Kamis, 23 Juni 2011

MODERNISASI MANAJEMEN WAKAF DI INDONESIA

A.     PENDAHULUAN
Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadilah pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT. yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit). Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Hal ini terbukti dalam perjalanan sejarah lembaga wakaf menjadi salah satu tonggak penyokong kegiatan-kegiatan ekonomi pemerintahan Islam (kekhalifahan). Seiring dengan runtuhnya sistem kekhalifahan yang ada, maka peranan dan eksistensi wakaf dalam sektor ekonomi juga memudar. Bahkan pada akhirnya, kegiatan lembaga ini karena berbagai alasan, ditinggalkan umat Islam dan digantikan peranannya oleh lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Saat sekarang ini muncul kembali berbagai usaha untuk mengkaji ulang  kegiatan lembaga ekonomi Islami. Hal demikian disebabkan terjadinya berbagai krisis ekonomi yang melanda sistem ekonomi yang ada.  Sehingga berbagai wacana mulai dari studi dan seminar telah dilakukan sehubungan dengan ‘revitalisasi’ lembaga wakaf. Sehubungan dengan itu muncullah tentang bagaimana mengelola wakaf secara profesional. Kegiatan perwakafan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat ini lebih bercirikan kegiatan keagamaan yang kurang mempunyai dampak ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Wakaf jika dilihat justru oleh wakif lebih mengarah ke dalam bentuk pembangunan rumah-rumah ibadah dan tanah-tanah pemakaman. Padahal, disamping dimensi ibadah, kegiatan wakaf mempunyai dimensi lain seperti nilai ekonomis (economic values). Dimensi ekonomi kegiatan wakaf tunai kurang dipahami oleh masyarakat sehingga mamfaat ekonominya kurang membawa dampak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri, maka jangan heran jika tanah dan aset wakaf justeru banyak yang tidak terurus sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan konsep baru atau paradigma untuk pengembangan wakaf berupa wakaf tunai perlu dikaji dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat memberi manfaat bagi umat Islam.
Jika dilihat kenyataan sejarah wakaf pada masa-masa awal Islam jelas sekali bukanlah sekedar barang-barang tidak bergerak yang hanya dimamfaatkan fungsinya saja. Sepanjang sejarahnya wakaf telah memainkan perannya yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dari ungkapan di atas, jelas bahwa wakaf menjadi instrument penting dalam pengembangan ekonomi umat. Karena itu sudah selayaknya umat Islam umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya merekonstruski ulang sistem manajemen pengelolaan wakaf, agar harta wakaf dapat digunakan sebagai salah satu instrument pendorong kegiatan ekonomi umat. Dalam situasi perekonomian Indonesia yang pulih seperti sekarang ini, wacana pemberdayaan dana wakaf dengan orientasi nilai ekonomis akan sangat membantu rakyat yang sedang kusilitan untuk mencari tambahan modal usaha. Maka amat tepatlah rasanya jika sekarang digulirkan pengelolaan wakaf secara moderen melalui manajemen moderen karena selama ini umat Islam di Indonesia hanya mengenal pengelolaan wakaf secara konvensional.
Tulisan singkat ini bertujuan memberikan informasi umum tentang manajemen perwakafan secara moderen dan bagaimana prospek pengembangannya di Indonesia dengan harapan perwakafan di tanah air akan lebih kondusif dan arah perubahan paradigma wakaf dari sektor ibadah juga diharapkan menjadi alternatif pengembangan ekonomi umat Islam untuk mengurangi angka kemiskinan dan dengan tujuan utamanya dalam rangka untuk kemaslahatan umat Islam. Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana cara pengelolaan manajemen wakaf secara moderen di Indonesia menanti sebuah peluang peningkatan sumber dana umat?


B.      TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF
Kata “Wakaf” atau “Wacfberasal dari bahasa Arab “Wakafa”. Asal kata wakafa berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “Wakafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.[1] Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:
الوقف بمعن التحبيس والتسبيل
Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah-milikan.
Secara terminologis fuqahak dan para ekonom Muslim berbeda mendefenisikan wakaf sehingga mereka juga berbeda memandang hakikat wakaf.
a.     Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan defenisi itu maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya.[2]
b.    Mazhab Syafi’i dan Ahmad
Wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan.[3]
c.    Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyur
Beliau menyatakan bahwa wakaf dalam pengertian syara’ adalah:
حبس العين عن أن تملك لأ حد من العباد والتصدق بمنفعتها ابتداء أو انتهاء أو انتها فقط [4]

Menahan ain dari kepemilikan seorang hamba dan membolehkan untuk mengambil mamfaatnya dari awal atau akhirnya saja.
d.      Sementara itu pakar ekonom Islam Munzer Kahf mendefenisikan wakaf sebagai berikut:
Wacf the hlding and preservation of a certain property for the confined benefit of a certain philanthropy with the intention of prohibiting any use or disposition of the property outside that specific purpose.[5]
“Pemegangan dan pemeliharaan kekayaan tertentu untuk kepentingan kebajikan yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan atau pemakaian kekayaan tersebut di luar maksud khusus yang telah ditetapkan”.

e.   Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan:
”Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimamfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannnya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.”[6]
Dengan kata lain wakaf adalah menahan suatu benda untuk tidak dipindahtangankan buat selama-lamanya dan mendonasikan manfaat (hasil)-nya kepada orang-orang miskin atau untuk tujuan-tujuan kebajikan dan atau untuk pentingan  kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Sementara landasan wakaf dibolehkan berdasarkan firman Allah SWT. hadis Nabi SAW. dan pendapat ulama dan atau hasil ijtihad, diantaranya:
a.      Al Quran, diantaranya:
1.      QS. Al Baqarah ayat 261:
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. [7

Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah SWt. meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.[8]
2.   QS. Ali Imran ayat 92:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. [9]
3. QS. Al Hajj ayat 77:
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.[10]

b.      Al Hadis, diantaranya:
1. HR. Muslim:
عن ابى هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به اوولد صالح يدعوله ( رواه مسلم ) [11]

Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermamfaat dan anak sholeh yang mendo’akan orang tuanya”. (HR. Muslim).

2. HR. An Nasai:
عن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صلى الله عليه و سلم : إن مائة سهم التى لى فى خيبر لم أصب مالا قط أعجب إلى منها قد ان اتصدق بها, وقال النيى صلى الله عليه و سلم : احبس اصلها و سبل ثمرتها ( رواه النساء )  [12]

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, Ia berkata Umar ra, berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata :”Tahanlah pokoknya dan sedeqahkan buahnya pada jalan Allah.” (HR. An-Nasai).

c.    Ijmak
Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.
وروى ابو ثور عن الشافعى جواز وقفها اى الدنانير والدراهيم     [13]

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.

Para ahli hukum Islam telah berendapat atas adanya dan sahnya wakaf dan umat Islam telah mempraktikkannya dari abad ke abad hingga sekarang.
d.  Sedangkan di Indonesia eksistensi wakaf telah dikodifikasi melalui legislasi dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya:
1.   Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
3.    Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang  Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
4. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Tujuan: Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Fungsi: Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Unsur Wakaf: Wakaf; Nazhir; Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; Peruntukkan harta benda wakaf; Jangka waktu wakaf. Wakaf Meliputi: Perseorangan; Organisasi; Badan hukum. Larangan: Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: Dijadikan jaminan; Disita; Dihibahkan; Dijual; Diwariskan; Ditukar; atau Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

C.      MODERNISASI MANAJEMEN WAKAF DI INDONESIA
1.  Asas Paradigma Profesionalitas Manajemen Wakaf
Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan, bahkan dalam dunia bisnis manajemen pengelolaan sangat menetukan kelangsungan usaha perusahaan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu lebih bermamfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Kalau pengelolaan benda-benda wakaf selama ini hanya dikelola ‘seada-adanya” dengan menggunakan “menajemen kepercayaan” atau “manajemen tukang sate” dan sentralisme kepemimpinan yang pengelolaan wakaf yang bertumpu hanya pada seorang saka, maka untuk saat sekarang paradigma harus diganti dengan manajemen secara modern dengan menonjolkan sistem manajemen yang lebih profesional. Asas profesionalitas manajemen ini harusnya dijadikan semangat pengelolaan benda wakaf dalam rangka mengambil kemamfaatan yang lebih luas dan lebih nyata untuk kepentingan masyarakat banyak (kebajikan).
Nabi Muhammad SAW. sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu, termasuk masalah yang terkait dengan manajemen jika dilakukan dengan mengikui empat sifat menimal yang dimiliki oleh Nabi dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang profesional. Hanya saja dalam ukuran manajemen modern mengalami penafsiran dan pelebaran makna yang lebih spesifik. Dalam sebuah teori manajemen modern biasa disebut dengtan istilah TQM (Total Quality Management). Namun, jika dirunut dalam sebuah kerangka teori yang utuh hanya mengerucut kepada empat hal tersebut, yaitu:[14]
a.       Amanah (dapat dipercaya)
Secara umum, pola yang digunakan dapat dipercaya, baik in put atau out put-nya. In put dalam sebuah pengelolaan bisa dilihat dari Sumber Daya Manusia (SDM) nya, dalam hal wakaf adalah pihak Nazir, yaitu:
1)   Memiliki pendidikan yang tinggi (terdidik) dan standar moralitas yang unggul.
2)  Mimiliki keterampilan lebih, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain.
3) Adanya pembagian kerja (Job Description) yang jelas, sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih (over leving) wewenang, peran dan tanggungjawab.
4)   Adanya standar hak dan kewajiban.
5) Adanya standar operasional yang jelas dan terarah, sehingga tidak akan terjadi kepincangan manajemen.
b.       Shiddiq (jujur)
Disamping amanah (dapat dipercaya),  shiddiq (jujur) adalah sifat  mendasar, baik yang terkait dengan kepribadian Sumber Daya Manusia (SDM)-nya maupun bentuk program yang ditawarkan sehingga konsumen atau masyarkat merasa tidak dimamfaatkan secara sepihak. Bentuk program atau produk yang dipasarkan harus diinformasikan secara benar.
c.       Fathanah (cerdas / brillian)
Kecerdasaan sangat diperlukan untuk menciptakan produk (program) yang bisa diterima oleh pasar (masyarakat) dengan menawarkan berbagai harapan yang baik dan maju. Produk yang ditawarkan memberikan kesempatan yang sangat dinantikan oleh konsumen atau pihak-pihak yang terkait dengannya.
d.       Tabligh (menyampaikan informasi yang benar / transparansi)
Dalam manajemen, penyebarluasan informasi yang baik dan jujur sangat terkait dengan pola pemasaran dan pelaporan keuangan. Pemasaran sebuah produk harus disampaikan secara jujur, tidak menipu (gharar) atau membodohi masyarakat. Strategi yang diterapkan harus mengikuti kaidah-kaidah hukum dan moral yang berlaku di masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan atau keresahan yang tidak perlu. Penyampaian informasi tersebut dapat digunakan melalui media cetak dan elektronik baik local, regional, nasional dan internasional.
Sedangkan potret kepemimpinan manajemen yang baik dalam lembaga ke-Naziran bisa dilihat dari tiga aspek sebagai berikut:[15]
1.     Adanya transparansi
Dalam kepemimpinan manajemen profesional, transparansi menjadi ciri utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, ketika aspek transparansi sudah ditinggalkan, maka kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik, bahkan membuka peluang terjadinya penyelewengan kekuasaan yang tak terkendali (abused power).
2.    Public accountability (pertanggungjawaban umum)
Pertanggungjawaban umum merupakan wujud dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shiddiq (kejujuran).
3.     Aspiratif (mau mendengar dan mengakomodasi seluruh dinamika lembaga ke-Naziran)
Seseorang Nazhir yang dipercaya mengelola harta milik umum harus mendorong terjadinya sistem sosial yang melibatkan partisipasi banyak kalangan (public participation). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola pengambilan sebuah keputusan secara sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan. Sehingga mengurangi, bahkan menutup potensi-potensi yang berkembang, yang bisa jadi mungkin jauh lebih  baik atau sempurna. Kaedah prinsip dalam gerakkan yang aspiratif merupakan cermin dari sifat adil dalam diri atau lingkungannya.

2.   Aspek-aspek Paradigma Sistem Manajemen Pengelolaan dan Kenaziran
Sistem pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf di Indonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemamfaatannya yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek kemamfatannya, tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem menajemn pengelolaan yang diterapkan. Kita harus akui bahwa pola manajemen pengelolaan wakaf yang selama ini berjalan adalah pola manajemen pengelolaan yang terhitung masih tradisional-konsumtif. Hal tersebut bisa diketahui melalui beberapa aspek:[16]
a.    Kepemimpinan
Corak kepemimpinan dalam lembaga ke-Nazhiran masih sentralistik-otoriter (paternalistik) dan tidak ada sistem kontrol yang memadai.
b.   Rekuitmen Sumber Daya Manusia ke-Naziran
Banyak Nazhir wakaf yang hanya didasarkan pada aspek ketokohan seperti ulama, kiyai, ustazd dan lain-lain, bukan aspek profesionalitas atau kemampuan mengelola.
c.    Operasionalisasi pemberdayaan
Pola yang digunakan lebih kepada sistem yang tidak jelas (tidak memiliki standar operasional) karena lemahnya Sumber Daya Manusia, visi dan misi pemberdayaan, dukungan political will pemerintah yang belum maksimal dan masih menggunakan sistem ribawi.
d.   Pola pemamfaatan hasil
Dalam menjalankan upaya pemamfaatan hasil wakaf masih banyak yang bersifat konsumtif-statis sehingga kurang dirasakan manfatnya oleh masyarakat banyak.
e.   Sistem kontrol dan pertanggungjwaban
Sebagai resiko dari pola kepemimpinan yang sentralisitk dan lemahnya operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada lemahnya sistem kontrol, baik yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha maupun keuangan.
Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga independen, laporan tahunan diumumkan kepada masyarakat. Demikian juga halnya jika terjadi sengketa perwakafan dari segi hukum perdata tempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jika penyelesaian  melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan dalam hal ini pengadilan agama. Sementara jika terjadi penyelewenangan dengan sengaja seperti sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf atau tanpa izin menukar harta benda wakaf  yang telah diwakafkan, maka dipidana dengan pidana penjara atau didenda sesuai dengan tingkat pelangarannya.
Profesionalisme Nadzir mejadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun. Kualitas profesionalisme Nadzir secara umum dipersyaratkan menurut fiqih sebagai berikut, yaitu; beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional) dan memiliki sifat amanah, jujur dan adil.[17]
Upaya pembinaan menajemen ke-Nazdiran yang harus dilakukan berdasarkan standar pola manajemen modern adalah:
a.  Pendidikan formal, melalui sekolah-sekolah umum dan kejuruan dapat dicetak calon-calon Sumber Daya Manusia ke-Nazdiran yang siap pakai.
b. Pendidikan non formal, bentuk dari pendidikan model ini adalah dengan mengadakan kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan Sumber Daya Manusia ke-Nazdiran baik yang terkait dengan manajerial oraganisasi, atau meningkatkan keterampailan dalam bidang profesi seperti administrasi, teknik pengelolaan dan lain sebagainya.
c. Pendidikan informal, berupa latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan benda wakaf.
d. Pembinaan mental, spirit kerja harus terus menerus dibina agar para pemegang amanah perwakafan senantiasa bergairah dalam melaksanakan pekerjaannya.

3. Strategi Penghimpunan dan Pengembangan Wakaf
Ada beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf dan wakaf tunai dalam rangka untuk menopang pemberdayaan dan kesejahteraan umat: [18]
1.    Optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang
Seluruh komponen umat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik pada level pemikiran hukum maupun pada level praktik. Fiqih wakaf yang progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat dijadikan acuan komparatif bagi masyarakat kita yang mayoritas bermazhab Syafi'i.
Selain itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah Islam serta studi komparatif dengan pengalaman di negara-negara lain masa kini dapat menjadi informasi penting dalam sosialisasi wakaf uang. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Pada masa dinasti Umayyah terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan "Shadrul Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleb dinasti Fathimiyyah sebelumnya.
2.   Tindakan riil operasional wakaf uang melalui proyek percontohan (pilot project).
Prinsipnya, bila ada contoh sukses di depan mata, biasanya masyarakat akan mengikuti dan berkreasi. Pendidikan dan pelatihan akan dengan sendirinya menjadi kebutuhan pengembangan setelah wakaf uang tersebut menjadi fakta di lapangan. Adapun dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang  halal dan produktif, misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah.
Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Pada poinnya, kita ingin melihat kemajuan wakaf di Indonesia seperti kejayaan wakaf pada masa dinasti-dinasti Islam yang mampu membiayai Negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan melalui gerakan wakaf uang.

D.     ANALISIS
Islam, sebagai agama moral, tertantang tidak saja untuk menghancurkan ketimpangan struktur sosial yang terjadi saat ini, melainkan juga berkehendak untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka merealisaikan dokrin “rahmatan lil’alamin”. Karena di sini, Islam tidak hanya sebagai agama yang sarat dengan nilai elitis normatif yang sama sekali tidak memiliki kepedulian sosial, tetapi Islam secara integral merupakan bangunan moral yang berpotensi untuk turut berpartisipasi dalam berbagai problem sosial kemasyarakatan. Lebih dari itu, Islam juga merupakan agama keadilan. Pelabelan sebagai agama keadilan lebih karena kandungannya terhadap cita-cita keadilan sosial yang mengejawantah dalam doktrin-doktrinnya.
Karena itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, pengabaian atau ketidakseriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa’ yang tersebar di seluruh tanah air merupakan sikap yang bahkan berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap solidaritas kemanusiaan dan keadilan sosial.  Di samping itu, wakaf merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi umat. Demikian ini karena wakaf sesungguhnya memiliki peluang yang besar dalam mewujudkan tata sosial yang berkeadilan.
Sebagaimana diketahui, wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Sebagai salah satu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam, sebagian besar rumah-rumah ibadah, perguruan-perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.  Islam, selama ini mengenal lembaga wakaf yang merupakan sumber aset yang memberikan pemanfa'atan sepanjang masa. Namun pengumpulan, pengelolaan dan pandayagunaan harta wakaf secara produktif di tanah air kita ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain seperti Mesir. Begitu pun, studi-studi perwakafan masih terfokus kepada segi hukum fiqh (doktrin), dan belum menyentuh pada manajemen moderen perwakafan. Padahal, semestinya wakaf dapat dikelola secara produktif dan berdaya guna untuk memberikan hasil yang nyata kepada masyarakat, sehingga dengan demikian harta wakaf benar-benar menjadi sumber utama dana dari, oleh dan untuk masyarakat. 
Dalam kondisi ekonomi yang masih memprihatinkan ini, sesungguhnya wakaf di samping tak dapat dipungkiri peran dan fungsi instrument-instrumen ekonomi Islam lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, hibah dan lain-lainnya sangat berperan penting dalam upaya mewujudkan perekonomian nasional. Untuk itu, sebagai salah satu elemen penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf, sistem manajemen modern pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional dan modern, yang dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Kelembagaan atau Badan Wakaf
Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif, yang pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional yang diberi nama: Badan Wakaf Indonesia sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2.      Pengelolaan Operasional
Yaitu batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih bermamafaat bagi kepentingan masyarakat banyak, yang merupakan proses-proses pengambilan keputusan berkenaan dengan fungsi operasional.
3.      Kuhumasan
Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan (pemasaran) dianggap menempati possisi penting. Fungsi dari kehumasan itu sendiri dimasudkan untuk:
a.      Mempekuat image bahwa benda-benda wakaf yang dikelola oleh Nadzir yang profesional.
b.      Menyakinkan calon-calon wakif.
c.       Memperkenalkan aspek wakaf yang tidak hanya berorientasi pada pahala oriented, tapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat menonjolkan aspek kesejahteraan bagi ummat manusia lain.

E.      KESIMPULAN
Manajemen modern dalam pengelolaan wakaf biasa disebut dengtan istilah TQM (Total Quality Management) dilihat kepada empat hal yaitu: amanah (dapat dipercaya), shiddiq (jujur), fathanah (cerdas/brillian), tabligh (menyampaikan informasi yang transparan). Sedangkan potret manajemen yang baik dalam lembaga ke-Naziran bisa dilihat dari tiga aspek transparansi, public accountability (pertanggungjawaban umum), aspiratif (mau mendengar dan mengakomodasi seluruh dinamika lembaga ke-Naziran). Wakaf tidak hanya sekedar dianggap sebagai nilai ibadah namun juga terdapat dimensi sosial ekonomi, dan pengelolaan wakaf harus melalui konsep manajemen moderen sebagaimana dalam usaha ekonomi modern.
AL MURAJI’
Alquran Word.
‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyur, Kitab al-Waqf, Cairo : al-Afaq al Arabiyah, 2000.
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut, Dar al-Fikr, Juz IX, 1994.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarat Islam, Fiqih Wakaf 2006.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------,    Paradigma Baru, Wakaf, 2006.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------,        Pedoman Pengelolalaan Wakaf Tunai, 2006.
Muhammad al-Khathib, al-Iqba’, Beirut, Darul Ma’rifah, t.tp.
Monzer Khf, “Waqf” dalam The Oxford Encylopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, Jhon lL. Esposito et. Al. (eds), New York : Oxford Unversity Press, 1995.
M. Cholil Nafis, Bahtsul Masail, Lembaga Bahstul Masail (LBM) PBNU.
Sunan An Nasai, dalam Kitab al-Ahbas, dalam bab al-Habs.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu, Damaskus, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.tp.

Footnote:

[1] Muhammad al-Khathib, al-Iqba’, Beirut: Darul Ma’rifah, t.tp., hlm. 26. Lihat juga Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.tp,. hlm. 7599
[2] Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarat Islam, 2006, hlm. 2
[3] Ibid.
[4] ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyur, Kitab al-Waqf, Cairo: al-Afaq al Arabiyah, 2000, hlm. 9
[5] Monzer Khf, “Waqf” dalam The Oxford Encylopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, Jhon lL. Esposito et. Al. (eds), New York: Oxford Unversity Press, 1995, hlm. 312-313
[6] Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
[7] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah: Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H, hlm.66
[8] Alquran Word.
[9] Departemen Agama RI, Al Quran dan Tarjamahannya, hlm. 91
[10] Ibid., hlm. 523
[11] Lihat dalam buku Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Pedoman Pengelolalaan Wakaf Tunai, 2006, edisi ketiga, hlm.15
[12] Sunan An Nasai, dalam Kitab al-Ahbas, dalam bab al-Habs nomor 3546
[13] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut, Dar al-Fikr, Juz IX, 1994, hlm. 379
[14] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Paradigma Baru, Wakaf, 2006, hlm. 82
[15] Ibid, hlm., 84
[16] Ibid., hlm. 105
[17] Ibid., hlm. 117
[18] M. Cholil Nafis, Bahtsul Masail, Lembaga Bahstul Masail (LBM) PBNU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini