PEMIKIRAN UMAR BIN AL-KHATHAB TENTANG FIQH
1.
Latar Belakang Masalah
Sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.
sebagai seorang yang beriman, dan dia hidup serta mati dengan keadaan muslim.
Intensitas bertemunya para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW. menjadikan mereka
sebagai rujukan dalam mencari jawaban atas persoalan yang muncul setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kebutuhannya masing-masing, generasi tabi’in
banyak melacak dan menyelidiki sunnah Nabi
Muhammad SAW. kepada mereka yang amat
banyak berinteraksi denganya. Sahabat yang banyak dirujuk menjadikannya
memiliki peringkat yang lebih tinggi daripada sahabat yang lainnya. Dari
sinilah muncul upaya memposisikan peringkat sahabat, yang biasa disebut dengan thabaqat
shahabat (tingkatan sahabat). Urutan peringkat sahabat yang mereka buat
adalah sesuai dengan penekanannya masing-masing. Hal ini tentunya menimbulkan
banyak variasi peringkat sahabat. Peringkat sahabat dari aspek hadis tentu amat
berbeda dengan sahabat dari aspek fiqh.[1]
Umar bin
Al-Khattab ra adalah salah salah di antara seorang sahabat utama yang menjadi
rujukan bagi generasi tabi’in yang banyak bergelut dalam bidang fiqh.
Kepadanya banyak dilacak tentang kehidupan Rasulullah SAW. serta
persoalan-persoalan hukum (fiqh). Dengan kedewasaan, kematangan berfikir
serta kecerdasannya, Umar mampu
menguraikan dengan jelas dan lugas berbagai persoalan yang dikonfirmasikan
kepadanya. Hal inilah menjadikan Umar sebagai seorang sahabat yang memiliki
corak pemikiran fiqh tersendiri dibandingkan dengan sahabat yang lainnya,
bahkan pemikiran Umar kadangkala banyak ditentang oleh sahabat yang lain karena
pola fikirnya yang kadangkala cenderung berbeda dengan mereka.
Sepintas lalu
memang kelihatannya keputusan-keputusan (yang dalam kepustakaan terkenal dengan
ijtihad Umar) itu seakan-akan
bertentangan (kontradiksi) dengan ketentuan-ketentuan Al Quran, namun kalau
dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam
keseluruhannya (maqashid syari’ah), ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin
Khathab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.[2]
Pasca Nabi Muhammad SAW. wafat, Umar menjadi rujukan bagi umat Islam, khususnya oleh para
ahli fiqh, karena dengan kecerdasan, keberanian, kezuhudan dan kecemerlangan
buah pikrannya. Perjalanan hidupnya memiliki cerita dan makna yang luar biasa ;
baik sebelum maupun sesudah memeluk Islam. Umar yang hidup jauh sebelum
berkembangnya ilmu ushul fiqh dan fiqh, memiliki kecerdasan dalam
beramaliyah. Hal ini disebabkan karena kepahaman dan pendalaman yang mantap
terhadap nash (Al Quran dan As Sunnah). Inilah barangkali landasan utama
tujuan membahas pemikiran Umar dalam konteks fiqh sebagai sumber inspirasi bagi
adanya ijtihad mustaqil (berdiri sendiri). Keagungan pemikiran Umar itu
pula penulis akan mengkaji secara ilmiah tentang: “Pemikiran Umar Bin Al Khattab
tentang Fiqh”. Dan diakhir kajian ini akan ditarik sebuah kongklusi
(kesimpulan).
2.
Permasalahan
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang
menjadi pokok inti permasalahnya adalah: Bagaimanakah pemikiran Umar Bin
Al-Khattab tentang Fiqh dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam?
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi Singkat Umar Bin Khathab.
Umar bin Khathab (581 M-26 Zulhijah 23 / 3 November 644)). Sahabat Nabi
Muhammad SAW. terdekat dan khalifah kedua al-Khulafa’
ar-Rasidun.[3]
Umar dilahirkan 30 tahun sebelum masa kenabian,[4] pendapat lain lahir 13
tahun sesudah tahun Gajah,[5] Ia hidup selama 65 tahun,[6] separuh pertama -kurang
lebih- dalam kekelaman jahiliyah. Ketika itu dia adalah orang yang tidak
dikenal, tidak memiliki nama dan keagungan. Sedangkan yang separuh keduannya
dalam cahaya iman. Dimana dalam masa ini, namanya menjadi terkenal dan termasuk
salah satu tokoh besar. Sesungguhnya Umat berkembang dalam asuhan bapaknya yang
berwatak keras dan berhati kasar.[7]
Para sejarawan menyebutkan nasab Umar dari pihak ayahnya dan ibunya
dengan mengatakan: Umar bin Al-Khathab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi Ka’ab bin Luayyi bin Ghalib Al-Quraysi
al-‘Adawi. Sedangkan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah, dari
Bani Makhzumi, dimana Hantamah adalah saudara sepupu Abu Jahal.[8] Kun-yahnya: Abu
Hafash ; dan laqab (gelar)nya : Al-Faruq. Dikatakan bahwa dia digelari
demikian itu dikarenakan terang-terangan dan pengumumandangannya secara terbuka
terhadap keislamannya, ketika yang lain menyembunyikan keislaman mereka. Maka
dia membedakan antara yang hak dan yang batil.
Berbagai referensi menggambarkan sosok[9] Umar ra, bahwa beliau
berbadan tinggi besar, postur tubuh yang tegap dan kuat, lebat bulu badannya,
terurai rambutnya dari kedua sisi kepalanya, berkulit putih kemerah-merahan dan
ada yang mengatakan coklat muda, berjenggot lebat, berkumis tebal, dan menyemir
ubannya dengan hana. Disamping sifat-sifat fisik tersebut, Umar juga
memiliki sifat-sifat kejiwaan yang luhur, diantaranya: adil, penuh
tanggungjawab, sangat keras pengawasannya terhadap para pejabat dan aparat
negara, santun terhadap rakyat dan sangat antusias dalam merealisasikan
kemaslahatan mereka, tegas dalam urusan agama, berwibawa dan disegani, tajam
firasatnya, luas dalam keilmuannya, cerdas pemahamannya. Umar dikenal sebagai
orang yang menjaga kehormatan dirinya dan memiliki watak yang temperamental.
Setiap kali dia berpapasan dengan orang-orang Muslim, pasti dia menimpakan
berbagai macam siksaan.[10]
Ketika Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul yang terakhir
menyampaikan Islam kepada manusia, maka Umar termasuk orang yang paling sengit
dalam memusuhi Islam dan dikenal dengan keras tabiatnya, di mana kaum Muslimin
yang lemah menerima darinya berbagai bentuk gangguan dan siksaan. Umar
menyatakan keislamnnya pada tahun ke-6 dari kenabian.[11] Keislaman Umar berwal
dari ketika mendengar bacaan ayat Al Quran yang dilantunkan oleh adik dan
iparnya.[12] Dan, keislamannya ini memilki pengaruh besar
bagi kaum muslimin.
Selajutnya ketika Nabi Muhammad SAW. telah wafat dan Abu Bakar ra
menjadi Khalifah, maka Umar berada di sisinya untuk membantu dalam memudahkan
urusan kaum muslimin, di mana Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan Umar dalam
masalah-masalah yang disampaikan kepadanya, dan Umar menjadi pembantu dan
panasehat terbaik. Ketika Abu Bakar ra. menghadapi kematiannya, dia mengangkat
Umar sebagai khalifah setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior dan
persetujuan mereka dalam hal itu. Umar ra. melaksanakan tugas dalam
kekhalifahan selama 10 tahun dan 6 bulan[13] dan mampu merealisasikan
hal-hal yang besar dalam masa tersebut, yang tidak mungkin disebutkan dalam
ruang singkat ini. Umar saat menjelang kesyahidannya sangat memperdulikan
beberapa hal yang menunjukan keagungan pribadinya, dan memiliki beberapa makna
penting diantaranya adalah:[14]
1.
Umar dibunuh ketika
shalat. Tapi, demikian itu tidak menyibukkannya dari shalat, bahkan dia
menggapai tangan Abdurrahman bin ‘Auf, lalu diajukannya untuk mengimami shalat
manusia. Maka Abdurrahman bin ‘Auf shalat mengimami mereka dengan shalat yang
ringan, sedangkan Umar dalam keadaan pingsan. Dimana dia masih dalam kondisi
pingsan hingga matahari kekuning-kuningan. Dan ketika siuman, dia memandang
wajah para sahabatnya.
2. Umar memperhatikan
pembunuhnya dan motivasinya, dengan berkata: ”Segala puji bagi Allah SWT. yang
tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Islam.”
3. Peduli dalam
menghitung hutangnya dan membebankan kepada putranya, Abdullah bin Umar untuk
membayarnya.
4. Meinginginkan untuk
dimakamkan di samping kedua sahabatnya, seraya minta izin kepada Aisyah ra
melalui putranya Abdullah bin Umar.
5.
Peduli penentuan
khalifah setelahnya, dimana dia menjadikan perkara ini di tangan enam orang
sahabat.
6.
Mewasiatkan khalifah
sesudahnya tentang rakyat, baik yang muslim maupun yang dzimi, yang di perkotaan
maupun di pedusunan.
Umar meninggal pada 23/47 terbunuh oleh Abu Lu’lu’ah Firoz, seorang
budak Persia milik gubernur Basrah yang bernama Mughirah ibn Syu’bah.[15] Pada akhir hayatnya menunjuk sebuah lembaga syura
(lembaga permusyawaratan) untuk menyelenggarakan khalifah baru berkuasa
sepeninggal Umar.[16]
2.
Keadaan Situasi dan Kondisi Masa Umar ra.
Umar ra menghabiskan separuh
hidupnya dalam jahiliyah; menyembah patung dan meningggalkan Allah SWT. dan
menghabiskan separuh yang kedua dalam Islam; menyembah Allah SWT. semata. Dan
di antara yang penting ini adalah mengenali garis-garis besar sistem yang
berlaku dalam masa dimana Umar hidup di dalamnya. Setelah penyebutan secara
global, maka memungkinkan untuk merinci sisi-sisi kehidupan terpenting dalam masa
tersebut, seperti berikut ini:[17]
a.
Akidah yang berlaku.
Kemusyrikan merupakan agama umum bagi bangsa Arab dan menjadi
aqidah yang berlaku dalam masa jahiliyah (paganisme), disamping
agama-agama yang lain seperti Yaudi dan Nasrani, agama tersebut masih ada hingga
Islam datang dengan akidah tauhid.
b.
Kehidupan politik.
Ketika Islam datang, negara-negara Arab berada di antara dua
imperium terbesar ketika itu yaitu: imperium Persia di timur dan imperium
Romawi di barat. Bangsa Arab tidak memiliki pusat pemerintahan yang menyatukan
mereka dan mengatur seluruh sisi kehidupan mereka, setiap suku mencerminkan
kesatuan politik yang independen. Setelah Islam datang ia berupaya menyatukan bangsa Arab di bawah
bendera tauhid. Nabi Muhammad SAW. membentuk
negara Islam di Madinah. Ketika Abu Bakr ra sebagai khalifah menghadapi
berbagai fitnah, maka dia memerangi orang yang mengaku sebagai nabi, orang
murtad, dan para pemboikot zakat. Kemudian ketika Umar ra sebagai khalifah,
pilar negara Islam telah kuat dan kondisi sangat kondusif.
c.
Kehidupan ekonomi.
Aktivitas ekonomi yang dilakukan bangsa Arab -sebelum Islam- amat
sangat sederhana sekali dan terbatas mayoritas menggembala dan berternak
binatang.
d.
Kehidupan moral dan
sosial.
Bangsa Arab dalam masa jahiliyah memiliki akar budaya dalam
sebagian akhlak yang rusak dan hal-hal mungkar seperti minum khamar, berjudi
dan lain-lain. Disamping itu juga terdapat beberapa akhlak yang bagus dan
terpuji yang membuat orang kagum, seperti murah hati, menepati janji, ‘izzah
(harga diri) dan lain-lain. Ketika Islam datang maka ia membina akhlak bangsa
Arab, mejadikan akhlak mulia sebagai amal terbaik dan melarang dari akhlak yang
hina.
3.
Corak Pemikiran Fiqh Umar ra
3.1. Pengetahuan Umar ra Tentang Fiqh
Umar ra adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki pengetahuan
luas, sehingga banyak dirujuk oleh generasi sesudahnya dalam menetapkan hukum.
Kedalaman ilmunya terlihat dari pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Quran. Umar
ra sangat paham dengam maksud ayat-ayat Al Quran, karena dia mengetahui konteks
sosial yang menjadi turun ayat-ayat tersebut (asbabanuzulayat).
Ia memiliki kecerdasan yang
luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang,
tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
itu mengantarkannya terpilih menjadi wakil kabilahnya.[18] Nabi Muhammad SAW. juga memperdiksikan
keistimewaan Umar ra dalam masalah ilmu dan pemahaman.[19] Dalam hal ini Rasulullah
Saw. bersabd :
قد كان يكون في الأمم قبلكم محدثون فإن
يكن في أمتي منهم أحد فإن عمر بن الخطاب منهم
“Sesungguhnya telah datang dalam umat-umat
sebelum kamu orang-orang yang diberikan ilham(ilmu). Dan, bila dalam umatku
terdapat seseorang yang demikian itu, maka Umar bin Al-Khathab termasuk mereka.”[20]
Adapun yang
dimaksud dengan ilmu dalam hadis di atas adalah ilmu tentang pengetahuan
manusia dengan kitab Allah SWT. dan Sunnah Rasul-Nya. Dimana Umar ra memiliki
keistimewaan seperti itu disebabkan lamanya masa bergaulnya dengan Rasulullah SAW,
dan lamanya masa pemerintahannya bila
dibandingkan dengan Abu Bakar ra, dan karena kesepakatan manusia dalam
mentaatinya bila dibandingkan dengan Ustman bin Affan ra. Umar ra adalah
seorang sahabat yang terkenal dengan kecerdasan, keberanian, kezuhudan dan
kecemerlangan buah fikirannya. Perjalanan hidupnya senantiasa memiliki cerita
dan makna yang luar biasa. Nabi Muhammad SAW. mengakui keunggulan-keunggulan
yang dimiliki Umar, pemuda yang gagah berani, tidak mengenal takut dan gentar,
dan mempunyai ketabahan dan kemauan keras.
Tidak diragukan
lagi, bahwa Umar bin Al-Khathab ra adalah tokoh yang sangat jenius, bahwa sosok pribadi individual Umar bukanlah
basis kejeniusannya artinya ia bukanlah seorang pemimpin diktator yang segala
kebijakan dan basisnya hanya didasarkan pada kehebatan dirinya. Fakta sejarah
menunjukan lain, dan kenyataan ini sangat mudah ditangkap oleh orang-orang yang
pernah membaca tentang biografi Umar bin Al-Khathab.[21] Kejeniusan Umar termasuk
kategori kejeniusan langka, karena sifat-sifat yang ada pada dirinya banyak
yang tidak kita temukan pada diri tokoh-tokoh lain, sehingga hal ini mengasyikan
para ahli sejarah untuk berlama-lama mengakajinya. Sifat-sifat khas yang hanya dimiliki oleh
Umar ini mudah ditemukan oleh siapa pun yang mau menyelami kehidupannya, mempelajari
sejarah dan aksi-aksinya, tidak peduli dari bangsa atau latar belakang
akademis.[22]
Bukankah kejeniusan atau luasnya pengetahuan Umar ini relevan dengan apa yang
diutarakan oleh Rasullah SAW. ketika
beliau berbicara tentang Umar:
فلم أر عبقريا من الناس ينزع نزع عمر
“Aku tidak pernah menemukan kejeniusan
manusia yang sepadan dengan kejeniusan Umar.”[23]
Karekteristik atau
kekhasan dari kejeniusan Umar ini dapat dilihat dengan jelas ketika melihat
nalar hukum yang dia pakai. Hal inilah yang mejadikan Umar mempunyai
keistimewaan dalam hal luasnya cakrawala pengetahuan dan keberanian dalam
memperluas medan kerja akal (ra’yu). Indikasinya adalah dia tidak hanya
melakuan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada ketetepan nashnya, namun
ia juga berusaha untuk mengidentifikasi kemaslahatan yang menjadi motivasi
ketetapan nash dalam Al Quran atau Sunnah, kemudian menjadikan kemaslahatan
yang terindentifikasi tersebut sebagai
petunjuk dalam menetapan hukum.[24] Pembuktian akan hal ini
banyak sekali, di mana dalam banyak problematika dan masalah yang dirasakan
sulit oleh para fuqahak (sahabat) lain, Umar dapat mengambil istinbath
(kesimpulan hukum) dengan mudah. Yang pasti secara ilmiah Umar lebih unggul
dalam pemahaman fiqh. Hal ini telah dibuktikan oleh Al Quran, Sunnah serta
kesaksian para ulama salaf. [25]
a.
Kesaksian Al Quran
tentang ilmu dan kebaikan istinbath Umar.
Para ulama banyak menyebutkan beberapa ketepatan pemikiran Umar
dalam beberapa peristiwa yang dilakukan oleh nash-nash Qurani. Hal ini
menunjukan bahwa pandangan Umar selalu tepat dalam setiap istinbath dan
karena dialah sosok fuqahak pertama yang tidak terkotori oleh apapun.
Jalaluddin As Suyuti telah menyebutkan dalam bukunya pemikiran dan
pendapat Umar yang sesuai dengan nash-nash Al Quran dan Sunna Nabawiyah.
Sebagai contoh, Umar mengusulkan kepada Nabi agar sebagian maqam Nabi
Ibrahim as dijadikan sebagai tempat shalat. Maka kemudian Allah SWT. menurunkan
ayat tentang ketepatan ijtihad Umar ini[26] sebagaimana yang
dibenarkan dalam teks ayat dalam QS Al Baqarah ayat 125:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْناً
وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ﴿١٢٥﴾
“Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah
itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan
jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[27]
tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang
ruku' dan yang sujud".[28]
b.
Kesaksian Sunnah
terhadap pemikiran Umar.
Kesaksian Sunnah tentang martabat ilmu Umar dan kekritisan
pemikiran serta pandangannya sangatlah banyak.[29] Semua hadis-hadis
tersebut memberikan pengertian bahwa Umar benar-benar merupakan sosok yang
mempunyai ilmu yang sangat luas. Oleh karenanya menempatkan kedudukannya
sebagai seorang faqih umat Islam nomor satu yang tak tertandingi.
c.
Kesaksian Para Ulama
Salaf tentang keilmuan Umar yang tinggi.
Para sahabat banyak sekali yang memberi aprisiasi komentar tentang
Umar, yang pasti para ulama telah menyaksikan keunggulan Umar dalam memahami
rahasia dan inti ajaran syariat Islam. Abdullah Ibn Mas’ud ra berkata :
“Kalaulah saja ilmu Umar ditimbang dengan ilmunya penduduk bumi
ini, pastilah akan terlihat ilmu Umar lebih berat.”[30]
Umar tidak
mengeyampingkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, ketika beliau
mengemukakan gagasan atau ijtihadnya. Bila ternayata ada orang yang menyanggah
pendapatnya, maka dengan segera ia menguraikan pandangan itu, sehingga si
penyanggah menerima dan mengikuti ijtihadnya. Melalui pengetahuannya yang luas,
didukung oleh kepintaran dan kepiawaian serta hafalanya, Umar tampil sebagai
seorang ahli dalam bidang fiqh. Dengan kepakarannya inilah, dia turut
memberikan andil besar bagi munculnya mujtahid-mujtahid besar sampai kurun
waktu sekarang ini.
3.2. Motode Penetapan Hukum Umar ra
Tidaklah diragukan bahwa metode yang dilakukan Umar dalam
berijtihad sangat kuat, akuntability dan akurat. Langkah pertama dalam
menetapkan sebuah kasus hukum adalah mengambil dari Al Quran kemudian dari
Sunnah Nabawiyah dan setelah itu ia berijtihad.[31] Kadangkala Umar juga
mengambil pendapat orang yang dianggap lebih senior seperti pendapat Abu Bakar
ra. Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka, kemudian
mengambil keputusan dari hasil pengumpulan pendapat-pendapatnya sendiri yang
didasarkan kepada kaidah-kaidah syariat, yang mengutamakan terlealisasinya
kemaslahatan dan tidak adanya kemadharatan.
Memang betul
sewaktu Rasulullah SAW. masih hidup, Umar banyak melakukan ijtihad-ijtihad,
namun ijtihad yang dilakukan oleh Umar pada waktu itu hanya sebatas pada
kontsribusi ide kepada Rasulullah SAW. dalam masalah-masalah yang pemecahannya
memang melalui mekanisme syura. Atau dalam masalah-masalah yang Umar
mempunyai ide tersendiri, yang menurutnya ada kemaslahatan bagi masyarakat pada
masa kerasulan. Pendapat-pendapat Umar ini sering sesuai dengan wahyu, yang
nantinya turun kepada Nabi Muhammad SAW.[32] Kesesuaian pendapat Umar dengan ketetapan
wahyu ini menunjukan bahwa logika dan nalar hukum Umar sangat istimewa,
pemikirannya tajam dan dalam. Umar mengetahui kondisi masyarakat zamannya, dan
dia juga mengetahui tujuan-tujuan utama syariat dengan tepat. Ini merupakan
permulaan bagi aksi dan manajemen Umar yang akan dia demontrasikan pada masa
pemerintahnnya.[33]
Namun tetap dicatat bahwa legitimasi dari
wahyu tentang keahlian Umar dalam masalah penetapan hukum -sebagaimana
disinggung di atas- sebenarnya bukanlah legitimasi primer Umar. Kesesuaian
pendapatnya dengan ketetapan wahyu pada masa risalah sama sekali tidak bisa
disimpulkan, bahwa Umar mempunyai nilai otoritatif sebagai sumber hukum. Hal
ini disebabkan otoritas penetapan hukum pada masa itu hanya berada pada wahyu
dan tindakan Rasulullah SAW. (as-sunnah al-amaliyah) yang direstui
secara eksplisit oleh nash atas yang didiamkan oleh nash. Dalam
hal ini, ijtihad atau pendapat Umar bukanlah yang menentukan suatu ketetapan
hukum, mempunyai legitimasi tasyri’; melainkan turunnya wahyulah yang menyebabkan
suatu pendapat mempunyai otoritas dalam penetapan hukum. Kalau seandainya wahyu
yang turun menolak pendapat-pendapat Umar, maka pendapat Umar tersebut tidak
mempunyai otoritas dalam menetapkan suatu hukum, dalam keadaan seperti ini,
pendapat-pendapat Umar hanya menjadi sekedar usulan yang ditolak oleh pihak
yang mempunyai hak otortitas dalam menetapkan atau menolak suatu pendapat yang
diusulkan.
Oleh karenanya
pendapat Umar yang dilontarkan pada masa Rasulullah SAW. hanyalah sekedar
usulan semata yang mempunyai potensi untuk diterima atau ditolak.
Pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak mempunyai hak dalam menetapkan
hukum, kecuali setelah mendapat persetujuan dari wahyu yang mempunyai hak
otoritas dalam penetapan hukum.[34] Meskipun setelah Rasulullah SAW. meninggal,
Umar tidak langsung menjabat sebagai khalifah, namun pada rentang waktu dua
tahun lebih,[35]
di saat kekhalifahan dipegang dibawah kendali
Abu Bakar ra, Umar mempunyai peran kursial dan banyak mengeluarkan
ide-ide berlian. Tidak heran, jika peran Umar
masa itu sebanding dengan peran Abu Bakar sendiri sebagai khalifah.
Banyak keputusan hukum pada masa Abu Bakar yang ditetapkan berdasarkan pendapat
dan ijtihad Umar.[36] Posisi Umar sungguh sangat menentukan,
sehingga tidak mengherankan jika Abu Bakar dalam beberapa kesempatan mengambil
sikap yang mengindikasikan penghormatan yang tinggi kepada Umar.[37] Pendapat dan pemikiran
Umar mempunyai bobot tersendiri dalam majelis syura dan juga dalam
penerapan nilai-nilai universal syariat pada realitas-realitas baru dalam
kehidupan.
Rentang waktu yang
melengkapi manhaj Umar bin Al-Khathab dalam masalah ijtihad dan
penetapan hukum dimulai sejak meninggalnya Rasulullah SAW. pada bulan Rabiul
Awwal 11 H, dan selesai hingga Umar meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah 23 H[38] (632-643 M). Dengan kata
lain; salama dua belas tahun sembilan bulan dan beberapa hari, sesuai dengan
hitungan tahun Hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin Al-Khathab.[39] Pada masa itu metode
ijtihad Umar dalam penetapan hukum Islam mengalami kejayaan dalam menghadapi
teori-teori hukum pada tataran praktis.
3.2. Sumber-sumber Penetapan Fiqh Umar ra
Dalam uraian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan
sumber-sumber Umar dalam penetapan fiqh, yaitu :
1.
Penetapan Teks-teks (Al Quran dan Hadis).
Bahwa usaha Umar bersama kaum muslimin untuk mewujudkan
kemaslahatan, pada dasarnya (pertama-tama) adalah karena kepatuhan dan
ketundukannya terhadap teks-teks agama itu sendiri, yaitu Al Quran dan Al
Hadis. Oleh karena itu tugas Umar berbeda dengan tugas yang melegalkan
undang-undang postif, yang sejak semula tidak mematuhi
perundang-undangan yang sudah ada. Sebab perundang-undangan mempunyai kekuatan
untuk menghalangi mereka membatalkan, menamademen, me-nasakh, atau
meninggalkan perundangan tersebut.
Dalam konteks ayat-ayat telah terkumpul dan terkodifikasi atas
dasar permusyawaratan Umar di masa kekhalifahan Abu Bakar, begitu juga Umar dan
semua sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga riwayat
Rasulullah SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau,
walaupun sunnah-sunnah tersebut tidak terkumpul dan terkodifikasi dalam satu
kitab yang dijadikan rujukan oleh mereka pada masa Umar, meskipun kebanyakan
sahabat, terutama Umar keberatan untuk memperbanyak periwayatan hadis dari
Rasululllah SAW. karena beberapa alasan. Umar selalu bertanya
kepada sahabat dalam beberapa keputusan
fiqhnya, kemudian ia segera meingikuti sahabat dan meninggalkan keputusannya,
karena ia baru tahu bahwa Rasulullah SAW. pernah memberikan keputusan yang
berbeda dengan ijtihadnya.
Jadi sunnah pada masa Umar telah diketahui oleh para sahabat secara
menyeluruh, meskipun sebagian dari mereka ada yang tidak tahu. Karena itu tidak
mungkin seorang sahabat membiarkan praktik atau perbuatan yang hukumnya
bertentangan dengan ayat yang telah mereka ketahui dari Rasulullah SAW.
2.
Umar dan Al Quran.
Adapun nash-nash (teks-teks) Al Quran, maka kapan saja -khsusnya
pada zaman sahabat Nabi- tidak butuh pada penetapan. Karena Al Quran terkodifikasi
pada masa nabi, dan terkumpul pada masa Abu Bakar ra dan telah dihafal oleh
banyak sahabat sejak masa Rasulullah. Sehingga bagi senior-senior sahabat,
tidak terlewatkan satu huruf sejak Al Quran turun pertama kali.
Oleh karena itu dalam penetapan Al Quran tidak butuh suatu metode.
Karena tidak terbayang di benak kita bahwa Umar bin Al-Khathab tidak tahu
sebagian ayat-ayat Al Quran sebagaimana tidak tahu tentang beberapa hadis
Rasulullah.[40]
Tentu semua ayat Al Quran yang turun pasti diketahui oleh Umar.
3.
Metode Umar dalam Menetapkan Teks-teks Sunnah.
Umar sangat berhati-hati ketika ada suatu perkara yang berhubungan
-baik hubungan dekat atau jauh- dengan agama. Apalagi masalah tasyri’
yang berhubungan dengan kehormatan, jiwa dan harta. Karakteristik dan kehebatan Umar yang sudah
banyak dicarikan oleh berbagai hadis, pada dasarnya merupakan jaminan terhadap
kebenaran hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi. Umar tidak mengangap cukup dengan menerima semua
apa yang diriwayatkanya dari Nabi. Dalam menerima hadis ia mendasarkannya pada
sudut pandang yang jujur dan wawasan yang luas. Hadis yang diterimanya itu
didasarkan pada apa yang diketahuinya tentang sejarah rawi hadis sejak
masuk Islam, pada zaman Rasulullah dan setelahnya, dengan memakai standarisasi
pemahaman yang jeli, ingatan yang kuat, dengan disertai niat dan perkataan yang
benar.
Umar juga mempertimbangkan agar hadis yang diriwayatkannya tidak
kontradiksi dengan pokok-pokok ajaran yang telah dietapkan oleh Al Quran dan
Sunnah. Usaha ini adalah bentuk usaha sang khalifah untuk melakukan kritik matan
(isi/riwayat/intern), di samping kritik ekstern (kritik sanad/rawi) dan historical
critical-nya.[41] Jika ada hadis yang
diriwayatkan Umar betentangan dengan salah satu pokok-pokok ajaran yang telah
ditetapkan Al Quran dan Sunnah, maka ia akan menolaknya secara langsung dan akan
mencampakannya pada perawinya; siapaun rawi itu. Termasuk Umar meletakan isi
hadis yang diriwayatkannya pada nalar pemikiran umum yang didapat dari kondisi
zaman Rasulullah kejadian dan adat istiadat., jika pertentangan walau sedikit,
ia menolaknya. Umar berusaha hadis yang
diriwayatkan tidak bertentangan dengan ketetapan-ketepan rasio yang sesuai
dengan tabiat zaman Raulullah, kebiasaan, situasi dan kondisi, adat sosial
masyarakat dan individu.
Umar menerima hadis yang diterimanya secara langsung dan
menetapkannya dalam lingkaran teks-teks shahih yang wajib diamalkan oleh
orang-orang Islam, meskipun rawi hadis ini hanya satu orang sahabat,
sebagaimana yang terjadi dalam banyak keputusannya. Selanjutnya Umar menolak
sebagaian hadis-hadis nabi jika ternyata ia tidak menyakininya, ketika ia
mengeceknya secara rasional dan berbagai fase yang berbeda-beda, karena itu
keyakinan merupakan syarat dan parameter yang dipergunakannya untuk menerima
suatu hadis. Jika suatu perkara memerlukan penelitian, maka ia mengadakan
penimbangan atan balancing terhadap apa yang ia dengar. Dengan demikian
ketika membicarakan nash-nash hadis dalam persoalan fiqh, Umar mempergunakan
parameter atau metode yang didasarkan pada suatu penerimaan dan penolakan
hadis.
4.
Pemikiran Umar ra Tentang Fiqh.
Telah disebutkan di atas, bahwa Umar sangat disipilin dalam
mengaplikasikan teks-teks syara’, di samping juga disiplin dalam
merealisasikan kemaslahatan umum dalam posisinya baik sebagai mujtahid maupun
sebagai khalifah. Dengan kata lain bahwa ketika Umar dihadapkan dalam persoalan
hukum yang diajukan kepadanya atau persoalan yang muncul dalam kehidupan umat
Islam pada masanya selalu disiplin dalam mengaplikasikan syariat dan dalam
waktu yang bersamaan menjamin terealisasinya kemaslahatan umum atau yang lebih
dikenal dengan teori maqashid syari’ah.
Kedua hal yang diusahakan oleh Umar untuk direalisasikan ini
bukanlah dua kepentingan yang berbeda sebagaimana yang kita pahami secara
sekilas. Karena aplikasi syariat dan merealisasikan kemaslahatan umum pada
dasarnya adalah dua hal yang intinya mempunyai substansi yang sama, karena
dalam pandangan Islam, tujuan utama ditetapkannya syariat adalah merealisasikan
kemasalahatan manusia.[42] Entry poin yang harus dijadikan titik
tolak untuk mengenali metode berfikir Umar dalam konteks fiqh adalah
pengetahuan yang akurat , bahwa aksi-aksi yang dilakukan Umar didasari
keinginan untuk mengaplikasikan nash-nash syara’, namun dengan tetap
memperitmbangkan terealisasinya kemaslahatan umat.
Masalah-masalah parsial yang diusahakan oleh Umar untuk
mengaplikasikan nash-nash tersebut mempunyai situasi dan kondisi yang tentunya
menuntut cara penanganan yang spesifik pula. Hal barang tentu harus menjadi
rambu-rambu bagi pengkajian untuk tidak sembarangan menyimpulkan suatu kaidah
dari permasalahan-permasalahan parsial yang beragam speksifikasinya. Beikut ini akan diuraikan beberapa contoh
corak pemikiran Umar tentang Fiqh.[43]
a.
Had muncuri, dalam QS Al Maidah
ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء
بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.[44]
Rasulullah SAW. juga telah
mempraktekan hukumnya ini, yaitu dengan memotong tangan pencuri, begitu juga
khalifah Abu Bakar, selanjutnya Umar pun mempraktekan hukuman ini yaitu dengan
memotong tangan Samurah ketika ia kedapatan mencuri.[45] Hukuman ini telah ditetapkan oleh nash agama
baik Al Quran, Sunnah, keputusan Abu Bakar maupun keputusan Umar, namun pada
suatu ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat tahun paceklik. Pada saat itu Umar menolak untuk melaksanakan potong tangan terhadap
pencuri dengan berkata: “Tahun ini, saya tidak memotong tangan (pencuri).”[46]
b.
Menggugurkan had
zina.
Diriwayatkan, bahwa Umar mengingatkan kaum muslimin untuk tidak
meninggalkan hukuman rajam, hanya karena mereka tidak menemukannya dalam Al
Quran. Sebab hukuman ini telah ditetapkan oleh sunnah dan sesuai dengan apa
yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.[47] Meskipun demikian, sebagaimana dalam satu
riwayat disebutkan, bahwa Umar pernah menggugurkan had (hukuman yang
telah ditetapkan) atas zina.
c.
Talak tiga dengan
satu lafaz.
Asal mula talak adalah dijatuhkan secara terpisah-pisah, yaitu satu
persatu, sebagaimana firman Allah QS Al Baqarah ayat 229:
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ ….﴿٢٢٩﴾
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.[48]
Rasulullah menganggap tiga talak dalam satu majelis hanyalah
dihitung satu, namun pada masa Umar, menjatuhkan tiga talak dalam satu majelis
dihitung talak tiga, bukan satu. Dan pendapat ini telah disepakati oleh jumhur
ulama salaf dan para ahli fiqh setelahnya.[49] Menurut Umar, demi
menjaga kemaslahatan mereka, maka sebaiknya mereka diberikan hukuman, dan agar
mereka tahu bahwa talak yang dijatuhkan dengan kolektif (lebih dari satu), akan
menjadikan isterinya itu begitu mudah lepas. Ia berpendapat bahwa keputusan ini
adalah untuk kemaslahatan mereka pada saat itu.
d.
Persoalan-persoalan
yang lain baik yang ada nashnya maupun yang tidak, (dalam masalah harta benda, had
dan ta’zir, peradilan, pernikahan dan perceraian, warisan, hajji,
pengumpulan Al Quran, penganggalan Hijriyah, pajak, baitul mal dan
lain-lainya).
4. Pengaruh Pemikiran Umar Terhadap Perkembangan Fiqh
Perjalanan waktu
telah mempengaruhi ketajaman cahaya yang dipancarkan oleh kejeniusan Umar dalam
perkembangan pemikiran dunia Islam (khusunya Fiqh), hal demikian karena
keobyektifannya dan tidak fanatik terhadap Islam dalam studi-sudinya. Beikut
ini akan penulis akan memaparkan pengaruh pemikiran Umar terhadap perkembangan
fiqh masa selanjutnya sampai sekarang, dalam bentuk komentar beberapa pakar pakar:
a. DR. Thaha Husain[50] mengatakan: pemerintahan
Umar penuh dengan rahmat, Umar berhasil memberikan nuansa baru bagi kehidupan
Islam pada masa itu. Berkenan dengan sistem perkotaan dan adanya pemberian
cuma-cuma (al-atha’) yang berlangsung pada masa Umar memberikan
apresiasi kebutuhan hidup seluruh umat Islam mejadi tangungan negara. Apa yang
berhasil dicapai oleh sebagaian negara dalam perkembangan terkahir, hanyalah
sekedar system ‘solidoritas sosial’.
Dari corak berfikir ini telah melahirkan bagaimana sebuah negara
menyediakan kebutuhan rakyatnya yang terlantar dengan kewajiban pemerintah
untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah atau baitul mal wat tamwil.
b. Prof. DR. Rom Ladau
(pakar Studi Islam di Atlantic Ocean University)[51] kejeniusan Umar mampu
mensinergikan dua pertimbangan paradigmatik; kewarganegaraan dan
kemanusian dengan sangat apik, bahkan pertimbangan kemanusian lebih dia
utamakan di banding pertimbangan kewarganegaraan.
Sikap inilah yang selaras dengan keadilan dan
kemanusian yang mempunyai hubungan dengan penetapan hukum (at tasyri’).
c. Muhammad Iqbal[52] syariat Islam bisa
menerima perkembangan (modernisasi), dengan menggunakan semangat atau spirit
yang pernah digunakan oleh Umar bin Al-Khathab ketika menghadapi
problem-problem keagamaan yang muncul pada masanya. Apa yang dilakukan oleh
Umar ini merupakan nalar murni dan independen yang pertama kali pernah ada di
dunia Islam.
d.
Gold Ziher[53] Umar dalah khalifah yang
mempunyai semangat tinggi untuk membangun Negara Islam yang sebenarnya,
pembebasan daerah baru menuntut ditetapkannya undang-undang yang mengatur
hak-hak musuh, dan sistem-sitem yang dipakai untuk mengatur masyarakat.
Sehingga adanya inspirasi aturan bidang politik dan ekonmi.
Pengaruh Umar bin Al-Khathab
melahirkan para pakar Ushul Fiqh, walau kadangkala tidak mempunyai keberanian
untuk menerobos sebenarnya cakrawala yang sebenarnya yang pernah diterobos oleh
Umar. Semoga kedepan pengaruh ini mampu menguak sistem-sistem dalam Islam yang
selama ini terpendam namun menjajikan munculnya semangat dan penyegaran baru
(inovasi) serta mampu menghantarkan mujtahid menuju kemajuan dalam bidang hukum
yang akan memberikan kontribusi positif bagi tegaknya keadilan dan kebahagian
manusia.
5.
Pengaruh Pemikiran Fiqh Umar Terhadap Perkembangan Hukum Islam.
Sebagai mana yang dipahami di saat Umar menghadapi kritikan yang
amat memojokan, Umar beragumen secara kontekstual, tetapi disalahpahami
oleh sahabat yang lain justru menggunakan tekstual, sehingga wajar
bersimpang jalan. Sesunggunya Umar ingin keluar dari satu teks ayat yang tidak
relevan dengan kondisi masyarakat menuju ke teks ayat lain yang lebih relevan
dengan kondisi obyektif masyarakatnya. Sehingga dengan dasar itulah para akademisi khususnya yang bergerak
dalam dunia perkembangan hukum Islam yang di awali dengan menggugat corak berfikir
dan menafsiran yang berlandaskan teks atau telah berusaha menafsirkan ayat
berdasarkan konteksnya namun tidak berani keluar dari pola-pola penafsiran yang
sudah baku.
Dengan demikian, maka dari dunia akademisi (pengkaji hukum) telah
berusaha memberikan alternatif penafsiran yang meskipun masih bersifat
kontekstual tetapi cara memaknai konteksnya ternyata lebih radikal, bahkan
boleh dikata tidak lazim, sehingga mampu memberikan perspektif baru atas
pola-pola penafsiran yang sudah lazim. Hal ini tentu karena para akademisi itu
mencoba memakai metode yang pernah dipraktekan oleh Umar dalam memaknai
teks-teks nash dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Dalam perkembangannya telah terjadi perspektif baru terhadap
pemikiran akademisi yaitu dengan meletakan fiqih sebagai produk budaya atau
produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komuniatas tertentu. Selama ini,
bila membaca kitab-kitab fiqih, maka fiqn seakan-akan terlalu “dimanja” dan
“disakralkan” oleh pembacanya, sehingga fiqh menjadi ilmu yang tak terjamah
secara lebih mendasar sehingga dianggap doktrin yang tidak boleh dikutak-katik.
Atas dasar ini, diperlukan pisau akademisi pembedah guna mendongkrah kesadaran
kolektif para pengkaji fiqih kontemporer agar secara proakatif melakukan
pembacaan ulang terhadap fiqh yang telah diletakan dasarnya oleh Umar. Sebab fiqh merupakan khazahah yang menjadi
kebanggaan setiap muslimin dalam upaya menjawab problematika kamanusian yang
terus bertambah dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat, maka tak terelakan
pembaharuan fiqh sebagai solusi alternatif.
Dalam hal pembaharuan fiqh (hokum Islam) ini dapat dilihat
dasar-dasar yang telah diletakan oleh Umar, hal ini pula yang mempangaruhi
pembaharuan fiqh dalam dunia akademisi, yang sebenarnya telah muncul beberapa
tokoh dunia kampus yang besar, antara lain; DR. Ali Jum’ah dan Jamaluddin
Athiyah, Jamal al-Banna (Mesir), Yusuf al-Qardlawi (Qatar) Muhammad Sharur
(Suriah). Mereka melihat betapa penting membaca ulang fiqh klasik secara
kritis, bukan dalam membongkar pasang fiqh yang ada, melainkan dalam hal
memperbaharui fiqh dan ushul fiqh guna menjawab beberapa problem kekinian.
Rumusan hukum dan metode istibath yang diperkenalkan oleh
Umar dimungkinkan untuk dikembangkan secara dinamis, kreatif dan dimodifikasi.
Sejumlah Sarjana yang berupaya menawarkan kemestian pemikiran ulang (re-thinking) atau tajdid dalam bidang pemikiran fiqh dan ushul fiqh dengan mencoba
melihat metode Umar dengan melihat kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat
Islam modern. Karenanya dalam dunia akademisi mencoba mengajukan alternatif
pemikiran agar fiqh direformasi menjadi fiqh realiatas (fiqh al-waqi’) dan fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyat) yaitu fiqh yang telah diformulasikan Umar
sehingga fiqh itu dapat dijadikan sinaran baru bagi problema kemanusian yang
muncul di tengah-tengah masyarakat khususnya dalam masalah hukum kasus-kasus
kontemporer. Karena fiqh yang diformulasikan Umar ternyata telah terlebih
dahulu menyehtuh isu-isu kesetaraan gender (fiqh
al-mar’ah), ketatanegaraan (fiqh
al-dawlah), kewarganegaraan (fiqh
al-muwathanah) dan lain-lain. Di sini semakin terlihat semangat aktivis
kampus yang ingin mendinamisasikan fiqh Umar yang merupakan langkah awal guna
mendekonstruksi fiqh dalam konteks kekinian.
Karenanya, konsep fiqh yang diajukan Umar adalah upaya menguak
hakikat doktrin nash terutama mengembalikan syariah pada maqasid al-syariah sehingga pola pikir
Umar ini dapat menegosiasikan visinya dengan kekinian dan kemodere. Bukan hanya
itu, diharapkan metode Umar ini dapat memotret konteks, ruang dan zaman. Di
antara ulama yang sangat menonjol dalam mengembangkan fiqh maqashid
adalah Abu Ishaq al-Syatibi, dalam karangannya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, yang dipandang sebagai kerangka
metodedologis dalam memahami syariat dan bukannya kesimpulan-kesimpulan hukum (istinbath al-ahkam). Dalam metode
pemikiran Umar ini paling tidak telah mempengaruhi pola pandang akademisi untuk
pembaharuan fiqih, setidaknya ada tiga level yang telah mempengaruhinya yaitu:
Pertama, pembaharuan pada level metodologis,
sehingga interprestasi terhadap teks-teks nash secara kontekstual dan
verifikasi terhadap ajaran pokok yang dilandasi maqashid syariah.
Kedua, pembaharuan pada level etis sebagaimana
fiqh Umar tidak sekedar membahas hukum halal-haram melainkan membahas panca
jiwa fiqh (al-kulliyat al-khamsah)
yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Ketiga, pembaharuan pada level filosofis,
sebagaimana yang telah dipraktekan Umar agar hukum bias memotret realitas
social masyarakat secara kompherensif.
Keranya, metode Umar ini telah menjadi tren utama oleh sebagian
akademisi untuk mengedepankan visi kemaslahatan umat, untuk menjawab
problema-problema kamanusian terhadap nilai-nila yang keperpihakan terhadap
kepentingan umat. Tentu saja, fiqh Umar yang diformulasikan oleh akademisi
terbuka dan progresif.
C.
ANALISIS
Sebagaimana yang diketahui bahwa Umar bin Al-Khathab adalah sahabat
Nabi Muhammad SAW. yang memiliki pengetahuan yang luas, sehingga pengaruh corak
berfikirnya menjadi rujukan generasi berikutnya dalam menetapkan hukum (fiqh).
Keluasan ilmunya terlihat dari pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Quran. Umar
sangat paham dengan maksud ayat-ayat Al Quran bahkan ijtihadnya dalam persoalan
fiqh sering dibenarkan oleh wahyu, dan kenyataannya Umar mengetahui konteks
sosial yang menjadi sebab turun ayat (asbabunuzul) banyak ayat-ayat
hukum turun ketika Umar bersama dengan Rasulullah.
Disamping pemahamannya tentang Al Quran, Umar juga memiliki pemahaman dan analisa yang tajam
tentang hadis-hadis hukum, bahkan tidak itu saja Umar merupakan sahabat yang
menduduki tingkat kedua dalam thabaqat sahabat (peringkat pertama dalam
tingkatan sahabat dalam masalah hukum), dan juga memiliki keunikan tersendiri
yang tidak dijumpai pada periwayatan hadis lainnya dan corak berfikir fiqh pada
sahabat yang lain. Melalui pengetahuannya yang luas, didukung oleh kepintaran
dan kuat hafalannya, Umar sebagai seorang ahli dalam bidang fiqh, dengan
kepakarannya ini, Umar telah turut andil dalam memberikan pengaruh dan andil
yang besar bagi perkembangan ilmu fiqh masa selanjutnya, sehingga melahirkan
mujtahid-mujtahid besar. Andaikan Umar tidak masuk Islam tentu sebagian besar sunnah
Nabi yang menjadi sumber bagi ilmu fiqh tidak akan sampai kepada kita,
khususnya sunnah fi’liyah yang berkaitan dengan hukum dalam kehidupan
sehar-hari.
Oleh karenanya, Umar merupakan sosok tokoh yang sangat pakar dalam
bidang fiqh, ungkapan dalam pembahasan di atas lahir dari kepiawaian Umar dalam
menetapkan hukum, sehingga corak pemikiran fiqh Umar terlihat dari metode yang
digunakannya dalam penetapan hukum yang secara kuantitatif sangat besar
jumlahnya dan pengaruhnya. Dalam penetapan hukum ternyata Umar senantiasa
berpegang pada Al Quran baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Umar
selalu berupaya melakukan interprestasi dalam menetapkan hukum-hukum yang
dicakup oleh suatu ayat. Oleh sebab itu tidak jarang, satu ayat yang
ditafsirkan oleh Umar menghasilkan sejumlah kesimpulan hukum. Ini
mengindikasikan kejelian dan kecerdasan Umar dalam menganalisa suatu ayat di
satu sisi dan terwujudnya kemaslahatan umat pada sisi yang lain (maqashid
syari’ah).
Selain Al Quran, Umar sangat berpegang teguh dengan hadis Nabi,
dalam menetapkan sebuah kasus hukum. Umar dikenal sangat berlian dalam memahami
suatu hadis, hal ini ternyata dapat dilihat dari jawaban yang sangat dalam dan
tajam terhadap persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya. Semua persoalan yang
muncul dijawabnya sesuai dengan jawaban-jawaban yang diperoleh dari Nabi
Muhammad SAW. Semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Umar dijawab
dengan pendekatan sunnah Nabi Hal ini pertanda betapa banyak dan luas
pengetahuan Umar tentang sunnah Nabi Saw.
Dari uraian di atas terlihat bahwa umumnya Fiqh yang dilahirkan
oleh Umar berkaitan berbagai macam persoalan hukum fi’liyah. Kemudian
dari penjelasan-penjelasan yang berlalu tergambar bahwa Umar selalu menetapkan
hukum dengan menggunakan Al Quran dan Sunnah (al-Nushus al-Muqaddasah).
Umar menggunakan dalil Al Quran sebagai dalil dalam menetapkan hukum dengan
berbagai pendekatan, beberapa pendeatan yang dipergunakannya, yaitu pendekatan Asbab
al-Nuzul (sebab-sebab turun ayat), dan pendekatan liguistik (pendekatan
bahasa). Selain menggunakan nash (Al Quran dan Hadis) Umar juga
menggunakan metode ijtihad. Metode ini digunakan ketika persoalan-persoalan
yang muncul tidak dapat dijawab oleh teks nash. Namun bukan berarti penggunaan
ijtihad oleh Umar terlepas dari nash. Ijtihadnya selalu didasarkan pada
kaedah-kaedah umum yang terkandung dalam nash.
Pemikiran Umar dalam Fiqh sangatlah tepat dan akan selalu terpakai
pada masa-masa mendatang. Konsistensi Umar dalam menggunakan kaedah-kaedah umum
nash ketika menggunakan ijtihad, dapat pula dilihat dari jawabanya
terhadap persoalan yang diajukan kepadanya. Akhirnya kita dapat mencoba
membandingkan dan menyamakan (al
muwazzah) fiqh Umar dengan yang lainnya, dalam mencari terobasan sebuah
hukum yang munkin akan muncul di tengah-tengah masyarakat yang semankin
kompleksitas.
D.
PENUTUP
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan, antara lain sebagai berikut:
1.
Umar merupakan tokoh
fiqh pertama di dunia Islam, sebab sebagian besar pendapat-pendaat yang dirujuk
kepadanya adalah terkait dengan persoalan fiqh (fi’il).
2.
Sebagai seorang
mujtahid Umar senantiasa melandasi ijtihadnya pada kaedah-kaedah umum yang
terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, demi terwujud dan terealiasinya kemaslahatan
umat.
3.
Pemikiran Umar
tentang fiqh sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan hukum Islam dalam
menjawab berbagai persoalan kasus-kasus hukum kekinian, sehingga muncul teori
penemuan hukum hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau
seni menginprestasikan (the art pf interprestation) ‘teks’ atau memahami
sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan
perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab
Al-Amwal, tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Beirut,
Cetakan I, 1406 H / 1986 M.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin
Ismail, Shahih Al-Bukhari, Dar As-Salam Riyad, Cet.1, 1417 H / 1977 M.
Al-Ghadhban, Munir Muhammad, Fiqh
As-Sirah An-Nabawiyah, Ma’had Al-Buhust Al-Ilmiyah wa Ihya’ At-Turats
Al-Islami Jami’ah Ummul Qura, Vet. 1, 1420 H / 1989 M.
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahamad, Al-Fiqh Al-Iqtishadi, Li Amirul
Mukminin Umar Ibn Al-Khathab, Dar Al-Andalus Al-Khadra’-Jeddah, Saudi
Arabia Cet.1, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, LC, 1424 H / 2003.
Al-Mubarakfury, Syaikh
Shafiyyur-Rahman, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Siah An-Nabawiyah Ala
Shahibiha Afdhalish-Shlati was-Salam, Cet.1, Darul-Salam, Riyadh, 1414 H.
Al-Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha’, tt.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad
Al-Anshori Al-Jami’, Tafsir Al-Qurthubi,
jilid VI, Dar Al-Fikr Beirut, Cet. 1, 1414 H / 1997 M.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir, Tarikh Ath-Thabari (Tarikh Ar-Rasul wa Al-Muluk, Jilid III,
Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrahim, Dar al-Ma’arif Mesir, 1963 M.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Cet.6, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998.
Departemen Agama RI, Al Quran dan
Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah),
Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As
Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam
Sya-Zun 5, Cet.11, Ichtiar Baru van Hoever, Jakarta, 2003.
Goldzhiher, Ignas, Al-Aqidah wa Asy-Syari’ah
fi Al-Islam, Cet. Darul kitab
Al-Mishriyah Kairo, 1946 M
Husain, Thaha, Asy-Syaikhani, Dar Al-Ma’arif Mesir,
1960 M.
Ibnu Al-Jauzi, Manaqib Umar ibn Al-Khathab, Dirasah Sa’id
Muhammad Al-Lahham, Dar Makatbah Al-Hilal Beirut, Cet.2, 1409 H / 1989 M.
Ibnu Sa’ad, Muhammad bin Sa’d bin Mani’, Ath-Thabaqat
Al-Kkubra, tahqiq Muhammad Abdul Qadir Atha, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Beirut, Cet. 1, 1420 H / 1990 M.
Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar bin
Ayyub, I’lam Al-Muwaqqi’in an Rabb
Al-Alamin, Dar Al-Khilafah Beirut, Cet. 1, 1406 H / 1986 M.
Ibnu Anas, Imam Malik, Al-Muwaththa’, jilid II,tashih
Muhammad Fuad abdul Baqi, Dar al-Hadist Kairo, tt.
Ibn Rusyd, Muhammad bin
Ahmad, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, tahqiq Abdullah
Al-Ibadi, DR, Dar As-Salam Kairo, Cet. 1, 1416 H / 1995 M.
Ismai’il Muhammad Djamil, Sedjarah
Islam, Bagian Kedua Zaman Chalifah Umar Ibn Al-Chattab ra, Tintasmas, Jakarta, 1953.
Iqbal, Muhammad,
Tajdid At-tafkir Ad-Din fi Al-Islam, terj. Abbas Mahmud, 1995.
Mas’adi, Ghufron A, The Concese
Encylopaedia of Islam, Cyril Glasse Ensiklopedi Islam (ringkas), Cet. 2,
PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, 1999
Muhammad Baltaji, Minhaju Umr ibn
Al-Khathab fi al-Tasyri’ Dirasatu Mastu’abatu li Fiqhi Umar wa Tanziimatahu,
Cet.2, Dar As-salam, Kairo Mesir, 1424 H
/ 2003 M.
Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikhu Umar Ibn
Khaththab Muwaazinan Biffiqhi Asyuri al-Mujtahidin, cet.1 1403, Daar
al-Gharbi al-Islami, Beirut, terj. Abbas M.B.
Syakir, Mahmud, At-Tarikh al-Islam, Al-Maktab
Al-Islami Beirut, Cet.7, 1411 H / 1991 M.
Shahih Muslim, Cet. Muhammad Ali Shabih,
Mesir, 134 H
Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dalam bentuk CD.
Footnote:
[1]Peninjauan dari aspek hadis melahirkan tujuh sahabat yang biasa
dikenal dengan sebutan al-Sab’
al-Mukatstsirun (tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadis), yaitu :
Abu Hurairah, Abdullah ibnu Umar, Anas ibnu Malik, Aisyah r.a, Abdullah ibnu
Abbas, Jabir ibnu Abdullah, dan Abu Sa’id al-Khudari. Peringkat ini tentunya
berbeda jauh bila ditinjau dari aspek fiqh. Pada aspek fiqh, menurut Abu Ishaq
al-Syirazi (w.476 H/1083 M) tujuh peringkat sahabat tertinggi adalah : Abu
Bakr, Umar, Ustman ibnu Affan, Abu al-Munzhir, Abdullah ibnu Mas’ud, Abu Musa
Al-Asy’ari dan Muaz ibnu Jabal. Lihat al-Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha’
hlm 18-29.
[2] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Cet.6, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 159.
[3] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Sya-Zun 5, Cet.11, Ichtiar
Baru van Hoever, Jakarta, 2003, hlm, 124.
[4] Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi, Li Amirul
Mukminin Umar Ibn Al-Khathab, Dar Al-Andalus Al-Khadra’-Jeddah, Saudi Arabia
Cet.1, terj. Asmni Solihan Zamakhsyari, LC, 1424 H / 2003 M, hlm,18.
[5] Ismai’il Muhammad Djamil, Sedjarah
Islam, Bagian Kedua Zaman Chalifah Umar Ibn Al-Chattab ra, Tintasmas, Jakarta, 1953, hlm. 43.
[6] Ibnu Al-Jauzi, Manaqib Umar ibn Al-Khathab, Dirasah Sa’id
Muhammad Al-Lahham, Dar Makatbah al-Hilal Beirut, Cet.2, 1409 H / 1989 M, hlm.
268.
[7] Jaribah bin Ahmad
Al-Haritsi, Op.Cit, hlm. 18.
[8] Lihat biografi Umar secara luas dalam beberapa rujukan berikut :
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat AlKkubra, hlm. 201 dan Mamud Syakir, At-Tarikh
al-Islami, hlm. 113-117.
[9] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Loc.Cit (Pada masa
remajanya dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya
itu dalam pesta tahunan pasar Ukaz di Mekkah..
[10] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum,
Bahtsun Fis-Siah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shlati was-Salam,
Cet.1, Darul-Salam, Riyadh, 1414 H., hlm, 138.
[11] Ibnu Al-Jauzi, Op.Cit, hlm. 28.
[12] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit, hlm, 140. (Islamnya
Umar disimpulkan beberapa riwayat dengan mengompromikan riawayat tersebut,
bahwa suatu malam dia keluar rumah hingga tiba di Baitul Haram, saat itu Nabi
Saw sedang shalat membaca Surat Al-Haqah ayat 40-41, kemudian pulang ditengah
jalan bertemu dengan Abdullah An-Nahham memberitahukan adiknya masuk Islam,
lalu Umar ke umah adiknya yang didapati sedang membaca Al Quran dan Umar
menyatakan keislamannya.
[13] Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi , Op.Cit, hlm. 25.
[14] Ibid, hlm. 26-27.
[15] Ghufron. A Mas’adi, The Concese Encylopaedia of Islam,
Cyril Glasse Ensiklopedi Islam (ringkas), Cet. 2, PT. RajaGrafindo Persada
Jakarta, 1999, hlm. 418.
[16] Ibid.
[17] Munir Muhammad Al-Ghadhban, Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, Ma’had
Al-Buhust Al-Ilmiyah wa Ihya’ At-Turats Al-Islami Jami’ah Ummul Qura, Vet. 1,
1420 H / 1989 M, hlm. 57.
[18] Dewan Redaksi, Ensiklopedi
Islam, Loc, Cit.
[19] Jaribah bin Ahmad
Al-Haritsi, Op.Cit, hlm.6.
[20] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
Dar As-Salam Riyad, Cet.1, 1417 H / 1977 M. hadits nomor 3689,
dan Shahih Muslim, Cet. Muhammad Ali
Shabih, Mesir, 134 H, hadist nomor 2398.
[21] Muhammad Baltaji, Minhaju
Umr ibn Al-Khathab fi al-Tasyri’ Dirasatu Mastu’abatu li Fiqhi Umar wa
Tanziimatahu, cek.2, 1424 H / 2003 M, Dar As-salam, Kairo,-Mesir, hlm. 8.
[22] Ibid, hlm, 18.
[24] Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 22.
[25] Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikhu Umar Ibn Khaththab Muwaazinan
Biffiqhi Asyuri al-Mujtahidin, cet.1 1403, Daar al-Gharbi al-Islami,
Beirut, terj. Abbas M.B, hlm.29.
[26] Ruway’i Ar-Ruhaily, Op.Cit, hm, 30.
[27] Yaitu tempat berdiri nabi Ibrahim a.s. diwaktu membuat Ka'bah.
[28] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa
Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al
Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al
Mushah Asy Syarif, 1412 H, hlm, 33.
[29] Rinciannya dapat dilihat hadis-hadis mengenai kelebihan ilmu Umar sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari
dan Imam Muslimin dari sahabat Ibnu Umar ra, hadis dari Abu Sa’id Al Khudri ra
dan dari Sa’ad bin abi Waqqash ra. (Shahih Bukhari beserta sarahnya Fathul
Baari, jilid VII, hlm. 40-43
[30] Ar-Riyadha An-Nadhrah, II/67, II/46. Thabari berkata : Atsar ini diriwayatkan
oleh abu Umar dan Qal’i. Huzaifah Ibn Yaman berkata :”Aku melihat seolah-olah
ilmu yang dimiliki manusia itu terselip dalam batu Umar.”
[31] Ruway’i Ar-Ruhaily, Op.Cit, hm, 45.
[32] Contoh yang terjadi pada waktu penentuan nasib tawanan Perang Badar,
pendapat maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, masalah hijab, keputusan
untuk tidak menyalati Abdullah bin Ubai ketika mati dan lan-lain. (Lihat A’lam
Al-Muwaqqi’in, karya Ibnu Qayyim jilid I, hlm, 93-94).
[33] Muhammad Baltaji, Op.Cit,
hm, 32.
[35] Rasulullah meninggal pada bulan Rabiul Awwal 11 H, dan Abu Bakar
meninggal pada Jumadil Akhir 13 H.Lihat Tarikh Ath-Thabari, Jilid III,
hlm, 419.
[36] Pada masa Abu Bakar ini dapat contoh ijtihad Umar dalam masalah
kodifikasi Al Quran dan penghapusan bagian zakat mu’allafatu qulubuhum
(orang yang baru masuk Islam).
[37] Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 36.
[38] Umar bin Al-Khathab meninggal pada malam Rabu 27 Dzulhijjah 23 H,
lihat Tarikh Ath-Thabarii jilid IV, hlm, 193.
[39] Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 37.
[43] Karena keterbatasan pembahasan Penulis cukupkan beberapa kasus
saja, dan akan Penulis tulis skema yang lain.
[44] Depag RI, Op,Cit, hlm, 165.
[45] Al-Qurthubi, jilid VI, hlm, 160.
[46] Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab Al-Amwal, tahqiq
Muhammad Khalil Harras, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Cetakan I, 1406 H /
1986 M. hlm, 559, A’lam Al-Muwaqqi’in, jilid III, hlm,33.
[47] Imam Malik Ibnu Anas, Al-Muwaththa’, jilid II, tashih
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar al-Hadist Kairo, tt, hlm, 165.
[48] Depag R, Op Cit, hlm, 55
[49] Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd,, Bidayah
Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, tahqiq Abdullah Al-Ibadi, DR, Dar
As-Salam Kairo, Cet. 1, 1416 H / 1995 M, hlm, 50.
[51] Muhammad Baltaji, Op,Cit, hlm, 17-18.
[52] Muhammad Iqbal, Tajdid At-tafkir Ad-Din fi
Al-Islam, terj. Abbas Mahmud, 1995, hlm, 187.
[53] Ignas Goldzhiher, Al-Aqidah wa
Asy-Syari’ah fi Al-Islam, Cet. Darul kitab
Al-Mishriyah Kairo, 1946 M, hlm, 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini