الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر.
إنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ ونَستَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُورِ أنفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنا مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ ومن يُضْلِلْ فَلا هَادِي لَهُ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ألِ إِبْرَاهِيْمَ ِفي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا أَلَا وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.
Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan kenikmatan ibadah, dalam bulan Ramadhan yang baru saja berlalu,
demikian juga ibadah shalat Id pada pagi hari ini, karenanya kita berharap
semoga semua itu dapat mengokohkan ketaqwaan kepada Allah SWT dalam menjalani
sisa umur dalam kehidupan di dunia ini. Konsekuensi dari taqwa yang membuat
kita bisa keluar dari berbagai persoalan hidup dan mengangkat derajat menjadi ummat
yang mulia di hadapan Allah SWT. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para
penerus risalahnya hingga akhir zaman kelak nanti.
Sekali lagi bulan Rmadhan yang penuh berkah dan kemulian telah
berlalu, Ramadhan merupakan bulan penuh rahmat dan ampunan (maghfirah)
telah memotong umur kita pada tahun ini untuk kembali pada tahun berikutnya.
Boleh jadi kita masih berjumpa dengan bulan ini pada tahun yang akan datang,
namun tidak menutup kemungkinan bahwa Ramadhan yang telah berlalu itu merupakan
penghabisan bagi kita Allahu’alm bi shawab.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin yang berbahagia.
Suasana pagi ini semua kita memiliki perasaan sama yang diselimuti
rasa kegembiraan. Gembira bukan karena banyak makanan dan minuman tersedia di
rumah, bukan karena uang lebih dari cukup dan bukan pula karena pakaian serba
baru. Namun gembira karena berada dalam kefitrahan atau kesucian jiwa,
kebersihan hati setelah melaksanakan ibadah Ramadhan, sebagaimana Rasulullah
SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ
صِيَامَ رَمَضَانَ وَسَنَنْتُ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِحْتِسَابًا
خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
“Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi
mewajibkan puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan shalat malam harinya.
Barangsiapa puasa Ramadhan dan shalat malam dengan mengharap ridha Allah, maka
dia keluar dari dosanya seperti bayi yang dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu seyogianya juga kita diliputi oleh rasa kesedih
duka yang mendalam karena Ramadhan yang sudah berlalu belum kita jalani dengan
penuh kesungguhan, mungkin banyak di antara kita yang berpuasa hanya sekedar meninggalkan
tidak makan dan tidak minum di siang hari Ramadhan, shalat tarawih hanya mengejar jumlah
rakaat tanpa kekhusyukan, tilawah atau tadarus Al-Qur’an yang
hanya mengejar target khatam tanpa berusaha untuk memahaminya (tadabbur),
demikian juga terlalu sayang dengan harta benda sehingga tidak mau bersedekah
atau hanya sedikit bersedekah dibandingkan dengan banyaknya harta yang kita peroleh.
Padahal tidak ada jaminan bahwa tahun yang akan datang berjumpa dengan Ramadhan
karena mungkin saja umur kita tidak sampai pada Ramadhan tahun berikutnya
sebagaimana hal itu dialami oleh orangtua, sanak saudara, handai taulan, teman
sejawat dan jamaah kita, hingga tokoh-tokoh kita yang sudah lebih dahulu
dipanggil menghadap kepada Allah SWT.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin yang Terhormat.
Selain
daripada itu perlu dicatat bahwa Ramadhan yang telah usai merupakan traning
centre sebagai sarana pendidikan kepribadian (tarbiyah) dan pembinaan
yang luhur dan komprehensif, baik untuk pembinaan ruhiyah (mental
spiritual), jasadiyah (badan), ijtima’iyah
(sosial), khuluqiyah (akhlaq), hadloriyah
(peradaban) serta jihadiyah (perjuangan) pada diri umat
Islam. Ibarat sebuah lembaga pendidikan yang mempunayi standarisasi, yang di
dalamnya para pelajar digembleng, dididik, dilatih dan dibina secara ketat,
sehingga kelak setelah selesai belajar menjadi pelajar mumpuni dalam bidangnya,
berprestasi terbaik, dan unggul (dapat bersaing) serta berdaya guna. Ketika
mereka dididik dengan materi silabus yang sesuai, ditempa dengan pembinaan yang
maksimal dan kurikulum yang jelas dan terarah, maka kelak mereka menjadi sosok
yang bukan saja memberikan maslahat untuk dirinya sendiri namun juga akan
bermanfaat untuk keluarga, lingkungan, masyarakat dan Negara serta agamanya,
bukan sebaliknya dengan pola pendidikan yang instan tanpa memperhatikan
nilai-nilai moralitas justru akan menghancurkan pribadinya bahkan akan menjadi
orang bermasalah dalam hidupnya sehingga akan merusak tatan hidup masyarakat.
Akhir-ahkir
ini kita agak terperanjat dan tentu kita menyadari betapa banyak pribadi,
keluarga, masyarakat, jamaah hingga bangsa dan negara yang tidak baik, amat
jauh perjalanan hidupnya dari ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT, bahkan
bisa jadi kita termasuk orang yang demikian, semua itu berpangkal pada hati
yang rusak akibat pola pendidikan yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai
moral. Oleh karena itu hati memiliki kedudukan sentral yang sangat urgen dalam
menentukan arah kepribadian seseorang. Baik dan buruknya seseorang sangat tergantung
bagaimana keadaan hatinya, bila hatinya baik maka baiklah orang itu dan bila hatinya
rusak maka rusaklah orang itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berbunyi:
أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.
“Ingatlah, di dalam tubuh manusia
terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, baiklah anggota tubuh dan apabila ia
buruk, buruk pulalah tubuh manusia. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian
juga dengan Ramadhan yang di dalamnya terdapat kewajiban, sunnah tarawih, tilawatil
Qur’an dan amaliyah lainnya, merupakan sarana penempaan dan pendidikan yang
memiliki kurikulum langsung dari Allah SWT, sehingga kelak ketika tamat dari
madrasah Ramadhan ini diharapkan menjadi sosok pribadi shalih dan muslih
sehingga menjadi panutan bagi generasi sesudah kita kelak (rol model), seperti
dalam kaidah Arab disebutkan:
الصَّلاَحُ قَبْلَ الإِصْلاَحِ.
“Perbaiki diri sebelum perbaikan
kepada yang lain.”
Atau menjadi pribadi:
الصَّالِحُ وَالْمُصْلِح.
“Baik secara individu dan sosial.”
Sosok
pribadi muslim yang mumpuni memiliki syakhshiyah Islamiyah mutakamilah
mutawazinah (sosok pribadi Islami yang komprehensif dan seimbang)
tidak hanya berjiwa bersih, berbadan sehat dan kuat serta berakhlaq mulia,
namun juga memberikan kebaikan kepada dirinya, lingkungan dan masyarakat
sekitarnya bahkan juga membawa danpak positif untuk kelangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bukankah Allah SWT tidak akan memperbaiki nasib suatu
negeri, bangsa atau kaum, kalaulah bukan kaum itu sendiri yang mengubah nasib negeri,
bangsa atau negaranya sendiri, yaitu dengan cara membangun sarana perbaikan
jiwa-jiwa secara personal dan mendasar terlebih dahulu, sebagaimana Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang
pada diri mereka.” (Ar-Ra’ad:11).
Dari
hati yang bersih akan mampu merubah dirinya sendiri yang selanjutnya menjadi
pribadi yang bertaqwa sebagai danpak pelaksanaan Ramadhan yang sesungguhnya
sehingga menjadi orang bertqwa. Namun yang perlu dicatat untuk mencapai tingkat
kualitas derajat taqwa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tingkat
taqwa membutuhkan proses yang sangat panjang yang harus ditempuh oleh setiap muslim,
selain harus melandasi dengan basic keimanan yang benar, namun juga menempuh
proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan mulia.
Begitulah ketika Allah SWT menginginkan derajat taqwa yang akan diberikan
kepada hamba-Nya, dengan landasan iman, proses ibadah puasa yang benar dan
hasilnya mencapai tingkat taqwa, sebagaimana Allah SWT telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah:183).
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral kaum Muslimin yang Berbahagia.
Hingga saat ini kita belum sadar pada dasarnya terdapat kepincangan
antara implementasi taqwa dengan keshalehan. Di satu sisi kita memiliki
keshalihan personal yang tinggi di hadapan Allah SWT sementara di sisi lain
hak-hak sosial dalam diri kita masih sering kita lalaikan, atau dengan frasa
lain bahwa keshalihan sosial berada pada prioritas tertinggi dalam kewajiban sosial
sehari-hari, sementara ibadah down grade dan dilalaikan bahkan tidak dilaksanakan
sama sekali. Sesungguhnya agama pada esiensi diwahyukan untuk memberikan
petunjuk (alhuda) dan sebagai way of life bagi setiap orang.
Petunjuk tersebut tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks keshalehan
personal semata, akan tetapi sebaliknya berlaku secara makro pada tataran
keshalehan sosial dan personal. Andaikan setiap orang menilik secara bijak
antara keshalehan personal dengan keshalehan sosial, keduanya berjalan linier
dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik
secara vertikal maupun horizontal ibarat dua sisi mata uang atau ibarat “au
jo tabiang” dalam pepatah urang Minang yang tidak dapat dipisahkan.
Sebuah ilustrasi dalam fakta sosial yang kerap dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari banyak sekali ummat Islam yang telah menunaikan rukun
Islam kelima yakni ibadah haji ke Makkatulmakarramah lebih dari satu
kali bahkan berulang kali bolak balik karena memiliki kemampuan ekonomi yang
lebih dari cukup, namun sayang fakta ironisnya masih belum memiliki kepekaan
sosial yang tinggi. Sementara syariat ibadah haji dan ibadah mahdhah lainnya
pada dasarnya menjunjung tinggi kesadaran dan empati sosial, semisal muamalat (hubungan
sosial), munakahat (hukum keluarga), jinayat (pidana), Qadha (peradilan),
dan imamah al siyasah (politik kepemimpinan). Prinsip-prinsip
beragama pada dasarnya mengarahkan pandangan (opinion) pada keshalehan
sosial dalam arti yang komprehensif.
Sebagai ilustrasi yang lain fiqih telah menganjurkan untuk
melaksanakan shalat berjamaah dalam bentuk perintah sunnah muakadah dibandingkan
dengan shalat munfarid (sendirian), dengan skla 1 berbanding 27, filosofi
dalam shalat berjamaah akan terbangun interaksi sosial yang rukun dan harmonis,
terciptanya solidoritas antar sesama, empati satu sama lain dan aspek-aspek
sosial lainnya. Demikian juga nilai filsafat ibadah puasa, mengajarkan untuk
memiliki sikap tenggang rasa (tepo salareo), peduli, dan solidaritas tinggi
yang merupakan tatanan dari kehidupan sosial bukan keshalihan pribadi semata. Sebaliknya
agama obyektif lebih bermakna akhlakul
karimah, yakni kontekstualisasi sikap dan perilaku kita pada tataran sosial
dengan menyandarkan perilaku tersebut pada ajaran agama salah satu contohnya
adalah kejujuran (integritas). Sejarah mengatakan tidak ada satu pun
agama di dunia ini yang mengajarkan pemeluknya untuk memiliki sikap tidak jujur
dan korupsi, sebagai bukti kontekstualisasi ajaran agama pada aspek perilaku
manusia. Agama selalu dilihat pada sisi subjektif dan obyektif sama halnya
dengan konsep iman dan amal. Iman bersifat personal tetapi amal merupakan aplikasi
iman dalam kehidupan sosial, iman menjadi landasan perilaku baik dalam konteks
hubungan vertikal (hablum minallah) maupun hubungan horizontal (hablum
minannas wa hablum minal ’alam). Sementara itu agama simbolik adalah agama nisbi
yang hadir karena tuntutan dari agama subjektif dan obyektif. Diibaratkan jika
agama subjektif dan obyektif adalah ruh dan jiwa, maka agama simbolik adalah
raganya.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin yang Rahmati Allah SWT.
Jika dibahas lebih konkrit kelihatannya terlalu idealis
untuk menyeimbangkan antara keshalehan personal dan sosial, tidak bijak rasanya
jika tidak mencoba dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Agama
akan menjadi kering dengan hanya menitikberatkan pada pemahaman yang bersifat
personal tanpa menghadirkan nilai-nilai sosial di dalamnya. Karena esiensinya
agama memiliki peranan yang sangat vital dalam membina prilaku dan mentalitas umat
manusia. Agama tidak sekedar memiliki fungsi sebagai aturan kehidupan bagi
manusia, sebaliknya agama memegang peranan yang bersifat universal. Ibadah
puasa identik dengan pelatihan diri untuk bersikap jujur dan kepekaan sosial,
karena puasa bukanlah ibadah raga namun ia merupakan ibadah hati, hanya orang
yang puasa dan Allah SWT sajalah yang tahu bahwa dirinya sedang puasa
sehingga Allah SWT langsung menyandarkan kepada-Nya dan Dia sendiri yang akan
membalasnya. Sebagaimana dalam hadis Qudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ
الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِه.
"Setiap amalan anak cucu Adam akan dilipatgandakan
pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali
lipat. Allah 'Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, sungguh dia
bagianku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik Muslim).
Sifat jujur adalah tanda bukti keimanan seseorang, karena orang
mukmin pasti jujur, andaikan tidak kejujuran, keimanannya harus dipertanyakan
dan bahkan sedang terserang penyakit alias virus kemunafikan. Dalam suatu
riwayat pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir?” Rasululullah
SAW menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin
seorang mukmin bersifat pengecut?” Rasulullah SAW menjawab: “Mungkin saja.”
Sahabat bertanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?” Rasulullah SAW
menjawab: “Tidak.” (Imam Malik dalam kitab al
Muwaththo’).
Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda:
“Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa
kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.” (HR Imam Ahmad, Muslim, at-Turmuzi, Ibnu Hibban).
Nilai kejujuranlah sahabat Ka’b bin Malik mendapat ampunan
langsung dari langit sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surah at-Taubah dan
akhirnya kita pun diperintah oleh Allah SWT untuk mengikuti jejak mereka
sebagimana firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah:119).
Hanya ada satu kata bahwa sifat jujurlah yang menyelamatkan
bahtera kebahagiaan keluarga, masyarakat dan bahkan kelangsungkan hidup bernegara
dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang muslim dari azab api neraka di
kemudian hari. Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlaq, dan pokok
kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidaklah lengkap, akhlaq tidak
sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia. Di sinilah urgensinya
kejujuran bagi kehidupan Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan
melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di
dalam kejujuran itu terdapat keselamatan.”
(Abu Dunya).
Ada
tiga tingkatan kejujuran yaitu:
1. Jujur dalam perktaaan yaitu
kesesuaian ucapan dengan realitas, sebagaimana dalam surat ash-Shaff : 2
dan al-Ahzab: 70.
2. Jujur dalam perbuatan, yaitu kesesuaian antara ucapan dan
perbuatan sehingga terhindar dari perbuatan munafiq.
3. Jujur dalam niat, yaitu kejujuran tingkat tinggi di mana
ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk mencapai ridha Allah SWT.
Tidak cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan bagi seorang
mukmin, tapi harus jujur dalam niat sehingga semua ucapan, perbuatan, kebijakan,
dan keputusannya harus didasarkan atas tujuan mencari keredhaan Allah SWT. Kejujuran
yang mesugesti Khalifah Umar bin Khattab ra memiliki tanggung jawab luar biasa
dalam memerintah daulah Islamiyah sehingga ia pernah berkata:
“Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad
(padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan ditanya kelak: “Mengapa
tidak kau ratakan jalan untuknya?”
Saat ini bangsa kita rasanya tak henti-henti diterpa berbagai
macam musibah, krisis dan kasus amoral oknum pejabat, sehingga membutuhkan sosok
orang-orang jujur baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, apaakh itu dalam
ucapan, perbuatan, maupun niatnya. Terpuruknya kondisi bangsa akhir-akhir ini
karena banyaknya orang-orang yang tidak jujur sehingga prilakunya tidak sejalan
dengan amanat reformasi dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Allahu Akbar 3x wa lillahil Hamd,
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.
Bangsa ini umat Islam khususnya sangat mendambakan sosok
pribadi-pribadi yang jujur, baik sebagai rakyat maupun pemimpin, seorang
pegawai maupun direktur, eksekutif, legislatif dan yudikatif, para pedagang
maupun pembeli, suami dan istri, ayah dan anak, keluarga, lingkungan dan dalam
berbagai lini kehidupan lainnya. Bahwa dengan kejujuranlah, hidup suatu bangsa
akan menjadi tenteram, nyaman dan sejahtera, bahkan akan kokoh dan tegak
berdiri di kaki sendiri sehingga jauh dari tipu daya dan kecurangan, karena
itulah Rasulullah SAW mengingatkan kita:
“Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa
kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.”
Seorang
pemimpin dalam lini apapun sangat dibutuhkan sikap kejujuran dirinya, sehingga
dengan demikian dapat memberikan keadilan, kenyamanan dan ketenteraman hidup bawahannya,
kejujuran bukanlah sekedar ucapan pemanis lidah, atau hanya keluhan belaka,
dengan mengatakan di hadapan orang banyak “sejujurnya saya katakan” namun
ia merupakan praktek nyata yang kelihatan kebohongannya sehingga membuat bangsa
ini semakin terpuruk. Sesungguhnya pejabat yang jujur, adalah dambaan rakyatnya,
sehingga dengannya dapat memberikan kemaslahatan besar untuk rakyatnya, sekalipun
kondisi dirundung masalah, saatnya kita harus berikan keterangan apa adanya,
jangan disembunyikan atau jangan hanya tebar pesona. Demikian juga hakim yang
jujur, adalah harapan semua pihak, sehingga dapat mengeluarkan putusan hukum
yang adil, tidak memihak kepada yang kuat atau punya uang dan ada
mamfaatnya. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim ada tiga golongan, dua
di antaranya penghuni neraka sebagai hakim menyembunyikan kebenaran dan satu di
surga yaitu hakim jujur. Demikian juga sebagai rakyat tentu harus jujur,
terutama dalam memilih seorang pemimpin masih banyak yang mudah dibuai oleh
rayuan kata-kata dan harta yang sedikit (money politic), memilih
pemimpin yang tidak mempunyai kepribadiannya adalah salah besar. Rusaknya
tatanan sistem kenegaraan sebuah bangsa adalah tidak ada kejujuran dalam
pengelolaannya, bahkan sampai hari ini banyak oknum pejabat yang masuk bui
karena ketidak jujurannya, sangat ironis rasanya dulu pendiri republik ini
keluar masuk penjara baru menjadi pemimpin, namun kini menjadi pemimpin dulu
baru masuk penjara karena prilaku korupsinya na’zubillah minzalik.
Akhirnya
marilah kita instropeksi dan mengaca diri, bahwa kita semua memerlukan
pembenahan secara personal dan sosial, dan kita jadikan bulan Ramadhan
yang telah kita lalui sebagai titik awal perbaikan diri menuju keshalihan diri
dan social masyarakat, membangun kehidupan yang baik menuju keshalihan sosial
sehingga berbuah hasil “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur” (suatu negeri
yang makmur, dan dibawah ampunan Allah SWT). Ramadhan merupakan refleksi
mengasah ketajaman kepekaan jiwa sosial tinggi hingga menjadi seperti pisau
yang tajam, sebilah pisau yang tajam akan mudah memotong dan menyanyit-nyanyit
sesuatu. Andaikan kesholehan sosial telah tertanam akan mudah pula membedakan
mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan jika sudah tertanam
qaidah perintah pun tidak selalu harus disampaikan dengan kalimat perintah (amr),
cukup dengan bahasa isyarat saja sudah dapat dipahami kalau hal itu merupakan
perintah yang harus dilaksanakan tanpa harus bertanya dan mengulang pertanyaan.
Menjadi orang yang memiliki kepekaan sosial, momentum puasa merupakan salah
satu caranya, karenanya pada waktu puasa, teguran orang lain kepada kita
meskipun dengan bahasa isyarat sudah menyadarkan akan kesalahan yang kita perbuat,
ini membuat kita dengan mudah bisa menangkap dan membedakan mana yang haq
dan mana yang bathil, sesuatu yang selama ini semakin hilang dari
pribadi masyarakat kita sehingga yang haq ditinggalkan dan yang bathil
malah dikerjakan, sehingga Allah SWT mengingatkan persoalan ini dalam sebuah firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم
بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ
فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.” (QS
Al-Baqarah:188).
Menjadi
amat penting bagi kita untuk memperlakukan hati dengan sebaik-baiknya sehingga
perbaikan (reformasi) diri, keluarga, masyarakat dan bangsa pasca Ramadhan
berakhir dapat kita realisasikan. Pada akhirnya, marilah kita akhiri pelaksanaan
ibadah shalat Id pagi ini dengan sama-sama berdoa kehadirat Allah SWT dengan
menadahkan kedua tangan dan hati yang khusuk semoga doa kita diijabah-Nya:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ. اَلْحَمْد ُلِلَّهِ رَبِّ
اْلعَالمِيْنَ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
حَمْدًا يُوَافِىْ نِعَامَهُ وَيُكَافِىْ مَزِيْدَه يَارَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ
كَمَا يَنْبَغِىْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ.
سُبْحَانَكَ لاَ نُحْصىْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
وَلَكَ اْلحَمْدُ حَتَّى تَرْضَى. اَللَّهُمَّ صَلِّ وسلم عَلَى سَيِّدِناَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْن.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ اِنَّكَ
سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.
Ya Allah, ampunilah dosa kaum
muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang
telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan
Mengabulkan doa.
اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ
خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ
لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ
الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا
وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.
Ya Allah, tolonglah kami,
sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami,
sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami,
sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami,
sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki
sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan
lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ
الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا
مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ
الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا
مِنْ كُلِّ شرٍّ.
Ya Allah, perbaikilah agama kami
untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami
untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbaikilah akhirat kami yang
menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi
kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi
kami dari segala kejahatan.
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ
خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا
تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا
مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا
وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ
ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ
تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ
عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا.
Ya Allah, anugerahkan kepada kami
rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat
kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan
anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala
musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui
pendengaran, penglihatan dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia
warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan
agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan
puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang
tidak mengasihi kami.
اَللَّهُمَّ اِنِّى أَعُوْذُ بِكَ
مِنْ عِلْمِ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ
تَسْبَعُ وَمِنْ دُعَاءِ لاَيُسْمَعُ.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari ilmu yang tak bermanfaat, dari hati yang tak khusyu dan jiwa yang tak
pernah merasa puas serta dari doa yang tak didengar (Ahmad, Muslim, Nasa’I).
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami
kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah
kami dari azab neraka.