PENAMBAHAN
WAWASAN DARI PERISTIWA ISRA’ DAN MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW
Allah SWT., Berfirman dalam QS. Al
Isra’ ayat 1:
سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى
المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير.
Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Arti Isra’ dan Mi’raj.
Ada yang berpendapat
bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada
waktu yang berbeda, Isra’ pada satu malam tertentu,
sedangkan Mi’raj pada malam yang lain. Namun menurut
Penulis bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada satu
malam yang berbarengan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al
Imam Al Baihaqi RA., keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al Imam Ibnu
Katsir RA., mengatakan: “Apa yang diungkapkan oleh beliau
(Al-Baihaqi) ini adalah yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan
padanya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir). Bahwa kedua peristiwa tersebut
adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi Muhammad SAW., secara sadar, dengan
ruh dan jasad, bukan ruh saja atau mimpi saja. Dengan argumentasinya sebagai
berikut:
- Diawali
dengan kalimat tasbih (سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى), bagi kalangan
umat Islam penggunaan kalimat tasbih juga sering dipakai ketika melihat
atau mendengar peristiwa luar biasa dan menakjubkan. Kalau Isra’
dan Mi’raj ini hanya dilakukan dalam mimpi saja, maka ini bukanlah
suatu peristiwa besar dan menajubkan. Dalam mimpi seorang manusia
bisa saja mengalami kejadian aneh-aneh maupun peristiwa mustahil yang tidak
akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
- Kalimat
(بِعَبْدِهِ), yang berarti hamba-Nya. Kalimat عبد (hamba),
bermakna sebuah ungkapan yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan
jasad, sebagaimana yang sudah dikenal dalam bahasa Arab. Adapun peristiwa Mi’raj
Allah SWT., telah abadikan dalam Al Qur’an dalam surat An-Najm ayat
17:
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.”
Demikian
juga merupakan argumentasi yang kuat yang menunjukkan
bahwa peristiwa tersebut terjadi dan
dialami oleh Rasulullah SAW., dengan ruh dan jasad. Hal ini ditunjukkan pada
kata الْبَصَرُ (yang berarti penglihatan,
maksudnya penglihatan Nabi SAW), karena kata الْبَصَرُ adalah sebuah
ungkapan yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad),
bukan dari ruh. Argumen lain yang menunjukkan
bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj dialami oleh Rasulullah
SWT., dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat ke 60 Surat Al Isra:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي
أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي
الْقُرْآَنِ
“Dan
Kami tidak menjadikan ru’ya yang telah Kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon
kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an.”
Abdullah bin Abbas RA., menafsirkan
makna ru’ya dalam ayat di atas adalah pemandangan yang diperlihatkan
kepada Rasulullah SAW., pada peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis,
adapun pohon kayu yang terkutuk adalah pohon Zaqqum
sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 s/d ayat 65. (Lihat HR. Al-Bukhari,
no. 3599).
Sebagiamana
ayat di atas peristiwa yang dilihat Rasulullah SAW,. ini
merupakan fitnah (ujian) bagi manusia,
siapa yang membenarkannya dan siapa saja yang akan mendustakannya.
Seandainya peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan
menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang termasuk kaum kufir Quraisy
akan percaya dan membenarkannya, karena sebagaimana yang sudah
disebutkan di atas bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh
atau peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di
alam nyata ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Adhwa-ul Bayan).
Sebagian
pihak yang tidak mengimani bahwa peristiwa Isra Mi’raj dengan
ruh dan jasad Nabi SAW., berdalil dengan adanya salah satu riwayat
dalam Shahih Muslim yang menyebutkan tentang peristiwa Isra dan Mi’raj beliau,
dan disebutkan di dalamnya:
وَهُوَ نَائِمٌ فِي
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram.”
Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa
beliau mengalami peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu
beliau sedang tidur.
Lahirnya Motivasi dari Peristiwa Isra’ dan
Mi’raj.
Kalau
membaca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum
peristiwa itu terjadi Rasulullah SAW., mengalami keadaan duka cita yang sangat
mendalam (tahun deka cita / umu’ azam. Beliau ditinggal oleh istrinya
tercinta Khadijah yang senantiasa selalu setia menemani dan menghiburnya di
kala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya
sendiri Abu Thalib, yang walaupun tidak berimana kepadanya namun dia sangat
melindungi aktivitas dakwah Nabi SAW. Sehingga orang-orang kafir Quraisy
semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya kepada Nabi SAW., dan
umatnya, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran onta ke
atas kepala Rasulullah SAW.
Dalam
keadaan dan situasi yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat
itu, menambah perasaan Rasulullah SAW., semakin berat dalam mengemban risalah Islamiyah.
Lalu Allah SWT., menghibur Nabi SAW., dengan memperjalankan beliau, sampai ke
langit dan menemui Allah SWT di raf-raf. Hingga kini peristiwa ini
seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam nuansa acara
peringatan Isra’ dan Mi’raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi
dan penyemangat (ghairah), bukan dalam rangka beribadah dalam artian
ibadah ritual khusus. Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan.
Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.
Dalam
Al Qur’an dari sekian ribu ayat (6666) di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang
menjelaskan tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yaitu dalam Q.S. Bani Israil
ayat 1, dan Q.S. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, adalah kebesaran Islam
itu bukan terletak pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, tapi pada tataran
konsepnya, sistemnya, dan muatannya (termasuk pesan spiritualiatasnya). Dalam
surat An Najm ayat 13 sampai 15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah SAW.,
menemui Jibril AS., dalam bentuk aslinya tepatnya taklala berada di Sidratil
Muntaha ketika Isra’ dan Mi’raj. Sebelumnya Rasulullah SAW., juga pernah
menjumpai malaikat Jibril AS., dalam bentuk asli ketika menerima wahyu pertama yaitu
Q.S. Al Alaq ayat 1-5 dari Allah SWT, yaitu ketika beliau berada di gua Hira.
Dan
di antara 25 nabi dan rasul, hanya 2 yang pernah berbicara langsung kepada
Allah SWT., yaitu Nabi Musa AS., dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi
Adam AS, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah SWT? Ya, tapi Nabi
Adam AS., ketika itu masih di Syurga. Setelah beliau diusir dan diturunkan ke
bumi, tidak lagi berdialog secara langsung dengan Allah SWT. Nabi Musa AS., berdialog
dengan Allah SWT., secara langsung ketika di bukit Tursina (di bumi), sementara
Nabi Muhammad SAW., di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi),
kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya dan muatannya. Oleh
karena itulah, peristiwa Isra’ dan Mi’raj sendiri tidak perlu secara berlebihan
diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya
adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila hanya beriman. Meskipun hanya Nabi Muhammad SAW., yang telah
diperjalankan pada malam harinya (Isra’ dan Mi’raj), tapi dia tetaplah manusia
biasa, hamba Allah SWT. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam
(Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.
Berharap Hikmah dari Peristiwa Isra’ dan
Mi’raj bagi Bangsa .
Paling
tidak ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi
SAW., sebagai spirit yang kuat untuk dapat diaplikasikan dalam realitas
hidup untuk membangun kepribadian, masyarakat dan juga untuk kepentingan
nusa dan bangsa.
Pertama, Isra’ dan
Mi’raj dari Masjidil Haram ke Mesjidil Aqsha dan terus naik ke Sidratul Muntaha
merupakan cara Allah SWT., dalam rangka meneguhkan hati Nabi-Nya dalam menyampaikan
pesan Ilahiah via instrumen dakwah, karena beliau dilanda musibah dengan
meninggalnya dua pembela utama dalam dakwahnya yaitu Abu Talib dan Siti
Khadizah. Dengan berjumpa Nabi SAW., secara langsung dengan Penguasa alam ini
akan dapat menguatkan pendirian dan keistiqomahan dalam mengemban risalah-Nya.
Sebagai bangsa besar yang kondisinya sedang dilanda beragam masalah krisis dan
musibah multidimensional sudah selayaknya seluruh komponen bangsa ini untuk
dapat menanggulanginya dengan lebih mendekatkan diri kepada hanya Allah SWT.
Hanya dengan pertolongan-Nya semata negara dan bangsa ini dapat keluar dari
beragam persoalan yang datangnya silih berganti.
Para
pelaku koruptor yang tidak pernah puas dengan usaha korupsinya walau sudah
banyak yang masuk hotel prodeo, bencana alam yang bertubi-tubi melanda dan
sebagainya sudah menjadi santapan berita harian di media elektronik dan cetak .
Yang mungkin bagi sebahagian orang sudah ada yang menjadi putus asa dengan masa
depan bangsa ini ke depan. Dengan semakin dekatnya seorang hamba kepada
Rabb-Nya akan menjadikan dirinya lebih tegar dan punya kekuatan yang luar biasa
dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah. Dengan kata lain, bahwa
peringatan Isra’ dan Mi’raj merupakan upaya Allah SWT., untuk mengokohkan
semangat dan meneguhkan langkah untuk ikut andil dalam mencari permasalahan
bangsa dan mencarikan jalan keluarnya (problem solving). Bukan justru
menambah keruh suasana yang tidak mementu jangan sampai banyak tukang kompor
ketimbang tukang lemnya.
Kedua, Isra’ dan Mi’raj
adalah proses naiknya Nabi SAW., dari tempat yang rendah (bumi) ke tempat yang
tinggi (Sidaratul Muntaha) untuk selanjutnya pulang ke bumi untuk
mengadakan perubahan-perubahan (gerakan restorasi dan refromasi) dengan
mengadakan perancanaan-perancanaan (planning) baru dalam membangun dan
memprogram langkah dakwah Islamiyah untuk ke depannya. Paling tidak bahwa dalam
merenungkan pesan-pesan Isra’ dan Mi’raj tercipta kesadaran secara komunal
dalam jati diri anak bangsa untuk lebih kreatif, dinamis dan rasa optimism
untuk membangun peradapan bangsa ini ke depan.
Bagi
para penyelenggara dan pejabat negara, tentu lebih bersungguh untuk merancang pembangunan dalam berbagai sector
riil, dan jangan pernah ada kata menyerah untuk mengejar para koruptor yang
selalu mencari kesempatan bahkan dengan menerapkan pembuktian terbalik dan
hukuman mati adalah salah satu hukuam efek jerah bagi pelaku yang lain untuk
tidak mencoba melakukan korupsi. Bagi para ilmuan dan pelajar siap untuk selalu
menciptakan penemuan dan inovasi baru demi kemajuan generasi yang akan dating,
atau dengan memasukan kurukulum korupsi dalam mata pelajaran adalah satu bentuk
menekan tindak pidana korupsi. Bagi mereka para pengusaha dan konglomerat dapat
bersinergi membangun ekonomi kerayatan yang berbasis ekonomi syariah agar
bangsa ini terhindar dari praktek ekonomi kapitalis yang mengandung unsur
ribawi harus segera diakhiri, bahkan yang terpenting tentunya adalah
keterlibatan langsung semua komponen dan lapisan yang dapat memberikan
kontribusi yang bermamafaat menurut kapasitas dan kemampuannya masing-masing.
Ketiga, Isra’ dan Mi’raj
adalah peristiwa yang terprogram dan terencana serta sangat jelas arah dan
tujuannya. Dengan kata lain bahwa Allah SWT., sudah mendisain sebuah perjalanan
Nabi SAW., tersebut dengan perencanaan yang jelas, matang dan mempunyai batas
waktu. Dibuktikan terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu hanya satu malam.
Sebagai suatu bangsa yang sedang dalam kondisi giat-giatnya membangun adalah
suatu hal yang perlu diperhatikan dan dicermati secara seksama. Untuk kembali
meninjau ulang kemajuan yang telah dicapai bangsa ini. Apakah bangsa ini sudah
mengalami kemajuan dan perobahan yang signifikan adalah suatu pertanyaan besar.
Sehingga dapat kembali merencanakan program pembangunan yang jelas, terencana
dan punya limit waktu dalam segala sektor kehidupan.
Peringatan
Isra’ dan Mi’raj momentum yang tepat sebagai hari bersejarah yang akan diperingati
oleh segenap umat Islam Indonesia seharusnya dapat dipahami dan ditangkap
sebuah pesan dan makna yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya tentu dapat
dijadikan sebagai motivasi dan spirit untuk membangun bangsa dan negara ini ke
depan ke arah yang lebih baik dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya
ala mini untuk dipergunakan sebagai perbaikan dan kemaslahatan umat sehinga
bahagia dunia dan akhirat dalam rangka mewujudkan negeri yang aman dan sentausa
di bawah ampunan Tuhan (baldatun thoibatun wa rabbun ghafur).
Memahami
Isra’ dan Mi’raj Sebagai Bentuk Logika yang Benar.
Korelasinya
dengan Isra’ dan Mi’raj para teolog Islam banyak berspekulasi tentang
perjalanan ke langit pada malam itu, sebab hal itu menimbulkan beberapa
kesulitan untuk memecahkanya. Ada yang berpendapat bahwa yang melakukan
perjalanan adalah ruhani saja bukan jasmaninya, namun istri Nabi SAW., Siti
Aisyah RA., mengatakan “Bahwanya jasmaninya Nabi tidak hilang” di tentang semakin
banyaknya kecenderungan untuk mengklaim bahwa perjalanan ini benar-benar secara
jasmani, bahkan kaum Mu’tazilah menguatkan bahwa yang melakukan perjalanan
adalah ruhaniah saja bukan jasmaniah. Namun ahlul mufasir Thabrani (awal abad
ke-10.M), berpendapat bahwa perjalanan Nabi SAW., itu benar-benar terjadi
secara sadar dan jasmani, karena mereka lebih harfiyah, dan dalam Al-Qur’an
sebagaimana ditekankan oleh Thabrani dengan jelas mengatakan “ bahwa Allah
SWT., telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam hari” dan “bukan jiwa
hamba-Nya”.
Sehingga
tidak mustahil ketika kejadian Isra’ dan Mi’raj ini banyak ditentang oleh kaum
rasionalis dan mereka berdalih “ bahwa mana mungkin seseorang mampu berjalan
melebihi kecepatan sinar.” Akan tetapi kenyataan ilmiah pulalah telah
membuktikan setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan
sistem yang lainnya. Bahwa kebutuhan waktu untuk mencapai suatu sasaran berbeda
satu dengan yang lainnya. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan suara yang lebih cepat, demikian juga halnya suara lebih lama dibandingkan
dengan cahaya, sehingga dapat dikatakan bahwa ada sesuatu yang tidak
membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran. Di samping itu juga bahwa manusia
memiliki keterbatasan berpikir (logika), dan berbatas pada eksperimen atau
melakukan pengamatan (hipotesa) terhadap fenomena alam yang dapat dilakukan
oleh siapa, kapan dan dimana saja.
Peristiwa
Isra’ dan Mi’raj juga memiliki makna sangat penting dalam ruang imajinasi umat
Islam. Makna penting itu jika diurai tentu akan memanjang. Isra’ dan Mi’raj
bisa dimaknai dari sudut pergolakan dakwah Nabi SAW, kebenaran doktrin Islam,
perjumpaan dengan para Nabi dan lain sebagainya. Tapi yang jelas, kisah-kisah
serupa itu mengarahkan pengetahuan dan kesadaran umat beragama akan narasi
besar yang memperkukuh dinamika umat manusia untuk menyaksikan kehadiran Yang
Maha Mutlak dan Maha Kuasa yakni Allah SWT. Ini sangat penting setidak-tidaknya
demi membendung usia tergelincirnya sejarah ketuhanan dan Agama dari sekadar
sejarah dunia yang biasa dan profan.
Disamping
itu pula, mi’rajnya seorang mukmin bukanlah sebuah upaya pendakian spiritual
untuk berpaling dari tanggung jawab kemanusiaan, melainkan justru agar terjalin
kontak dan jalinan interaksi sosial antara kehendak suci di langit dan
orientasi manusia di bumi ini. Shalat dan dzikir bisa dilihat sebagai institusi
iman dimana sebuah keyakinan dan orientasi keilahian diterjemahkan dikaitkan
dengan orientasi praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) diantara
sesama umat manusia. Dengan kata lain, bahwab rentangan spektrum Ilahi di satu
sisi dan spektrum kemanusiaan disisi yang lain secara metafisis tidaklah tepat
jika diletakan dalam perspektif ruang sebagaimana ruang yang difahami manusia
dalam hidup kesehariannya. Tetapi keduanya menyatu dalam sebuah kesadaran,
sehingga bagi seorang mukmin perilaku kemanusiaannya hendaknya memuat kualitas
Ilahi, dan kehangatan dalam bertuhan hendaknya terefleksikan dalam perilaku
kemanusiaanya itu snediri.
Sementara
itu menurut tradisi Islam yang berkembang juga, bahwa peristiwa Isra’ dan
Mi’raj terjadi selama priode Makkah yang terahir dari kehidupan Nabi Muhammad
SAW., tidak lama sebelum hijrah ke Madinah, yang biasa diperingati pada tangal
27 Rajab setiap tahunnya, yang terajdi pada bulan ke tujuh tahun hijiriyah. Di
daerah Kasmir (India), biasanya memperingati Isra’ dan Mi’raj selama satu mingu
dengan memperbanyak bacaan-bacaan yang memuji Nabi SAW., mengagungkan namanya.
Di Turki diperlakukan sama dengan malam kelahiran (mauled), sebagai malam yang
penuh dengan berkah dan biasanya malam-malam itu masjid di hiasi dengan
lampu-lampu dan diramaikan puji-pujian.
Dalam
peristiwa ini di samping Nabi SAW., melihat tentang kebesaran-kebesaran Allah
SWT., juga diperlihatkannya surga beserta panoramanya dan peristiwa-peristiwa
yang lain yang menakjubkan. Berbagai fenomena yang ditemui oleh Nabi SAW., saat
melakukan wisata religius begitu banyak yang amat mengerikan, seperti bibir dan
lidah yang terus tergunting yang mencerminkan hukuman bagi orang-orang yang
selalu menyebarkan fitnah. Wajah dan dada yang terus tercakar sebagai gambaran
bagi mereka yang suka menindas. Orang-orang terus berenang di kolam nanah dan
darah lalu terus dilempari batu panas, sebagai gambaran siksaan bagi
orang-orang yang korupsi dan makan harta riba. Semua amatlah penting untuk
dijadikan sebagai referensi renungan di tengah gelombang kehidupan yang semakin
runyam dan begitu dahsyat dalam perbuatan maksiat seperti merajalelanya pelaku
korupsi, pemerkosaan, perzianahan dan lain sebagainya adalah merupakan jalur
instropeksi dengan peringatan Isa’ dan Mi’raj dan jangan hanya sebagai
simbul-simbul kegamaan semata.
Di
samping itu juga agar manusia tidak melakukan tindakan-tindakan yang
sewenang-wenang. Juga agar manusia tidak melangsungkan hidupnya di dunia yang
hanya mengikuti zaman yang carut-marut dan penuh perbuatan maksiat, akan tetapi
manusia diharuskan dan diharapkan hidup dan beraktivitas dengan bahasa langit
seperti orang-orang suci, para Nabi, sahabat dan ulama bahkan menyatu dengan
Tuhan. Dengan hidup yang dihiasi dengan kesempurnaan bahasa langit dan bumi
akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidupnya (insal kamil).
Di
samping itu Isra’ juga merupakan simbolisasi akan arti perjalanan hidup umat manusia,
isra’ adalah perjalanan mendatar (horizontal) dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsa di Palestina. Hal ini mengisyaratkan proses pertumbuhan yang bersifat
kuantitatif. Mi’raj adalah perjalanan naik (vertikal) dari Masjidil Aqsa ke
Sidratul Muntaha mengisyaratkan adanya proses kualitatif. Manusia makhluk Allah
SWT., yang paling sempurna, memahami hidup ini untuk menjalani proses
pertumbuhan dan perkembangan (dinamis).
Proses
perkembangan yang dibutuhkan lebih menekankan pada mental yang bersifat nilai
bukan materi semata. Proses ini lebih berbicara tentang kualitas hidup manusia
misalnya, bodoh menjadi pandai, dari hina menjadi mulia, dari terlaknat menjadi
terhormat, dari maksiat menjadi taat, dari mental korup ke mental bersih, dari
sifat negative ke positif. Kemudian proses yang bersifat kuantitatif, dari
mulai kecil kemudian besar, sedikit menjadi banyak, dari berat menjadi ringan. Kedua
proses yang tidak bisa dipisahkan ini menjadi pembeda antara manusia dan
makhluk biologis lainnya. Proses perkembangan adalah proses yang khas pada diri
manusia, sebab tidak terjadi pada binatang bahkan Malaikat sekalipun. Sedangkan
proses pertumbuhan terjadi pada semua makhluk biologis. Sehingga disinilah
letak perbedaan manusia dengan makhluk lain.
Dalam
proses perjalanan Mi’raj umat Islam diingatkan pada tiga titik, atau tiga
tempat yang paling penting yaitu, Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Sidratul
Muntaha. Hal ini mengingatkan juga pada tiga peristiwa penting dalam perjalanan
hidup manusia, yaitu kelahiran, kematian, dan kebangkitan. Dengan kata lain,
bahwa hidup bagi manusia adalah proses dinamis, proses ke masa depan, maka
perjuangan Isra’ dan Mi’raj adalah isyarat bagaimana manusia menatap masa depan
dan mengabdikan diri hanaya pada Allah SWT (sebagaiman dalam doa iftitah dari
pengalaman shalaat lima waktu). Dalam peristiwa ini yang termuat dalam
hikmah-hikmah Isra’ dan Mi’raj yang dapat dipetik dari momen-momen simbolik
peristiwa itu adalah:
1. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj juga
mengandaikan adanya motivasi untuk selalu belajar dari pengalaman orang lain.
Perjumpaan dan dialog antara Nabi Muhammad SAW., dengan Nabi-Nabi seniornya,
soal-jawabnya kepada Jibril AS., menandakan bahwa reformasi menuntut kerendahan
hati untuk belajar dari banyak kisah gagal dan sukses orang lain dan adanya
sebuah dialog intes antar komponen dan harus menjauhi segala unsur-unsur
kecemburuan, saling curiga dan menghujat.
2. Sejarah telah mencatat prosesi
pembedahan dada Nabi SAW., sewaktu akan melakukan Isra’ dan Mi’raj, peristiwa ini
menangkap simbolis pelapangan dada (shudur), penyucian hati (qalbu
quds), penajaman nurani. Bahkan lebih spesifik proses medis pembedahan itu
beresensi persiapan untuk bermunajat dengan Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Suci
yaitu Sang Penguasa Alam Semesta Allah SWT. Sehingga hanya hati yang suci dan
terhindar dari segala bentuk maksiat yang akan sampai kepada Sang Pencipta Alam
melalui mediatasi yang benar dan tidak mengadung segala bentuk perbuatan bid’ad
dan musyrik.
3. Sebatas yang bisa diamati,
spiritualitas atau perasaan bahwa adanya kontrol yang Maha Mengetahui atas
segala tindak tanduk dan aktivitas manusia, menjadi penting tatkala sistem-sistem
yang direformasi tidak berjalan dengan ruh yang hendak dinginkan dan ideal.
Wisata spiritual Nabi SAW., dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, mengindikasikan bahwa
spiritualitas sangat penting untuk menuntaskan misi dan visi reformasi. Sebuah
falsafah moralitas mengingatkan bahwa: “Innama al-umam al-akhlaq ma baqiyat,
fain hum dzahabat akhlaquhum dzahaba” (suatu komunitas akan kekal bersama
moralitas; bila moralitasnya hancur, raiblah mereka bersamanya). Jika pelaku
penyelenggara Negara ini masih bermentak korup dan saling menghujat satu sama
lainnya maka sungguh sangat ironis, dan seharusnya bangsa yang dihuni oleh
rakyat yang beragama mempunyai sifat malu terhadap dunia luar yang semakin hari
tingkat korupsi justru malah menjadi-jadi bahkan juga telah merambah kepada
kaum Hawa, mungkin apakah yang salah dari itu semua, jawabanya hanya bahwa
pelaku itu tidak merasa diawasi oleh Yang Maha Mengetahui.
4. Bahwa kelapangan dada, kerendahan hati
dan ketajaman nurani sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi SAW., dalam misi
dakwahnya, terlihat sangat penting dalam misi-misi profetik dan sosial demi
mereformasi dan merestorasi sebuah tatanan sosial yang tidak ideal dan berbau
praktek jahiliyah. Sehingga fungsinya, sebagaimana yang ditegaskan Al-Qur’an,
dapat meringankan beban (psikis), mengangkat citra, dan menumbuhkan optimisme,
bahwa dibalik kesengsaraan ada jalan keluar. Sehingga tidak ada yang namanya
pencitraan semata, cari muka dan cari simpatik dari orang lain.
Memahami
Isra’ dan Mi’raj Akan Menambah Wawasan dan Ilmu Pengetahuan.
Dalam rangka membahas dan mengkaji suatu peristiwa
harus berdasarkan ilmu pengetahuan, dan pasti agaknya menjadi sesuatu yang
susah dimengerti, karena memang sedikit sekali yang tertarik untuk memilih
menjadi seorang scientis dan lebih tertarik pada isu-isu sosial dan
politik. Tetapi sesungguhnya ilmu pasti itu telah ada di jagad raya ini
dan justru itu merupakan salah satu dari firman Allah SWT., dalam bentuk kauniyah
yang berupa hukum alam (natural law). Fisika adalah salah satu bagian dari
ilmu alam yang telah Allah SWT., sediakan di jagad raya ini, dan tugas ummat
adalah menggali agar satu demi satu ilmu alam itu dapat terungkap rahasianya.
Allah SWT., telah berfirman dalam Al Qur’an
bahwa tidak satu pun dari ciptaan serta kejadian di alam semesta ini yang
kebetulan dan sia-sia. Para pemikir seperti Aristoteles dan Einstein pun
menyatakan bahwa alam semesta bertindak sesuai tujuan tertentu. Dengan demikian
ta’bir apakah yang ingin perlihatkan melalui Isra’ dan Mi’raj oleh Allah SWT?
1.
Adanya dimensi ekstra.
Dalam
teori ilmu fisika ada teori yang menjadi tonggak perkembangan fisika modern
yaitu Teori Relativitas Khusus (TRK), teori ini menyatakan bila orang
bergerak dengan laju tinggi maka dia akan mengalami dilatasi / pemuluran waktu.
Artinya, satu menit bagi orang yang bergerak bisa jadi lima menit atau lebih
bagi orang lain yang diam, dalam Al Qur’an Surat al-Ma’arij ayat 3-4 dinyatakan:
مِنَ اللَّهِ ذِي
الْمَعَارِجِ (٣)تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ
مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤)
“(Yang
datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan
ruh naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh
ribu tahun.
Ayat
ini mengisyaratkan adanya dilatasi/pemuluran waktu, dimana satu hari perjalanan
malaikat dan ruh setara dengan 50 ribu tahun. Artinya kecepatan malaikat dan
ruh sama dengan kecepatan cahaya. Maksudnya
malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari, dan apabila
dilakukan oleh manusia, memakan waktu limapuluh ribu tahun.
Sehingga,
bukan saja malaikat yang tersusun dari nur (cahaya) melainkan juga ruh. Karena
menurut prinsip TRK, hanya materi tidak bermassa yang bisa bergerak dengan laju
cahaya dan materi tersebut hanya foton yang tidak lain adalah gelombang medan
elektromagnetik. Penafsiran ini pada gilirannya menuntun pada kesimpulan bahwa Isra’
dan Mi’raj hanya sebatas ruhnya. Jika dikaitkan dengan kosmologi modern
penjelasan ala TRK menjadi tidak sesuai. Menurut model jagat raya berkembang,
baik jagat raya tertutup, terbuka maupun datar Mi’raj semalam (6 jam atau enam
kali 3600 detik) hanya akan sampai di ruang angkasa yang material. Nabi saw
tidak pernah sampai di ruang spiritual tempat Sidratul Muntaha.
Alternatifnya,
bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj harus difahami juga dengan konsep dimensi
ekstra. Dalam ilustrasi dua dimensi ruang tertutup mengembang
diberikan oleh permukaan balon dengan tempelan potongan-potongan kecil kertas.
Permukaan balon adalah jagat raya secara keseluruhan, potongan kertas
menyatakan galaksi sedangkan permukaan balon tanpa tempelan adalah ruang antar
galaksi. Bila ditiup balon akan mengembang dan kertas-kertas akan berjauhan.
Artinya, alam semesta berkembang dan galaksi-galaksi saling menjauh.
Dalam sudut
pandang ruang tiga dimensional, terdapat ruang di dalam dan di luar permukaan
bola. Dari sisi jagat raya dua dimensional ruang di dalam dan di luar permukaan
dapat dipandang sebagai dimensi ekstra dari jagat raya tertutup dua dimensi.
Dalam perspektif ini bisa dikatakan bahwa langit adalah ruang selain permukaan
bola. Dan Mi’raj adalah keluar dari langit material dan masuk langit atau ruang
immaterial. Lebih spesifiknya, Nabi Muhammad SAW., keluar dari permukaan bola
tiga dimensi (hypersphere) menuju dimensi lebih tinggi dimana Sidratul
Muntaha berada.
Dimensi
ekstra dikenal baik di fisika, keberhasilan memadukan gaya elektromagnetik
dengan gaya lemah dalam teori elektro lemah menuntun pada teori kemanungalan agung
(Grand Unified Theory, GUT). GUT klasik belum sepenuhnya berhasil
merealisasikan impian kemanunggalan gaya elektromagnetik, lemah dan kuat.
Impian tersebut baru dipenuhi oleh GUT supersimetrik dengan konsep
superruang delapan dimensinya. Empat dimensi ruang-waktu kita dan empat lainnya
adalah dimensi Grassmannian tempat pasangan super setiap ciptaan berada. Tetapi
GUT supersimetrik masih menyisakan masalah hirarki konstanta kopling gaya-gaya.
Tahun 1998 Arkani Hamed dkk menggagas unseen atau extra dimension dan
berhasil mengatasi masalah tersebut.
Di dalam
konsep dimensi ekstra ruang-waktu empat dimensi tempat kita tinggal digambarkan
sebagai garis lurus pada permukaan tabung silinder. Sedangkan keseluruhan
permukaan lainnya merepresentasikan dimensi yang lebih tinggi. Partikel
pasangan super yang berada di dimensi Grassmannian atau bulk particle
di dalam dimensi ekstra versi Arkani Hamed bisa berinteraksi dengan partikel di
ruang kita pada tingkat energi tertentu.
Dimensi
ekstra ini juga diisyaratkan oleh Quran Surat al-Naml ayat 38-40 dalam kisah
pemindahan singgasana Ratu Bulqis ke istana Nabi Sulaiman AS., dalam sekedipan
mata. Dimensi ekstra juga diisyaratkan oleh hadis-hadis yang menyatakan bahwa
majelis-majelis ta’lim dikelilingi oleh para malaikat yang ikut berdzikir dan
mendo’akan peserta ta’lim. Jin dan Malaikat ada di sekitar kita tetapi kita tak
pernah bertabrakan dengan mereka. Mereka hidup di ruang dengan dimensi yang
lebih tinggi tetapi kita bisa berinteraksi dengan jin di ruang manusia.
2. Teleportasi Kuantum.
Kejadian Mi’raj
ini pun secara sains dapat dikaji pada tataran kuantum dengan teori Teleportasi
Kuantum. Tetapi butuh pemahaman lebih lanjut mengenai bagian paling dasar dari
teori mekanika kuantum. Kuantum itu sendiri berasal dari kuanta atau paket atau
butir atau dalam istilah bahasa seperti countable noun sedangkan
pendapat pertama seperti uncountable noun.
Sebenarnya
mekanika kuantum secara prinsip tidak memungkinkan proses teleportasi. Kaidah
ketidakpastian Heisenberg tidak memungkinkan kita mengetahui secara tepat
posisi dan momentum suatu obyek pada waktu yang bersamaan. Akibatnya, tidak
mungkin men-scan secara sempurna suatu obyek yang akan diteleportasikan.
Scanning akan senantiasa memberikan error atas lokasi dan kecepatan elektron
dan atom suatu obyek.
Satu dasa
warsa lalu, fisikawan C.H.Bennet dari IBM, G.Brassard, C.Crepeau dan R. Josza
dari Universitas Montreal, dan A.Peres dari Institut Teknologi Technion Israel
menemukan cara memanfaatkan kuantum untuk teleportasi. Dan teleportasi kuantum
telah menjadi kenyataan laboratorium bagi foton, partikel individual dari
cahaya. Meskipun demikian teleportasi dari benda skala makro masih berupa
fantasi. Barangkali dari sini kita bisa mengambil sebuah kerangka berfikir
bahwa Isra’ dan Mi’raj adalah teleportasi kuantum yang terjadi pad a
skala makro. (Sumber: http://edukasi.kompasiana.com)
Isra’ dan
Mi’raj Sebagai Pesan Moral.
Adapun
pesan moral yang terkandung pada Isra’ dan Mi’raj adalah terciptanya secara
nyata sebuah tatanan masyarakat yaitu terbentuknya sifat adil, jujur, santun, kasih
sayang, persaudaraan dan cinta kasih. Dalam hal ini sebagai masyarakat kita
harus bertekad untuk tidak akan pernah berhenti berjuang dan berusaha untuk
mengatasi keadaan, dengan keyakinan yang kuat, bahwa perjuangan dan usaha itu
betapa pun sulitnya suatu saat pasti akan berhasil, karna Allah SWT., telah
berjanji bahwa Dia akan membukakan jalan bagi setiap orang yang sungguh‐sungguh
berjuang dan berusaha dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapinya.
Hendaknya kita tidak akan pernah berputus asa dalam mengharapkan keridhoan
Allah SWT.
Jika
saja setiap umat Islam mau meneladani peristiwa Isra’ dan Mi’raj maka
keimanannya akan selalu melindunginya untuk dapat mengembangkan intetegritas
manusia sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial kolektif, maka
jadikan momentum peringatan Isra’ dan Mi`raj sebagai motivasi untuk kita
pelihara sistem bermasyarakat kita. Kita pelihara hubungan harmonis antar
pemeluk agama, kita tingkatkan terus kebersamaan dan toleransi, kita meyakini
bahwa persatuan dan kesatuan adalah segala‐galanya. Jadikan sholat sebagai
sesuatu yang mampu membentengi sekaligus memberikan ketahanan mental spritual,
agar kita tidak cepat putus asa dalam menghadapi situasi yang sangat pahit
sekalipun, dan tidak pula cepat lupa daratan, akibat situasi yang menyenangkan
sehingga implikasi dari semua aspek kehidupan manusia yaitu yang Rasulullah SAW.,
jalani dan ajarkan kepada kita semua betul-betul rahmatan lil` alamin.
Mari bersatu padu dalam mengisi pembangunan yang berpihak pada wujudnya
masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Hanya dengan
landasan iman, kesungguhan dan komitmen yang tinggi dari semua umat beragama
serta partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat maka masyarakat adil dan
makmur, sejahtera moril maupun spiritual yang kita cita‐citakan bersama akan semakin
nyata. Hikmah Isra’ dan Mi’raj akan membawa perubahan pada diri kita sehingga
hidup ini akan menjadi lebih berarti bagi keluarga, masyarakat, dan bagi daerah
kita yang tercinta dengan harapan agar kita dapat mencapai kehidupan ini dengan
yang lebih baik. (Sumber: Tulisan Drs. H. Halil Domu, M.SI - Kepala Kantor
Wilayah Kemeneterian Agama Provinsi Sulawesi Utara).