SISTEM KEKERABATAN MENURUT AL QURAN IMPILIKASINYA TERHADAP SISTEM KEWARISAN (Tinjauan Perspektif Ayat-ayat Ahkam)
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah tidak
pernah mengenal adanya agama atau sistem yang membicarakan keberadaan karib (dzil
qurba) yang lebih mulia daripada Islam. Sungguh Islam telah menegaskan
wasiat (pesan penting) terhadap karib kerabat dan meletakkan wasiat itu setelah
wasiat untuk bertauhid kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Islam juga
menjadikan berbuat baik kepada karib kerabat itu termasuk sendi-sendi
kemuliaan, sebagaimana telah menjadikan hak karib kerabat untuk mendapatkan hak
milik, karena ia adalah orag yang paling dekat dengan kita. Inilah yang
ditegaskan oleh Al Qur'an dengan cara diulang-ulang lebih dari satu ayat dalam
beberapa surat agar benar-benar difahami oleh kita sebagai anak cucu Adam.
Konsep
kekerabatan telah berwujud sejak beberapa dahulu lagi bermula dari bapak dan ibu
sekalian umat manusia yaitu Adam dan Hawa yang melahirkan Habil dan Qabil. Dari
pasangan Nabi Adam as dan Hawa ini maka lahirlah keturunan umat manusia
sekaligus bermulalah konsep kekerabatan sehingga menjadi sistem kekerabatan yang
kompleks. Di Barat ataupun di Timur, di Selatan atau di Utara sistem ini masih
berwujud dan diamalkan tetapi telah banyak mengalami perubahan. Justeru itu,
banyak variasi yang dapat dilihat dalam sistem kekerabatan di kalangan
masyarakat di dunia ini. Dalam Islam sistem kekerabatan ini adalah sesuatu yang
amat penting dalam kehidupan dan pergaulan umat manusia yang semankin
berkembang biak agar silsilah keturunan tidak kacau.
Kekerabatan
merupakan salah satu aspek penting yang menjadi bidang kajian ilmu sosiologi
dan antropologi. Ia merupakan institusi yang terdapat dalam semua lapisan adat
dan atau masyarakat di dunia ini. Kekerabatan lahir dari institusi perkawinan
yang membenarkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan sehingga anak
yang lahir dari perkahwinan tersebut diterima oleh masyarakat, tidak anggap
anak zina atau anak haram. Justeru itu,
dalam menafsirkan kekerabatan (persanakan), pelbagai pendapat telah
dikemukakan. Diantaranya ialah Raymond Firth dan Burges, Locke dan Thomes.
Menurut Raymond Firth, istilah kekerabatan itu ialah sebuah keluarga itu tidak
akan lengkap sekiranya tidak wujud tiga unsur yaitu bapak, ibu dan anak. Oleh
karena itu, keluarga adalah satu unit sosial yang tekecil bilangannya
mengandungi ibu dan bapak serta anak yang tinggal di dalam sebuah rumah yang
sama. Keluarga merupakan sebuah institusi hasil daripada perkawinan yang
disebut sebagai keluarga asas.
Sementara
menurut Burges, Locke dan Thomes 'dangansanak' es, konsep kekerabatan itu ialah
satu kelompok manusia yang mempunyai ikatan perkahwinan, ikatan darah atau
mempunyai hubungan angkat; menganggotai sesebuah isi rumah; berhubung antara
satu sama lain berdasarkan peranan sosial masing-masing sebagai suami dan
isteri, ibu dan bapak, anak lelaki dan anak perempuan, kakak dan adik; dan
mewujudkan serta mengekalkan sesuatu budaya yang sama.
Islam sebagai
agama terakhir dan menyempurnakan ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya tidak
luput untuk memberikan konsep kekerabatan ini. Sehingga yang pada akhirnya
bahwa bentuk kekerabatan dalam hukum Islam sangat menentukan azas yang berlaku
dalam hukum kewarisan. Dalam Al Qur’an maupun Sunnah jika dikaji lebih lanjut
memang kenyataannya tidak menjelaskan secara jelas tentang struktur kekerabatan
tertentu menurut hukum Islam. Namun demikian dalam realitasnya dihadapkan
berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal, matrilineal,
dan bilateral[1],
yang masing-masing memiliki implikasi terhadap hukum waris Islam.
Dengan
beragam bentuk kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat adat, bentuk
kekerabatan bagaimana yang sesuai dengan hukum waris Islam. Inti pokok ajaran
Islam sebagaimana yang telah dipaparkan dalam ayat-ayat Al Qur’an, dari
berbagai sistem yang berkembang dalam masyarakat, sistem yang mana dipandang lebih
cocok, selain lebih mencerminkan rasa keadilan, juga sesuai dengan semangat
atau spirit Al Qur’an. Sebab hukum waris yang berlaku selama ini adalah
patrilineal, berasal dari kalangan Sunni yang banyak dipengaruhi oleh kultur
bangsa Arab. Sehingga konsep Sunni ketika berhadapan pada tatanan praktisnya
banyak kendala dalam menerapkan pada kultur adat istiadat yang berbeda. Untuk itu tulisan ini akan membahas sistem
kekerabatan menurut konsep Islam, yang tentunya akan ada impilikasinya dalam sistem kewarisan Islam.
2.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian di atas, maka yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana sistem
kekerabatan menurut Al Quran ? Dan apakah ada impilikasinya terhadap sistem
kewarisan Islam?
B. SISTEM KEKERABATAN MENURUT AL QURAN
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Keluarga
Pengertian
keluarga dapat dilihat dari pengertian sempit dan pengertian luas. Keluarga
dalam pengertian sempit adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari
suami, isteri, dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal.[2] Dalam pengertian luas keluarga adalah apabila dalam satu tempat tinggal berdiam
pula pihakk lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka terjadilah kelompok
anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan karena pertalian darah.[3]
Hubungan keluarga terjadi karena perkawinan dan hubungan darah atau disebut
juga hubungan semenda seperti mertua, menantu, ipar dan anak tiri, dimana
antara suami isteri tidak ada hubungan darah. Hubungan keluarga karena
pertalian darah adalah hubungan karena keturunan, seperti bapak sampai garis
lurus ke atas, anak sampai garis lurus ke bawah, saudara kandung dan anak
saudara kandung lurus menyamping.
Hubungan
darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal
dari leluhur yang sama (keturunan leluhur).[4] Hubungan darah itu ada dua garis, yaitu
hubungan darah menurut garis lurus ke atas disebut “leluhur”, hubungan darah
menurut garis ke bawah disebut
“keturunan” dan hungan darah menurut garis ke samping disebut “sepupu”. Daftar
yang menggambarkan ketunggalan leluhur antara orang-orang yang mempunyai
pertalian darah disebut “silsilah”. Dari silsilah dapat diketahui jauh
dekatnya hubungan darah antara orang yang satu dan orang yang lain dari leluhur
yang sama. Jauh dekatnya hubungan darah dapat dinyatakan dengan istilah atau
sebutan dalam hubungan keluarga.
Garis
keturunan sebenarnya hanya memberikan keistimewaan tertentu dalam hubungan
keluarga. Ada tiga hubungan darah dilihat dari garis ketururunan, yaitu[5]
:
1. Patrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah ;
2. Matrilinial, hubungan darah yang mengutamakan garis ibu ;
3. Parental, bilateral, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah
dan ibu, atau garis orang tua.
Patrilinial
hubungan darah yang mengutamakan garis keturunan ayah, kedudukan suami lebih utama
dari kedudukan isteri. Dalam perkawinan asabah lebih berperan sebagai
wali nikah, perkawinan dengan sistem jujur, isteri selalu mengikuti tempat
tinggal suami. Dalam kekuasaan orangtua, kekuasaan ayah (suami) lebih
diutamakan daripada kekuasaan ibu (isteri) terhadap anak-anak dalam hubungan
keluarga. Dalam kewarisan, bagian pihak laki-laki selalu lebih besar daripada
bagian perempuan. Dan dalam perwalian, pihakk laki-laki lebih diutamakan
daripada pihak perempuan untuk diangkat sebagai wali anak-anak. Contoh
masyarakat dalam kategori ini adalah Sumatera Selatan, Tapanuli dan Bugis.
Dalam
masyarakat matrilinial hubungan darah yang diutamakan garis keturunan ibu,
kedudukan pihakk isteri lebih utama daripada kedudukan suami. Keutamaan itu
dapat dilihat dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan sebagai
wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut keluarga isteri).
Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-laki isteri mempunyai kekuasaan
utama terhadap anak-anak (kekuasaan paman terhadap anak kemanakan). Dalam
kewarisan saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak kepala waris. Dan
dalam perwalian, saudara laki-laki isteri lebih berperan sebagai wali terhadap
anak kemanakannya. Contoh masyarakat ini adalah Minangkabau.
Parental atau
bilateral darah yang mengutamakan garis kedua-duanya yaitu ayah dan ibu,
kedudukan pihak suami dan pihak isteri seimbang. Mereka bersama-sama mengurus
keluarga, kebutuhan sehari-hari, harta benda diurus dan digunakan untuk
kepentingan bersama. Kedudukan pihak suami dan pihak isteri berimbang dalam
kehidupan keluarga, dan dapat dilihat dalam hal perkawinan asabah
sebagai wali nikah, dalam perkawinan tidak dikenal jujur, suami isteri
menentukan bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan orangtua kedua suami isteri
mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga baik terhadap anak maupun harta.
Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah asas bagian yang sama antara
laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian kedua suami isteri dapat berperan
sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun dalam pernikahan ayah berperan
sebagai wali nikah karena termasuk asabah. Contoh masyarakat ini adalah
Jawa, Madura dan Sunda.
2. Dasar-dasar dan Sistem Kekerabatan Menurut Al Qur’an
Secara jujur dapat
dikatakan bahwa jika dipelajari secara mendalam dan berdasarkan ilmu
pengetahuan tentang berbagai bentuk sistem masyarakat kaitannya dengan sistem
kekerabatan yang bermuara pada aspek ilmu fiqh munakat yang merujuk kepada
ketentuan larangan-larangan perkawian, maka sistem kekerabatan yang mana sebenarnya
dikehendaki oleh Al Quran? Untuk kesempatan ini penulis akan memaparkan
ayat-ayatnya terlebih dahulu yakni yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa (4): 22-24, juga didukung oleh ayat-ayat 11, 12, 176 dalam
surat yang sama.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن
لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ
إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً
فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيماً ﴿١١﴾
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ
فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ
فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ ﴿١٢﴾
011. Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
012. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.
وَلاَ
تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً ﴿٢٢﴾
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ
الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿٢٣﴾
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم
مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم
بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً ﴿٢٤﴾
022. Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
023.
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
024. dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
يَسْتَفْتُونَكَ
قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ
وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا
وَلَدٌ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِن
كَانُواْ إِخْوَةً رِّجَالاً وَنِسَاء فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّواْ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿١٧٦﴾
176. Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ yaitu dihalalkan artinya boleh dilarang dan tidak boleh dicela,
semua macam perkawinan yang tidak termasuk ke dalam perincian larangan-larangan
Quran itu. Dari ayat ini diperoleh petunjuk bahwa semua
bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-cousins[6] maupun parallel cousins[7].
Dengan dibolehkannya perkawinan sepupu ini berarti tidak berlaku syarat exogami[8] yang menjadi benteng dan dasar bagi sistem clan dalam masyarakat
yang menganut sistem patrilineal dan matrilinial. Jika clan
telah tumbang maka timbullah masyarakat yang bercorak bilateral. Pada
ketentuan ayat 11 QS An Nisa’ di atas menjadikan semua anak keturunan, baik
itu laki-laki maupun perempuan sebagai
ahli waris bagi ayah dan ibunya. Hal mana
ini merupakan suatu bentuk sistem kekerabatan bilateral, karena
dalam patrilineal prinsipnya sebagaimana yang diuraikan di atas hanya anak
laki-laki saja yang berhak mewaris harta benda, sedangkan dalam sistem
kekerabatan matrilineal anak-anak hanya mewaris dari ibunya, tidak dari
bapaknya. Kemudian dalam dalam ayat 12 dan 176 QS An Nisak juga mendukung
sistem bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi saudaranya
yang mati punah (tak berketurunan), tidak dibedakan apakah saudara itu
laki-laki atau perempuan.[9]
Dengan demikian merujuk pada ayat-ayat munakahat dan jika dikorelasikan
dengan ayat kewarisan tersebut ternyata sistem kekerabatan yang diinginkan oleh
al Qur’an yaitu sistem kekerabatan bilateral yang mengutamakan garis
kedua-duanya yaitu bapak dan ibu, kedudukan pihak suami dan pihak isteri
seimbang. Mereka bersama-sama mengurus keluarga, kebutuhan sehari-hari,
harta benda diurus dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kedudukan pihak
suami dan pihak isteri berimbang dalam kehidupan keluarga, dan dapat dilihat
dalam hal perkawinan asabah sebagai wali nikah, dalam perkawinan tidak
dikenal jujur, suami isteri menentukan bersama tempat tinggal, dalam kekuasaan
orangtua kedua suami isteri mempunyai kekuasaan yang sama dalam keluarga baik
terhadap anak maupun harta. Dalam kewarisan lebih cenderung menuju ke arah asas
bagian yang sama antara laki-laki dan wanita, serta dalam perwalian kedua suami
isteri dapat berperan sebagai wali terhadap anak-anak mereka, namun dalam
pernikahan ayah berperan sebagai wali nikah karena termasuk asabah.
C. IMPILKASI SISTEM KEKERABATAN MENURUT AL QUR’AN TERHADAP SISTEM
KEWARISAN
Berdasarkan
pada ketentuan ayat tersebut di atas dan jika dipelajari pola pemikiran Prof. Hazairin, bahwa sistem kekerabatan yang dikehendaki Al
Qur’an adalah sistem kekerabatan bilateral, maka secara tak lansung juga
membawa implikasi terhadap tentang sistem kewarisan. Menurut Hazairin karena
sistem kekerabatan yang dikehendaki Al Qur’an adalah sistem kekerabatan
bilateral, maka sistem kewarisan Islam juga berbentuk sistem kewarisan
bilateral.[10] Prof.
Hazairin lebih dikenal dalam bidang pakar ilmu hukum, terlebih dalam hukum
adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang hukum Islam sangat mendalam dan
khususnya bidang kewarisan. Melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan
hukum Islam beliau diangkat sebagai Guru Besar Universitas Indonesia bidang hukum
adat dan hukum Islam pada fakultas hukum pada sidang senat terbuka tahun 1952.
Keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam, ia sangat faham dengan
situasi dan kondisi hukum Islam di Indonesia bila korelasikan dengan hukum
adat.
Snouck
Hurgronje dengan teori resepsi (Receptie Teory) [11]
yang dicetuskan pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam di Indonesia
terpingirkan oleh hukum adat, yang sebelumnya berlaku Teori Reception in
Complexu yang dimunculkan oleh Van Den Berg[12].
Prof. Hazairin tampil dengan tidak
segan-segan untuk menyebut teori ini
Snouck Hurgronje sebagai “Teori Iblis”.[13]
Untuk mengimbangi teori ini, kemudian beliau mencetuskan teori baru dengan nama Receptie Exit[14], yang
kemudian ditindak lanjuti oleh Sajuti Thalib, S.H, dengan teori Receptie a
Contrario.[15]
Dalam
pemikirannya tentang hukum kewarisan Islam dkenal dengan teori hukum kewarisan
bilateral menurut Al Qur’an telah
dipresentasikan pada tahun 1957. Prof. Hazairin mempertanyakan tentang
kebenaran hukum kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal
bila dihadapkan dengan Qur’an. Dengan keahliannya dalam bidang hukum adat,
hukum Islam, antropologi hukum dan sosiologi hukum beliau mencoba untuk mengkaji
dan mendalami ayat-ayat tentang perkawinan dan kewarisan. Menurutnya, Al Qur’an
hanya menghendaki sistem sosial atau kekerabatan yang bercorak kea rah system
kekerabatan bilateral. Dengan demikian hukum kewarisan yang dikehendaki di
dalamnya juga bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang biasa dikenal
selama ini. Prof. Hazairin mencoba memberikan pemahaman yang baru terhadap
hukum kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar
sistem bilateral yang dikehendaki Al Quran. Tentu saja sistem ini mempunyai
dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam kehidupan khususnya dalam
model sistem kewarisan. Suatu hal yang sangat menarik, bahwa teori ini lebih
dekat dengan rasa keadilan masyarakat adat Indonesia pada umumnya, jika dibandingkan dengan sistem kewarisan bercorak
patrilinial yang selama ini dikenal dalam hukum adat Indonesia.
Sistem
kewarisan yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya
Arab yang bersendikan sistem kekerabatan yang bercorak patrilineal. Pada masa
awal terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat
belumlah berkembang seperti zaman sekarang, dengan kata lain kecenderungan pola
pemikiran Sunni sangatlah dipengaruhi situasi zamannya yaitu zaman awal Islam
dimana corak kekerabatan tidak terlepas dari kultur sosiologi dan antropologi
masyarakat Arab waktu itu. Sehingga para Fuqahak dalam berbagai mazhab fiqh
yang dapat kita baca, belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem
kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat satu daerah dengan daerah lainnya.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian
disusun bercorak patrilineal.[16]
Dalam berbagai kitab fiqh Sunni, terdapat tiga pola dan prinsip dalam
kewarisan, yaitu :
1. Ahli
waris perempuan tidak dapat menghalangi menghijab ahli waris laki-laki yang
lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak dapat menghalangi
saudara laki-laki.
2. Hubungan
kewarisan melalui garis keturunan pihak laki-laki lebih diutamakan daripada
garis keturunan perempuan. Pengelompokkan ahli waris model ini menjadikan ahli
waris terdiri dari ashabah dan zawu al-arham merupakan contoh
yang jelas. Ashabah merupakan ahli waris menurut sistem patrilineal
murni, sedangkan zawu al-arham adalah perempuan-perempuan yang bukan zawu
al-faraid dan bukan pula ashabah.[17]
3. Dalam konsep Sunni ini tidak mengenal ahli
waris pengganti (mal waris), semua mewaris karena dirinya sendiri.
Sehingga cucu yang orangtuanya meninggal lebih duhulu daripada kakeknya, tidak
akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal. Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima warisan.
Sistem kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal tersebut tidaklah relevan
rasanya dengan konsep keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak
bilateral. Bagi masyarakat patrilineal seperti Batak, bukan berarti tidak ada
konflik dengan sistem kewarisan kalangan Sunni. Apalagi bagi masyarakat
matrilineal seperti Minangkabau, tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem
kewarisan ini. Prof. Hazairin mencoba
untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Al Qur’an.
Menurutnya, hal mustahil Al Qur’an memberikan ketentuan yang tidak adil dan
melukai rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ayat tentang perkawinan dan
kewarisan akhirnya beliau mempunyai kesimpulan dan keyakinan bahwa Al Qur’an
menghendaki sistem kekerabatan bilateral.[18]
Dalam Al Qur’an sistem kewarisan yang dikehendaki di samping bilateral juga
individual. Maksudnya masing-masing ahli waris berhak atas bagian yang pasti
dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada mereka. Di sinilah muncul
istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di samping
terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah) dalam ayat-ayat
tersebut. Jadi sistem kewarisan yang dikehendaki dalam Al Qur’an adalah individual
bilateral.[19] Dengan teorinya ini Prof. Hazairin agaknya ingin mengajak umat Islam untuk
memperbaharui pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan.
Pembaharuan dalam ilmu
waris yang digagas oleh Prof. Hazairin pada dasarnya berintikan:
1.
Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris
kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik
laki-laki maupun perempuan, maka datuk saudara baik laki-laki maupun perempuan
sama-sama ter-hijab.
2. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis
perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu
al-arham tidak diakui dalam teori ini.
3. Ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris
lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orangtuanya
meninggal lebih duhalu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama
besarnya dengan yang diterima oleh orangtuanya (seandainya masih hidup).[20]
Berdasarkan teori ini pula
Prof. Hazairin mencoba membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni:
1. Dzawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan
bagiannya dalam Al Quran. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh
menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah.
Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan
dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian.
2. Dzawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu
al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa
harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian
untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris
pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa
(4): 33.
3. Mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep
yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris).[21]
Mawali (ahli waris
pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk
memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan
digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut
telah meninggal lebih duhalu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini
merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan
harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak
pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan
semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.[22]
Secara rinci Prof. Hazairin
membuat pengelompokkan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan secara
hierarkhis, berdasarkan ayat-ayat kewarisan (Q.S. al-Nisa (4): 11,12,33, dan
176), sebagai berikut:
1. Keutamaan pertama: anak, mawali anak, orangtua, dan duda atau
janda.
2. Keutamaan kedua: saudara, mawali saudara, orangtua, dan duda atau
janda.
3. Keutamaan
ketiga: orangtua dan duda atau janda.
4. Keutamaan keempat: janda atau duda, mawali
untuk ibu dan mawali untuk ayah.
Masing-masing ahli waris dalam keutamaan ini berbeda-beda statusnya, ada
yang sebagai zawu al faraid dan
ada pula yang sebagai zawu al qarabat.[23]
Setiap kelompok keutamaan di atas
dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih rendah tidak
dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Karena
kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup oleh kelompok keutamaan yang
lebih tinggi. Inti dari kelompok keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau mawali-nya.
Tidak adanya anak dan atau mawali-nya berarti bukan kelompok keutamaan
pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya saudara dan atau mawali-nya.
Sedang inti dari kelompok keutamaan ketiga adalah adanya ibu dan atau bapak.
Adapun janda atau duda meskipun selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, ia
menjadi penentu bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara kewarisan
bilateral menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang cukup
banyak dan lengkap.[24]
Dengan sistem kelompok
keutamaan seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hazairin ini, saudara dapat
mewaris bersama dengan orangtua (bapak ataupun ibu), suatu hal yang tidak
mungkin terjadi pada hukum kewarisan Sunni yang bercorak patrilineal. Di
samping itu tidak mungkin menjadikan ayah dari ayah atau ibu dari ayah sebagai zawu
al-faraid, demikian pula terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem ilmu
waris kalangan Sunni. Problem kasus kewarisan yang dianggap rumit, seperti ahli
waris kakek bersama saudara (al-jadd ma’a ikhwan) yang banyak
memunculkan variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam
sistem bilateral.[25]
D. PRO KONTRA PENDAPAT HAZAIRIN
1. Pro Kontra Pendapat Hazairin
Gagasan tentang sistem kewarisan
biateral yang dicetuskan Prof. Hazairin ternyata mendapat tanggapan pro dan
kontra di kalangan umat Islam Indonesia.
Fenomena ini merupakan hal yang wajar apabila ada yang masih belum bisa
menerima ide pembaharuan yang dia kemukakan. Apalagi dengan mendekontruksi
sesuatu yang telah lama mapan, akan sulit diterima meskipun hal yang baru ini
cukup rasional dan argumentatif. Namun bukan berarti mereka yang menolak
termasuk tidak rasional. Mereka yang menolak di samping didasarkan pada
pengetahuan tentang sistem kewarisan yang selama ini mereka ketahui, juga tidak
sedikit pula yang mensikapi dengan penuh curiga terhadap sesuatu yang dianggap
baru.
Meskipun pada awalnya banyak terjadi
penolakan, namun tidak sedikit pula yang bersimpati dan mendukung ide kewarisan
bilateral ini. Bahkan dewasa ini hampir setiap kali menbahas tentang ilmu waris
hampir tidak melepaskan pemikiran Prof. Hazairin. Barangkali penolakan yang
terjadi terhadap sistem kewarisan bilateral lambat laun berkurang seiring
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya masyarakat untuk
menerima perubahan.
Dukungan terhadap pendapat Prof. Hazairin
telah banyak dikemukakan dalam berbagai kajian ilmiah. Keberatan terhadap teori
ini agaknya lebih disebabkan ketidakberanian mereka mengoreksi cara tafsir
mazhab Sunni yang lebih condong kepada sistem patrilineal dan terlanjur
disakralkan.Untuk itu agar pemikiran prof. Hazairin dapat diterima di kalangan Sunni
yang konservatif ini manakala dia mampu memahami bahwa sistem kewarisan Sunni
merupakan salah satu hasil penalaran intelektual sebagaimana halnya yang
dilakukan prof. Hazairin.[26]
Terlepas adanya sikap pro dan
kontra di atas, perlu diketahui bahwa pemikiran Prof. Hazairin ini telah turut
memperkaya perkembangan hukum Islam di Indonesia terlebih tentang ilmu waris.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (INPRES Nomor 1 Tahun 1991) sebagai bentuk
kodifikasi hukum Islam di Indonesia agaknya tidak luput dari pengaruh Prof.
Hazairin, seperti telah diaturnya ketentuan tentang ahli waris pengganti pada Pasal
185.[27]
Sementara menurut Mukti Arto tidak dapatnya cuc menjadi ahli waris, padahal
mereka mempunyai hubungan dan derajat
kewarisan yang sama, dirasakan tidak adil.[28]
Bukankah hal
ini bertentangan dengan asas pembinaan generasi dan bertentangan pula dengan
perintah Allah dalam surat An Nisak ayat 2 dan ayat 10 yang mewajibkan kita
memberikan hak-hak anak yatim (termasuk bagian warisan) ini dengan sepenuhnya?[29]
Berangkat dari pemikiran tersebut maka para perumus KHI telah berijtihad untuk
menyelesaikan masalah ini, yaitu menempatkan semua cucu sebagai ahli waris
pengganti orangtuanya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris
(Pasal 185 KHI).
[30]
[30]
2. Pengaruhnya Terhadap Pembagian
Harta Waris
Mewarisi harta dari orang
yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk cara yang sah untuk memperoleh
hak milik terhadap suatu benda.[31] Sehingga pembagian harta dengan cara mewarisi merupakan salah satu bentuk
pemilikan harta yang diakui dalam hukum Islam. Bahkan Islam mengatur distribusi
harta kepada para ahli waris yang berhak dengan bagian jelas dan rinci. Sistem
kewarisan yang bercorak patrilineal akan mencerminkan distribusi harta waris
yang lebih didominasi dan lebih banyak memberi banyak peluang kepada kaum
laki-laki. Hal sebaliknya terjadi bagi sistem kewarisan matrilineal. Adapun
sistem kewarisan yang bercorak bilateral akan lebih memberi kesempatan yang
sama kepada laki-laki dan perempuan dalam menerima distribusi harta
warisan.
Apabila dilihat dari
distribusi pembagian harta waris, sistem kewarisan Sunni yang bercorak
patrilineal dalam beberapa kasus tertentu kelihatan kurang dapat memberi
penyelesaian yang adil terhadap para ahli waris. Berbeda dengan sistem
kewarisan bilateral yang lebih memberikan keadilan. Satu contoh, misalnya, ada
seorang yang meninggal dunia dengan ahli waris terdiri dari beberapa anak
laki-laki dan perempuan, seorang isteri dan beberapa cucu yang orangtuanya
telah meninggal. Menurut sistem kewarisan Sunni, cucu tidak mungkin dapat waris
dari kakeknya karena masih ada anak (saudara dari orang tuanya). Sedangkan
menurut sistem bilateral, sang cucu tetap dapat mewarisi harta peninggalan
kakeknya sebesar yang diterima orangtuanya seandainya masih hidup, karena cucu
di sini berkedudukan sebagai mawali bagi anak. Dari contoh sederhana ini
tampak bahwa pembagian harta waris yang ditawarkan melalui sistem bilateral
tampak lebih adil.
Dengan demikian sistem
kewarisan bilateral paling tidak telah memberi solusi bagi sistem kewarisan
yang dianggap kurang dapat memenuhi keadilan, khususnya bagi masyarakat
Indonesia. Pembaharuan yang dicanangkan merupakan satu bentuk sistem yang padu
dan menyeluruh, bahkan cukup berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam di
Indonesia.
Menurut
hukum kewarisan bilateral terdapat tiga prinsip kewarisan, yaitu: pertama,
ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok
keutamaan yang lebih rendah. Selama masih ada anak, baik laki-laki maupun
perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama
kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah
dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. Ketiga, ahli
waris pengganti (mawali) selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli
waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orangtuanya
meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama
besarnya dengan yang diterima oleh orangtuanya (seandainya masih hidup).
Keberadaan mawali ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu
faraid (waris) dan lebih mencerminkan keadilan.
Sejalan
dengan itu, Mukti Arto, berkesimpulan bahwa Al Qur’an dan As Sunnah
mengisyaratkan pembentukan keluarga yang bersifat bilateral, yaitu suatu prinsip
keturunan yang memperhitungkan hubungan kekerabatan baik melalui garis
laki-laki maupun perempuan secara serentak.[32]
Sehingga beliau berpendapat lebih lanjut bahwa demikian pula dalam hukum
kewarisan. Oleh sebab itu, hukum kewarisan Islam juga memperhitungkan hubungan
kewarisan baik dari garis laki-laki maupun perempuan. Laki-laki maupun
perempuan, masing-masing dapat menjadi pewaris atau ahli waris, dan
masing-masing dapat menjadi hajib terhadap ahli waris lain yang
jenjangnya lebih jauh, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 174 KHI.[33]
Asas
ini tentunya tak terlepas pula dari ketentuan yang termaktub dalam QS. An Nisa’
ayat 7. Oleh karenanya hukum kewarisan Islam yang dikembangkan KHI relevan
dengan hukum perkawinan yang bersifat bilateral, dan disesuaikan dengan
sturuktur keluarga muslim di Indonesia yang bercorak bilateral, serta adanya
penggunaan istilah dzawil arham meskipun tidak disebutkan dalam KHI,
namun eksistensinya tetap diakui sebagai ahli waris sesuai dengan posisinya
masing-masing, sehingga mendapatkan warisan sesuai dengan porsinya.
E.
PENUTUP
Akhirnya, reinterpretasi terhadap sistem kewarisan
bilateral pada dasarnya merupakan bentuk
ketidak puasan menerima sistem kewarisan Sunni klasik. Doktrin Sunni yang
selama ini dipegang oleh umat Islam di Indonesia bercorak patrilineal, padahal
yang dikehendaki Al Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral. Penafsiran hukum
waris yang bercorak patrilineal kalangan Sunni sebenarnya merupakan pengaruh
dari kultur bangsa Arab yang bercorak patrilineal. Sehingga perlu dirombak agar
sesuai dengan kultur Indonesia yaitu menggunakan sistem bilateral yang lebih
mencerminkan keadilan, terlebih dengan keberadaan mawali (ahli waris
pengganti).
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukti
Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis
Queen. 2009.
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan
Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata
Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum
Mualamat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: FH-UII, 1993
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran
Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993.
Departemen Agama RI, Al Quran dan
Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah),
Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As
Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 .
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta:
Tintamas, 1968.
----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta:
Tintamas, 1976.
----------,Hukum Kewarisan Bilateral
Menurut Al Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas,1990.
Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya
Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam
di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Rosda Karya, 1994.
M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi
Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et.
al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali,
MA., Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995.
Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 1993.
Catatan kaki:
[1] Patrilineal merupakan bentuk kekerabatan yang menarik
garis nasab hanya melalui jalur bapak atau laki-laki. Matrilineal merupakan
bentuk kekerabatan yang menarik garis nasab melalui jalur ibu atau perempuan
semata. Sementara bilateral merupakan bentuk kekerabatan yang menentukan
garis nasab melalui jalur bapak dan ibu. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits,
Jakarta: Tintamas,1990, hlm.11. Lihat juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan
Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993, hlm.144
[6] Cross cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan
perempuan yang senenek atau sedatuk, manakala bapak dari pihakk yang satu
merupakan saudara dari ibu pihakk yang lain. Lebih konkritnya, ibu suami adalah
saudara dari ayah isteri ataupun sebaliknya. Hubungan persaudaraan ini bisa
karena seibu, sebapak, atau sekandung. Lihat Hazairin, Hendak,…hlm. 5
dan hlm. 20-21, lhat juga Hazairin, Hukum Kewarisan ...... hlm. 13-14
[7] Parallel cousins adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang senenek atau sedatuk manakala ayah mereka masing-masing bersaudara atau
ibu mereka bersaudara, baik persaudaraan ini seibu, sebapak, maupun sekandung.
[8] Exogami artinya larangan untuk mengawini anggota se-clan,
atau dengan kata lain keharusan kawin dengan orang di luar clan.
[9] Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm.
13-14.
[10] Hazairin yang dikenal sebagai pencetus ide
bentuk kewarisan bilateral.
[11] Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan
(pribumi) adalah hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah
diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),hlm. 16
[12] Hukum Islam diterima (direpsi) secara
menyeluruh oleh umat Islam. Lihat Ibid, hlm. 13
[13] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968,
hlm. 5
[14] Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori
hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 (terutama
pembukaan dan pasal 29) serta bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah.
Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan
Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja
(Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung:
Rosda Karya, 1994, hlm. 102 dan hlm. 127-131
[15] Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum
yang berlaku bagi rakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, “Pengembangan”,
hlm. 131-136. Lihat juga Ahmad Rofiq, Op.,Cit.
[16] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976), hlm.
3 dan hlm. 11-12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mengenai
bentuk-bentuk kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial
(etnologi) yang baru ada pada abad XIX.
Jadi jauh dari masa Islam klasik.
[17] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits,
Jakarta: Tintamas,1990. hlm. 76-77
[20] Prinsip-prinsip dalam teori kewarisan bilateral ini hampir sama dengan
yang terdapat dalam fiqh Ja’fari. Hanya saja dalam fiqh ini ahli waris
pengganti hanya diakui adanya manakala para ahli waris sederajat di atasnya
sudah meninggal seluruhnya. Jadi cucu akan tetap terhijab untuk memperoleh
warisan dari kakeknya selama masih ada anak.
[21] Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 18 dan hlm. 28-36, konsep yang
dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang
diberlakukan di beberapa negara Timur
Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir,
Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya
berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu
mengakui adanya ahli waris pengganti
bagi anak (baca: cucu), dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi
saudara. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum
Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi
Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., Jakarta:
Paramadina-IPHI, 1995. hlm.316
[22]Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 1993. hlm. 80-81
[23]Hazairin, Hukum Kewarisan, hlm. 37. Adanya konsep tentang kelompok
keutamaan ini pada dasarnnya untuk menentukan ahli waris mana yang harus
didahulukan manakala terdapat bagitu banyak ahli waris yang ada. Konsep ini
dalam fiqh sunni lebih dikenal dengan konsep hijab di antara ahli waris.
[24] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan.. hlm. 88
[25] Hazairin, Hukum Kewarisan…hlm. 44
[26] A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta:
Rajawali Pers, 1997, hlm. 278
[27] Ibid.
[28] A. Mukti
Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis
Queen. 2009, hlm.100
[29] Ibid.,
hlm. 101
[30] Ibid.
[31] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam),Yogyakarta:
FH-UII, 1993, hlm. 37
[32] A. Mukti Arto, Op.,
Cit., hlm. 37
[33] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini