A. PENDAHULUAN
Transformasi
pemikiran dan ijtihad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya dalam kajian Hukum Islam ataupun Ilmu Ushul Fiqh, karena
memang kajian ilmu ini merupakan suatu
pengkajian tentang metode yang digunakan dalam menggali dan menetapkan
hukum syar’i dari nash. Dengan demikian berarti merupakan kumpulan
kaidah metodologis yang titik beratnya menjelaskan tentang tata cara mengambil
hukum dari dalil-dalil syara’ termasuk di dalamnya kajian tentang istimbath
dan ijtihad. Kajian ini sangat kursial dalam pembahasan metode ijtihad
(penemuan hukum), karena melalui kajian ini seseorang mujtahid akan
mengetahui bagaimana tata cara mempergunakan dalil dan mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya
serta ketentuan umum yang ditempuh dalam menetapkan hukum dan tujuan menetapkan
hukum bagi subyek hukum (mukallaf).
Sebagaimana
yang diketahui bahwa dalam penetapan hukum
banyak dijumpai tentang dalill-dalil yang dipergunakan dalam penetapan
hukum, urutan-urutan dalil dan sebagainya. Demikian pula halnya ketika seorang
Mujtahid membicarakan tentang penggalian hukum diungkapkan mengenai tujuan
penetapan hukum. Khitab Allah yang mengandung ketentuan hukum merupakan
aturan dasar yang bersifat garis besarnya saja.
Khitab Allah SWT.
merupakan aturan yang mengatur segenap pebuatan orang dewasa (mukallaf)
di muka bumi ini tentu ada aturan dasarnya. Jika tidak ditemukan secara jelas
dan pasti aturan dasar itu tentu akan ditemukan apa yang tersirat dibalik khitab
Allah itu, seandainya juga tidak ditemukan dari yang tersirat itu akan ditemukan
dalam kandungan maksud Allah dengan menggunakan metodologi pengalian hukum atau
yang dikenal dalam istilah terminologi hukum Islam dengan “Metode Istimbath
Hukum Islam”. Selanjutnya khitab Allah SWT. itu yang umumnya bersifat
aturan dasar, bersifat umum dan garis besar, agar ketentuan itu dapat
dilaksankan secara jelas dan praktis,
maka diperlukan kecerdasan akal yang populer dalam istilah terminologi hukum Islam dengan “Metode
Ijtihad”.
Dalam
realitas kehidupan hukum umat Islam penggalian dan perumusan (penemuan hukum)
yang telah dilakukan oleh imam mujtahid terkadang tanpak menimbulkan perbedaan (ikhtilaf)
bahkan tidak jarang menimbulkan umat Islam saling perang urat saraf, di sisi
lain kenyataanya kelihatan pula umat Islam anti terhadap perpecahan sehingga
tidak heran ada sebagian umat Islam menutup rapat-rapat pintu ijtihad dan cukup
berpegang dengan hasil ijtihad imam-imam terdahulu sehingga memunculkan dalam
dunia Islam sifat terpaku, mengikut dan statis (taqlid). Akibatnya
keadaan Hukum terasa kaku dan tidak mampu mejawab kebutuhan hukum umat itu
sendiri seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Namun yang
jelas kebutuhan umat Islam akan sebuah ketentuan hukum sangat diperlukan
relevan dengan berkembang ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk mengikuti
perkembangan zaman. Pada tataran lain bahwa bukan hukum Islam itu yang kaku,
tapi fiqh itu yang telah usang, oleh karena itu perlu adanya ijtihad dalam
usaha penggalian hukum sejalan dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana
yang penulis singgung di atas ternyata ijtihad tidak dapat dipisahkan terlebih
jika dilihat dalam konteks kekinian terutama jika dikaitkan dengan upaya
aktualisasi ajaran Islam yang bertujuan untuk mengasilkan pemikiran baru.
Makalah ini akan mencoba untuk menguraikan tentang kebutuhan ijtihad tersebut dan bentuknya.
B. TINJAUAN
UMUM TENTANG IJTIHAD
1. Pengertian
Ijtihad.
Secara
etimologis ijtihad berakar pada kata (ج - ه
- د ) yang berarti “kesulitan atau kesusahan.”[1]
Dari sudut ilmu sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti timbangan (se-wazan)
(افتعال ) yang menunjukan arti
“berlebih” (mubalaghah) dalam melaksanakan suatu perbuatan.[2]
Jadi segi bahasa arti ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala
kesungguhan atau upaya mengerahkan seluruh kemampuan intelektual dan potensi untuk sampai pada suatu perkara
atau perbuatan. Rumusan singkatnya berijitihad bukanlah kegiatan yang mudah
atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga
dan daya pikir yang maksimal.
Secara
terminologis ijtihad menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang
ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum
yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperici.[3]
Abdul Wahab Khallaf mendefnisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk
sampai kepada hukum syara’ dan dalil yang terinci, dengan sumber dari
dalil-dalil syara’.[4]
Muhammad Musa Tuwana juga memberikan defenisi yakni dalam pengerahan segala
upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara’ yang berstatus cabang
dari dalil-dalilnya.[5]
Sedangkan
ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki
untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau
mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah. Adapun Ijtihad dalam
bidang putusan hakim (qadh’) adalah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan
mengistinbathkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.[6]
2. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqahak
boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang
terdapat dalam nash Al-Quran. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu motode
untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad
banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat.[7].
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT.
QS. An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[8]
Dari ayat
tersebut dapat dipahami kobolehan melakukan ijihad dalam suatu persoalan yang
mungkin dalam fonomena kehidupan masyarakat dengan mengacu kepada aturan Allah
dan Rasul-Nya. Dan adanya keterangan hadis, yang mombolehkan berijtihad di
antaranya, hadis yang diriwayatkan oleh Umar ra:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم ثم اخطاء فله اجر
Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala.[9]
3. Syarat-syarat
Ijtihad
Mujtahid
mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan
rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya.
Sehingga hukum yang dihasilkannya merupakan hukum yang benar. Karena itu
seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang
memberikan syarat yang sangat banyak dan ada yang hanya menentukan beberapa
syarat saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat
tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah:[10]
1. Mengetahui
Al-Quran, As-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. Mengetahui
maqasid syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
3. Mengetahui
turuq al istitinbath Ushul Fiqh, metode menemukan hukum dan menerapkan
hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
4. Memiliki
akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Melihat
syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, masih obyektifkah kita untuk
menerapkan syarat-syarat yang demikian itu, dan sudah seharusnya direkonstruksi syarat yang demikian berat
karena situasi dan kondisi yang berbeda dan berubah.
4. Tata Cara Berijtihad.
Pada
prinsipnya ada tiga macam cara dalam melakukan berijtihad untuk menemukan
hukum, yaitu:[11]
1.
Dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik)
seperti kemungkinan-kemungkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata,
pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainnya.
2.
Dengan menggunakan kaidah-kaidah qiyas (analogi) dengan
memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan ilat hukum.
3.
Dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syariah. Untuk
ini sangat menentukan kaida-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah
Fiqiyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.
5. Metode-metode
Dalam Berijtihad
Sebagaimana
yang telah dikenal bahwa sumber hukum itu jika diurutkan adalah Al-Quran,
As-Sunnah dan Ijtihad. Kemudian ijma’, qiyas, istihsan, masalahah mursalah,
‘uruf, istishab, dan lainnya digunakan dan ditempatkan sebagai metode
sumber hukum Islam dalam lapangan ijtihad. Metode dan pengertian secara
singkat diuraikan sebagai berikut :
1. Ijtihad.
Ijtihad
beserta seluruh derivasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan upaya untuk
mencari dan atau penemuan hukum, atau dengan kata lain pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum
sesuatu dalil syara’. Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan
digunakan bahkan banyak para fuqahak yang menegaskan bahwa ijtihad itu
bisa dilakukan di bidang fiqh.[12] Sehubungan dengan hal tersebut, kenyataan
menunjukan bahwa ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang yakni mencakup
akidah, muamalah dan filsafat, namun lebih spesifik adalah dalam bidang fiqh,
namun yang menjadi pesoalannya adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad.
2. Istihsan.
Istihsan
adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.[13]
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum
yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia dan lain-lain. Menurut
Abu Zahroh istihsan banyak dipergunakan oleh
Abu Hanifah dalam fiqhnya. Walaupun Abu Hanifah banyak menetapkan hukum
dengan istihsan tetapi ia tidak pernah menjelakan pengertian dan rumusan dari
istihsan yang dilakukannya itu.[14]
3. Al-Mashlahah
al-Mursalah.
Al
Mashlahah adalah lafaz al-mamfaat artinya baik, dengan demikian
al-Mashlahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai
dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalanya.[15]
Menurut Al-Syatibi mengakui bahwa kaidah istihsan menurut Imam Malik
berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syariat.[16]
Dengan demikian dalam konsep ini Imam Malik adalah mengutamakan tujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya, inilah yang
dimaksud dengan istislah atau al-Mashlahah al-Mursalah. Para ulama dari
golongan Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang
kepada istislah, kecuali Imam Malik.
4. Istishhab.
Istishhab
ditinjau dari segi bahsa berrati persahabatan dan kelanggengan persahabatan.[17]
Menurut ulama Ushul Fiqh adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan keadaan atau menjaadikan
hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menuurt keadaanya
sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Ulama Hanafiah menetapkan
bahwa istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk
menetapkan apa-apa., merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan
semula dan juga mempertahanakan sesuatu yang berbeda sampa ada dalil yang
menetapkan atas perbedaannya. Ulama Mazhab Syafe’i dan Hanbali menggunannya
secara mutlak, sedangkan ulama Mazhab Hanafi dan Maliki memakai terbatas pada
hal yang bersifat penolakan bukan yang bersifat menetapan.
5. ‘Urf.
‘Urf
secara harfiah adalah suatu keadaan,
ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi
tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat
‘Urf ini sering disebut sebagai adat.[18]
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri, pada umumnya
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukkan hukum
dan penfsiran beberapa nash.
6. Dzari’ah.
Dzari’ah dari segi bahasa jalan sesuatu. Pengertian
Sadd Adz-Dzari’ah menurut Imam Asy-Syatibi adalah melaksanakan suatu pekerjaan
yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).[19]
Di kalangan ulama Ushul Fiqh terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
kehujjahan Dzariah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerimanya sebagai salah satu dalil syara’, dalam masalah-masalah tertentu
saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain, sedangkan Imam Syafi’i
menerimanya apabila dalam keadaan unzur.
7. Mazhab
Shahaby.
Sahabat
adalah orang-orang yang betemu Rasullah SAW yang langsung menerima risalahnya
dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari Rasul sendiri. Oleh karena itu
Jumhur Ulama telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah
sesuadah dalil-dali nash.[20] Dari uraian itu tidak diragukan bahwa
pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama
dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal, Abu Hanifah tidak memandang bahwa
pendapat seorang sahabat itu sebagi hujjah, begitu juga halnya Imam
Syafi’i bahkan beliau memperkenankan untuk menentang secara keseluruhan dan
melakukan ijtihad.
8. Syariat
Min Qoblina.
Al-Quran
atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada
umat yang dahulu melalui para Rasullah kemudian nash tersebut diwajibkan kepada
kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa
syariat tersebut ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk
diikuti, seperti firman Allah STW dalam QS al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[21]
Syariat
terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah
disepakati para ulama. Namun diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu
tidak terdapat dalil yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan pada kita
sebagaimana diwajibkan pada mereka.
Jumhur ulama Hanafiah sebagian ulama Malikiyah dan Safiyah berpendapat
bahwa hukum tersebut itu disyariatkan juga kepada kita dan kita wajib mengikuti
dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta
tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya.[22]
C. IJTIHAD
MASA MODOREN
1. Transpormasi
Makna Ijtihad
Jika dilihat
pengertian ijtihad yang diberikan oleh para ulama Ushul Fiqh (baca:
bukan kontemporer), ternyata mereka membatasi ruang lingkup ijtihad kepada
persoalan hukum saja. Seseorang yang melakukan pengakajian di luar bidang hukum
Islam tidak disebut sebagai mujtahid. Pengertian tersebut terlalu jauh
melangkah dari pengertian atau makna ijtihad sesungguhnya. Sebab pengkajian
yang dilakukan oleh para mujtahid dalam disiplin ilmu hukum tidak berbeda
dengan pengakajian yang dilakukan oleh mujtahid dalam disiplin ilmu lain.
Mereka juga membutuhkan pengerahan daya upaya untuk mendapatkan hasil kajian
yang mapan dan benar, sebagaimana yang dibutuhkan oleh ulama-ulama yang
bergerak dalam disiplin ilmu hukum Islam.[23]
Oleh karena
itu sebaiknya pengertian ijtihad dikembalikan kepada pengertian etimologisnya,
yakni segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum
maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf,
yang semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad. Dengan demikian, orang yang
terjun ke dalam pengakajian tersebut, dikategorikan sebagai mujtahid. Kalaulah
pengertian ijtihad disepadankan dengan pengertian transpormasi pemikiran bahwa
ijtihad dikemukakan terdahulu, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan bagian
dari transformasi pemikiran. Seorang mujtahid tidak mutlak menjadi seorang
tokoh transpormasi, tetapi seorang tokoh transpormasi tergolong mujtahid. Oleh
karena itu, ijtihad mempuyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya
transpormasi pemikiran.
Mempertegas
perbedaan antara ijtihad dengan
transpormasi pemikiran. DR. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa ijtihad
lebih ditekakan dalam bidang pemikiran yang bersifat ilmiah, sedangkan
transpormasi pemikiran meliputi bidang pemikiran, sikap mental, dan perilaku
atau tindakan manusia yang meliputi bidang iman, ilmu, dan amal.[24]
Dewasa ini dunia Islam sudah sangat memerlukukan adanya mujtahid dan mujaddid
yang profesional. Sebab, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan inovasi di
segala bidang, sedangkan nash-nash Al Quran dan Al Hadis tidak menerangan
segala persoalan secara tekstual. Dalam keadaan seperti itu, sangat dibutuhkan
pemikiran yang bersih dan penuh kesungguhan untuk mengembalikan tatanan
kehidupan yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Persoalan
yang tidak memiliki dasar hukum, misalnya masalah bayi tabung, sewa rahim, bank
sprema, dan bursa efek. Sedangkan dalam persoalan yang sudah meiliki dasar
hukum, tetapi di dalamnya masih timbul problema baru yang rumit seperti
kepemimpinan wanita, hakim wanita, riba dan bunga bank, potong tangan bagi
pencuri, vasektomi dan tubektomi, tetap diperlukan hasil pemikiran. Secara
makro ijtihad merupakan sub transpormasi pemikiran, yang mempunyai arah dan
tujuan untuk mengantisipasi segala persoalan sosial-kemasyarakatan yang muncul
dalam dunia Islam sehingga eksistensi universalitas, kedinamisan, dan keluwesan
hukum Islam tetap dapat dipertahanakan.
Dalam
supremasi IPTEK dewasa ini, keahlian dalam ilmu tetentu sangat dibutuhkan dalam
perkembangan kebutuhan manusia dewasa ini. Seorang ulama atau ilmuwan, tidak
mungkin lagi menguasai pelbagai disiplin ilmu yang ada. Namun yang terpenting
adalah seorang mujtahid harus mengetahui masalah yang dihadapinya dan didukung
oleh pengetahuan yang dia miliki tentang masalah yang dihadapinya itu.
Misalnya, seorang yang berijtihad dalam masalah ekonomi harus ahli dibidang
ekonomi. Demikian pula dalam bidang kedoketeran, bidang politik dan lain-lain.
Syarat kehlian tertentu justru berkaitan dengan kualitas pribadi seorang
mujtahid yang profesinal.
Kompeleksitas
masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk
berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad. Pada dasarnya masalah-masalah yang
dihadapi itu telah ada dalam Al Quran dan Al Hadis. Tetapi, ada yang dijelaskan
secara tegas dan ada yang dijelaskan secara global, karenanya masih memerlukan
penalaran secara lebih mendalam. Permasalahan yang dihadapi umat Islam
diberbagai tempat bersifat kasustik, artinya tidak semua persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam suatu tempat sama dengan permasalahan umat Islam di
tempat lain.
2.
Bentuk
Ijtihad Zaman Moderen
Dengan
demikian, pentingnya pemakaian ijtihad yang cocok dengan situasi dan kondisi
setempat, seperti bentuk-bentuk ijtihad di bawah ini:
1. Ijtihad
Intiqa’i.[25]
Di
dalam Al Quran dan Al Hadis telah disebutkan patokan-patokan dasar ajaran
Islam. Patokan itu memberikan petunjuk bahwa Al Quran dan Al Hadis ada yang
bersifat absolut, ada yang bersifat relative. Keberadaan nash yang mayoritas
bersifat relatif merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat para
ulama dalam memahami maknanya, sehingga hampir semua masalah keagamaan tidak
terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat.
Para
ulama terdahulu telah memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, bukan
berarti bahwa apa yang mereka tetapkan atau hasilkan delam bentuk ijtihad itu,
adalah suatu ketetapan yang final untuk sepanjang masa. Tetapi perlu ditilik
kembali apakah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Sedangkan para mujtahid
sekarang dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara
pendapat-pendapat itu dan diteliti dalil-dalil yang dijadikan landasan.
Upaya
tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu kita, malainkan di
transpormasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Kita tidak bisa berkomitmen
dalam suatu mazhab atau pendapat, melainkan kita harus meneliti secara
keseluruhan, agar bisa mendapatkan ketetapan yang kuat menurut pandangan kita
sekarang dan lebih sesuai dengan realitas masalah umat Islam.[26]
2. Ijtihad
Insya’i.[27]
Ijtihad
ini sangat diperlukan karena berbagai permasalahn yang timbul dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sekarang yang pernah terbetik dalam
hati para mujtahid terdahulu seperti organ tubuh, donor mata, inseminasi
buatan, dan sebagainya. Masalah-masalah ini
raib dari pembahasan fiqh klasik dan semuanya memerlukan pemecahan
secara ijtihad.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta globalisasi dunia telah banyak membawa
pengaruh perubahan pola pikir dan sikap
hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi ciri utama masyarakat moderen
membuat praktik-praktik ilmu fiqh kurang mampu lagi menjawab permasalah baru
tersebut, bahkan kadangkala fiqh kaku berhadapan dengan zaman kekinian.
3. Ijtihad
Komparatif.
Ijtihad
komparatif ialah mengabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqai dan isnya’i).
Dengan demikian di samping untuk menguatkan atau mengkopromikan beberapa
pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih
sesuai dengan tuntunan zaman.
Pada
dasarnya hasil ijtihad yang dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya
agung tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan
ijtihad baru. Karena itu, diperlukan kemampuan memngutak-atik hasil sebuah
ijtihad, dengan jalam menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.
D. KESIMPULAN.
Dari uraian
di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengertian
ijtihad perlu dikembalikan kepada pengertian etimologisnya, yakni segala daya
upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu
lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf, yang semuanya itu
dikategorikan sebagai ijtihad.
2. Kompeleksitas
masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk
berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad.
3. Ijtihad
yang cocok dengan situasi dan kondisi setempat, seperti bentuk-bentuk ijtihad :
ijtihad Intiqa’i, ijtihad insya’i,i ijtihad komparatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis
al-Lughah, Juz 1, Dar al-Fikr li al Thaba’ah wa al Nasyr, Bairut, 1979.
Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, al-Majlis
al-A’la al-Indonesi li al-Da’wah al-Islamiyah, Jakarta, 1972.
Al-Syatibi, al-Muwafaqat
Fi Ushul al-Ahkam, Juz IV Dar al-Fikri.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa
Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain
Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy
Syarif, 1412 H.
Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukaramah al-Anshari, Lisan al-‘Arab,
Dar al-Mishr (tt), juz XX,
Iskandar Usaman, Istihsan dan Pembahauan hokum Islam, cet.
Pertama, 1994, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Idris
al-Marbawi, Qamus al-Marbawi, Dar al-Fikr, Mesir, (tt), juz I.
Khairul Umam,
dkk, Ushul Fiqih II, cet. II, 2001, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Muhammad Abu Zahroh, Ushul al Fiqh, alih bahasa Sefullah
Ma’shum, ddk, cetakan keenam, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 2000.
Muhammad Musa Tuwana, al-Ijtihad wa Madza Hajatina ilaihi fit
Hadzin al-‘Ashr, Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, 1972.
Muhammad Madani dan Mu’inuddddin Qadir, Dasar Pemikiran Hukum Islam (Taqlid Ijtihad), terj.
Hussein Muhammad dari tiga tulisan yang berbeda dalam bahasa Arab, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1987.
Rachmat
Syafe’i, Ushul Fiqih, cet I, 1999, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fiy al-Syari’ah al-Islamiyah ma’a
Na-Zharah Tahliliyah fiy al-Ijtihad al-Mu’ashir, terj. Ahmad Syathori, Ijtihad
dalam Syariat Islam, Bualn Bintang, Jakarta, 1987.
Footnote:
[1]
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah,
Dar al-Fikr li al Thaba’ah wa al Nasyr, Bairut, 1979, juz 1, hlm. 486
[2]
Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fiy al-Syari’ah al-Islamiyah ma’a Na-Zharah
Tahliliyah fiy al-Ijtihad al-Mu’ashir, terj. Ahmad Syathori, Ijtihad
dalam Syariat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hlm. 1
[3]
Muhammad Abu Zahroh, Ushul al Fiqh, alih bahasa Sefullah Ma’shum, ddk,
cetakan keenam, 2000, Pustaka Firdaus,
Jakarta, hlm.567
[4]
Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, al-Majlis al-A’la al-Indonesi
li al-Da’wah al-Islamiyah, Jakarta, 1972, hlm. 216
[5]
Muhammad Musa Tuwana, al-Ijtihad wa Madza Hajatina ilaihi fit Hadzin
al-‘Ashr, Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, 1972, hlm. 98
[6]
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, cet. II, 2001, CV. Pustaka Setia,
Bandung, hlm. 131
[7] Rachmat Syafe’i, Ushul Fiqih, cet I,
1999, CV. Pustaka Setia, Bandung, hlm.101
[8] Departemen Agama RI, Al Quran dan
Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah),
Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As
Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H, hlm. 128
[9]
Rachmat Syafe’i, Op.,Cit, hlm. 102
[10]
HA.Djazuli, Op.,Cit, hlm.71-72. (lihat juga M. Abu Zahroh, Op.,Cit, hlm.567 dan
Khairul Umam, Op.Cit, hlm.140)
[11] Ibid.
[12] Rachmat Syafe’i, Op.,Cit, hlm. 99
[13]
Abu Hamid Al-Ghazali, Op.Cit, hlm.
137
[14]
Iskandar Usaman, Istihsan dan Pembahauan hokum Islam, cet. Pertama,
1994, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.41
[15] Rachmat Syafe’i, Op.,Cit, hlm. 117
[16]
Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, Juz IV Dar al-Fikri, hlm.
207
[17]
Muhammad Abu Zahroh, Op.,Cit., hlm. 450
[18]
Rachmat Syafe’i, Op.,Cit, hlm. 128
[19]
Asy-Syatibi, Op.,Cit, hlm. 198
[20]
Muhammad Abu Zahroh, Op.,Cit, hlm, 328
[21]
Departemen Agama R, Op.Cit, hlm. 44
[22]
Rachmat Syafe’i, Op.,Cit, hlm. 145
[23] Pembahasan pengertian istilah Ijtihad
yang diberikan para ulama ahli ushul fiqh hanya berkenanaan dengan upaya
pencarian atau penggalian masalah hukum saja adalah wajar, karena spesialisasi
mereka dalam bidang hukum. Oleh karena itu, ulama yang bergerak di bidang
selain hukum memberikan pengertian ijtihad yang berebda dengan pengertian yang
diberikan oleh para ulama ushul fiqh, selanjutnya dilihat, Muhamad Musa Tuwana,
Op.,Cit, hlm. 452-49
[24]
Lihat Yusuf al-Qardhawi, Muhammad Madani dan Mu’inuddddin Qadir, Dasar
Pemikiran Hukum Islam (Taqlid Ijtihad), terj. Hussein Muhammad dari tiga
tulisan yang berbeda dalam bahasa Arab, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hlm. 85
[25] Intiqa’i menurut bahasa ialah
“mempertemukan yang lebih utama, dapat juga membersihkan, mengmpulkan, dan
menyeleksi atau memilih”. Kata tersebut berasal dari kata نفق
– انتفقا – تنقا - انتقاء Lihat
Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukaramah al-Anshari, Lisan al-‘Arab, Dar
al-Mishr (tt), juz XX, hlm. 212. Sedangkan menurut istilah ialah “memilih salah
satu pendapat yang terkuat dari beberapa pendapat yang ada dalam karya
mujtahid” Lihat Yusuf Al Qardlawi, Op.Cit, hlm. 150
[26]
Sebab contoh dapat dilihat pada persoalan pembagian kakek dengan saudara dalam
persoalan kewarisan. Para ulama sepakat bahwa kakek menghalangi saudara seibu,
sebagaimana ayah menghijab saudara seibu. Berbeda halnya dengan saudara
sekandung dan seayah, para ulama berbeda pendapat karena hal ini tidak dirinci
dalam nash, hanya berdasarkan hasil ijtihad para ulama.
[27] Insya’i menurut pengertian bahasa ialah
“menjadikan, mengadakan, binaan, karangan, rincian dan jalan karangan’. Kata
itu berasal dari نشاء – ينشاء
– نشؤ – ينشؤ - انشاء Idris
al-Marbawi, Qamus al-Marbawi, Dar al-Fikr, Mesir, (tt), juz I, hlm. 316.
Adapun yang dimaksudkan disini adalah mengambil kesimpulan hukum baru terhadap
suatu masalah, yang belum pernah dikemukakn oleh ulama tedahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini