Tanpa terasa waktu terus
berganti dan berganti dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke
hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dari tahun lalu menghantarkan kita ke
tahun ini, dari bulan Dzulhijjah ke bulan Muharram sehingga
membawa kita dari melenium ke-2 memasuki melenium ke-3, dari abad 20 memasuki
abad 21, dan pergantian itu tanpa suara kereta waktu terus bergulir membawa
kita, dentang kedatangan tahun baru Hijriyah telah bergema seiring munculnya
tanggal 1 Muharram.
Dalam menyongsong rutinitas
sehari-hari, terkadang manusia lengah akan perputaran waktu, sehingga waktu
berlalu begitu saja tanpa disadari. Semua tentu bergulir otomatis apa adanya
menuju ke tahun berikutnya dengan meninggalkan sejuta kenangan yang ada pada
tahun sebelumnya. Ketika momentum tahun baru Hijriyah datang menyapa umat
Islam, seolah-olah mereka tersentak sadar betapa berharganya waktu dan
miskinnya makna yang telah dirajut selama setahun yang silam.
Rasulullah SAW. dalam
hadistnya pernah mengingatkan umat Islam betapa pentingnya waktu untuk digunakan
semaksimal mungkin. Terhadap dimensional
waktu, secara obyektivitas orang-orang barat mengibaratkan waktu itu adalah
emas. Filusuf Perancis Henry Bergson mengatakan ada 2 macam waktu:
Pertama, waktu
kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan
dibagi-bagi. Dalam konsep ini, ia menganalisis
waktu waktu dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang homogeny, seperti
melenium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit dan detik.
Inilah waktu yang berada pada tataran dimensi objektif-fisis. Dalam
istilah Perancisnya, Bergson menyebutnya sebagai tems, waktu yang
digunakan secara umum dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Dari sinilah
terasa akan sebuah pengalaman yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini
yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang banal
dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh
mayoritas manusia.
Kedua, waktu kualitatif
yang tidak ada hubungannya dengan ruang (tempat) bersifat kontinuitas dan
mengalir terus-menerus tak terbagi. Waktu jenis ini terkait dengan perasaan dan
kesadaran, aspek psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis.
Bergson menamakannya dengan durre, yang berarti lamanya waktu yang
digunakan manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita seringkali
bersentuhan dengan waktu kualitatif tersebut yang dinamakan dengan pengalaman eksistensial
yakni pengalaman yang dirasakan oleh aspek mental, emosional, bahkan menyentuh ranah sukma spiritual kita yang
terpendam.
Sedangkan menurut Filusuf
Jerman Martin Heidegger ada 2 macam waktu; yaitu waktu objektif dan waktu
subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang digunakan oleh kronometer,
alat pengukur waktu, seperti arloji, kelender dan berbagai petunjuk waktu
secara umum. Sedangkan waktu subjektif adalah waktu yang dialami oleh orang
perorangan secara individual. Jika waktu objektif berada di luar sana yang
dirasakan sama oleh manusia secara umum, maka waktu secara subjektif berada di
dalam sini, yang dirasakan secara unik oleh setiap pribadi dan berbeda antara
seorang dengan orang yang lain.
Secara objektif orang
memandang waktu sehari semalam adalah 24 jam, namun durasinya begitu terasa
bagaikan 24 menit bagi sepasang sejoli kekasih yang sedang kencan di bawah
terik gairah asmara. Bagi orang yang berpestapora waktu 12 jam terasa begitu
cepat berlalu. Namun sangat berbeda bagi orang yang sedang sakit atau yang
sedang sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa sangat
lama.
Fakta yang sering kita
rasakan secara emperik waktu 1 jam sangat berbeda bagi yang menunggu dan yang
sedang ditunggu. Padahal ukuran waktu itu secara nilai matematis yang 24, 12,
6, 3, 1 atau ½ jam tidaklah ada bedanya, karena memang waktu itu bergulir secara
objektif di mana dan kapan pun. Albert Einstein menggambarkan pengalaman
eksistensial ini secara kontradiktif: “Jika dua jam bersama dengan gadis
yang baik, orang merasa dua menit, jika dua menit duduk di atas open panas,
orang merasa dua jam.”
Dalam konteks inilah
momentum tahun baru Islam (baca; Hijriyah) bagi umat Islam tidak boleh
hanya berhenti pada kesadaran jernih semata dalam melihat berjalannya roda
waktu secara perlahan-lahan, melainkan harus bermuara pada pertanyaan introspektif-kontemplatif;
sebagaimana yang diajarkan oleh Umar bin Khatthab:
حسبوا انفسكم
قبل أن تحسبوا وزنوا انفسكم قبل أن توزنوا
“Hitung-hitunglah
dirimu sebelum kamu dihitung, dan timbang-timbanglah dirimu sebelum ditimbang.”
Sehingga kita harus
mengadakan instropeksi terhadap diri sendiri apakah kita telah mungukir waktu
ke waktu sebelum ini dengan kebaikan atau justru bergelimang dalam kedurjanaan,
keburukan dan atau kedurhakaan? Apakah bentangan usia yang telah dilalui selama ini sudah direnda dengan puspa ragam
pesona nilai-nilai kebajikan dan ketaatan atau justru malah dirajut dengan
berbagai kelalaian, kemaksiatan dan kepongahan serta hanya sia-sia saja. Dalam
hal ini Rasulullah SAW. bersbda:
من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح.
ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه
الحاكم )
“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari
kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama
dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang
hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka"
Momentum tahun baru Islam
pada tahun ini mesti menghadirkan kegelisahan eksistensi semacam itu. Karena memang umur manusia merupakan modal
yang setiap saat selalu berkurang dan akan sia-sia bahkan mebawa celaka apabila
tidak diinvestasikan dalam pengabdian kepada Allah SWT. Waktu setahun atau
sebulan, seminggu atau sehari, sejam atau semenit bahkan sedetik yang
dihembuskan tidak akan pernah kembali
lagi, ia tidak bisa menarik kembali momen itu untuk hadir sekarang. Itu
artinya umur senantiasa berkurang seiring dengan berganti waktu, sudah berapa
banyak umur yang kita keluarkan dalam arena kehidupan selama dunia ini. Mungkin ada yang 100, 90, 80, 70,
60, 50, 40, 30, dan 20, atau hanya selama 10, 5 dan 1 tahun mengarungi lautan
waktu? Problemnya apakah umur-umur yang telah kita lalui itu akan membawa
kepada keberuntungan (pahala) atau justru membuahkan kerugian (dosa)? Bukankah sebesar apapun
modal yang dikeluarkan tentu hasil yang akan dipetik relevan dengan modal yang
diinvestasikan.
Dalam perspektif ini pula,
sesungguhnya umat Islam harus merefleksikan makna yang terkandung dalam
butir-butir mutiara tahun baru Hijriyah, sebagaimana yang telah ditentukan
kreterianya oleh Rasulullah SAW. untuk mengajak umat Islam menghargai waktu,
mumpung ada waktu, kalau bukan sekarang kapan lagi, tentunya yang dimaksud dalam
konteks nilai-nilai positif. Bukankah kalau hari ini sama dengan hari kemarin
kita tergolong menjadi orang yang merugi (maqfun); namun jika hari ini
lebih baik dari hari kemarin kita termasuk menjadi orang yang beruntung (roobih),
dengan ungkapan lain bahwa seolah-olah Rasulullah SAW. berpesan kepada umatnya:
“Today must be better than yesterday and tomorrow must be better than
today.” Dalam sebuah hadis beliau
pun bersabda:
خير الناس من
طال عمره وحسن عمله وشر الناس من طال عمره وساء عمله. (رواه طبرانى)
“Sebaik-baik
manusia orang yang panjang umurnya, dan baik perbuatannya. Dan sejelek-jelek
manusia orang yang panjang umurnya, dan buruk kelakuannya.” (HR. Thabrani)
Hijriyah
secara harfiyah diartikan dengan pindah dari suatu negeri ke negeri lain (
الجرج من
بلد اجرى ), sedangkan secara defenitif adalah
pindahnya Nabi dan umatnya dari Makkah al Mukarramah ke Madinah al
Munawwarah untuk kelangsungan dakwa Islam. Pengertian hijrah sebagaimana
defenisi tersebut tidak akan pernah akan terjadi lagi, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW:
لاهجرة بعد
الفتح ولكن جهاد ونية واذاستنفرتم فانفروا (رواه بخارى)
“Tidak akan pernah ada
hijrah pasca penaklukan kota Makkah (fath al makkah), akan tetapi yang dimaksud
hijrah setelah ini adalah jihad, dan niat. Jika kamu diminta untuk itu maka
jangan menghindar.” (HR. Bukhari)
Oleh
karena itu spirit atau makna hijrah masih relevan kita perbincangkan untuk direfleksikan
dalam kehidupan ini baik dalam kehidupan person maupun kolektif, dalam
berbangsa dan bernegara dengan moral-moral addin (agama Islam) menuju
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil dalam wadah masyarakat madani
sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. setelah kemenangan kota
Makkah yang terkenal dengan konsep “Piagam Madinah” dimana masyarakat dalam
kehidupan sosialnya bercampur baur tanpa membedakan ras, suku dan keyakinan,
hidup saling menghargai dan berdampingan dibawa payung panji kebesaran Piagam
Madinah yang langsung dimonitor oleh Nabi Muhammad SAW. selaku imamul ummah,
sebagai otoritas tertinggi kekuasaan umat Islam.
Sejalan
dengan refleksi tahun baru Islam kali ini jika dicermati dalam suasana
kehidupan umat Islam dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang harus
ditranspormasi dalam makna memperingati tahun baru hijriyah sebagai berikut:
1. Hijrah dalam kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan)
yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang muslim, dimana dalam
pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas karena Allah SWT.
tanpa dicampuri dengan anasir-anasir mengandung kemusyrikan, tahayul, khurafat
bid’ah dan keyakinan nenek moyang yang tidak ada dasar hukumnya.
Akhir-akihir ini keyakinan sebagian umat Islam telah mulai melenceng dari ruh tauhid,
orang lebih percaya kepada paranormal ketimbang ulama, percaya kepada mistisme
ketimbang qudrat dan iradat Allah SWT. percaya dengan nabi aspal
(nabi asli tapi palsu) ketimbang nabi akhiruzzaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini umat Islam harus kembali kepada tauhid yang benar yaitu Aqidah
Islamiyah. Konsep hijrah dalam kategori ini wajib didakwakan oleh segenap
umat Islam untuk meluruskan keyakinan dan aqidah mereka agar jangan tersesat.
2. Hijrah dalam kategori Fikriyah (pemikiran),
yakni pemikiran yang dilandasi dengan control wahyu ilahiyah, bukan cara
berfikir liberalisme yang menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya
memakai kekuatan akal fikiran semata, padahal tanpa disadari ternyata akal
fikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak normal, namun jika dilandasai wahyu
akal manusia akan tetap stabil, oleh karenanya tujuan hukum Islam salah satunya
dalam rangka menjamin terpeliharanya akal fikiran. Fenomena yang terjadi
sekarang orang sering hilang akal
sehatnya, sehingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya, sesungguhnya dengan hijrah
fikiriyah ini akan mengembalikan manusia sebagai makhluk yang berakal yang
terdapat dalam diri manusia yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Tuhan
yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lainnya, sekiranya manusia tidak
berakal niscaya keadaan dan perbuatannya akan sama dengan hewan .
3. Hijrah dalam kategori Syuriyah (perasaan) yang
muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis), sebagaimana yang diuraikan
sebelumnya terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis
manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis,
hanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. lewat zikir (dalam arti
luas beribadah) untuk menuju ketenangan jiwa, lupakan konsep-konsep meditasi
melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang dianggap membawa wangsit.
Dengan perasaan dan jiwa yang tenang hidup akan terasa nikmat.
4. Hijrah dalam kategori Sulukiyah (prilaku),
dalam konteks ini dimensi pengalaman sehari-hari tentunya harus diperhatikan,
betapa banyak manusia hidupnya bermasalah karena ulah tingkah lakunya yang
tidak memperhatikan moral atau akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang
dengan maksiat dan dosa, momen tahun baru ini mari kembali kepada prilaku
Islami, sementara yang telah berprilaku Islami konsisten dalam mempraktekannya.
Dari
sinilah terasa akan sebuah pengalaman (emperik) yang bersentuhan dengan
waktu kuantitatif yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu
pengalaman yang dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris
dilakoni oleh mayoritas manusia, prilaku yang Islami-lah yang akan
menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia di dunia ini.
Demikian,
yang dapat disajikan dalam tulisan singkat ini, semoga bermamfaat adanya, dan
akhir tulisan ini dapat penulis simpulkan, hakikat hijrah sesungguhnya adalah;
hijrah dari perbuatan jelek kepada yang lebih baik, hijrah dari salah menuju
kebenaran, hijrah dari sifat negatif menuju sifat positif, dan hijrah dari
perbuatan bathil menuju perbuatan yang haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini