peraturan Perundang-undangan tidak akan
pernah terwujud, apa lagi menghendaki adanya konsistensi antara sistem ajaran
Islam dengan kehidupan kenegaraan tidak akan pernah tercapai.
Berkaitan dengan pemahaman
hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Pasal 7 Kompilasi Hukum
Islam ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sebab, jika dikaitkan ketentuan
Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tersebut hampir sejalan dengan konsep fiqih yang
dirumuskan oleh Wahbah az-Zuhali, yang membolehkan isbat nikah yang
secara substansial bahwa hukum di Indonesia mengakui adanya lembaga isbat,
untuk pengesahan nikah yang belum dicatat, dan kemudian dengan berbagai alasan
tertentu telah dicantumkan dalam rincian Pasal 7 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam
nikah dapat dicatatkan dan di-isbat-kan sehingga diakui secara
administrasi pada satu sisi lain. Akan tetapi pada satu sisi yang lain pula
bahwa ketentuan ini telah memberi peluang terjadinya nikah-nikah yang tidak
dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah, dan kemudian suatu hari kembali
mencatatkan sebagaimana mestinya. Adanya peluang ini menguntungkan pihak yang
melakukan nikah sirri dan pada waktu yang sama merupakan tanggungjawab
pihak yang berwenang untuk meminimalisir terwujudnya peluang bagi yang
menginginkannya. Pada waktu yang sama juga adanya peluang untuk tidak
mencatatkan perkawinan dengan munculnya kasus-kasus nikah sirri. Oleh
sebab itu meskipun ketentuan pasal ini tetap diterapkan hanya sebatas hilangnya
akta nikah atau adanya keraguan sah atau tidak suatu perkawinan.
3.
Menurut Undang-undang Perkawinan
Dilihat dari materi Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah ditemukan bahwa pelanggaran terhadap
undang-undang ini (praktek nikah sirri) merupakan kategori tindakan
pelanggaran hukum pidana, karena tidak dijumpai pasal demi pasal dalam
undang-undang ini yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang ini
dikenai sangsi hukum. Akan tetapi dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (1) :
“Barang siapa yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak
dalam pengawasan pegawai pencatat nikah dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.
50,-
Semenjak diundangkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menjadi tidak efektif, hal mana
terbukti tidak dijumpai dalam putusan pengadilan mengenai pelanggaran
undang-undang tersebut dimungkinkan karena sangsi hukum yang dikenakan sangat
ringan. Semestinya pelanggaran terhadap undang-undang ini (nikah sirri)
dapat dijerat hukum. Namun realitanya di lapangan tidak demikian sehingga
seolah-olah undang-undang ini menjadi mandul.
Meskipun pencatatan bukan termasuk dalam rukun
dan syarat sahnya akad nikah, tetapi dimaksudkan sebagai alat bukti tertulis
yang menyatakan peristiwa pernikahan telah terjadi. Jika dilihat klausul hukum
Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dapat dikatakan sebagai dasar atau tolak ukur
untuk menilai sah atau tidaknya nikah sirri secara hukum, baik hukum
Islam maupun hukum positif. Dalam hal ini dapat dikatakan nikah yang tidak
memenuhi ketentuan maqashid syari’ah dianggap tidak sesuai dengan tujuan
perkawinan itu sendiri sehingga pernikahan tidak sah dan dapat berakibat pada
batalnya status akad nikahnya. Berdasarkan klausul itu nikah sirri
secara otomatis tidak sah menurut hukum positif.
Untuk mengukur sahnya pernikahan tidak hanya
itu, tetapi dalam ketentuan yang mengatur masalah perkawinan umat Islam di
Indonesia, di samping adanya suatu keharusan untuk mencatatkan peristiwa
perkawinan melalui petugas yang telah ditunjuk untuk itu dalam hal ini Pegawai
Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sehingga dengan demikian peristiwa
perkawinan akan memperoleh akta nikah secara resmi. Sementara nikah sirri
pencatatan tidak berlaku, tidak dicatatkannya pernikahan sudah barang tentu
menyalahi kaedah yang berlaku dalam hukum positif yaitu Pasal 2 Ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang ini pada dasarnya tidak berbeda
dengan hukum (syari’at) agama, pendekatan hukum Islam melalui instrumen qiyas
menunjukan wajibnya pencatatan dalam setiap bentuk pernikahan. Nikah sirri
yang tidak dicatatkan, di samping menyalahi aturan hukum positif juga menyalahi
aturan syari’at.
Materi Undang-undang Perkawinan pada dasarnya
meninsert pokok-pokok syari’ah Islam telah mengakar kuat dalam masyarakat
Indonesia bahkan jauh sebelum Undang-undang ini diberlakukan. Melihat akibat
dari nikah sirri yang dapat menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan
masih banyaknya sebagian masyarakat yang melakukan nikah sirri
semestinya ke depan harus negara mengambil lagkah-langkah untuk menertibkannya
atau paling tidak memimalisir praktek pelaku nikah sirri, dengan
menerapkan denda bagi pelaku nikah sirri, termasuk bagi yang terlibat di
dalamnya. Problem yang mendasar fenomena nikah sirri adalah adanya
pemahaman yang dikotomis antara sah menurut agama dan hukum negara. Pandangan
ini tidak saja dijumpai oleh para pelaku nikah sirri dan para ulama
akan tetapi juga berkembang pula di
kalangan pejabat yang berwenang dalam menangani masalah nikah yaitu Pegawai Pencatat Nikah maupun Aparat Peradilan.
Pandangan tersebut biasanya terletak pada sah
apabila dilakukan dengan telah memenuhi syarat dan rukunnya, sedangkan
pencatatan hanya aturan pemerintah sebagai kewajiban sebagai warga negara.
Sedangkan pendapat lain juga mengatakan tidak ada pembedaan antara sah menurut
agama dan sah menurut aturan pemerintah. Menurut pendapat ini administrasi
pencatatan perkawinan dengan melihat kepada kompleksitas yang selalu dijumpai
di zaman sekarang ini, dengan kata lain bahwa nikah tanpa pengawasan dan
pencatatan oleh pihak berwenang dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan
dianggap tidak sah karena nikah tersebut membawa danpak negatif dan tidak
tercapainya maqashid al-syari’ah yaitu dalam rangka memelihara agama,
jiwa, keturunan, akal dan harta benda. Apabila terancam kemaslahatan untuk
memelihara salah satu yang lima itu karena akibat nikah sirri, maka
secara tak langsung telah bertentangan dengan tujuan hukum disyariatkan
sehingga nikah sirri dapat saja dianggap tidak sah menurut hukum
positif.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan
walaupun dalam Undang-undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat saja, namun
pada dasarnya masalah pencatatan ini sangat dominan, sehingga tidak berlebihan
rasanya jika ada pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administraitif
yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
4.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
atau Burgerlijk Wetboek merupakan perangkat hukum peninggalan warisan
Hindia Belanda yang telah diakui sebagi sumber hukum nasional. Masalah
perkawinan diatur dalam buku satu tentang orang bab empat mulai dari Pasal 26
sampai Pasal 102. Secara umum peraturan perkawinan di dalamnya memiliki
kesamaan dengan Undang-undang Perkawinan. Seperti halnya hukum positif lainnya,
KUHPer juga tidak menyebut sama sekali istilah nikah sirri.
Kewajiban pemberitahuan kehendak nikah kepada
pencatatan sipil yang diatur dalam Pasal 50 dimaksudkan agar pernikahan yang
akan dilangsungkan dicatatkan secara resmi. Kegiatan pencatatan adalah sebagai
bukti bahwa pernikahan telah dianggap sah berdasarkan hukum yang berlaku,
sebagai konsekuensinya pasangan suami-isteri berhak mendapatkan akta nikah.
Sementara dalam Pasal 100 ditegaskan bahwa perkawinan harus dapat dibuktikan
dengan akta yang dibukukan dalam register catatan sipil. Suatu indikasi dimana
pernikahan baru akan dapat dianggap sah apabila ada akta nikahnya. Dalam nikah sirri,
akta nikah tentu tidak ada karena tidak dicatatkan, sehingga menurut KUHPer
nikah semacam ini adalah tidak sah dan tidak legal secara hukum.
Akta nikah ternyata berfungsi memperkarakan
permasalahan rumah tangga suami-isteri di pengadilan agama, dalam Pasal 1865
setiap orang yang menegakkan haknya maupun membatah hak orang lain diwajibkan
membuktikan adanya hak dan peristiwa. Alat bukti dimaksud
dalam Pasal 1866 terdiri dari bukti tulisan, saksi-saksi, persangkaan,
pengakuan, dan sumpah. Jadi dengan demikian menurut KUHPer, jika suatu
peristiwa hukum tidak dapat dibuktikan atau tidak menunjukan alat bukti (akta
nikah), maka perkara hukum lanjutan yang melekat di dalamnya tidak dapat
diproses. Nikah sirri yang tidak dapat dibuktikan dengan akta tidak bisa
diperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di pengadilan agama, seperti isbat
nikah, perceraian, pembagian hak waris dan mengurus akta kelahiran anak.
5.
Kesimpulan.
Berdasarkan pada uraian di atas baik menurut
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) jo.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
eksistensi nikah sirri sangatlah lemah, sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum dan tidak tercapai kemaslahatan sebagai tujuan hukum Islam.
Namun demikian setelah diuji materi anak yang dilahirkan di luar perkawinan (termasuk
nikah sirri) mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis
dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh
pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya, putusandan jika
ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi negara.[3]
Meskipun jika dikaji lebih lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terkait status
anak yang di luar nikah juga sangat riskan dan bisa juga berpotensi
menjerumuskan, jika dikaitkan dengan hukum Islam.
Footnote:
[1] Baca Fiqh.
[2]
Menjadi
Yurisprudensi.
[3]
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 terkait uji materi Pasal 43
UU Nomor 1 Tahun 1974. Pendapat yang melandasi keputusan itu, antara lain, setiap anak
adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam
perkawinan yang sah atau di luar itu, dan bahwa dia berhak memperoleh layanan
dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
pengangkatan anak. Hal itu sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM).