A.
PENDAHULUAN
Wakaf adalah
instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur
kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah).
Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadilah
pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT. yang diharapkan
abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan
terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari
manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social
benefit). Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya
sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Hal ini terbukti dalam perjalanan
sejarah lembaga wakaf menjadi salah satu tonggak penyokong kegiatan-kegiatan
ekonomi pemerintahan Islam (kekhalifahan). Seiring dengan runtuhnya sistem
kekhalifahan yang ada, maka peranan dan eksistensi wakaf dalam sektor ekonomi
juga memudar. Bahkan pada akhirnya, kegiatan lembaga ini karena berbagai
alasan, ditinggalkan umat Islam dan digantikan peranannya oleh lembaga-lembaga
keuangan lainnya.
Saat sekarang ini muncul kembali berbagai usaha untuk mengkaji
ulang kegiatan lembaga ekonomi Islami.
Hal demikian disebabkan terjadinya berbagai krisis ekonomi yang melanda sistem
ekonomi yang ada. Sehingga berbagai
wacana mulai dari studi dan seminar telah dilakukan sehubungan dengan
‘revitalisasi’ lembaga wakaf. Sehubungan dengan itu muncullah tentang bagaimana
mengelola wakaf secara profesional. Kegiatan perwakafan yang dilakukan oleh
masyarakat pada saat ini lebih bercirikan kegiatan keagamaan yang kurang
mempunyai dampak ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Wakaf jika dilihat justru
oleh wakif lebih mengarah ke dalam bentuk pembangunan rumah-rumah ibadah
dan tanah-tanah pemakaman. Padahal, disamping dimensi ibadah, kegiatan wakaf
mempunyai dimensi lain seperti nilai ekonomis (economic values). Dimensi
ekonomi kegiatan wakaf tunai kurang dipahami oleh masyarakat sehingga mamfaat
ekonominya kurang membawa dampak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
itu sendiri, maka jangan heran jika tanah dan aset wakaf justeru banyak yang
tidak terurus sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan
konsep baru atau paradigma untuk pengembangan wakaf berupa wakaf tunai perlu
dikaji dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat memberi
manfaat bagi umat Islam.
Jika dilihat kenyataan sejarah wakaf pada masa-masa awal Islam jelas
sekali bukanlah sekedar barang-barang tidak bergerak yang hanya dimamfaatkan
fungsinya saja. Sepanjang sejarahnya wakaf telah memainkan perannya yang sangat
penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Dari ungkapan di atas, jelas bahwa wakaf menjadi instrument penting dalam
pengembangan ekonomi umat. Karena itu sudah selayaknya umat Islam umumnya dan
umat Islam Indonesia khususnya merekonstruski ulang sistem manajemen pengelolaan
wakaf, agar harta wakaf dapat digunakan sebagai salah satu instrument pendorong
kegiatan ekonomi umat. Dalam situasi perekonomian Indonesia yang pulih seperti sekarang
ini, wacana pemberdayaan dana wakaf dengan orientasi nilai ekonomis akan sangat
membantu rakyat yang sedang kusilitan untuk mencari tambahan modal usaha. Maka
amat tepatlah rasanya jika sekarang digulirkan pengelolaan wakaf secara moderen
melalui manajemen moderen karena selama ini umat Islam di Indonesia hanya
mengenal pengelolaan wakaf secara konvensional.
Tulisan singkat ini bertujuan memberikan informasi umum tentang
manajemen perwakafan secara moderen dan bagaimana prospek pengembangannya di
Indonesia dengan harapan perwakafan di tanah air akan lebih kondusif dan arah
perubahan paradigma wakaf dari sektor ibadah juga diharapkan menjadi alternatif
pengembangan ekonomi umat Islam untuk mengurangi angka kemiskinan dan dengan
tujuan utamanya dalam rangka untuk kemaslahatan umat Islam. Dari uraian di
atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana cara
pengelolaan manajemen wakaf secara moderen di Indonesia menanti sebuah peluang
peningkatan sumber dana umat?
B.
TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Wakafa”.
Asal kata wakafa berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat”
atau “tetap berdiri”. Kata “Wakafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.[1]
Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:
الوقف بمعن التحبيس والتسبيل
Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah-milikan.
Secara terminologis fuqahak dan para ekonom Muslim berbeda mendefenisikan wakaf sehingga mereka
juga berbeda memandang hakikat wakaf.
a.
Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum,
tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Berdasarkan defenisi itu maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas
dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh
menjualnya.[2]
b. Mazhab Syafi’i dan Ahmad
Wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak
boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan.[3]
c. Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyur
Beliau menyatakan bahwa wakaf dalam pengertian
syara’ adalah:
Menahan ain dari kepemilikan seorang hamba dan membolehkan untuk mengambil mamfaatnya dari awal atau akhirnya saja.
d.
Sementara itu pakar ekonom Islam Munzer Kahf mendefenisikan wakaf sebagai berikut:
Wacf the hlding
and preservation of a certain property for the confined benefit of a certain
philanthropy with the intention of prohibiting any use or disposition of the
property outside that specific purpose.[5]
“Pemegangan dan pemeliharaan kekayaan tertentu untuk kepentingan kebajikan
yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan atau pemakaian kekayaan
tersebut di luar maksud khusus yang telah ditetapkan”.
e.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
menyebutkan:
”Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimamfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannnya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.”[6]
Dengan kata lain wakaf adalah menahan suatu benda untuk tidak
dipindahtangankan buat selama-lamanya dan mendonasikan manfaat (hasil)-nya
kepada orang-orang miskin atau untuk tujuan-tujuan kebajikan dan atau untuk
pentingan kesejahteraan umum menurut
syari’ah.
Sementara landasan wakaf dibolehkan berdasarkan firman Allah SWT. hadis
Nabi SAW. dan pendapat ulama dan atau hasil ijtihad, diantaranya:
a.
Al Quran, diantaranya:
1.
QS. Al Baqarah ayat 261:
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha mengetahui. [7
Pengertian
menafkahkan harta di jalan Allah SWt. meliputi belanja untuk kepentingan jihad,
pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.[8]
2. QS. Ali Imran ayat 92:
Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. [9]
3.
QS. Al Hajj ayat 77:
Hai
orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.[10]
b.
Al Hadis, diantaranya:
1. HR. Muslim:
عن ابى هريرة ان رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال : إذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او
علم ينتفع به اوولد صالح يدعوله ( رواه مسلم ) [11]
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila anak
Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara :
shadaqah jariyah, ilmu yang bermamfaat dan anak sholeh yang mendo’akan orang
tuanya”. (HR. Muslim).
2. HR. An Nasai:
عن ابن عمر قال :
قال عمر للنبي صلى الله عليه و سلم : إن مائة سهم التى لى فى خيبر لم أصب مالا قط
أعجب إلى منها قد ان اتصدق بها, وقال النيى صلى الله عليه و سلم : احبس اصلها و
سبل ثمرتها ( رواه النساء ) [12]
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, Ia berkata Umar ra, berkata kepada Nabi
SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan
harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud
menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata :”Tahanlah pokoknya dan sedeqahkan buahnya
pada jalan Allah.” (HR. An-Nasai).
c.
Ijmak
Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i
juga membolehkan wakaf tunai.
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.
Para ahli hukum Islam telah berendapat atas adanya dan
sahnya wakaf dan umat Islam telah mempraktikkannya dari abad ke abad hingga
sekarang.
d. Sedangkan di Indonesia eksistensi wakaf telah dikodifikasi
melalui legislasi dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya:
1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
3.
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
4. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Tujuan: Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda
wakaf sesuai dengan fungsinya. Fungsi: Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf
untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Unsur Wakaf: Wakaf; Nazhir;
Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; Peruntukkan harta benda wakaf; Jangka waktu
wakaf. Wakaf Meliputi: Perseorangan; Organisasi; Badan hukum. Larangan:
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: Dijadikan jaminan; Disita;
Dihibahkan; Dijual; Diwariskan; Ditukar; atau Dialihkan dalam bentuk pengalihan
hak lainnya.
C.
MODERNISASI MANAJEMEN WAKAF DI INDONESIA
1. Asas Paradigma Profesionalitas
Manajemen Wakaf
Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia
perwakafan, bahkan dalam dunia bisnis manajemen pengelolaan sangat menetukan
kelangsungan usaha perusahaan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu
lebih bermamfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk.
Kalau pengelolaan benda-benda wakaf selama ini hanya dikelola ‘seada-adanya”
dengan menggunakan “menajemen kepercayaan” atau “manajemen tukang sate” dan sentralisme kepemimpinan yang pengelolaan wakaf yang bertumpu hanya pada seorang saka, maka untuk saat sekarang paradigma
harus diganti dengan manajemen secara modern dengan menonjolkan sistem manajemen yang lebih profesional.
Asas profesionalitas manajemen ini harusnya dijadikan semangat pengelolaan
benda wakaf dalam rangka mengambil kemamfaatan yang lebih luas dan lebih nyata
untuk kepentingan masyarakat banyak (kebajikan).
Nabi Muhammad SAW. sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa segala
sesuatu, termasuk masalah yang terkait dengan manajemen jika dilakukan dengan
mengikui empat sifat menimal yang dimiliki oleh Nabi dapat dikategorikan sebagai
perbuatan yang profesional. Hanya saja dalam ukuran manajemen modern mengalami
penafsiran dan pelebaran makna yang lebih spesifik. Dalam sebuah teori
manajemen modern biasa disebut dengtan istilah TQM (Total Quality
Management). Namun, jika dirunut dalam sebuah kerangka teori yang utuh
hanya mengerucut kepada empat hal tersebut, yaitu:[14]
a.
Amanah (dapat dipercaya)
Secara umum, pola yang digunakan dapat dipercaya, baik
in put atau out put-nya. In put dalam sebuah pengelolaan
bisa dilihat dari Sumber Daya Manusia (SDM) nya, dalam hal wakaf adalah pihak
Nazir, yaitu:
1) Memiliki
pendidikan yang tinggi (terdidik) dan standar moralitas yang unggul.
2) Mimiliki
keterampilan lebih, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan
memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain.
3) Adanya
pembagian kerja (Job Description) yang jelas, sehingga tidak akan
terjadi tumpang tindih (over leving) wewenang, peran dan tanggungjawab.
4) Adanya
standar hak dan kewajiban.
5) Adanya
standar operasional yang jelas dan terarah, sehingga tidak akan terjadi
kepincangan manajemen.
b.
Shiddiq (jujur)
Disamping amanah (dapat dipercaya), shiddiq (jujur) adalah sifat mendasar, baik yang terkait dengan
kepribadian Sumber Daya Manusia (SDM)-nya maupun bentuk program yang ditawarkan sehingga konsumen atau
masyarkat merasa tidak dimamfaatkan secara sepihak. Bentuk program atau produk
yang dipasarkan harus diinformasikan secara benar.
c.
Fathanah (cerdas / brillian)
Kecerdasaan sangat diperlukan untuk menciptakan produk
(program) yang bisa diterima oleh pasar (masyarakat) dengan menawarkan berbagai
harapan yang baik dan maju. Produk yang ditawarkan memberikan kesempatan yang
sangat dinantikan oleh konsumen atau pihak-pihak yang terkait dengannya.
d.
Tabligh (menyampaikan informasi yang benar / transparansi)
Dalam manajemen, penyebarluasan informasi yang baik
dan jujur sangat terkait dengan pola pemasaran dan pelaporan keuangan.
Pemasaran sebuah produk harus disampaikan secara jujur, tidak menipu (gharar) atau membodohi masyarakat. Strategi yang
diterapkan harus mengikuti kaidah-kaidah hukum dan moral yang berlaku di
masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan atau keresahan yang tidak
perlu. Penyampaian informasi tersebut dapat digunakan melalui media cetak dan
elektronik baik local, regional, nasional dan internasional.
Sedangkan potret kepemimpinan manajemen yang baik dalam lembaga ke-Naziran bisa dilihat dari tiga aspek sebagai berikut:[15]
1.
Adanya transparansi
Dalam
kepemimpinan manajemen profesional, transparansi menjadi ciri utama yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin, ketika aspek transparansi sudah ditinggalkan,
maka kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik, bahkan membuka peluang
terjadinya penyelewengan kekuasaan yang tak
terkendali (abused power).
2. Public
accountability (pertanggungjawaban umum)
Pertanggungjawaban umum merupakan wujud
dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shiddiq
(kejujuran).
3.
Aspiratif
(mau mendengar dan mengakomodasi seluruh dinamika lembaga ke-Naziran)
Seseorang Nazhir yang dipercaya mengelola
harta milik umum harus mendorong terjadinya sistem sosial yang melibatkan
partisipasi banyak kalangan (public participation). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola pengambilan sebuah keputusan secara sepihak oleh kalangan elit
kepemimpinan. Sehingga mengurangi, bahkan menutup potensi-potensi yang
berkembang, yang bisa jadi mungkin jauh lebih
baik atau sempurna. Kaedah prinsip dalam gerakkan yang aspiratif
merupakan cermin dari sifat adil dalam diri atau lingkungannya.
2. Aspek-aspek Paradigma Sistem Manajemen Pengelolaan dan Kenaziran
Sistem pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam
pengembangan paradigma baru wakaf di Indonesia. Kalau dalam paradigma lama
wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda
wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada
aspek pemamfaatannya yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf
itu sendiri. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek kemamfatannya, tentu
yang sangat berperan sentral adalah sistem menajemn pengelolaan yang
diterapkan. Kita harus akui bahwa pola manajemen pengelolaan wakaf yang selama
ini berjalan adalah pola manajemen pengelolaan yang terhitung masih tradisional-konsumtif. Hal tersebut bisa diketahui melalui
beberapa aspek:[16]
a.
Kepemimpinan
Corak kepemimpinan dalam lembaga ke-Nazhiran masih sentralistik-otoriter (paternalistik)
dan tidak ada sistem kontrol yang memadai.
b. Rekuitmen
Sumber Daya Manusia ke-Naziran
Banyak Nazhir wakaf yang hanya didasarkan pada aspek
ketokohan seperti ulama, kiyai, ustazd dan lain-lain, bukan aspek
profesionalitas atau kemampuan mengelola.
c.
Operasionalisasi
pemberdayaan
Pola yang digunakan lebih kepada sistem yang tidak
jelas (tidak memiliki standar operasional) karena lemahnya Sumber Daya Manusia,
visi dan misi pemberdayaan, dukungan political will pemerintah yang
belum maksimal dan masih menggunakan sistem ribawi.
d. Pola
pemamfaatan hasil
Dalam menjalankan upaya pemamfaatan hasil wakaf masih
banyak yang bersifat konsumtif-statis sehingga kurang dirasakan manfatnya oleh
masyarakat banyak.
e. Sistem
kontrol dan pertanggungjwaban
Sebagai resiko dari pola kepemimpinan yang
sentralisitk dan lemahnya operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada
lemahnya sistem kontrol, baik yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha
maupun keuangan.
Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf
Indonesia dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga
independen, laporan tahunan diumumkan kepada masyarakat. Demikian juga halnya
jika terjadi sengketa perwakafan dari segi hukum perdata tempuh melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jika penyelesaian melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa
dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan dalam hal ini
pengadilan agama. Sementara jika terjadi penyelewenangan dengan sengaja seperti
sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf atau tanpa izin menukar harta
benda wakaf yang telah diwakafkan, maka
dipidana dengan pidana penjara atau didenda sesuai dengan tingkat
pelangarannya.
Profesionalisme Nadzir mejadi ukuran yang paling penting
dalam pengelolaan wakaf jenis apapun. Kualitas profesionalisme Nadzir secara umum dipersyaratkan menurut fiqih sebagai
berikut, yaitu; beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam
melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil
(berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional) dan
memiliki sifat amanah, jujur dan adil.[17]
Upaya pembinaan menajemen ke-Nazdiran yang harus dilakukan berdasarkan standar pola manajemen modern
adalah:
a. Pendidikan
formal, melalui sekolah-sekolah umum dan kejuruan dapat dicetak calon-calon Sumber
Daya Manusia ke-Nazdiran yang siap pakai.
b. Pendidikan
non formal, bentuk dari pendidikan model ini adalah dengan mengadakan
kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan Sumber Daya Manusia ke-Nazdiran baik yang terkait dengan manajerial
oraganisasi, atau meningkatkan keterampailan dalam bidang profesi seperti
administrasi, teknik pengelolaan dan lain sebagainya.
c. Pendidikan
informal, berupa latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat
pengelolaan benda wakaf.
d. Pembinaan
mental, spirit kerja harus terus menerus dibina agar para pemegang amanah
perwakafan senantiasa bergairah dalam melaksanakan pekerjaannya.
3. Strategi Penghimpunan
dan Pengembangan Wakaf
Ada
beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf dan wakaf tunai dalam rangka
untuk menopang pemberdayaan dan kesejahteraan umat: [18]
1. Optimalisasi edukasi
dan sosialisasi wakaf uang
Seluruh
komponen umat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf
pada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik
pada level pemikiran hukum maupun pada level praktik. Fiqih wakaf yang
progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas
mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat
dijadikan acuan komparatif bagi masyarakat kita yang mayoritas bermazhab
Syafi'i.
Selain
itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah Islam serta studi komparatif
dengan pengalaman di negara-negara lain masa kini dapat menjadi informasi
penting dalam sosialisasi wakaf uang. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa
banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan
dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Pada masa dinasti Umayyah
terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah
pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang
disebut dengan "Shadrul Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih
staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir mewakafkan
tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial
sebagaimana yang dilakukan oleb dinasti Fathimiyyah sebelumnya.
2. Tindakan riil
operasional wakaf uang melalui proyek percontohan (pilot project).
Prinsipnya,
bila ada contoh sukses di depan mata, biasanya masyarakat akan mengikuti dan
berkreasi. Pendidikan dan pelatihan akan dengan sendirinya menjadi kebutuhan
pengembangan setelah wakaf uang tersebut menjadi fakta di lapangan. Adapun dana
wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh
nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, misalnya
membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di
atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin
yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang
strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah.
Sehingga
akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan
sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Pada poinnya, kita ingin melihat kemajuan wakaf di
Indonesia seperti kejayaan wakaf pada masa dinasti-dinasti Islam yang mampu
membiayai Negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan melalui
gerakan wakaf uang.
D.
ANALISIS
Islam,
sebagai agama moral, tertantang tidak saja untuk menghancurkan ketimpangan struktur
sosial yang terjadi saat ini, melainkan juga berkehendak untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dalam rangka merealisaikan
dokrin “rahmatan lil’alamin”. Karena di sini,
Islam tidak hanya sebagai agama yang sarat dengan nilai elitis normatif yang
sama sekali tidak memiliki kepedulian sosial, tetapi Islam secara integral
merupakan bangunan moral yang berpotensi
untuk turut berpartisipasi dalam berbagai problem sosial kemasyarakatan. Lebih dari itu, Islam juga
merupakan agama keadilan. Pelabelan sebagai agama keadilan lebih karena
kandungannya terhadap cita-cita keadilan sosial yang mengejawantah dalam
doktrin-doktrinnya.
Karena
itu, dalam konteks masyarakat Indonesia, pengabaian atau ketidakseriusan
penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa’ yang
tersebar di seluruh tanah air merupakan sikap yang bahkan berlawanan dengan
semangat dan komitmen Islam terhadap solidaritas kemanusiaan dan keadilan
sosial. Di samping itu, wakaf merupakan
pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki keterkaitan langsung secara
fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan
kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia
dan pemberdayaan ekonomi umat. Demikian ini karena wakaf sesungguhnya memiliki peluang
yang besar dalam mewujudkan tata sosial yang berkeadilan.
Sebagaimana
diketahui, wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam. Di Indonesia,
wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke
Indonesia. Sebagai salah satu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu
penunjang perkembangan masyarakat Islam, sebagian besar rumah-rumah ibadah, perguruan-perguruan Islam dan lembaga-lembaga
keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Islam, selama ini mengenal lembaga wakaf yang
merupakan sumber aset yang memberikan pemanfa'atan sepanjang masa. Namun
pengumpulan, pengelolaan dan pandayagunaan harta wakaf secara produktif di
tanah air kita ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain seperti Mesir. Begitu pun, studi-studi perwakafan masih terfokus kepada segi hukum fiqh (doktrin), dan belum menyentuh
pada manajemen moderen perwakafan.
Padahal, semestinya wakaf dapat dikelola secara produktif dan berdaya guna untuk memberikan
hasil yang nyata kepada
masyarakat, sehingga dengan demikian harta wakaf benar-benar menjadi sumber utama dana dari, oleh dan untuk
masyarakat.
Dalam
kondisi ekonomi yang masih memprihatinkan ini, sesungguhnya wakaf di samping
tak dapat dipungkiri peran dan fungsi instrument-instrumen ekonomi Islam
lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, hibah dan lain-lainnya
sangat berperan penting dalam upaya mewujudkan perekonomian nasional. Untuk
itu, sebagai salah satu elemen penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf,
sistem manajemen modern pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional
dan modern, yang dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Kelembagaan atau Badan Wakaf
Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif, yang
pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan
atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional yang
diberi nama: Badan Wakaf Indonesia sebagaimana amanat Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2.
Pengelolaan
Operasional
Yaitu batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar
menghasilkan sesuatu yang lebih bermamafaat bagi kepentingan masyarakat banyak,
yang merupakan proses-proses pengambilan keputusan berkenaan dengan fungsi
operasional.
3.
Kuhumasan
Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan (pemasaran)
dianggap menempati possisi penting. Fungsi dari kehumasan itu sendiri
dimasudkan untuk:
a.
Mempekuat
image bahwa benda-benda wakaf yang dikelola oleh Nadzir yang
profesional.
b.
Menyakinkan
calon-calon wakif.
c.
Memperkenalkan
aspek wakaf yang tidak hanya berorientasi pada pahala oriented, tapi
juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat menonjolkan aspek kesejahteraan
bagi ummat manusia lain.
E.
KESIMPULAN
Manajemen modern dalam pengelolaan wakaf biasa disebut dengtan istilah
TQM (Total Quality Management) dilihat kepada empat hal yaitu: amanah
(dapat dipercaya), shiddiq (jujur), fathanah (cerdas/brillian), tabligh
(menyampaikan informasi yang transparan). Sedangkan potret manajemen yang
baik dalam lembaga ke-Naziran bisa dilihat dari tiga aspek
transparansi, public accountability (pertanggungjawaban umum), aspiratif
(mau mendengar dan mengakomodasi seluruh dinamika lembaga ke-Naziran). Wakaf tidak
hanya sekedar dianggap sebagai nilai ibadah namun juga terdapat dimensi sosial
ekonomi, dan pengelolaan wakaf harus melalui konsep manajemen moderen
sebagaimana dalam usaha ekonomi modern.
AL MURAJI’
Alquran Word.
‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyur, Kitab al-Waqf, Cairo :
al-Afaq al Arabiyah, 2000.
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut,
Dar al-Fikr, Juz IX, 1994.
Departemen Agama RI, Al Quran dan
Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah),
Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As
Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarat Islam, Fiqih Wakaf 2006.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------, Paradigma Baru, Wakaf, 2006.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------, Pedoman
Pengelolalaan Wakaf Tunai, 2006.
Muhammad al-Khathib, al-Iqba’, Beirut, Darul Ma’rifah, t.tp.
Monzer Khf, “Waqf” dalam The
Oxford Encylopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, Jhon lL. Esposito
et. Al. (eds), New York : Oxford Unversity Press, 1995.
M. Cholil Nafis, Bahtsul Masail, Lembaga
Bahstul Masail (LBM) PBNU.
Sunan
An Nasai, dalam Kitab al-Ahbas, dalam bab al-Habs.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu, Damaskus, Dar
al-Fikr al-Mu’ashir, t.tp.
Footnote:
[1] Muhammad al-Khathib, al-Iqba’, Beirut: Darul Ma’rifah, t.tp.,
hlm. 26. Lihat juga Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu,
Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.tp,. hlm. 7599
[2] Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarat Islam, 2006, hlm. 2
[3] Ibid.
[4] ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyur, Kitab al-Waqf, Cairo:
al-Afaq al Arabiyah, 2000, hlm. 9
[5] Monzer Khf, “Waqf” dalam The Oxford Encylopedia of the Modern
Islamic World, Vol. 4, Jhon lL. Esposito et. Al. (eds), New York: Oxford
Unversity Press, 1995, hlm. 312-313
[6] Pasal 1 ayat
(1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
[7] Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah
Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah: Khadim Al Haramain Asy
Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy
Syarif, 1412 H, hlm.66
[8] Alquran Word.
[10] Ibid.,
hlm. 523
[11] Lihat dalam
buku Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, Pedoman Pengelolalaan Wakaf Tunai, 2006, edisi ketiga, hlm.15
[12] Sunan An
Nasai, dalam Kitab al-Ahbas, dalam bab al-Habs nomor 3546
[13] Al-Mawardi, al-Hawi
al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut, Dar al-Fikr, Juz IX, 1994,
hlm. 379
[14] Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Paradigma
Baru, Wakaf, 2006, hlm. 82
[15] Ibid,
hlm., 84
[16] Ibid., hlm.
105
[17] Ibid.,
hlm. 117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini