Minggu, 19 Juni 2011

METODE PENEMUAN HUKUM

 METODE PENEMUAN HUKUM BAYANI, TA’LILI DAN ISTISLAHI

 A.     PENDAHULUAN
Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya bahwa suatu  aturan yang telah dimuat dalam ketentuan-ketentuan hukum baik yang ada dalam Al Quran dan Hadis maupun hukum postif (baca; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas. Persoalan hukum yang tidak jelas bunyi teks suatu undang-undang, maka dalam hal ini dapat saja mencari, menggali, dan mengkaji hukumnya untuk menemukan hukumnya yaitu dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum juga diartikan sebuah  proses pembentukan hukum terhadap peristiwa yang konkrit, hal ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Dalam penemuan hukum terdapat beberapa metode-metode penemuan hukum, dalam makalah ini metode penemuan hukum metode bayani, ta’lii dan istislahi, dapat dijadikan alternatif untuk penemuan hukum diharapkan bias menciptakan kepastian hukum, keadilan dan keseimbangan dalam menjawab persoalan hukum yang selalu muncul.
Memperhatikan jenis-jenis metode penemuan hukum ataupun metode penerapan hukum dalam ilmu hukum Islam  (istinbath al-hukm) dan penerapan hukum (tathbiq al-hukm), dalam hukum Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penemuan hukum dan penerapan hukum yang digunakan oleh praktisi hukum umum. Demikian pula dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha’) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan metode seperti  metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul Fiqh. Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam dan memahami dalil-dalil hukum yang mana dengan dalil-dalil tersebut dibangun hukum Islam yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption). Imam Syafi’i contohnya mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau arsitektur Ushul Fiqh dalam kitabnya “Ar Risalah” yang tidak hanya karya pertamanya membahas Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul kemudian.
Metode pengembangan hukum Islam yang telah diletakan oleh Imam Mujtahid (Abu Hanifah 699-767M, Malik bin Anas 714-795M, Muhamad Idris Asy-Syafi’i 767-819M, dan Ahmad bin Hanbal 780-855M) dan dijadikan dasar pijakkan untuk penemuan hukum dan penerapan hukum, maupun memberlakukan hukum dalam suatu negara. Metode yang dijelaskan secara rinci dalam Ushul Fiqh menurut Tahir Mahmood merupakan asas hukum di berbagai negara Islam dan di dalam pembaharuan hukumnya, yaitu motode musawati mazhahib al-fiqh (equality of the schools of Islamic law), istihsan (juristic equality), mashalih al-mursalah / istislahi (public interest), siyasah syari’ah (legislative equality) istidlal (juristic reasioning), taudi’ (legislation), tadwin (codivication) dan lain sebagainya.[1]
Dikaitkan dengan penemuan hukum dan penerapan hukum oleh Juris Islam (fuqaha’) setidak-tidaknya ada beberapa motode, diantaranya motode penemuan hukum bayani, ta’lili dan istislahi, yang bermuara pada tolak ukur kemaslahatan agar keadilan dan kebenaran dapat dikembangkan dari tiga motode tersebut yang tentunya tidak lepas dan kontradiksi denga garis hukum yang telah dietapkan dalam Al Quran dan Al Hadis. Oleh karena itu di dalam upaya menemukan hukum dan penerapan hukum oleh para pengali hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan.
Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum, dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fiqh dan Filsafat Hukum Islam bahkan berkembang ke arah politik hukum (siyasyah syariah). Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama dalam metode penemuan hukum Islam. Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran dan Al Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan dapat penemuan hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul.
B.     PENGERTIAN METODE PENEMUAN HUKUM ISLAM
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh  metode penemuan hukum dipakai dengan istilah “istinbath”.  Istinbath adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[2]  Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Mustashfa”, memasukannya dalam bab III dengan judul “Thuruqul Istitsmar”. Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.[3]
Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar’iyyah dan kaidah lughawiyah.
a.     Kaidah syar’iyyah.
Yang dimaksud dengan kaidah syar’iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara’ dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum (mukallaf).[4] Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan sebagainya.
b.    Kaidah lughawiyah.
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum.[5] Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ushuliyah dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usaha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.[6]
Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa harus memahami bahasa dalil Al Quran dan Sunnah Rasul, yaitu Bahasa Arab. Tanpa memiliki pengetahuan  Bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan Bahasa tidak dapat dilakukan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang Bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap orang yang ingin berijtihad.[7] Penemuan hukum (rechtsvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas cakupannya. Ia dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuwan / peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara / advokat), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun.[8]
Dalam makalah ini, penulis membatasi diri pada upaya penemuan hukum secara penelitian hukum dari sudut kajian akademisi, yang kemamfaatannya dapat dirasakan oleh semua kalangan khsusnya praktisi hukum Islam. Hal demikian dimaksudkan tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.[9]
 
C.      METODE PENEMUAN HUKUM BAYANI, TA’LILI DAN ISTISLAHI
1.     Metode Penemuan Hukum Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam  dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin;  yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar); upaya memahami (al-fahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham); perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[10] Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna ‘mengartikan’, ‘menafsirkan’ atau ‘menerjemah’ dan juga bertindak sebagai penafsir.[11] Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam  keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir” (ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah ‘ilmu tafisr’ ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adalah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang. [12]
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering kali disinonimkan pengertiannya ke dalam ‘penafsiran’ atau ‘penjelasan’. Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-ta’wil lebih merupakan interprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis.
Hermeneutika[13] yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art pf interprestation) ‘teks’ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu / teks di sini bisa berupa; teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin).[14] Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.
Secara filosofis  metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun). Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis[15] tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan / atau para pencari keadilan. Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus:
 Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum.
Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.
Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani:
1.     Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim).
Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika” yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut “legitimasi” yang berkenan dengan pembenaran dari putusan yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut agar putusan dapat diterima. Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta hukum dan pembentuk hukum.
2.    Penemuan hukum bayani oleh badan legislatif.
Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undang-undang dan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dari perencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itu sarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulah meruapakan ruh dari metode bayani.
3.       Ilmuwan hukum / Fuqahak.
Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaian hukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dan kualitas hukum.
            Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam sebelas macam yaitu:
1.    Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).
Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi kata-katanya dari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah kata dapat mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata ‘musytarak’
2.    Interprestasi historis.
Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenanya harus menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalam konteks ini dapat dilakukan dua bentuk;
Pertama, mencari maksud dari aturan hukum pembuat undang-undang (syari’) sehinggga kehendak pembuat hukum sangat menentukan.
Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang  ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaan hukumnya. Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalam penafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunuzul ayat atau asbabul wurud hadist.
3.   Interprestasi sistematis.
Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.
4.   Interprestasi sosiologis atau teologis.
Secara sosiologis / teologis apabila makna peraturan / ayat dietapkan berdasarkan tujuan kemaslahatan. Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting. Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potong tangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri potong tangan, namun kenyataan hukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat. Hukuman ini telah ditetapkan oleh nash agama baik Al Quran, Sunnah, keputusan Abu Bakar maupun keputusan Umar, namun pada suatu ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat tahun paceklik. Pada saat itu Umar menolak untuk melaksanakan potong tangan terhadap pencuri dengan berkata: “Tahun ini, saya tidak memotong tangan (pencuri).”[16]
5.    Interprestasi komparatif.
Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina) berbagai sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab (muqarinatul mazahib).
6.    Interperstasi futuristik.
Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasan ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatan hukum karena peraturannya masih dalam rancangan.
7.    Interperstasi restriktif.
Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalam fiqh mu’amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
8.    Interprestasi ekstensif.
Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasi gramatikal, seperti perkataan al-ba’i dalam fiqh mu’amalah oleh qadhi boleh ditafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala bentuk peralihan hak.
9.      Interprestasi otentik atau secara resmi.
Dalam jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
10.  Interperstasi interdisipliner.
Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Sebagai contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana, administrasi negara dan perdata.
11.  Interprestasi multidisipliner.
Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan konsultasi, verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
           
2.     Metode penemuan hukum Ta’lili
Sebelumnya penulis akan menguraikan sekitar masalah ‘illat. Ulama Ushul Fiqh membicarakan masalah ‘illah ketika membahas qiyas (analogy). ‘Illah merupakan rukun qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan ‘illahnya. Setiap hukum ada ‘illah yang melatarbelakanginya. ‘Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagian ulama Ushul Fiqh; ‘Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum.[17] Orang yag mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas.
Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah ‘illat menjadi 3 golongan:[18]
a.       Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.      Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c.       Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Seiring semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukum ialah ‘illat hukum atau kausa hukum.[19] Selama ‘illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika ‘illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan dispilin ilmu Hukum Islam, para fukahak melahirkan kaidah fiqiyah yang mengatakan:
الحكم يدور مع علة وجودا أوعدما
“Hukum itu berkisar bersama ‘illatnya, baik ada atau tidak adanya.[20]
            Arti kaidah fiqh tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan denga ‘illat (kausa) yang melatarbelakanginya; jika ‘illat ada, hukum pun ada, jika ‘illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagai ‘illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk ‘illat hukum secara tepat.
Mengenai adanya kaitan antara ‘illat dan hukum, para fuqaha mazhab Daud Zahiri tidak dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui ‘illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya.[21] Menetapkan adanya kaitan hukum dengan ‘illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan ‘illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash. Dengan mengetahui ‘illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terkadi kemudian.
‘Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat pada kasus tersebut. Sehingga ‘illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. ‘Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.
Sedangkan menurut Imam al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith atau tidak. [22]   Jadi baginya ‘illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan ‘illat. Sebenarnya hikmat dengan ‘illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.[23]
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan ‘illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid al-syari’at  Dalam pencarian ‘illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi ‘illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam ‘illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan teori maqashid al-syariat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas.
            ‘Illat adalah hal yang oleh syari’ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar, tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum. ‘Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu ‘illat diperoleh dengan dalil naqli, nas yang diperoleh dengan ijma’ dan ‘illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada nash).[24] ‘Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih, yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya petunjuk sebab.[25]
            ‘Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk menentukan ‘illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran kefilsafatan dalam menentukan ‘illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk menentukan ‘illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu:
Pertama, jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai benar sebagai ‘illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar sebagai ‘illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai sebagai ‘illat hukum, dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan dirasakan sesuai sebagai ‘illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan sebagai ‘illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.
Kedua, menetapkan kesesuaian ‘illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji ‘illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya ‘illat itu terhadap hukum bersangkutan. ‘Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-‘illah al-munasibah.[26] Al-‘illah al-munasibah ada empat macam, yaitu: ‘illat muatstsirah (membekas), ‘illat mula-imah (sejalan), ‘illat gharibah (asing) dan ‘illat mursalah (lepas, bebas).[27] , di bawah ini akan dibahas tentang empat ‘illat itu:
a.       al-‘illah al-munasab.
Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau ‘ijma’ dan diketahui membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan atas anak di bawah umur, yang dipandang ‘illatnya adalah keadaan di bawah umur.
b.      al-‘illat mula-imah.
‘Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai ‘illatnya. Namun ‘illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan ‘illat hukum yang bersangkutan.
c.  al-‘illat gharibah
‘Illat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa ‘illat itu membekas pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang sejenis. Namun ‘illat yang diperoleh dari nash itu sendiri dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.
d.       al-‘illat mursalah
‘Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa ajaran Islam pada umumnya. ‘Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik. Untuk menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam umumnya.
            Oleh karenanya ‘illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan. Maka ‘illah ditetapkan sebagai bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya hikmah.[28] Hikmah itu bersifat implisit di dalam ‘illah dan tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada jika ‘illah tidak ada. Di samping itu, ‘illah adalah dasar perbuatan. Jika ‘illah ada tanpa adanya hikmah, maka ‘illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum.
Jika ‘illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila ‘illah itu tidak jelas, para ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan mencoba menggali ‘illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan yang lainnya mengambil metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat (social utility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘illah merupakan “sebab” atau “tujuan” ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan adakalanya tidak (muntanbathah).[29]
3.     Metode Penemuan Hukum Istislahi
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu’tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Al Hadit. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[30] Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al-mursalat.[31] Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat.
Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut:[32]
1.    Maslahat tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.
2. Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat.
3.   Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan  hukum (maqashid al-syari’at) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qahti’.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hokum:[33]
1.  Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
2. Kemaslahatan itu bersifat qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut bena-benar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata-mata.
3.      Kemaslahatan itu bersifat kulli, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-syari’at.
Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara metode penemuan hukum  istislahi sangat erat kaitaannya dengan maslahat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan. Bentuk penemuan hukum berdasarkan istislahi suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu mamfaat, maka kejadian tersebut dinamakan istislahi.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahat yang ditunjukan oleh khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses seperti itu disebut istislah (menggali dan menetapkan suatu masalah).[34] Walaupun para ulama berbeda dalam memandang metode ini, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap mamfaat yang di dalamnya terdapat tujuan secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’. Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah qathi’iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara’, walaupun dalam penetapannya zhani. [35]
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum  dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal iu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.[36]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istislahi merupakan cara penemuan hukum yang berdiri sendiri, yang beramal dengan al-maslahat al-mursalat, ijmak, ‘urf dan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat.
D.     TUJUAN PENEMUAN HUKUM BAYANI, TA’LILI DAN ISTISLAHI
            Konsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran sistem hukum terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang pada bunyi teks.
Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problematika yang timbul dalam masyarakat.  Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam masyarakat Islam justru persoalan fiqh merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqh ibadah dan mu’amalahnya.
Penerapan sebuah hukum harus didahului dengan aktifitas penemuan hukum yang lazim diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh para penegak hukum dan fuqahak dalam proses menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum merupakan upaya bahwa seakan-akan hukumnya sudah ada, dan suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya harus pula dilakukan melalui ijtihad sehingga hukumnya ditemukan. Dengan demikian terbentuklah hukum atas peristiwa tersebut. Penemuan hukum dapat saja dilakukan oleh hakim sebab hasil temuan hukum oleh hakim adalah hukum. Ilmuwan hukum yang mengadakan penemuan hukum, baik melalui penelitian, maupun hasil pemikirannya dapat dikatakan sebagai ilmu dan doktrin, jika diambil oleh hakim maka akan menjadi hukum.
Aturan hukum yang bersifat normatif kadang-kadang kurang jelas, rinci dan lengkap, sedangkan fakta dan peristiwa selalu muncul di luar ketentuan yang ada dan ini diperlukan penyelesaian menurut hukum. Begitu juga halnya dengan teks ayat dan hadis yang kadang-kadang hanya memuat aturan normatif sehingga perlu penemuan hukum atau aturan undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang tidak mungkin menduga peristiwa yang akan terjadi ke depan  walaupun teks undang-undang jelas tentu masih membutuhkan penemuan hukum untuk mencocokan dengan kebutuhan zaman tentu dengan tetap mengacu pada aturan yang sudah digariskan dalam teks. Hukum itu ada, akan tetapi harus ditemukan, hakim tidak semata-mata menerapkan hukum, akan tetapi menemukan hukum.
Kegiatan penemuan hukum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab permasalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.
Penemuan hukum dengan metode ta’lili yang  merupakan sifat yang menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukumnya. Mendasarkan hukum kepada  ‘illat diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang Al Quran dan As Sunnah memberikan petunjuk bahwa ‘illat hukum adalah sifat tertentu, maka sifat itu merupakan ‘illat berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui bahwa ketentuan hukum itu dapat dipecahkan berdasarkan ‘illat hukum.
Sedangkan penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat dan merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum.
 
E.      KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, maka terakhir dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.  Metode penemuan hukum adalah cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah ushuliyah lainnya.
2.  Metode penemuan hukum bayani adalah suatu metode berdasarkan kepada pemahaman terhadap teks.
3.  Metode penemuan hukum ta’lili adalah suatu metode penemuan hukum dengan ‘illat-‘illat dalam suatu masalah.
4.  Metode penemuan hukum istislahi adalah metode penemuan hukum yang stresingnya lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma’shum, Jakarta, 2000.
Al-Qasim, Abu Ubaid, bin Salam, Kitab Al-Amwal, tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Cetakan I, 1406 H / 1986 M.
Al-Ghazali, al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Jilid II,  Sayyyid al-Husein, Kairo, tt.
Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt.
Al-Rabi’ah, Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali, Adillat al-Tasyri’ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Mu’assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M.
Ad-Dawaalibi, Muhammad Makruf, Al Madkhal Ilaa ‘Im Ushuul al-Faqh, 1959.
Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997.
Djazuli, A, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,  Cet. 5, Edisi Revisi, Prebada Media,  Jakarta, 2005.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative Analysis), New Delhi For the Academi of law and Religion, 1987.
Rahman, Asjmuni A., Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang,  Jakarta, 2004.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, UII Pres, Yogyakata, 2004.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-A’la al-Indonesi li al-Da’wat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972.

Footnote:

[1] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History Teks and Comparative Analysis), New Delhi For the Academi of Law and Religion, 1987, hlm. 13
[2] Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, PT. Bulan Bintang,  Jakarta, 2004, hlm. 1
[3] A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,  Cet. 5, Edisi Revisi, Prebada Media,  Jakarta, 2005, hlm. 17
[4]  Ibid.
[5]  Ibid., hlm. 5
[6] Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Pres Yogyakarta, 1984, hlm. 32
[7] Ibid.
[8]  Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, UII Pres, Yogyakata, 2004, hlm. 51
[9] Penemuan hukum itu selalu berkonotasi hukumnya sudah ada sehingga tinggal bagaimana cara menerapkan dalam peristiwa konkrit. Sedangkan pembentukan hukum berkonotasi bahwa hukumnya belum ada sehingga harus membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu sehingga jangan terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Sementara penciptaan hukum berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap.
[10]  Jazim Hamidi, Op.,Cit., hlm. 23
[11]  Ibid., hlm. 20
[12]  Ibid., hlm. 22
[13] Sebagaimana yang pernah diambil oleh Nabi Idris esiensinya adalah sebuah ilmu atau seni menginterprestasikan (the art of interprestasi) teks. ketika penafsiran wahyu Tuhan / bahasa langit, sehingga difahami oleh makhluk di bumi. (Ibid., hlm. 21).
[14]  Ibid., hlm. 45
[15] Di mana pada lalu telah mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berwenang akademisi dan professional untuk menginterprestasikan dan memberikan makna kepada hukum.
[16] Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Kitab Al-Amwal, tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Cetakan I, 1406 H / 1986, hlm. 559
[17] Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, Cet. 6, Pustaka Firdaus, by. Saefullah Ma’shum, Jakarta, 2000, hlm. 364
[18]  Ibid.,hlm. 365
[19]  Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit., hlm. 20
[20]  Ibid., hlm. 22
[21]  Ibid.
[22]   Al-Syatibi, Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Dar al-Fikr, tt, hlm. 185
[23] Contoh, dalam bidang ibadah (shalat qashar), boleh atau tidaknya, maka ditetapkan kebolehannya itu ‘illatnya karena safr, sedangkan musyaqat-nya merupakan hikmat.
[24]  Ibid., hlm. 24
[25]  Muhammad Makruf ad-Dawaalibi, Al Madkhal Ilaa ‘Im Ushuul al-Faqh, 1959, hlm. 417
[26]  Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyrii’ al-Islami, 1964, hlm. 131
[27]  Ahmad Azhar Basyi, Op..Cit., hlm. 28-31.
[28]  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum dalam Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm. 4
[29]  Ibid.
[30] Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh “al-maslahat al-mursalah” adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh al-Syari’ sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar’i yang menyatakan keberadaannya atau keharusan meninggalkannya. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Al-Majlis al-A’la al-Indonesi li al-Da’wat al-Islamiyyyat, Jakarta, 1972, hlm. 84
[31] Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyri’ al-Mukhatalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Mu’assasat al-Risalat, Cet. 1, 1399 H / 1979. M, hlm. 221
[32] Dalam karangan al-Syathibi, al-I’Tisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil, Op.,Cit, hlm. 142
[33] Al-Ghazali, al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Jilid II,  Sayyyid al-Husein, Kairo, tt, hlm. 364-367
[34]  Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 117
[35]  Al-Ghazali, Op., Cit., hlm. 310
[36]  Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi’ah, Op., Cit., hlm. 222

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini