Kamis, 07 Juli 2011

REFLEKSI MAKNA TAHUN BARU HIJRIYAH DALAM KEHIDUPAN

            Tanpa terasa waktu terus berganti dan berganti dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dari tahun lalu menghantarkan kita ke tahun ini, dari bulan Dzulhijjah ke bulan Muharram sehingga membawa kita dari melenium ke-2 memasuki melenium ke-3, dari abad 20 memasuki abad 21, dan pergantian itu tanpa suara kereta waktu terus bergulir membawa kita, dentang kedatangan tahun baru Hijriyah telah bergema seiring munculnya tanggal 1 Muharram.
Dalam menyongsong rutinitas sehari-hari, terkadang manusia lengah akan perputaran waktu, sehingga waktu berlalu begitu saja tanpa disadari. Semua tentu bergulir otomatis apa adanya menuju ke tahun berikutnya dengan meninggalkan sejuta kenangan yang ada pada tahun sebelumnya. Ketika momentum tahun baru Hijriyah datang menyapa umat Islam, seolah-olah mereka tersentak sadar betapa berharganya waktu dan miskinnya makna yang telah dirajut selama setahun yang silam.
Rasulullah SAW. dalam hadistnya pernah mengingatkan umat Islam betapa pentingnya waktu untuk digunakan semaksimal  mungkin. Terhadap dimensional waktu, secara obyektivitas orang-orang barat mengibaratkan waktu itu adalah emas. Filusuf Perancis Henry Bergson mengatakan ada 2 macam waktu:
Pertama, waktu kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan dibagi-bagi. Dalam konsep ini,  ia menganalisis waktu waktu dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang homogeny, seperti melenium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit dan detik. Inilah waktu yang berada pada tataran dimensi objektif-fisis. Dalam istilah Perancisnya, Bergson menyebutnya sebagai tems, waktu yang digunakan secara umum dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Dari sinilah terasa akan sebuah pengalaman yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang banal dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas manusia.
Kedua, waktu kualitatif yang tidak ada hubungannya dengan ruang (tempat) bersifat kontinuitas dan mengalir terus-menerus tak terbagi. Waktu jenis ini terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis. Bergson menamakannya dengan durre, yang berarti lamanya waktu yang digunakan manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita seringkali bersentuhan dengan waktu kualitatif tersebut yang dinamakan dengan pengalaman eksistensial yakni pengalaman yang dirasakan oleh aspek mental, emosional, bahkan  menyentuh ranah sukma spiritual kita yang terpendam.
Sedangkan menurut Filusuf Jerman Martin Heidegger ada 2 macam waktu; yaitu waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang digunakan oleh kronometer, alat pengukur waktu, seperti arloji, kelender dan berbagai petunjuk waktu secara umum. Sedangkan waktu subjektif adalah waktu yang dialami oleh orang perorangan secara individual. Jika waktu objektif berada di luar sana yang dirasakan sama oleh manusia secara umum, maka waktu secara subjektif berada di dalam sini, yang dirasakan secara unik oleh setiap pribadi dan berbeda antara seorang dengan orang yang lain.
Secara objektif orang memandang waktu sehari semalam adalah 24 jam, namun durasinya begitu terasa bagaikan 24 menit bagi sepasang sejoli kekasih yang sedang kencan di bawah terik gairah asmara. Bagi orang yang berpestapora waktu 12 jam terasa begitu cepat berlalu. Namun sangat berbeda bagi orang yang sedang sakit atau yang sedang sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa sangat lama.
Fakta yang sering kita rasakan secara emperik waktu 1 jam sangat berbeda bagi yang menunggu dan yang sedang ditunggu. Padahal ukuran waktu itu secara nilai matematis yang 24, 12, 6, 3, 1 atau ½ jam tidaklah ada bedanya, karena memang waktu itu bergulir secara objektif di mana dan kapan pun. Albert Einstein menggambarkan pengalaman eksistensial ini secara kontradiktif: “Jika dua jam bersama dengan gadis yang baik, orang merasa dua menit, jika dua menit duduk di atas open panas, orang merasa dua jam.”
Dalam konteks inilah momentum tahun baru Islam (baca; Hijriyah) bagi umat Islam tidak boleh hanya berhenti pada kesadaran jernih semata dalam melihat berjalannya roda waktu secara perlahan-lahan, melainkan harus bermuara pada pertanyaan introspektif-kontemplatif; sebagaimana yang diajarkan oleh Umar bin Khatthab:
حسبوا انفسكم قبل أن تحسبوا وزنوا انفسكم قبل أن توزنوا
“Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung, dan timbang-timbanglah dirimu sebelum ditimbang.”
Sehingga kita harus mengadakan instropeksi terhadap diri sendiri apakah kita telah mungukir waktu ke waktu sebelum ini dengan kebaikan atau justru bergelimang dalam kedurjanaan, keburukan dan atau kedurhakaan? Apakah bentangan usia yang telah dilalui  selama ini sudah direnda dengan puspa ragam pesona nilai-nilai kebajikan dan ketaatan atau justru malah dirajut dengan berbagai kelalaian, kemaksiatan dan kepongahan serta hanya sia-sia saja. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersbda:
من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم )
“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka"
Momentum tahun baru Islam pada tahun ini mesti menghadirkan kegelisahan eksistensi semacam itu.  Karena memang umur manusia merupakan modal yang setiap saat selalu berkurang dan akan sia-sia bahkan mebawa celaka apabila tidak diinvestasikan dalam pengabdian kepada Allah SWT. Waktu setahun atau sebulan, seminggu atau sehari, sejam atau semenit bahkan sedetik yang dihembuskan tidak akan pernah kembali  lagi, ia tidak bisa menarik kembali momen itu untuk hadir sekarang. Itu artinya umur senantiasa berkurang seiring dengan berganti waktu, sudah berapa banyak umur yang kita keluarkan dalam arena kehidupan selama  dunia ini. Mungkin ada yang 100, 90, 80, 70, 60, 50, 40, 30, dan 20, atau hanya selama 10, 5 dan 1 tahun mengarungi lautan waktu? Problemnya apakah umur-umur yang telah kita lalui itu akan membawa kepada keberuntungan (pahala) atau justru membuahkan  kerugian (dosa)? Bukankah sebesar apapun modal yang dikeluarkan tentu hasil yang akan dipetik relevan dengan modal yang diinvestasikan.
Dalam perspektif ini pula, sesungguhnya umat Islam harus merefleksikan makna yang terkandung dalam butir-butir mutiara tahun baru Hijriyah, sebagaimana yang telah ditentukan kreterianya oleh Rasulullah SAW. untuk mengajak umat Islam menghargai waktu, mumpung ada waktu, kalau bukan sekarang kapan lagi, tentunya yang dimaksud dalam konteks nilai-nilai positif. Bukankah kalau hari ini sama dengan hari kemarin kita tergolong menjadi orang yang merugi (maqfun); namun jika hari ini lebih baik dari hari kemarin kita termasuk menjadi orang yang beruntung (roobih), dengan ungkapan lain bahwa seolah-olah Rasulullah SAW. berpesan kepada umatnya: “Today must be better than yesterday and tomorrow must be better than today.”  Dalam sebuah hadis beliau pun bersabda:
خير الناس من طال عمره وحسن عمله وشر الناس من طال عمره وساء عمله. (رواه طبرانى)
“Sebaik-baik manusia orang yang panjang umurnya, dan baik perbuatannya. Dan sejelek-jelek manusia orang yang panjang umurnya, dan buruk kelakuannya.” (HR. Thabrani)
Hijriyah secara harfiyah diartikan dengan pindah dari suatu negeri ke negeri lain ( الجرج من بلد اجرى ), sedangkan secara defenitif adalah pindahnya Nabi dan umatnya dari Makkah al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah untuk kelangsungan dakwa Islam. Pengertian hijrah sebagaimana defenisi tersebut tidak akan pernah akan terjadi lagi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
لاهجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية واذاستنفرتم فانفروا (رواه بخارى)
“Tidak akan pernah ada hijrah pasca penaklukan kota Makkah (fath al makkah), akan tetapi yang dimaksud hijrah setelah ini adalah jihad, dan niat. Jika kamu diminta untuk itu maka jangan menghindar.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu spirit atau makna hijrah masih relevan kita perbincangkan untuk direfleksikan dalam kehidupan ini baik dalam kehidupan person maupun kolektif, dalam berbangsa dan bernegara dengan moral-moral addin (agama Islam) menuju masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil dalam wadah masyarakat madani sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. setelah kemenangan kota Makkah yang terkenal dengan konsep “Piagam Madinah” dimana masyarakat dalam kehidupan sosialnya bercampur baur tanpa membedakan ras, suku dan keyakinan, hidup saling menghargai dan berdampingan dibawa payung panji kebesaran Piagam Madinah yang langsung dimonitor oleh Nabi Muhammad SAW. selaku imamul ummah, sebagai otoritas tertinggi kekuasaan umat Islam.
Sejalan dengan refleksi tahun baru Islam kali ini jika dicermati dalam suasana kehidupan umat Islam dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang harus ditranspormasi dalam makna memperingati tahun baru hijriyah sebagai berikut:
1.    Hijrah dalam kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan) yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang muslim, dimana dalam pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas karena Allah SWT. tanpa dicampuri dengan anasir-anasir mengandung kemusyrikan, tahayul, khurafat bid’ah dan keyakinan nenek moyang yang tidak ada dasar hukumnya. Akhir-akihir ini keyakinan sebagian umat Islam telah mulai melenceng dari ruh tauhid, orang lebih percaya kepada paranormal ketimbang ulama, percaya kepada mistisme ketimbang qudrat dan iradat Allah SWT. percaya dengan nabi aspal (nabi asli tapi palsu) ketimbang nabi akhiruzzaman Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini umat Islam harus kembali kepada tauhid yang benar yaitu Aqidah Islamiyah. Konsep hijrah dalam kategori ini wajib didakwakan oleh segenap umat Islam untuk meluruskan keyakinan dan aqidah mereka agar jangan tersesat.
2.    Hijrah dalam kategori Fikriyah (pemikiran), yakni pemikiran yang dilandasi dengan control wahyu ilahiyah, bukan cara berfikir liberalisme yang menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya memakai kekuatan akal fikiran semata, padahal tanpa disadari ternyata akal fikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak normal, namun jika dilandasai wahyu akal manusia akan tetap stabil, oleh karenanya tujuan hukum Islam salah satunya dalam rangka menjamin terpeliharanya akal fikiran. Fenomena yang terjadi sekarang  orang sering hilang akal sehatnya, sehingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi  ambisinya, sesungguhnya dengan hijrah fikiriyah ini akan mengembalikan manusia sebagai makhluk yang berakal yang terdapat dalam diri manusia yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Tuhan yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lainnya, sekiranya manusia tidak berakal niscaya keadaan dan perbuatannya akan sama dengan hewan .
3.    Hijrah dalam kategori Syuriyah (perasaan) yang muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis), sebagaimana yang diuraikan sebelumnya terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis, hanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT. lewat zikir (dalam arti luas beribadah) untuk menuju ketenangan jiwa, lupakan konsep-konsep meditasi melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang dianggap membawa wangsit. Dengan perasaan dan jiwa yang tenang hidup akan terasa nikmat.
4.    Hijrah dalam kategori Sulukiyah (prilaku), dalam konteks ini dimensi pengalaman sehari-hari tentunya harus diperhatikan, betapa banyak manusia hidupnya bermasalah karena ulah tingkah lakunya yang tidak memperhatikan moral atau akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang dengan maksiat dan dosa, momen tahun baru ini mari kembali kepada prilaku Islami, sementara yang telah berprilaku Islami konsisten dalam mempraktekannya. Dari sinilah terasa akan sebuah pengalaman (emperik) yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas manusia, prilaku yang Islami-lah yang akan menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia di dunia ini.
Demikian, yang dapat disajikan dalam tulisan singkat ini, semoga bermamfaat adanya, dan akhir tulisan ini dapat penulis simpulkan, hakikat hijrah sesungguhnya adalah; hijrah dari perbuatan jelek kepada yang lebih baik, hijrah dari salah menuju kebenaran, hijrah dari sifat negatif menuju sifat positif, dan hijrah dari perbuatan bathil menuju perbuatan yang haq.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini