Kamis, 29 Maret 2012

KEDUDUKAN NIKAH SIRRI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

KEDUDUKAN NIKAH SIRRI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
1.      Pendahuluan.
Membicarakan nikah sirri ditinjau dari berbagai aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perangkat hukum yang telah diatur dan diakui oleh sistem perundang-undangan nasional. Secara umum dalam perspektif Hukum Islam[1], nikah sirri cenderung memperbolehkan, meskipun dapat menjadi tidak sah karena tidak tercapai mashlahat dalam pernikahan karena perubahan hukum. Sementara dalam hukum positif dapat ditegaskan sebagai pernikahan yang ilegal, bahkan tidak ada satu katapun yang menyebut eksistensi nikah sirri. Hal ini suatu indikasi nikah sirri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional. Berikut ini ada tiga perangkat peraturan yang dapat dijadikan kajian untuk menentukan eksistensi nikah sirri.
2.      Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Status Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum Peradilan Agama.[2] Secara konstitusional hadir melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Sehingga Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu bentuk positivikasi terhadap hukum Islam yang bermaksud mengembangkan pesan-pesan agama dari nuansa normatif, dari sekedar dicita-citakan (ius constituendum) menjadi  hukum yang benar-benar berlaku (ius constitutum). Bagaimana sesungguhnya pengaturan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam ini sehingga dianggap sah? Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal ini jelas sekali terlihat bagaimana posisi Kompilasi Hukum Islam yang mendukung ketentuan pernikahan harus sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif, jadi erat kaitannya antara ketentuan tentang sah atau tidak pernikahan antara Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan bahwa pentingnya pencatatan adalah untuk menjamin ketertiban pernikahan, penegasan ini dapat dikatakan bahwa nikah sirri yang tidak dicatatkan, di samping tidak sesuai dengan aturan formal juga dianggap tidak memenuhi ketertiban pernikahan, yang dimaksudkan agar pernikahan itu memiliki kekuatan hukum. Karenanya apapun yang terjadi setelah berjalannya proses akad nikah bisa diproses secara hukum dan juga digunakan untuk mengurus administrasi catatan sipil bagi suami-isteri dan anak-anaknya. Selanjutnya pada Pasal 6 Ayat (1) dijelaskan setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, Ayat (2) lebih tegas menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini sudah mengantisipasi lebih jauh ke depan dan tidak hanya sekedar membicarakan masalah administratif. Sehingga dalam klausul ini dinyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, yakni dalam hal menyangkut ghayat al-tasyri' (tujuan hukum Islam) yakni menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, dan klausul yang menyatakan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah jika tidak dicatat dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga pada prinsipnya KHI tidak membolehkan adanya praktek nikah sirri, meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya, maka jelas sekali menunjukan ketidakbolehan nikah sirri.
Menurut Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, idealnya suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dalam Ayat (2) dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama,  selanjutnya dalam Ayat (3) diberi batasan untuk mengajukan isbatIsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
1.      Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

2.      Hilangnya Akta Nikah.

3.      Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

4.      Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

5.    Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Apabila terbukti telah terjadi akad nikah permasalahannya bagaimana sikap hakim dalam menilai perkawinan tersebut tanpa mencatatkannya pada instansi yang diberi wewenang. Bagi Hakim yang berpandangan bahwa nikah sirri sah secara agama dan kepercayaannya, sementara pencatatan perkawinan merupakan administrasi semata, asalkan telah memenuhi syarat dan rukun nikah tersebut sudah dianggap sah, maka nikah sirri yang telah terlanjur dilakukan pada masa sekarang, meskipun pasca berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat saja dmintakan isbat nikahnya kepada Pengadilan Agama.
Namun timbul permasalahan yang perlu penegasan apabila hal itu terjadi (isbat) terhadap nikah sirri di masa sekarang akan terjadi dualisme kekuatan hukum dalam pencatatan perkawinan, satu sisi tidak diakui oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi sisi lain dapat disahkan menurut sidang isbat nikah. Hal ini akan berakibat kepada eksistensi Undang-undang Perkawinan. Pada kasus ini bukan isbat yang dijadikan sebagai jalan keluar akan tetapi bagaimana menertibkan nikah sirri, seperti mengefektifkan ketentuan denda yang tertera dalam Undang-undang Perkawinan. Apabila nikah sirri menjadi tradisi dalam arti dipatuhi oleh masyarakat, mengikat dan dipertahankan secara terus-menerus, dengan suatu asumsi nikah tersebut bisa dimintakan isbat-nya kepada Pengadilan Agama, maka efektifitas pelaksanaan makna Peraturan Perundang-undangan tidak akan pernah terwujud, apa lagi menghendaki adanya konsistensi antara sistem ajaran Islam dengan kehidupan kenegaraan tidak akan pernah tercapai.
            Berkaitan dengan pemahaman hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sebab, jika dikaitkan ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam tersebut hampir sejalan dengan konsep fiqih yang dirumuskan oleh Wahbah az-Zuhali, yang membolehkan isbat nikah yang secara substansial bahwa hukum di Indonesia mengakui adanya lembaga isbat, untuk pengesahan nikah yang belum dicatat, dan kemudian dengan berbagai alasan tertentu telah dicantumkan dalam rincian Pasal 7 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam nikah dapat dicatatkan dan di-isbat-kan sehingga diakui secara administrasi pada satu sisi lain. Akan tetapi pada satu sisi yang lain pula bahwa ketentuan ini telah memberi peluang terjadinya nikah-nikah yang tidak dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah, dan kemudian suatu hari kembali mencatatkan sebagaimana mestinya. Adanya peluang ini menguntungkan pihak yang melakukan nikah sirri dan pada waktu yang sama merupakan tanggungjawab pihak yang berwenang untuk meminimalisir terwujudnya peluang bagi yang menginginkannya. Pada waktu yang sama juga adanya peluang untuk tidak mencatatkan perkawinan dengan munculnya kasus-kasus nikah sirri. Oleh sebab itu meskipun ketentuan pasal ini tetap diterapkan hanya sebatas hilangnya akta nikah atau adanya keraguan sah atau tidak suatu perkawinan.
3.      Menurut Undang-undang Perkawinan
Dilihat dari materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah ditemukan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang ini (praktek nikah sirri) merupakan kategori tindakan pelanggaran hukum pidana, karena tidak dijumpai pasal demi pasal dalam undang-undang ini yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang ini dikenai sangsi hukum. Akan tetapi dalam Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (1) :
“Barang siapa yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak dalam pengawasan pegawai pencatat nikah dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,-
Semenjak diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menjadi tidak efektif, hal mana terbukti tidak dijumpai dalam putusan pengadilan mengenai pelanggaran undang-undang tersebut dimungkinkan karena sangsi hukum yang dikenakan sangat ringan. Semestinya pelanggaran terhadap undang-undang ini (nikah sirri) dapat dijerat hukum. Namun realitanya di lapangan tidak demikian sehingga seolah-olah undang-undang ini menjadi mandul.
Meskipun pencatatan bukan termasuk dalam rukun dan syarat sahnya akad nikah, tetapi dimaksudkan sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan peristiwa pernikahan telah terjadi. Jika dilihat klausul hukum Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dapat dikatakan sebagai dasar atau tolak ukur untuk menilai sah atau tidaknya nikah sirri secara hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif. Dalam hal ini dapat dikatakan nikah yang tidak memenuhi ketentuan maqashid syari’ah dianggap tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri sehingga pernikahan tidak sah dan dapat berakibat pada batalnya status akad nikahnya. Berdasarkan klausul itu nikah sirri secara otomatis tidak sah menurut hukum positif.
Untuk mengukur sahnya pernikahan tidak hanya itu, tetapi dalam ketentuan yang mengatur masalah perkawinan umat Islam di Indonesia, di samping adanya suatu keharusan untuk mencatatkan peristiwa perkawinan melalui petugas yang telah ditunjuk untuk itu dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sehingga dengan demikian peristiwa perkawinan akan memperoleh akta nikah secara resmi. Sementara nikah sirri pencatatan tidak berlaku, tidak dicatatkannya pernikahan sudah barang tentu menyalahi kaedah yang berlaku dalam hukum positif yaitu Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang ini pada dasarnya tidak berbeda dengan hukum (syari’at) agama, pendekatan hukum Islam melalui instrumen qiyas menunjukan wajibnya pencatatan dalam setiap bentuk pernikahan. Nikah sirri yang tidak dicatatkan, di samping menyalahi aturan hukum positif juga menyalahi aturan syari’at.
Materi Undang-undang Perkawinan pada dasarnya meninsert pokok-pokok syari’ah Islam telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia bahkan jauh sebelum Undang-undang ini diberlakukan. Melihat akibat dari nikah sirri yang dapat menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan masih banyaknya sebagian masyarakat yang melakukan nikah sirri semestinya ke depan harus negara mengambil lagkah-langkah untuk menertibkannya atau paling tidak memimalisir praktek pelaku nikah sirri, dengan menerapkan denda bagi pelaku nikah sirri, termasuk bagi yang terlibat di dalamnya. Problem yang mendasar fenomena nikah sirri adalah adanya pemahaman yang dikotomis antara sah menurut agama dan hukum negara. Pandangan ini tidak saja dijumpai oleh para pelaku nikah sirri dan para ulama akan  tetapi juga berkembang pula di kalangan pejabat yang berwenang dalam menangani masalah nikah yaitu  Pegawai Pencatat Nikah maupun Aparat Peradilan.
Pandangan tersebut biasanya terletak pada sah apabila dilakukan dengan telah memenuhi syarat dan rukunnya, sedangkan pencatatan hanya aturan pemerintah sebagai kewajiban sebagai warga negara. Sedangkan pendapat lain juga mengatakan tidak ada pembedaan antara sah menurut agama dan sah menurut aturan pemerintah. Menurut pendapat ini administrasi pencatatan perkawinan dengan melihat kepada kompleksitas yang selalu dijumpai di zaman sekarang ini, dengan kata lain bahwa nikah tanpa pengawasan dan pencatatan oleh pihak berwenang dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan dianggap tidak sah karena nikah tersebut membawa danpak negatif dan tidak tercapainya maqashid al-syari’ah yaitu dalam rangka memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda. Apabila terancam kemaslahatan untuk memelihara salah satu yang lima itu karena akibat nikah sirri, maka secara tak langsung telah bertentangan dengan tujuan hukum disyariatkan sehingga nikah sirri dapat saja dianggap tidak sah menurut hukum positif.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan walaupun dalam Undang-undang Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat saja, namun pada dasarnya masalah pencatatan ini sangat dominan, sehingga tidak berlebihan rasanya jika ada pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administraitif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
4.      Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) atau Burgerlijk Wetboek merupakan perangkat hukum peninggalan warisan Hindia Belanda yang telah diakui sebagi sumber hukum nasional. Masalah perkawinan diatur dalam buku satu tentang orang bab empat mulai dari Pasal 26 sampai Pasal 102. Secara umum peraturan perkawinan di dalamnya memiliki kesamaan dengan Undang-undang Perkawinan. Seperti halnya hukum positif lainnya, KUHPer juga tidak menyebut sama sekali istilah nikah sirri.
Kewajiban pemberitahuan kehendak nikah kepada pencatatan sipil yang diatur dalam Pasal 50 dimaksudkan agar pernikahan yang akan dilangsungkan dicatatkan secara resmi. Kegiatan pencatatan adalah sebagai bukti bahwa pernikahan telah dianggap sah berdasarkan hukum yang berlaku, sebagai konsekuensinya pasangan suami-isteri berhak mendapatkan akta nikah. Sementara dalam Pasal 100 ditegaskan bahwa perkawinan harus dapat dibuktikan dengan akta yang dibukukan dalam register catatan sipil. Suatu indikasi dimana pernikahan baru akan dapat dianggap sah apabila ada akta nikahnya. Dalam nikah sirri, akta nikah tentu tidak ada karena tidak dicatatkan, sehingga menurut KUHPer nikah semacam ini adalah tidak sah dan tidak legal secara hukum.
Akta nikah ternyata berfungsi memperkarakan permasalahan rumah tangga suami-isteri di pengadilan agama, dalam Pasal 1865 setiap orang yang menegakkan haknya maupun membatah hak orang lain diwajibkan membuktikan adanya hak dan peristiwa. Alat bukti dimaksud dalam Pasal 1866 terdiri dari bukti tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Jadi dengan demikian menurut KUHPer, jika suatu peristiwa hukum tidak dapat dibuktikan atau tidak menunjukan alat bukti (akta nikah), maka perkara hukum lanjutan yang melekat di dalamnya tidak dapat diproses. Nikah sirri yang tidak dapat dibuktikan dengan akta tidak bisa diperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di pengadilan agama, seperti isbat nikah, perceraian, pembagian hak waris dan mengurus akta kelahiran anak.
5.      Kesimpulan.
Berdasarkan pada uraian di atas baik menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa eksistensi nikah sirri sangatlah lemah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak tercapai kemaslahatan sebagai tujuan hukum Islam. Namun demikian setelah diuji materi anak yang dilahirkan di luar perkawinan (termasuk nikah sirri) mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya, putusandan jika ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi negara.[3] Meskipun jika dikaji lebih lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terkait status anak yang di luar nikah juga sangat riskan dan bisa juga berpotensi menjerumuskan, jika dikaitkan dengan hukum Islam.
Footnote:

[1] Baca Fiqh.
[2] Menjadi Yurisprudensi.
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 terkait uji materi Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pendapat yang melandasi keputusan itu, antara lain, setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu, dan bahwa dia berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. Hal itu sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini