Rabu, 22 Juni 2011

PEMIKIRAN UMAR BIN AL-KHATHAB

PEMIKIRAN UMAR BIN AL-KHATHAB TENTANG FIQH

A.     PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang Masalah
Sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang yang beriman, dan dia hidup serta mati dengan keadaan muslim. Intensitas bertemunya para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW. menjadikan mereka sebagai rujukan dalam mencari jawaban atas persoalan yang muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kebutuhannya masing-masing, generasi tabi’in banyak melacak dan menyelidiki  sunnah Nabi Muhammad SAW.  kepada mereka yang amat banyak berinteraksi denganya. Sahabat yang banyak dirujuk menjadikannya memiliki peringkat yang lebih tinggi daripada sahabat yang lainnya. Dari sinilah muncul upaya memposisikan peringkat sahabat, yang biasa disebut dengan thabaqat shahabat (tingkatan sahabat). Urutan peringkat sahabat yang mereka buat adalah sesuai dengan penekanannya masing-masing. Hal ini tentunya menimbulkan banyak variasi peringkat sahabat. Peringkat sahabat dari aspek hadis tentu amat berbeda dengan sahabat dari aspek fiqh.[1] 
            Umar bin Al-Khattab ra adalah salah salah di antara seorang sahabat utama yang menjadi rujukan bagi generasi tabi’in yang banyak bergelut dalam bidang fiqh. Kepadanya banyak dilacak tentang kehidupan Rasulullah SAW. serta persoalan-persoalan hukum (fiqh). Dengan kedewasaan, kematangan berfikir serta kecerdasannya, Umar  mampu menguraikan dengan jelas dan lugas berbagai persoalan yang dikonfirmasikan kepadanya. Hal inilah menjadikan Umar sebagai seorang sahabat yang memiliki corak pemikiran fiqh tersendiri dibandingkan dengan sahabat yang lainnya, bahkan pemikiran Umar kadangkala banyak ditentang oleh sahabat yang lain karena pola fikirnya yang kadangkala cenderung berbeda dengan mereka.
            Sepintas lalu memang kelihatannya keputusan-keputusan (yang dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad Umar)  itu seakan-akan bertentangan (kontradiksi) dengan ketentuan-ketentuan Al Quran, namun kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya (maqashid syari’ah), ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khathab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.[2]
Pasca Nabi Muhammad SAW. wafat, Umar menjadi rujukan bagi umat Islam, khususnya oleh para ahli fiqh, karena dengan kecerdasan, keberanian, kezuhudan dan kecemerlangan buah pikrannya. Perjalanan hidupnya memiliki cerita dan makna yang luar biasa ; baik sebelum maupun sesudah memeluk Islam. Umar yang hidup jauh sebelum berkembangnya ilmu ushul fiqh dan fiqh, memiliki kecerdasan dalam beramaliyah. Hal ini disebabkan karena kepahaman dan pendalaman yang mantap terhadap nash (Al Quran dan As Sunnah). Inilah barangkali landasan utama tujuan membahas pemikiran Umar dalam konteks fiqh sebagai sumber inspirasi bagi adanya ijtihad mustaqil (berdiri sendiri). Keagungan pemikiran Umar itu pula penulis akan mengkaji secara ilmiah tentang: “Pemikiran Umar Bin Al Khattab tentang Fiqh”. Dan diakhir kajian ini akan ditarik sebuah kongklusi (kesimpulan).

2.     Permasalahan
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi pokok inti permasalahnya adalah: Bagaimanakah pemikiran Umar Bin Al-Khattab tentang Fiqh dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam?

B.     PEMBAHASAN
1.     Biografi Singkat Umar Bin Khathab.
Umar bin Khathab (581 M-26 Zulhijah 23 / 3 November 644)). Sahabat Nabi Muhammad SAW.  terdekat dan khalifah kedua al-Khulafa’ ar-Rasidun.[3] Umar dilahirkan 30 tahun sebelum masa kenabian,[4] pendapat lain lahir 13 tahun sesudah tahun Gajah,[5] Ia hidup selama 65 tahun,[6] separuh pertama -kurang lebih- dalam kekelaman jahiliyah. Ketika itu dia adalah orang yang tidak dikenal, tidak memiliki nama dan keagungan. Sedangkan yang separuh keduannya dalam cahaya iman. Dimana dalam masa ini, namanya menjadi terkenal dan termasuk salah satu tokoh besar. Sesungguhnya Umat berkembang dalam asuhan bapaknya yang berwatak keras dan berhati kasar.[7] 
Para sejarawan menyebutkan nasab Umar dari pihak ayahnya dan ibunya dengan mengatakan: Umar bin Al-Khathab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi Ka’ab bin Luayyi bin Ghalib Al-Quraysi al-‘Adawi. Sedangkan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah, dari Bani Makhzumi, dimana Hantamah adalah saudara sepupu Abu Jahal.[8] Kun-yahnya: Abu Hafash ; dan laqab (gelar)nya : Al-Faruq. Dikatakan bahwa dia digelari demikian itu dikarenakan terang-terangan dan pengumumandangannya secara terbuka terhadap keislamannya, ketika yang lain menyembunyikan keislaman mereka. Maka dia membedakan antara yang hak dan yang batil.
Berbagai referensi menggambarkan sosok[9] Umar ra, bahwa beliau berbadan tinggi besar, postur tubuh yang tegap dan kuat, lebat bulu badannya, terurai rambutnya dari kedua sisi kepalanya, berkulit putih kemerah-merahan dan ada yang mengatakan coklat muda, berjenggot lebat, berkumis tebal, dan menyemir ubannya dengan hana. Disamping sifat-sifat fisik tersebut, Umar juga memiliki sifat-sifat kejiwaan yang luhur, diantaranya: adil, penuh tanggungjawab, sangat keras pengawasannya terhadap para pejabat dan aparat negara, santun terhadap rakyat dan sangat antusias dalam merealisasikan kemaslahatan mereka, tegas dalam urusan agama, berwibawa dan disegani, tajam firasatnya, luas dalam keilmuannya, cerdas pemahamannya. Umar dikenal sebagai orang yang menjaga kehormatan dirinya dan memiliki watak yang temperamental. Setiap kali dia berpapasan dengan orang-orang Muslim, pasti dia menimpakan berbagai macam siksaan.[10]
Ketika Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul yang terakhir menyampaikan Islam kepada manusia, maka Umar termasuk orang yang paling sengit dalam memusuhi Islam dan dikenal dengan keras tabiatnya, di mana kaum Muslimin yang lemah menerima darinya berbagai bentuk gangguan dan siksaan. Umar menyatakan keislamnnya pada tahun ke-6 dari kenabian.[11] Keislaman Umar berwal dari ketika mendengar bacaan ayat Al Quran yang dilantunkan oleh adik dan iparnya.[12]  Dan, keislamannya ini memilki pengaruh besar bagi kaum muslimin.
Selajutnya ketika Nabi Muhammad SAW. telah wafat dan Abu Bakar ra menjadi Khalifah, maka Umar berada di sisinya untuk membantu dalam memudahkan urusan kaum muslimin, di mana Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan Umar dalam masalah-masalah yang disampaikan kepadanya, dan Umar menjadi pembantu dan panasehat terbaik. Ketika Abu Bakar ra. menghadapi kematiannya, dia mengangkat Umar sebagai khalifah setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior dan persetujuan mereka dalam hal itu. Umar ra. melaksanakan tugas dalam kekhalifahan selama 10 tahun dan 6 bulan[13] dan mampu merealisasikan hal-hal yang besar dalam masa tersebut, yang tidak mungkin disebutkan dalam ruang singkat ini. Umar saat menjelang kesyahidannya sangat memperdulikan beberapa hal yang menunjukan keagungan pribadinya, dan memiliki beberapa makna penting diantaranya adalah:[14]
1.   Umar dibunuh ketika shalat. Tapi, demikian itu tidak menyibukkannya dari shalat, bahkan dia menggapai tangan Abdurrahman bin ‘Auf, lalu diajukannya untuk mengimami shalat manusia. Maka Abdurrahman bin ‘Auf shalat mengimami mereka dengan shalat yang ringan, sedangkan Umar dalam keadaan pingsan. Dimana dia masih dalam kondisi pingsan hingga matahari kekuning-kuningan. Dan ketika siuman, dia memandang wajah para sahabatnya.
2.   Umar memperhatikan pembunuhnya dan motivasinya, dengan berkata: ”Segala puji bagi Allah SWT. yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku Islam.”
3.  Peduli dalam menghitung hutangnya dan membebankan kepada putranya, Abdullah bin Umar untuk membayarnya.
4.  Meinginginkan untuk dimakamkan di samping kedua sahabatnya, seraya minta izin kepada Aisyah ra melalui putranya Abdullah bin Umar.
5.      Peduli penentuan khalifah setelahnya, dimana dia menjadikan perkara ini di tangan enam orang sahabat.
6.      Mewasiatkan khalifah sesudahnya tentang rakyat, baik yang muslim maupun yang dzimi, yang di perkotaan maupun di pedusunan.
Umar meninggal pada 23/47 terbunuh oleh Abu Lu’lu’ah Firoz, seorang budak Persia milik gubernur Basrah yang bernama Mughirah ibn Syu’bah.[15]  Pada akhir hayatnya menunjuk sebuah lembaga syura (lembaga permusyawaratan) untuk menyelenggarakan khalifah baru berkuasa sepeninggal Umar.[16]

2.     Keadaan Situasi dan Kondisi Masa Umar ra.
Umar ra  menghabiskan separuh hidupnya dalam jahiliyah; menyembah patung dan meningggalkan Allah SWT. dan menghabiskan separuh yang kedua dalam Islam; menyembah Allah SWT. semata. Dan di antara yang penting ini adalah mengenali garis-garis besar sistem yang berlaku dalam masa dimana Umar hidup di dalamnya. Setelah penyebutan secara global, maka memungkinkan untuk merinci sisi-sisi kehidupan terpenting dalam masa tersebut, seperti berikut ini:[17]
a.       Akidah yang berlaku.
Kemusyrikan merupakan agama umum bagi bangsa Arab dan menjadi aqidah yang berlaku dalam masa jahiliyah (paganisme), disamping agama-agama yang lain seperti Yaudi dan Nasrani, agama tersebut masih ada hingga Islam datang dengan akidah tauhid.
b.      Kehidupan politik.
Ketika Islam datang, negara-negara Arab berada di antara dua imperium terbesar ketika itu yaitu: imperium Persia di timur dan imperium Romawi di barat. Bangsa Arab tidak memiliki pusat pemerintahan yang menyatukan mereka dan mengatur seluruh sisi kehidupan mereka, setiap suku mencerminkan kesatuan politik yang independen. Setelah Islam datang  ia berupaya menyatukan bangsa Arab di bawah bendera tauhid.  Nabi Muhammad SAW. membentuk negara Islam di Madinah. Ketika Abu Bakr ra sebagai khalifah menghadapi berbagai fitnah, maka dia memerangi orang yang mengaku sebagai nabi, orang murtad, dan para pemboikot zakat. Kemudian ketika Umar ra sebagai khalifah, pilar negara Islam telah kuat dan kondisi sangat kondusif.
c.       Kehidupan ekonomi.
Aktivitas ekonomi yang dilakukan bangsa Arab -sebelum Islam- amat sangat sederhana sekali dan terbatas mayoritas menggembala dan berternak binatang.
d.      Kehidupan moral dan sosial.
Bangsa Arab dalam masa jahiliyah memiliki akar budaya dalam sebagian akhlak yang rusak dan hal-hal mungkar seperti minum khamar, berjudi dan lain-lain. Disamping itu juga terdapat beberapa akhlak yang bagus dan terpuji yang membuat orang kagum, seperti murah hati, menepati janji, ‘izzah (harga diri) dan lain-lain. Ketika Islam datang maka ia membina akhlak bangsa Arab, mejadikan akhlak mulia sebagai amal terbaik dan melarang dari akhlak yang hina.
           
3.     Corak Pemikiran Fiqh Umar ra
3.1. Pengetahuan Umar ra Tentang Fiqh
Umar ra adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki pengetahuan luas, sehingga banyak dirujuk oleh generasi sesudahnya dalam menetapkan hukum. Kedalaman ilmunya terlihat dari pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Quran. Umar ra sangat paham dengam maksud ayat-ayat Al Quran, karena dia mengetahui konteks sosial yang menjadi turun ayat-ayat tersebut (asbabanuzulayat).
 Ia memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu mengantarkannya terpilih menjadi wakil kabilahnya.[18]  Nabi Muhammad SAW. juga memperdiksikan keistimewaan Umar ra dalam masalah ilmu dan pemahaman.[19] Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabd :
قد كان يكون في الأمم قبلكم محدثون فإن يكن في أمتي منهم أحد فإن عمر بن الخطاب منهم
“Sesungguhnya telah datang dalam umat-umat sebelum kamu orang-orang yang diberikan ilham(ilmu). Dan, bila dalam umatku terdapat seseorang yang demikian itu, maka Umar bin Al-Khathab termasuk mereka.”[20]

            Adapun yang dimaksud dengan ilmu dalam hadis di atas adalah ilmu tentang pengetahuan manusia dengan kitab Allah SWT. dan Sunnah Rasul-Nya. Dimana Umar ra memiliki keistimewaan seperti itu disebabkan lamanya masa bergaulnya dengan Rasulullah SAW, dan lamanya masa  pemerintahannya bila dibandingkan dengan Abu Bakar ra, dan karena kesepakatan manusia dalam mentaatinya bila dibandingkan dengan Ustman bin Affan ra. Umar ra adalah seorang sahabat yang terkenal dengan kecerdasan, keberanian, kezuhudan dan kecemerlangan buah fikirannya. Perjalanan hidupnya senantiasa memiliki cerita dan makna yang luar biasa. Nabi Muhammad SAW. mengakui keunggulan-keunggulan yang dimiliki Umar, pemuda yang gagah berani, tidak mengenal takut dan gentar, dan mempunyai ketabahan dan kemauan keras.
            Tidak diragukan lagi, bahwa Umar bin Al-Khathab ra adalah tokoh yang sangat jenius,  bahwa sosok pribadi individual Umar bukanlah basis kejeniusannya artinya ia bukanlah seorang pemimpin diktator yang segala kebijakan dan basisnya hanya didasarkan pada kehebatan dirinya. Fakta sejarah menunjukan lain, dan kenyataan ini sangat mudah ditangkap oleh orang-orang yang pernah membaca tentang biografi Umar bin Al-Khathab.[21] Kejeniusan Umar termasuk kategori kejeniusan langka, karena sifat-sifat yang ada pada dirinya banyak yang tidak kita temukan pada diri tokoh-tokoh lain, sehingga hal ini mengasyikan para ahli sejarah untuk berlama-lama mengakajinya.  Sifat-sifat khas yang hanya dimiliki oleh Umar ini mudah ditemukan oleh siapa pun yang mau menyelami kehidupannya, mempelajari sejarah dan aksi-aksinya, tidak peduli dari bangsa atau latar belakang akademis.[22] Bukankah kejeniusan atau luasnya pengetahuan Umar ini relevan dengan apa yang diutarakan oleh Rasullah SAW.  ketika beliau berbicara tentang Umar:
فلم أر عبقريا من الناس ينزع نزع عمر 
“Aku tidak pernah menemukan kejeniusan manusia yang sepadan dengan kejeniusan Umar.”[23]

            Karekteristik atau kekhasan dari kejeniusan Umar ini dapat dilihat dengan jelas ketika melihat nalar hukum yang dia pakai. Hal inilah yang mejadikan Umar mempunyai keistimewaan dalam hal luasnya cakrawala pengetahuan dan keberanian dalam memperluas medan kerja akal (ra’yu). Indikasinya adalah dia tidak hanya melakuan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada ketetepan nashnya, namun ia juga berusaha untuk mengidentifikasi kemaslahatan yang menjadi motivasi ketetapan nash dalam Al Quran atau Sunnah, kemudian menjadikan kemaslahatan yang terindentifikasi tersebut sebagai  petunjuk  dalam  menetapan hukum.[24] Pembuktian akan hal ini banyak sekali, di mana dalam banyak problematika dan masalah yang dirasakan sulit oleh para fuqahak (sahabat) lain, Umar dapat mengambil istinbath (kesimpulan hukum) dengan mudah. Yang pasti secara ilmiah Umar lebih unggul dalam pemahaman fiqh. Hal ini telah dibuktikan oleh Al Quran, Sunnah serta kesaksian para ulama salaf. [25]
a.       Kesaksian Al Quran tentang ilmu dan kebaikan istinbath Umar.
Para ulama banyak menyebutkan beberapa ketepatan pemikiran Umar dalam beberapa peristiwa yang dilakukan oleh nash-nash Qurani. Hal ini menunjukan bahwa pandangan Umar selalu tepat dalam setiap istinbath dan karena dialah sosok fuqahak pertama yang tidak terkotori oleh apapun.
Jalaluddin As Suyuti telah menyebutkan dalam bukunya pemikiran dan pendapat Umar yang sesuai dengan nash-nash Al Quran dan Sunna Nabawiyah. Sebagai contoh, Umar mengusulkan kepada Nabi agar sebagian maqam Nabi Ibrahim as dijadikan sebagai tempat shalat. Maka kemudian Allah SWT. menurunkan ayat tentang ketepatan ijtihad Umar ini[26] sebagaimana yang dibenarkan dalam teks ayat dalam QS Al Baqarah ayat 125:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْناً وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ﴿١٢٥﴾

“Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[27] tempat shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".[28]

b.      Kesaksian Sunnah terhadap pemikiran Umar.
Kesaksian Sunnah tentang martabat ilmu Umar dan kekritisan pemikiran serta pandangannya sangatlah banyak.[29] Semua hadis-hadis tersebut memberikan pengertian bahwa Umar benar-benar merupakan sosok yang mempunyai ilmu yang sangat luas. Oleh karenanya menempatkan kedudukannya sebagai seorang faqih umat Islam nomor satu yang tak tertandingi.
c.       Kesaksian Para Ulama Salaf tentang keilmuan Umar yang tinggi.
Para sahabat banyak sekali yang memberi aprisiasi komentar tentang Umar, yang pasti para ulama telah menyaksikan keunggulan Umar dalam memahami rahasia dan inti ajaran syariat Islam. Abdullah Ibn Mas’ud ra berkata :
“Kalaulah saja ilmu Umar ditimbang dengan ilmunya penduduk bumi ini, pastilah akan terlihat ilmu Umar lebih berat.”[30]
            Umar tidak mengeyampingkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, ketika beliau mengemukakan gagasan atau ijtihadnya. Bila ternayata ada orang yang menyanggah pendapatnya, maka dengan segera ia menguraikan pandangan itu, sehingga si penyanggah menerima dan mengikuti ijtihadnya. Melalui pengetahuannya yang luas, didukung oleh kepintaran dan kepiawaian serta hafalanya, Umar tampil sebagai seorang ahli dalam bidang fiqh. Dengan kepakarannya inilah, dia turut memberikan andil besar bagi munculnya mujtahid-mujtahid besar sampai kurun waktu sekarang ini.

3.2. Motode Penetapan Hukum Umar ra
Tidaklah diragukan bahwa metode yang dilakukan Umar dalam berijtihad sangat kuat, akuntability dan akurat. Langkah pertama dalam menetapkan sebuah kasus hukum adalah mengambil dari Al Quran kemudian dari Sunnah Nabawiyah dan setelah itu ia berijtihad.[31] Kadangkala Umar juga mengambil pendapat orang yang dianggap lebih senior seperti pendapat Abu Bakar ra. Kadang juga mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka, kemudian mengambil keputusan dari hasil pengumpulan pendapat-pendapatnya sendiri yang didasarkan kepada kaidah-kaidah syariat, yang mengutamakan terlealisasinya kemaslahatan dan tidak adanya kemadharatan.
            Memang betul sewaktu Rasulullah SAW. masih hidup, Umar banyak melakukan ijtihad-ijtihad, namun ijtihad yang dilakukan oleh Umar pada waktu itu hanya sebatas pada kontsribusi ide kepada Rasulullah SAW. dalam masalah-masalah yang pemecahannya memang melalui mekanisme syura. Atau dalam masalah-masalah yang Umar mempunyai ide tersendiri, yang menurutnya ada kemaslahatan bagi masyarakat pada masa kerasulan. Pendapat-pendapat Umar ini sering sesuai dengan wahyu, yang nantinya turun kepada Nabi Muhammad SAW.[32]  Kesesuaian pendapat Umar dengan ketetapan wahyu ini menunjukan bahwa logika dan nalar hukum Umar sangat istimewa, pemikirannya tajam dan dalam. Umar mengetahui kondisi masyarakat zamannya, dan dia juga mengetahui tujuan-tujuan utama syariat dengan tepat. Ini merupakan permulaan bagi aksi dan manajemen Umar yang akan dia demontrasikan pada masa pemerintahnnya.[33]
             Namun tetap dicatat bahwa legitimasi dari wahyu tentang keahlian Umar dalam masalah penetapan hukum -sebagaimana disinggung di atas- sebenarnya bukanlah legitimasi primer Umar. Kesesuaian pendapatnya dengan ketetapan wahyu pada masa risalah sama sekali tidak bisa disimpulkan, bahwa Umar mempunyai nilai otoritatif sebagai sumber hukum. Hal ini disebabkan otoritas penetapan hukum pada masa itu hanya berada pada wahyu dan tindakan Rasulullah SAW. (as-sunnah al-amaliyah) yang direstui secara eksplisit oleh nash atas yang didiamkan oleh nash. Dalam hal ini, ijtihad atau pendapat Umar bukanlah yang menentukan suatu ketetapan hukum, mempunyai legitimasi tasyri’; melainkan turunnya wahyulah yang menyebabkan suatu pendapat mempunyai otoritas dalam penetapan hukum. Kalau seandainya wahyu yang turun menolak pendapat-pendapat Umar, maka pendapat Umar tersebut tidak mempunyai otoritas dalam menetapkan suatu hukum, dalam keadaan seperti ini, pendapat-pendapat Umar hanya menjadi sekedar usulan yang ditolak oleh pihak yang mempunyai hak otortitas dalam menetapkan atau menolak suatu pendapat yang diusulkan.
            Oleh karenanya pendapat Umar yang dilontarkan pada masa Rasulullah SAW. hanyalah sekedar usulan semata yang mempunyai potensi untuk diterima atau ditolak. Pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak mempunyai hak dalam menetapkan hukum, kecuali setelah mendapat persetujuan dari wahyu yang mempunyai hak otoritas dalam penetapan hukum.[34]  Meskipun setelah Rasulullah SAW. meninggal, Umar tidak langsung menjabat sebagai khalifah, namun pada rentang waktu dua tahun lebih,[35] di saat kekhalifahan dipegang dibawah kendali  Abu Bakar ra, Umar mempunyai peran kursial dan banyak mengeluarkan ide-ide berlian. Tidak heran, jika peran Umar  masa itu sebanding dengan peran Abu Bakar sendiri sebagai khalifah. Banyak keputusan hukum pada masa Abu Bakar yang ditetapkan berdasarkan pendapat dan ijtihad Umar.[36]  Posisi Umar sungguh sangat menentukan, sehingga tidak mengherankan jika Abu Bakar dalam beberapa kesempatan mengambil sikap yang mengindikasikan penghormatan yang tinggi kepada Umar.[37] Pendapat dan pemikiran Umar mempunyai bobot tersendiri dalam majelis syura dan juga dalam penerapan nilai-nilai universal syariat pada realitas-realitas baru dalam kehidupan.
            Rentang waktu yang melengkapi manhaj Umar bin Al-Khathab dalam masalah ijtihad dan penetapan hukum dimulai sejak meninggalnya Rasulullah SAW. pada bulan Rabiul Awwal 11 H, dan selesai hingga Umar meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah 23 H[38] (632-643 M). Dengan kata lain; salama dua belas tahun sembilan bulan dan beberapa hari, sesuai dengan hitungan tahun Hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin Al-Khathab.[39] Pada masa itu metode ijtihad Umar dalam penetapan hukum Islam mengalami kejayaan dalam menghadapi teori-teori hukum pada tataran praktis.

3.2. Sumber-sumber Penetapan Fiqh Umar ra
Dalam uraian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan sumber-sumber Umar dalam penetapan fiqh, yaitu :
1.       Penetapan Teks-teks (Al Quran dan Hadis).
Bahwa usaha Umar bersama kaum muslimin untuk mewujudkan kemaslahatan, pada dasarnya (pertama-tama) adalah karena kepatuhan dan ketundukannya terhadap teks-teks agama itu sendiri, yaitu Al Quran dan Al Hadis. Oleh karena itu tugas Umar berbeda dengan tugas yang melegalkan undang-undang postif, yang sejak semula tidak mematuhi perundang-undangan yang sudah ada. Sebab perundang-undangan mempunyai kekuatan untuk menghalangi mereka membatalkan, menamademen, me-nasakh, atau meninggalkan perundangan tersebut.
Dalam konteks ayat-ayat telah terkumpul dan terkodifikasi atas dasar permusyawaratan Umar di masa kekhalifahan Abu Bakar, begitu juga Umar dan semua sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga riwayat Rasulullah SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau, walaupun sunnah-sunnah tersebut tidak terkumpul dan terkodifikasi dalam satu kitab yang dijadikan rujukan oleh mereka pada masa Umar, meskipun kebanyakan sahabat, terutama Umar keberatan untuk memperbanyak periwayatan hadis dari Rasululllah SAW.  karena  beberapa alasan. Umar selalu bertanya kepada  sahabat dalam beberapa keputusan fiqhnya, kemudian ia segera meingikuti sahabat dan meninggalkan keputusannya, karena ia baru tahu bahwa Rasulullah SAW. pernah memberikan keputusan yang berbeda dengan ijtihadnya.
Jadi sunnah pada masa Umar telah diketahui oleh para sahabat secara menyeluruh, meskipun sebagian dari mereka ada yang tidak tahu. Karena itu tidak mungkin seorang sahabat membiarkan praktik atau perbuatan yang hukumnya bertentangan dengan ayat yang telah mereka ketahui dari Rasulullah SAW.
2.       Umar dan Al Quran.
Adapun nash-nash (teks-teks) Al Quran, maka kapan saja -khsusnya pada zaman sahabat Nabi- tidak butuh pada penetapan. Karena Al Quran terkodifikasi pada masa nabi, dan terkumpul pada masa Abu Bakar ra dan telah dihafal oleh banyak sahabat sejak masa Rasulullah. Sehingga bagi senior-senior sahabat, tidak terlewatkan satu huruf sejak Al Quran turun pertama kali.
Oleh karena itu dalam penetapan Al Quran tidak butuh suatu metode. Karena tidak terbayang di benak kita bahwa Umar bin Al-Khathab tidak tahu sebagian ayat-ayat Al Quran sebagaimana tidak tahu tentang beberapa hadis Rasulullah.[40] Tentu semua ayat Al Quran yang turun pasti diketahui oleh Umar.
3.       Metode Umar dalam Menetapkan Teks-teks Sunnah.
Umar sangat berhati-hati ketika ada suatu perkara yang berhubungan -baik hubungan dekat atau jauh- dengan agama. Apalagi masalah tasyri’ yang berhubungan dengan kehormatan, jiwa dan harta.  Karakteristik dan kehebatan Umar yang sudah banyak dicarikan oleh berbagai hadis, pada dasarnya merupakan jaminan terhadap kebenaran hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi.  Umar tidak mengangap cukup dengan menerima semua apa yang diriwayatkanya dari Nabi. Dalam menerima hadis ia mendasarkannya pada sudut pandang yang jujur dan wawasan yang luas. Hadis yang diterimanya itu didasarkan pada apa yang diketahuinya tentang sejarah rawi hadis sejak masuk Islam, pada zaman Rasulullah dan setelahnya, dengan memakai standarisasi pemahaman yang jeli, ingatan yang kuat, dengan disertai niat dan perkataan yang benar.
Umar juga mempertimbangkan agar hadis yang diriwayatkannya tidak kontradiksi dengan pokok-pokok ajaran yang telah dietapkan oleh Al Quran dan Sunnah. Usaha ini adalah bentuk usaha sang khalifah untuk melakukan kritik matan (isi/riwayat/intern), di samping kritik ekstern (kritik sanad/rawi) dan historical critical-nya.[41] Jika ada hadis yang diriwayatkan Umar betentangan dengan salah satu pokok-pokok ajaran yang telah ditetapkan Al Quran dan Sunnah, maka ia akan menolaknya secara langsung dan akan mencampakannya pada perawinya; siapaun rawi itu. Termasuk Umar meletakan isi hadis yang diriwayatkannya pada nalar pemikiran umum yang didapat dari kondisi zaman Rasulullah kejadian dan adat istiadat., jika pertentangan walau sedikit, ia menolaknya.  Umar berusaha hadis yang diriwayatkan tidak bertentangan dengan ketetapan-ketepan rasio yang sesuai dengan tabiat zaman Raulullah, kebiasaan, situasi dan kondisi, adat sosial masyarakat dan individu.
Umar menerima hadis yang diterimanya secara langsung dan menetapkannya dalam lingkaran teks-teks shahih yang wajib diamalkan oleh orang-orang Islam, meskipun rawi hadis ini hanya satu orang sahabat, sebagaimana yang terjadi dalam banyak keputusannya. Selanjutnya Umar menolak sebagaian hadis-hadis nabi jika ternyata ia tidak menyakininya, ketika ia mengeceknya secara rasional dan berbagai fase yang berbeda-beda, karena itu keyakinan merupakan syarat dan parameter yang dipergunakannya untuk menerima suatu hadis. Jika suatu perkara memerlukan penelitian, maka ia mengadakan penimbangan atan balancing terhadap apa yang ia dengar. Dengan demikian ketika membicarakan nash-nash hadis dalam persoalan fiqh, Umar mempergunakan parameter atau metode yang didasarkan pada suatu penerimaan dan penolakan hadis.
4.       Pemikiran Umar ra Tentang Fiqh.
Telah disebutkan di atas, bahwa Umar sangat disipilin dalam mengaplikasikan teks-teks syara’, di samping juga disiplin dalam merealisasikan kemaslahatan umum dalam posisinya baik sebagai mujtahid maupun sebagai khalifah. Dengan kata lain bahwa ketika Umar dihadapkan dalam persoalan hukum yang diajukan kepadanya atau persoalan yang muncul dalam kehidupan umat Islam pada masanya selalu disiplin dalam mengaplikasikan syariat dan dalam waktu yang bersamaan menjamin terealisasinya kemaslahatan umum atau yang lebih dikenal dengan teori maqashid syari’ah.
Kedua hal yang diusahakan oleh Umar untuk direalisasikan ini bukanlah dua kepentingan yang berbeda sebagaimana yang kita pahami secara sekilas. Karena aplikasi syariat dan merealisasikan kemaslahatan umum pada dasarnya adalah dua hal yang intinya mempunyai substansi yang sama, karena dalam pandangan Islam, tujuan utama ditetapkannya syariat adalah merealisasikan kemasalahatan manusia.[42]  Entry poin yang harus dijadikan titik tolak untuk mengenali metode berfikir Umar dalam konteks fiqh adalah pengetahuan yang akurat , bahwa aksi-aksi yang dilakukan Umar didasari keinginan untuk mengaplikasikan nash-nash syara’, namun dengan tetap memperitmbangkan terealisasinya kemaslahatan umat.
Masalah-masalah parsial yang diusahakan oleh Umar untuk mengaplikasikan nash-nash tersebut mempunyai situasi dan kondisi yang tentunya menuntut cara penanganan yang spesifik pula. Hal barang tentu harus menjadi rambu-rambu bagi pengkajian untuk tidak sembarangan menyimpulkan suatu kaidah dari permasalahan-permasalahan parsial yang beragam speksifikasinya.  Beikut ini akan diuraikan beberapa contoh corak pemikiran Umar tentang Fiqh.[43]
a.       Had muncuri, dalam QS Al Maidah  ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.[44]

Rasulullah SAW. juga telah mempraktekan hukumnya ini, yaitu dengan memotong tangan pencuri, begitu juga khalifah Abu Bakar, selanjutnya Umar pun mempraktekan hukuman ini yaitu dengan memotong tangan Samurah ketika ia kedapatan mencuri.[45] Hukuman ini telah ditetapkan oleh nash agama baik Al Quran, Sunnah, keputusan Abu Bakar maupun keputusan Umar, namun pada suatu ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat tahun paceklik. Pada saat itu Umar menolak untuk melaksanakan potong tangan terhadap pencuri dengan berkata: “Tahun ini, saya tidak memotong tangan (pencuri).”[46]
b.      Menggugurkan had zina.
Diriwayatkan, bahwa Umar mengingatkan kaum muslimin untuk tidak meninggalkan hukuman rajam, hanya karena mereka tidak menemukannya dalam Al Quran. Sebab hukuman ini telah ditetapkan oleh sunnah dan sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW.[47]  Meskipun demikian, sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Umar pernah menggugurkan had (hukuman yang telah ditetapkan) atas zina.
c.       Talak tiga dengan satu lafaz.
Asal mula talak adalah dijatuhkan secara terpisah-pisah, yaitu satu persatu, sebagaimana firman Allah QS Al Baqarah ayat 229:
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ  ….﴿٢٢٩﴾

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.[48]

Rasulullah menganggap tiga talak dalam satu majelis hanyalah dihitung satu, namun pada masa Umar, menjatuhkan tiga talak dalam satu majelis dihitung talak tiga, bukan satu. Dan pendapat ini telah disepakati oleh jumhur ulama salaf dan para ahli fiqh setelahnya.[49] Menurut Umar, demi menjaga kemaslahatan mereka, maka sebaiknya mereka diberikan hukuman, dan agar mereka tahu bahwa talak yang dijatuhkan dengan kolektif (lebih dari satu), akan menjadikan isterinya itu begitu mudah lepas. Ia berpendapat bahwa keputusan ini adalah untuk kemaslahatan mereka pada saat itu.
d.      Persoalan-persoalan yang lain baik yang ada nashnya maupun yang tidak, (dalam masalah harta benda, had dan ta’zir, peradilan, pernikahan dan perceraian, warisan, hajji, pengumpulan Al Quran, penganggalan Hijriyah, pajak, baitul mal dan lain-lainya).

4. Pengaruh Pemikiran Umar Terhadap Perkembangan  Fiqh
            Perjalanan waktu telah mempengaruhi ketajaman cahaya yang dipancarkan oleh kejeniusan Umar dalam perkembangan pemikiran dunia Islam (khusunya Fiqh), hal demikian karena keobyektifannya dan tidak fanatik terhadap Islam dalam studi-sudinya. Beikut ini akan penulis akan memaparkan pengaruh pemikiran Umar terhadap perkembangan fiqh masa selanjutnya sampai sekarang, dalam bentuk komentar beberapa pakar pakar:
a.   DR. Thaha Husain[50] mengatakan: pemerintahan Umar penuh dengan rahmat, Umar berhasil memberikan nuansa baru bagi kehidupan Islam pada masa itu. Berkenan dengan sistem perkotaan dan adanya pemberian cuma-cuma (al-atha’) yang berlangsung pada masa Umar memberikan apresiasi kebutuhan hidup seluruh umat Islam mejadi tangungan negara. Apa yang berhasil dicapai oleh sebagaian negara dalam perkembangan terkahir, hanyalah sekedar system ‘solidoritas sosial’.
Dari corak berfikir ini telah melahirkan bagaimana sebuah negara menyediakan kebutuhan rakyatnya yang terlantar dengan kewajiban pemerintah untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah atau baitul mal wat tamwil.
b.   Prof. DR. Rom Ladau (pakar Studi Islam di Atlantic Ocean University)[51] kejeniusan Umar mampu mensinergikan dua pertimbangan paradigmatik; kewarganegaraan dan kemanusian dengan sangat apik, bahkan pertimbangan kemanusian lebih dia utamakan di banding pertimbangan kewarganegaraan.
Sikap inilah yang selaras dengan keadilan dan kemanusian yang mempunyai hubungan dengan penetapan hukum (at tasyri’).
c.  Muhammad Iqbal[52] syariat Islam bisa menerima perkembangan (modernisasi), dengan menggunakan semangat atau spirit yang pernah digunakan oleh Umar bin Al-Khathab ketika menghadapi problem-problem keagamaan yang muncul pada masanya. Apa yang dilakukan oleh Umar ini merupakan nalar murni dan independen yang pertama kali pernah ada di dunia Islam.
d.     Gold Ziher[53] Umar dalah khalifah yang mempunyai semangat tinggi untuk membangun Negara Islam yang sebenarnya, pembebasan daerah baru menuntut ditetapkannya undang-undang yang mengatur hak-hak musuh, dan sistem-sitem yang dipakai untuk mengatur masyarakat. Sehingga adanya inspirasi aturan bidang politik dan ekonmi.
Pengaruh  Umar bin Al-Khathab melahirkan para pakar Ushul Fiqh, walau kadangkala tidak mempunyai keberanian untuk menerobos sebenarnya cakrawala yang sebenarnya yang pernah diterobos oleh Umar. Semoga kedepan pengaruh ini mampu menguak sistem-sistem dalam Islam yang selama ini terpendam namun menjajikan munculnya semangat dan penyegaran baru (inovasi) serta mampu menghantarkan mujtahid menuju kemajuan dalam bidang hukum yang akan memberikan kontribusi positif bagi tegaknya keadilan dan kebahagian manusia.

5.     Pengaruh Pemikiran Fiqh Umar Terhadap Perkembangan Hukum Islam.
Sebagai mana yang dipahami di saat Umar menghadapi kritikan yang amat memojokan, Umar beragumen secara kontekstual, tetapi disalahpahami oleh sahabat yang lain justru menggunakan tekstual, sehingga wajar bersimpang jalan. Sesunggunya Umar ingin keluar dari satu teks ayat yang tidak relevan dengan kondisi masyarakat menuju ke teks ayat lain yang lebih relevan dengan kondisi obyektif masyarakatnya. Sehingga dengan dasar  itulah para akademisi khususnya yang bergerak dalam dunia perkembangan hukum Islam yang di awali dengan menggugat corak berfikir dan menafsiran yang berlandaskan teks atau telah berusaha menafsirkan ayat berdasarkan konteksnya namun tidak berani keluar dari pola-pola penafsiran yang sudah baku.
Dengan demikian, maka dari dunia akademisi (pengkaji hukum) telah berusaha memberikan alternatif penafsiran yang meskipun masih bersifat kontekstual tetapi cara memaknai konteksnya ternyata lebih radikal, bahkan boleh dikata tidak lazim, sehingga mampu memberikan perspektif baru atas pola-pola penafsiran yang sudah lazim. Hal ini tentu karena para akademisi itu mencoba memakai metode yang pernah dipraktekan oleh Umar dalam memaknai teks-teks nash dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Dalam perkembangannya telah terjadi perspektif baru terhadap pemikiran akademisi yaitu dengan meletakan fiqih sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komuniatas tertentu. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih, maka fiqn seakan-akan terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh pembacanya, sehingga fiqh menjadi ilmu yang tak terjamah secara lebih mendasar sehingga dianggap doktrin yang tidak boleh dikutak-katik. Atas dasar ini, diperlukan pisau akademisi pembedah guna mendongkrah kesadaran kolektif para pengkaji fiqih kontemporer agar secara proakatif melakukan pembacaan ulang terhadap fiqh yang telah diletakan dasarnya oleh Umar.  Sebab fiqh merupakan khazahah yang menjadi kebanggaan setiap muslimin dalam upaya menjawab problematika kamanusian yang terus bertambah dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat, maka tak terelakan pembaharuan fiqh sebagai solusi alternatif.
Dalam hal pembaharuan fiqh (hokum Islam) ini dapat dilihat dasar-dasar yang telah diletakan oleh Umar, hal ini pula yang mempangaruhi pembaharuan fiqh dalam dunia akademisi, yang sebenarnya telah muncul beberapa tokoh dunia kampus yang besar, antara lain; DR. Ali Jum’ah dan Jamaluddin Athiyah, Jamal al-Banna (Mesir), Yusuf al-Qardlawi (Qatar) Muhammad Sharur (Suriah). Mereka melihat betapa penting membaca ulang fiqh klasik secara kritis, bukan dalam membongkar pasang fiqh yang ada, melainkan dalam hal memperbaharui fiqh dan ushul fiqh guna menjawab beberapa problem kekinian.
Rumusan hukum dan metode istibath yang diperkenalkan oleh Umar dimungkinkan untuk dikembangkan secara dinamis, kreatif dan dimodifikasi. Sejumlah Sarjana yang berupaya menawarkan kemestian pemikiran ulang (re-thinking) atau tajdid dalam bidang pemikiran fiqh dan ushul fiqh dengan mencoba melihat metode Umar dengan melihat kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Islam modern. Karenanya dalam dunia akademisi mencoba mengajukan alternatif pemikiran agar fiqh direformasi menjadi fiqh realiatas (fiqh al-waqi’) dan fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyat) yaitu fiqh yang telah diformulasikan Umar sehingga fiqh itu dapat dijadikan sinaran baru bagi problema kemanusian yang muncul di tengah-tengah masyarakat khususnya dalam masalah hukum kasus-kasus kontemporer. Karena fiqh yang diformulasikan Umar ternyata telah terlebih dahulu menyehtuh isu-isu kesetaraan gender (fiqh al-mar’ah), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah), kewarganegaraan (fiqh al-muwathanah) dan lain-lain. Di sini semakin terlihat semangat aktivis kampus yang ingin mendinamisasikan fiqh Umar yang merupakan langkah awal guna mendekonstruksi fiqh dalam konteks kekinian.
Karenanya, konsep fiqh yang diajukan Umar adalah upaya menguak hakikat doktrin nash terutama mengembalikan syariah pada maqasid al-syariah sehingga pola pikir Umar ini dapat menegosiasikan visinya dengan kekinian dan kemodere. Bukan hanya itu, diharapkan metode Umar ini dapat memotret konteks, ruang dan zaman. Di antara ulama yang sangat menonjol dalam mengembangkan fiqh maqashid adalah Abu Ishaq al-Syatibi, dalam karangannya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, yang dipandang sebagai kerangka metodedologis dalam memahami syariat dan bukannya kesimpulan-kesimpulan hukum (istinbath al-ahkam). Dalam metode pemikiran Umar ini paling tidak telah mempengaruhi pola pandang akademisi untuk pembaharuan fiqih, setidaknya ada tiga level yang telah mempengaruhinya  yaitu:
Pertama, pembaharuan pada level metodologis, sehingga interprestasi terhadap teks-teks nash secara kontekstual dan verifikasi terhadap ajaran pokok yang dilandasi maqashid syariah.
Kedua, pembaharuan pada level etis sebagaimana fiqh Umar tidak sekedar membahas hukum halal-haram melainkan membahas panca jiwa fiqh (al-kulliyat al-khamsah) yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Ketiga, pembaharuan pada level filosofis, sebagaimana yang telah dipraktekan Umar agar hukum bias memotret realitas social masyarakat secara kompherensif.
Keranya, metode Umar ini telah menjadi tren utama oleh sebagian akademisi untuk mengedepankan visi kemaslahatan umat, untuk menjawab problema-problema kamanusian terhadap nilai-nila yang keperpihakan terhadap kepentingan umat. Tentu saja, fiqh Umar yang diformulasikan oleh akademisi terbuka dan progresif.

C.      ANALISIS
Sebagaimana yang diketahui bahwa Umar bin Al-Khathab adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki pengetahuan yang luas, sehingga pengaruh corak berfikirnya menjadi rujukan generasi berikutnya dalam menetapkan hukum (fiqh). Keluasan ilmunya terlihat dari pemahamannya terhadap ayat-ayat Al Quran. Umar sangat paham dengan maksud ayat-ayat Al Quran bahkan ijtihadnya dalam persoalan fiqh sering dibenarkan oleh wahyu, dan kenyataannya Umar mengetahui konteks sosial yang menjadi sebab turun ayat (asbabunuzul) banyak ayat-ayat hukum turun ketika Umar bersama dengan Rasulullah.
Disamping pemahamannya tentang Al Quran, Umar juga  memiliki pemahaman dan analisa yang tajam tentang hadis-hadis hukum, bahkan tidak itu saja Umar merupakan sahabat yang menduduki tingkat kedua dalam thabaqat sahabat (peringkat pertama dalam tingkatan sahabat dalam masalah hukum), dan juga memiliki keunikan tersendiri yang tidak dijumpai pada periwayatan hadis lainnya dan corak berfikir fiqh pada sahabat yang lain. Melalui pengetahuannya yang luas, didukung oleh kepintaran dan kuat hafalannya, Umar sebagai seorang ahli dalam bidang fiqh, dengan kepakarannya ini, Umar telah turut andil dalam memberikan pengaruh dan andil yang besar bagi perkembangan ilmu fiqh masa selanjutnya, sehingga melahirkan mujtahid-mujtahid besar. Andaikan Umar tidak masuk Islam tentu sebagian besar sunnah Nabi yang menjadi sumber bagi ilmu fiqh tidak akan sampai kepada kita, khususnya sunnah fi’liyah yang berkaitan dengan hukum dalam kehidupan sehar-hari.
Oleh karenanya, Umar merupakan sosok tokoh yang sangat pakar dalam bidang fiqh, ungkapan dalam pembahasan di atas lahir dari kepiawaian Umar dalam menetapkan hukum, sehingga corak pemikiran fiqh Umar terlihat dari metode yang digunakannya dalam penetapan hukum yang secara kuantitatif sangat besar jumlahnya dan pengaruhnya. Dalam penetapan hukum ternyata Umar senantiasa berpegang pada Al Quran baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Umar selalu berupaya melakukan interprestasi dalam menetapkan hukum-hukum yang dicakup oleh suatu ayat. Oleh sebab itu tidak jarang, satu ayat yang ditafsirkan oleh Umar menghasilkan sejumlah kesimpulan hukum. Ini mengindikasikan kejelian dan kecerdasan Umar dalam menganalisa suatu ayat di satu sisi dan terwujudnya kemaslahatan umat pada sisi yang lain (maqashid syari’ah).
Selain Al Quran, Umar sangat berpegang teguh dengan hadis Nabi, dalam menetapkan sebuah kasus hukum. Umar dikenal sangat berlian dalam memahami suatu hadis, hal ini ternyata dapat dilihat dari jawaban yang sangat dalam dan tajam terhadap persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya. Semua persoalan yang muncul dijawabnya sesuai dengan jawaban-jawaban yang diperoleh dari Nabi Muhammad SAW. Semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Umar dijawab dengan pendekatan sunnah Nabi Hal ini pertanda betapa banyak dan luas pengetahuan Umar tentang sunnah Nabi Saw.
Dari uraian di atas terlihat bahwa umumnya Fiqh yang dilahirkan oleh Umar berkaitan berbagai macam persoalan hukum fi’liyah. Kemudian dari penjelasan-penjelasan yang berlalu tergambar bahwa Umar selalu menetapkan hukum dengan menggunakan Al Quran dan Sunnah (al-Nushus al-Muqaddasah). Umar menggunakan dalil Al Quran sebagai dalil dalam menetapkan hukum dengan berbagai pendekatan, beberapa pendeatan yang dipergunakannya, yaitu pendekatan Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turun ayat), dan pendekatan liguistik (pendekatan bahasa). Selain menggunakan nash (Al Quran dan Hadis) Umar juga menggunakan metode ijtihad. Metode ini digunakan ketika persoalan-persoalan yang muncul tidak dapat dijawab oleh teks nash. Namun bukan berarti penggunaan ijtihad oleh Umar terlepas dari nash. Ijtihadnya selalu didasarkan pada kaedah-kaedah umum yang terkandung dalam nash.
Pemikiran Umar dalam Fiqh sangatlah tepat dan akan selalu terpakai pada masa-masa mendatang. Konsistensi Umar dalam menggunakan kaedah-kaedah umum nash ketika menggunakan ijtihad, dapat pula dilihat dari jawabanya terhadap persoalan yang diajukan kepadanya. Akhirnya kita dapat mencoba membandingkan  dan menyamakan (al muwazzah) fiqh Umar dengan yang lainnya, dalam mencari terobasan sebuah hukum yang munkin akan muncul di tengah-tengah masyarakat yang semankin kompleksitas.

D.     PENUTUP
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut:
1.      Umar merupakan tokoh fiqh pertama di dunia Islam, sebab sebagian besar pendapat-pendaat yang dirujuk kepadanya adalah terkait dengan persoalan fiqh (fi’il).
2.      Sebagai seorang mujtahid Umar senantiasa melandasi ijtihadnya pada kaedah-kaedah umum yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, demi terwujud dan terealiasinya kemaslahatan umat.
3.      Pemikiran Umar tentang fiqh sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan hukum Islam dalam menjawab berbagai persoalan kasus-kasus hukum kekinian, sehingga muncul teori penemuan hukum hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art pf interprestation) ‘teks’ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab Al-Amwal, tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Cetakan I, 1406 H / 1986 M.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, Dar As-Salam Riyad, Cet.1, 1417 H / 1977 M.
Al-Ghadhban, Munir Muhammad, Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, Ma’had Al-Buhust Al-Ilmiyah wa Ihya’ At-Turats Al-Islami Jami’ah Ummul Qura, Vet. 1, 1420 H / 1989 M.
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahamad, Al-Fiqh Al-Iqtishadi, Li Amirul Mukminin Umar Ibn Al-Khathab, Dar Al-Andalus Al-Khadra’-Jeddah, Saudi Arabia Cet.1, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, LC, 1424 H / 2003.
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur-Rahman, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Siah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shlati was-Salam, Cet.1, Darul-Salam, Riyadh, 1414 H.
Al-Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha’, tt.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al-Anshori Al-Jami’, Tafsir Al-Qurthubi,  jilid VI, Dar Al-Fikr Beirut, Cet. 1, 1414 H / 1997 M.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tarikh Ath-Thabari (Tarikh Ar-Rasul wa Al-Muluk, Jilid III, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrahim, Dar al-Ma’arif Mesir, 1963 M.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet.6, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Sya-Zun 5, Cet.11, Ichtiar Baru van Hoever, Jakarta, 2003.
Goldzhiher, Ignas, Al-Aqidah wa Asy-Syari’ah fi Al-Islam, Cet. Darul kitab Al-Mishriyah Kairo, 1946 M
Husain, Thaha, Asy-Syaikhani, Dar Al-Ma’arif Mesir, 1960 M.
Ibnu Al-Jauzi, Manaqib Umar ibn Al-Khathab, Dirasah Sa’id Muhammad Al-Lahham, Dar Makatbah Al-Hilal Beirut, Cet.2, 1409 H / 1989 M.
Ibnu Sa’ad, Muhammad bin Sa’d bin Mani’, Ath-Thabaqat Al-Kkubra, tahqiq Muhammad Abdul Qadir Atha, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Cet. 1, 1420 H / 1990 M.
Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub,  I’lam Al-Muwaqqi’in an Rabb Al-Alamin, Dar Al-Khilafah Beirut, Cet. 1, 1406 H / 1986 M.
Ibnu Anas, Imam Malik, Al-Muwaththa’, jilid II,tashih Muhammad Fuad abdul Baqi, Dar al-Hadist Kairo, tt.
Ibn Rusyd, Muhammad bin Ahmad, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, tahqiq Abdullah Al-Ibadi, DR, Dar As-Salam Kairo, Cet. 1, 1416 H / 1995 M.
Ismai’il Muhammad Djamil, Sedjarah Islam, Bagian Kedua Zaman Chalifah Umar Ibn Al-Chattab ra,  Tintasmas, Jakarta, 1953.
Iqbal, Muhammad, Tajdid At-tafkir Ad-Din fi Al-Islam, terj. Abbas Mahmud, 1995.
Mas’adi, Ghufron A, The Concese Encylopaedia of Islam, Cyril Glasse Ensiklopedi Islam (ringkas), Cet. 2, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, 1999
Muhammad Baltaji, Minhaju Umr ibn Al-Khathab fi al-Tasyri’ Dirasatu Mastu’abatu li Fiqhi Umar wa Tanziimatahu, Cet.2,  Dar As-salam, Kairo Mesir, 1424 H / 2003 M.
Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikhu Umar Ibn Khaththab Muwaazinan Biffiqhi Asyuri al-Mujtahidin, cet.1 1403, Daar al-Gharbi al-Islami, Beirut, terj. Abbas M.B.
Syakir, Mahmud, At-Tarikh al-Islam, Al-Maktab Al-Islami Beirut, Cet.7, 1411 H / 1991 M.
Shahih Muslim, Cet. Muhammad Ali Shabih, Mesir, 134 H
Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dalam bentuk CD.

Footnote:

[1]Peninjauan dari aspek hadis melahirkan tujuh sahabat yang biasa dikenal dengan sebutan  al-Sab’ al-Mukatstsirun (tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadis), yaitu : Abu Hurairah, Abdullah ibnu Umar, Anas ibnu Malik, Aisyah r.a, Abdullah ibnu Abbas, Jabir ibnu Abdullah, dan Abu Sa’id al-Khudari. Peringkat ini tentunya berbeda jauh bila ditinjau dari aspek fiqh. Pada aspek fiqh, menurut Abu Ishaq al-Syirazi (w.476 H/1083 M) tujuh peringkat sahabat tertinggi adalah : Abu Bakr, Umar, Ustman ibnu Affan, Abu al-Munzhir, Abdullah ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan Muaz ibnu Jabal. Lihat al-Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha’ hlm 18-29.
[2] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet.6, PT. RajaGrafindo Persada,  Jakarta, 1998, hlm. 159.
[3] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Sya-Zun 5, Cet.11, Ichtiar Baru van Hoever, Jakarta, 2003, hlm, 124.
[4] Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh Al-Iqtishadi, Li Amirul Mukminin Umar Ibn Al-Khathab, Dar Al-Andalus Al-Khadra’-Jeddah, Saudi Arabia Cet.1, terj. Asmni Solihan Zamakhsyari, LC, 1424 H / 2003 M, hlm,18.
[5] Ismai’il Muhammad Djamil,  Sedjarah Islam, Bagian Kedua Zaman Chalifah Umar Ibn Al-Chattab ra,  Tintasmas, Jakarta, 1953, hlm. 43.
[6] Ibnu Al-Jauzi, Manaqib Umar ibn Al-Khathab, Dirasah Sa’id Muhammad Al-Lahham, Dar Makatbah al-Hilal Beirut, Cet.2, 1409 H / 1989 M, hlm. 268.
[7]  Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit, hlm. 18.
[8] Lihat biografi Umar secara luas dalam beberapa rujukan berikut : Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat AlKkubra, hlm. 201 dan Mamud Syakir, At-Tarikh al-Islami, hlm. 113-117.
[9] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Loc.Cit (Pada masa remajanya dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu dalam pesta tahunan pasar Ukaz di Mekkah..
[10] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Siah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shlati was-Salam, Cet.1, Darul-Salam, Riyadh, 1414 H., hlm, 138.
[11] Ibnu Al-Jauzi, Op.Cit, hlm. 28.
[12] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit, hlm, 140. (Islamnya Umar disimpulkan beberapa riwayat dengan mengompromikan riawayat tersebut, bahwa suatu malam dia keluar rumah hingga tiba di Baitul Haram, saat itu Nabi Saw sedang shalat membaca Surat Al-Haqah ayat 40-41, kemudian pulang ditengah jalan bertemu dengan Abdullah An-Nahham memberitahukan adiknya masuk Islam, lalu Umar ke umah adiknya yang didapati sedang membaca Al Quran dan Umar menyatakan keislamannya.
[13] Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi , Op.Cit, hlm. 25.
[14]  Ibid, hlm. 26-27.
[15] Ghufron. A Mas’adi, The Concese Encylopaedia of Islam, Cyril Glasse Ensiklopedi Islam (ringkas), Cet. 2, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, 1999, hlm. 418.
[16] Ibid.
[17] Munir Muhammad Al-Ghadhban, Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah, Ma’had Al-Buhust Al-Ilmiyah wa Ihya’ At-Turats Al-Islami Jami’ah Ummul Qura, Vet. 1, 1420 H / 1989 M, hlm. 57.
[18]  Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Loc, Cit.
[19]  Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit, hlm.6.
[20] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Dar As-Salam Riyad, Cet.1, 1417 H / 1977 M. hadits nomor 3689, dan  Shahih Muslim, Cet. Muhammad Ali Shabih, Mesir, 134 H, hadist nomor 2398.
[21] Muhammad Baltaji,  Minhaju Umr ibn Al-Khathab fi al-Tasyri’ Dirasatu Mastu’abatu li Fiqhi Umar wa Tanziimatahu, cek.2, 1424 H / 2003 M, Dar As-salam, Kairo,-Mesir, hlm. 8.
[22] Ibid, hlm, 18.
[23] Shahih Al-Bukhari dan Muslim. (Lihat Baltaji, Mhammad, Ibid, hlm, 18).
[24] Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 22.
[25] Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikhu Umar Ibn Khaththab Muwaazinan Biffiqhi Asyuri al-Mujtahidin, cet.1 1403, Daar al-Gharbi al-Islami, Beirut, terj. Abbas M.B, hlm.29.
[26] Ruway’i Ar-Ruhaily, Op.Cit, hm, 30.
[27] Yaitu tempat berdiri nabi Ibrahim a.s. diwaktu membuat Ka'bah.
[28] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H, hlm, 33.
[29] Rinciannya dapat dilihat hadis-hadis mengenai kelebihan ilmu  Umar sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslimin dari sahabat Ibnu Umar ra, hadis dari Abu Sa’id Al Khudri ra dan dari Sa’ad bin abi Waqqash ra. (Shahih Bukhari beserta sarahnya Fathul Baari, jilid VII, hlm. 40-43
[30] Ar-Riyadha An-Nadhrah, II/67, II/46. Thabari berkata : Atsar ini diriwayatkan oleh abu Umar dan Qal’i. Huzaifah Ibn Yaman berkata :”Aku melihat seolah-olah ilmu yang dimiliki manusia itu terselip dalam batu Umar.”
[31]  Ruway’i  Ar-Ruhaily, Op.Cit, hm, 45.
[32] Contoh yang terjadi pada waktu penentuan nasib tawanan Perang Badar, pendapat maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, masalah hijab, keputusan untuk tidak menyalati Abdullah bin Ubai ketika mati dan lan-lain. (Lihat A’lam Al-Muwaqqi’in, karya Ibnu Qayyim jilid I, hlm, 93-94).
[33]  Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 32.
[34] Ibid, hlm, 33.
[35] Rasulullah meninggal pada bulan Rabiul Awwal 11 H, dan Abu Bakar meninggal pada Jumadil Akhir 13 H.Lihat Tarikh Ath-Thabari, Jilid III, hlm, 419.
[36] Pada masa Abu Bakar ini dapat contoh ijtihad Umar dalam masalah kodifikasi Al Quran dan penghapusan bagian zakat mu’allafatu qulubuhum (orang yang baru masuk Islam).
[37] Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 36.
[38] Umar bin Al-Khathab meninggal pada malam Rabu 27 Dzulhijjah 23 H, lihat Tarikh Ath-Thabarii jilid IV, hlm, 193.
[39] Muhammad Baltaji, Op.Cit, hm, 37.
[40] Ibid, hlm, 115.
[41] Ibid, hlm, 66.
[42] Ibid, hlm 126.
[43] Karena keterbatasan pembahasan Penulis cukupkan beberapa kasus saja, dan akan Penulis tulis skema yang lain.
[44] Depag RI, Op,Cit, hlm, 165.
[45]  Al-Qurthubi,  jilid VI, hlm, 160.
[46] Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab Al-Amwal, tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Cetakan I, 1406 H / 1986 M. hlm, 559, A’lam Al-Muwaqqi’in, jilid III, hlm,33.
[47] Imam Malik Ibnu Anas, Al-Muwaththa’, jilid II, tashih Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar al-Hadist Kairo, tt, hlm, 165.
[48] Depag R, Op Cit, hlm, 55
[49] Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd,, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, tahqiq Abdullah Al-Ibadi, DR, Dar As-Salam Kairo, Cet. 1, 1416 H / 1995 M, hlm, 50.
[50] Thaha Husain,  Asy-Syaikhani, Dar Al-Ma’arif Mesir, 1960 M, hlm, 130.
[51] Muhammad Baltaji, Op,Cit, hlm, 17-18.
[52] Muhammad Iqbal, Tajdid At-tafkir Ad-Din fi Al-Islam, terj. Abbas Mahmud, 1995, hlm, 187.
[53] Ignas Goldzhiher, Al-Aqidah wa Asy-Syari’ah fi Al-Islam, Cet. Darul kitab Al-Mishriyah Kairo, 1946 M, hlm, 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini