Senin, 21 November 2011

URGENSI TAHUN BARU HIJRIYAH SEBAGAI GERAKAN PELAKSANAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA


A.    Pendahuluan.
Waktu terus berjalan dan berubah, dan tidak ada sesuatu yang tidak berubah di jagad raya ini kecuali perubahan itu sendiri.  Perubahan itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur suatu benda yang lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan manusia dan orang sering mengatakannya telah dimakan usia. Namun perubahan perilaku manusia memerlukan ikhtiar yang diawali niat, termasuk memaknai pergantian tahun baru Islam (Hijriyah). Tak terasa kita telah telah berada di ambang pintu untuk memasuki tahun baru 1433 Hijriyah, dan kita segera menginjak bulan Muharram dan meninggalkan bulan Zulhijah. Adapun kata “muharram” berasal dari kata “harrama” yang mengalami perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun“. Bentukan “muharraman” berarti yang diharamkan. 
Ketika kita mengupas bulan Muharram pasti tidak akan lepas dari peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah yakni pada tahun 622M. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya Kalender Islam (almanak). Ini artinya hijrahnya Rasulullah Saw beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1433 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang dan bisa menjadi proses transformasi hukum sekaligus sebagai  transformasi spiritual. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus sikap konsistensi mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun, agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri, harta, anak, isteri, sanak dan handai taulan tercinta.
Memang di negeri ini yang nota benenya mayoritas muslim, kita bisa masih merasakan bedanya peristiwa penyambutan tahun baru Masehi (Miladiyah) dan tahun baru Hijriyah. Tahun baru Hijriyah disambut biasa-biasa saja, jauh dari suasana meriah, tidak seperti tahun baru Masehi yang disambut meriah dan spetakuler termasuk oleh masyarakat muslim sendiri. Sebagai titik awal perkembangan Islam, seharusnya umat Islam menyambut tahun baru Hijriyah ini dengan semarak (imarah), penuh kesadaran sambil introspeksi (muhasabah), merenungkan apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun yang telah berlalu. Tapi ada satu kelebihan yang masih banyak dilakukan masyarakat dalam memperingati tahun baru Hijriyah, yaitu pada penghayatan makna peringatan itu sendiri untuk bisa dijadikan sebagai sarana instrospeksi diri. Sebaliknya, di awal tahun baru Masehi, pada umumnya yang ditonjolkan hanya aspek yang berkaitan dengan duniawi (hidonis) dan perlente serta cenderung memperlihatkan kulit luarnya saja. Banyak manusia yang terlena oleh momen pergantian tahun. Waktu penting yang seharusnya dijadikan sarana instrospeksi diri, malah telah disalahgunakan sebagai sikap melampaui batas, berhura-hura semalam suntuk hingga terbit matahari bukannya untuk mendekatkan diri untuk memohon ampun kepada Allah Swt (taqarub), tapi malah sebaliknya, mengatasnamakan kegembiraan, mereka melupakan nikmat Allah Swt, dengan menggelar kemungkaran dan sikap-sikap yang membawa kehancuran dan amarah Allah Swt.
Oleh karena itu sebagai warga negara yang menghuni NKRI ini yang mayoritas sangatlah wajar dan tidak berlebihan kiranya pada momentum tahun baru Hijriyah ini mencoba merungkan sampai sejauh mana kita bisa mengali spirit yang terkandung dalam peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. Sebagai imamul ummah di Madinah inilah Rasul mencoba menata pemerintahan yang modern di bawah kendali beliau sebagai panglima tertinggi bagi umat Islam (amirul mukminin) sehingga beliau sebagai Nabi dan Rasul juga bertindak sebagai Kepala Negara di Kota Madinah. Dari Kota ini beliau bersama para sahabatnya menata tatanan Negara modern, sehingga sangatlah tidak berlebihan pada kesempatan ini kita akan membuat sebuah gerakan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia sebagai Negara yang moyoritas penduduknya muslim tanpa harus memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI ini.

B.     Makna Tahun Baru Hijriyah dan Hijriyah.
1.      Makna Tahun Baru Hijriyah.
Tahun baru Hijriyah sering disebut dengan Kalender Hijriyah atau Kalender Islam, dalam bahasa Arabnya: التقويم الهجري; at-taqwim al-hijriy. Yaitu kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan masalah ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad Saw bersama Sahabatnya dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari, seperti sistem penanggalan Peradilan Agama di Indonesia selalu memakai penanggalan Hijriyah dalam vonis disamping Masehi.
Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (Kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari. Sehingga kadangkala Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami sebagai bulan Hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, yang sebelumnya bernama Yastrib. Peristiwa hijrah tersebut terjadi tepatnya pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabiul Awal. Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam Kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab ra, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar Ash Shidiq ra, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.
Selanjutnya bahwa penentuan dimulainya hari atau tanggal dalam sistem Kalender Hijriyah berbeda dengan pada sistem Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi  hari atau tanggal selalu dimulai tepat pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun berbeda dalam sistem Kalender Hijriyah hari dan tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut (waktu maghrib). Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Kalender Hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi. Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi, jumlah hari dalam satu bulan dalam Kalender Hijriyah bergantung pada posisi bulan (hilal), bumi dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi, dan pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion). Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dengan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion), dari sini terlihat bahwa usia bulan tidak tetap melainkan berubah-ubah yaitu antara berjumlah 29-30 hari sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (Bulan, Bumi dan Matahari).
Penentuan awal bulan (new moon) ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) Bulan Sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari (istikmal). Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan bulan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal tadi. Penentuan hari diawali dengan terbenamnya matahari, berbeda dengan Kalender Masehi yang mengawali hari pada saat tengah malam sehingga jumlah harinya tetap yaitu 30 sampai 31 hari.

2.      Makna Hijriyah.
Secara harfiah hijriyah artinya berpindah. Secara istilah mengandung dua makna yaitu, hijrah makani dan hijrah maknawi. Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju ke-Islaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Secara makani jelas mereka berjalan dari Makkah ke Madinah menempuh padang pasir yang jaraknya sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi  jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam. Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’ wal-bara’,  bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi yang paling urgen. Urgen karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi.  Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yang berujung menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah Swt.[1]
Dalam bahasa Arab, hijrah bisa diartikan sebagai pindah atau migrasi. Tafsiran hijrah disini diartikan sebagai awal perhitungan kalender Hijriyah, sehingga setiap tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagi hari besar Islam. Memang, sejak hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib, sebuah kota subur, terletak 450 km dari Makkah, keberadaan hijriyah lebih memfokuskan pada pembentukan masyarakat muslim yang tidak kampungan dibawah pimpinan Rasulullah. Itulah sebabnya kota Yastrib dirubah namanya menjadi Al-Madinah yang artinya kota atau lebih tenar lagi disebut Kota Rasulullah (al Madinah al Munawwarah). Inilah satu nilai yang sangat penting kenapa hijrah dijadikan sebagai titik awal terbitnya fajar baru peradaban umat Islam, terbitnya fajar baru ini berkat hijrah. Maka hijrah dengan demikian selalu membuat perubahan. Hijrah merupakan usaha dan semangat besar manusia yang ingin merubah masyarakat yang beku (statis) menjadi manusia yang maju, sempurna dan bersemangat (social sofety) bahkan orang menyebut dengan istilah masyarakat madani.  

C.    Sejarah Penetapan Tahun Baru Hijriyah.
Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriyah dilakukan 6 tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Namun demikian, sistem yang mendasari Kalender Hijriyah telah ada sejak zaman pra-Islam, dan sistem ini mengalami revisi pada tahun ke 9 periode Madinah.  Sebelum datangnya Islam di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara Bulan (qomariyah) maupun Matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronisasikan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi). Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun, penamaan tahun dikenal dengan keadaan peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Nabi Muhammad Saw lahir dikenal dengan sebutan Tahun Gajah atau Al Fiil, karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka'bah di Makkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu provinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).
Pada era kenabian Muhammad Saw, sistem penanggalan pra-Islam digunakan pada tahun ke-9 pasca Hijriyah, tepat sewaktu turunnya ayat 36-37 Surat At-Taubah, yang melarang menambahkan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.[2] Setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, diusulkan kapan dimulainya Tahun 1 Kalender Islam. Ada yang mengusulkan adalah tahun kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagai awal untuk penanggalan Tahun Hijriyah. Ada yang mengusulkan pula awal penanggalannya adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad Saw. Namun untuk membedakan sistem penanggalan Masehi (penanggalan Masehi diawali dengan kelahiran Nabi Isa as), akhirnya pada tahun 638.M tepatnya pada tahun ke 17.H, Umar bin Khattab ra menetapkan awal penanggalan adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad Saw, dari Makkah ke Madinah. Penentuan awal penanggalan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622.M, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad Saw.  Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw terjadi bulan September 622.M.

D.    Haikikat Hijriyah.
Bahwa inti dari sebuah peringatan tahun baru Hijriyah adalah pada soal perubahan (tajdid), maka ada baiknya momen pergantian tahun ini kita jadikan sebagai saat-saat untuk merubah menjadi lebih baik (restorasi). Itulah fungsi peringatan tahun baru Hijriyah. Relevan dengan refleksi tahun baru kali ini jika dicermati dalam suasana kehidupan umat Islam dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang harus ditranspormasi dalam makna memperingati tahun baru hijriyah sebagai berikut:
1.   Hijrah dalam kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan) yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang muslim, dimana dalam pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas karena Allah Swt, tanpa dicampuri dengan anasir-anasir mengandung kemusyrikan, tahayul, khurafat bid’ah dan keyakinan nenek moyang yang tidak ada dasar hukumnya. Akhir-akihir ini keyakinan sebagian umat Islam telah mulai melenceng dari ruh tauhid, orang lebih percaya kepada paranormal ketimbang ulama, percaya kepada mistisme ketimbang qudrat dan iradat Allah Swt, percaya dengan nabi aspal (nabi asli tapi palsu) ketimbang nabi akhiruzzaman Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini umat Islam harus kembali kepada tauhid yang benar yaitu Aqidah Islamiyah. Konsep hijrah dalam kategori ini wajib didakwakan oleh segenap umat Islam untuk meluruskan keyakinan dan aqidah mereka agar jangan tersesat. Bahkan pada konsep ini hanya ada satu ketentuan hukum yang akan menjawab persoalan kebangsaan yakni hukum ilahiyah.
2.  Hijrah dalam kategori Fikriyah (pemikiran), yakni pemikiran yang dilandasi dengan control wahyu ilahiyah, bukan cara berfikir liberalisme yang menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya memakai kekuatan akal fikiran semata, padahal tanpa disadari ternyata akal fikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak normal, namun jika dilandasai wahyu akal manusia akan tetap stabil, oleh karenanya tujuan hukum Islam salah satunya dalam rangka menjamin terpeliharanya akal fikiran. Fenomena yang terjadi sekarang  orang sering hilang akal sehatnya, sehingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi  ambisinya, sesungguhnya dengan hijrah fikiriyah ini akan mengembalikan manusia sebagai makhluk yang berakal yang terdapat dalam diri manusia yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Tuhan yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lainnya, sekiranya manusia tidak berakal niscaya keadaan dan perbuatannya akan sama dengan hewan.
3.    Hijrah dalam kategori Syuriyah (perasaan) yang muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis), yang erat keterkaitanya dengan perasaan dan kesadaran, sebagai aspek psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis, hanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt, lewat zikir (dalam arti luas beribadah) untuk menuju ketenangan jiwa, lupakan konsep-konsep meditasi melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang dianggap membawa wangsit. Dengan perasaan dan jiwa yang tenang hidup akan terasa nikmat.
4.   Hijrah dalam kategori Sulukiyah (prilaku), dalam konteks ini dimensi pengalaman sehari-hari tentunya harus diperhatikan, betapa banyak manusia hidupnya bermasalah karena ulah tingkah lakunya yang tidak memperhatikan moral atau akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang dengan maksiat dan dosa, momen tahun baru ini mari kembali kepada prilaku Islami, sementara yang telah berprilaku Islami konsisten dalam mempraktekannya. Dari sinilah terasa akan sebuah pengalaman (emperik) yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas manusia, prilaku yang Islami-lah yang akan menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia di dunia ini.

E.     Tahun Baru Hijriyah Sebuah Gerakan Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia.
Umat Islam perlu memahami makna hijriyah yang pernah dilakukan Rasulullah bersama para sahabat dan pengikutnya. Bahwa sebelum melakukan hijrah, Rasulullah Saw sebelumnya telah mengkaji kemungkinan dan mempelajari langkah diplomatik. Sejarah mencatat bahwa hijrah Rasulullah terjadi tiga kali pada masa itu. Pertama hijrah Rasulullah Saw sendiri, kedua para sahabat, dan ketiga Rasulullah Saw dan sahabat. Dilihat dari sudut pandang hijrah itu sendiri tidak semuanya berjalan mulus atau sukses. Hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw, sendiri kurang mendapat perhatian dan sambutan, demikian juga perjalanan hijrah yang dilakukan para sahabat ke wilayah Spayol tidak bertahan lama sebagaimana yang diharapkan. Hijrah ketiga yang dilakukan Rasulullah Saw, bersama sahabat yang berjalan sukses karena terprogram baik. Hijrah inilah menjadi cacatan sejarah karena Rasulullah, dapat melakukan perubahan signifikan dalam tatanan kehidupan masyarakat Madinah dan sekitarnya dari yang tidak baik menjadi lebih baik.
Tahun Baru Hijriyah ini, khususnya bagi umat Islam Indonesia harus memahaminya secara makro. Hijrah bukan hanya dilihat dari statemen pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya (alkhariju min baladin ila baladin ukhra). Tapi secara luas adalah gerakkan perubahan (tajdid), termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup bangsa yang besar ini. Suatu perubahan akan bermakna manakala pelakunya berniat ikhlas apa yang dikerjakan bernilai ibadah dan bermental reformis. Sebagai contoh kecil berzikir sambil bekerja mengandung makna hijrah apabila sebelumnya kita biasa mengerjakan sesuatu tanpa nilai ganda atau suka  bernyanyi sambil bekerja.
Perlu dipahami bahwa mmat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas dan sebagai kawal depan berdirinya Republik ini. Dalam tataran internasional umat Islam Indonesia dapat disebut sebagai komunitas muslim terbesar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan yang berdaulat. Karenanya menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah pemberlakuan Hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu sebab sejarah mencatat ketika Rasulullah hijrah ke Madinah dikenal dengan “Piagam Madinah”[3] dan ketika Republik ini akan diproklamirkan  pokok masalah yang dibicarakan adalah konstitusi Negara dikenal dengan “Piagam Jakarta”,[4] yang jika dikorelasikan sama-sama pembentukan Negara modern yang regilius. Namun persoalanya adalah seberapa jauh pengaruh kemayoritasan umat muslim Indonesia itu terhadap penerapan Hukum Islam di Indonesia.  Di samping itu, pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan mengakrabkan bangsa ini dengan hukum-hukum yang bernuansakan Islami meskipun tanpa harus mendirikan Negara Islam.
Meskipun sesungguhnya proses sejarah penegakkan Hukum Islam di Indonesia  yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan termasuk di dalamnya politik penguasa, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu paling setidak dapat menjadi bahan telaahan penting dalam momentum tahun baru Hijriyah ini. Setidak-tidaknya sejarah itu telah menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat jika dilihat dalam konsep antropologi bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Gemuruh demokrasi dan reformasi di Indonesia tidak henti-hentinya disuarakan secara lantang oleh komponen bangsa ini. Setelah melalui perjalanan dan perjuangan yang panjang, di era reformasi ini setidaknya Hukum Islam telah mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan Hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Bahkan lebih dari itu tidaklah berlebihan rasanya, disamping peluang yang semakin jelas upaya kongkrit merealisasikan Hukum Islam dalam wujud peraturan perundang-undangan telah membuahkan hasil yang signifikan di era ini. Salah satu buktinya adalah lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syariat Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem Hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita bisa saja melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita (positifisasi hukum Islam ke hukum nasional) atau dengan kata lain saat ini merupakan era qonunisasi fiqh[5] dalam kerangka sistem hukum nasional. Era reformasi yang penuh transparansi tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan dan mendirikan Negara Islam. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Hukum Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya, sebab tanpa kesabaran yang cukup upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan  Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Proses pengakraban bangsa ini dengan Hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita. Daya tawar tersebut bias dilakukan melalui perjuangan Partai Islam, Organisasi Islam dan tokoh-tokoh Islam.
Transformasi Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkam fî al-Nash al-Qanun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, peranan elit Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elit di tingkat legislatif, sehingga Rancangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikodifikasikan.  Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi Hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak. Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Gagasan Transformasi Hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari sudut ilmu negara. Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan Negara / kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri.[6]
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga tinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi, munculnya pemahaman tertulis bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang diajukannya, yaitu: 1). Faham Individualisme; 2). Faham Kolektifisme; dan 3). Faham Integralistik. Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham integralistik sebagai ideologi Negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik ideologis antara Islam dan Negara.[7] Semenjak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika Hukum Islam dan proses transformasi Hukum Islam telah berjalan sinergik searah dengan dinamika politik di Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang bernuansa Hukum Islam.
Sesungguhnya konsepsi negara berdasarkan hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri prinsip; perlindungan Hak Asasi Manusia, pemisahan / pembagian kekuasaan (trias political), pemerintahan berdasar undang-undang, keadilandan dan kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 terdapat pintu lebar bagi Islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum bernuansa Islami di Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan Hukum Islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan social-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian diubah muaranya secara kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin) Hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan (hukum nasional). Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa Hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, Hukum Islam yang secara formil maupun material menggunakan corak dan pendekatan ke-Islaman; Kedua, Hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, Hukum Islam yang secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai  detik ini eksitensi Hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Undang Undang Nomor  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Prof. DR. H. Abdul Ghani Abdullah, S.H.,M.H., (Hakim Agung MARI) pernah mengemukakan bahwa berlakunya Hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 Undang Undang Dasar 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam, peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.[8] Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan (Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru, baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA Nomor 7 Tahun 1989 dapat disahkan sehagai undang-undang. Padahal sesungguhnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970[9] dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan Agama berikut eksistensi dan kewenangannya. Eksisten Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UUPA pada tanggal 29 Desember 1989. Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal tahun 1980-an sampai sekarang, tampak isyarat positif bagi kemajuan perkembangan Hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pendekatan struktural dan harmonisasi dalam proses Islamisasi pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum, semakin membuka pintu lebar-lebar bagi upaya transformasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Tinggal bagaimana posisi dan nilai tawar politik umat Islam tidak redup dan kehilangan arah, agar ia tetap eksis dan memainkan peran lebih besar dalam membesarkan dan kemajukan Indonesia baru yang adil dan sejahtera sejalan dengan prinsip peringatan Tahun Baru Hijriyah sebagai spirit dari makna hijrah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam membangun peradaban ummat manusia.
Kehadiran tokoh-tokoh Islam di gelanggang percaturan perpolitikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya merupakan realitas sosial dan politik yang tidak dapat dihindari. Di mana peran besar yang ditampilkan oleh elite politik Islam di lingkungan birokrasi, serta peran tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, dipandang sangat urgen terutama dalam meresponsif kehendak umat Islam secara kolektif. Dengan kata lain, adanya berbagai produk perundang-undangan dan peraturan berdasarkan Hukum Islam bukan perkara yang mudah, seperti membalikkan kedua telapak tangan, tetapi semua itu telah dilakukan melalui proses politik dalam rentang sejarah yang cukup lama dan berliku penuh dengan tantangan dan intrik. Sejalan dengan itu bahwa spirit Piagam Madinah merupakan upaya yang dirancang tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw, hijrah ke Madinah beliau membuat suatu piagam politik yang merupakan salah satu strategi umat Islam untuk membina kesatuan hidup di antara berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan aturan-aturan mengenai kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan hidup, dan sebagainya.
Betapa tinggi nilai substansi Piagam Madinah tersebut Prof. Dr. H. Nurcholis Madjid, pernah mengatakan: “bahwa bunyi naskah konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia”.  Dalam korelasinya antara Piagam Madinah dengan kehidupan politik di Indonesia, tepatnya pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, maka umat Islam di Indonesia pada masa itu juga membentuk kesatuan hidup bersama dengan pemeluk agama lain berdasarkan UUD 1945. Letjend (Purn). H. Alamsyah Ratu Perwira Negara (Mantan Menteri Agama RI) berpendapat bahwa “penerimaan umat Islam terhadap Pancasila menurut rumusannya yang kompromistis sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang terdapat dalam Alinea ke 4 UUD 1945, merupakan hadiah umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kedua konstitusi tersebut (Piagam Madinah dan UUD 1945) memiliki banyak kesamaan dalam hal pokok-pokok pemikiran, antara lain bahwa konstitusi merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup bermasayarakat dan bernegara, dan juga berdasarkan perbandingan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa yang paling penting dan harus selalu dipelihara dalam suatu konstitusi suatu masyarakat dan negara adalah sifat Islami, bukan hanya label Islam. Korelasi Hukum Islam Dengan Hukum Nasional Tata Hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas.  Sementara menurut Prof. DR. Mochtar Kusumatmadja, mengatakan:  “sila KeTuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut”.
Dengan demikian pola legislasi berkaitan dengan kontribusi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia maka terdapat 3 pola legislasi Hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional yaitu:
  1. Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi contohnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan);
  2. Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam contoh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
  3. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara contoh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan.
Dengan demikian pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap mendiskriminasikan Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional dengan alasan eksklusivitas, sebab secara historis Hukum Islam dengan segenap pola legislasinya telah teruji, baik eksistensinya maupun efektivitasnya, dalam turut serta menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum Islam bukanlah sesuatu yang harus dijadikan momok bagi masyarakat yang adil dan sejahtera karena hal ini telah terbukti sejak periode Piagam Madinah dimana kaidah-kaidah (hukum) Islam dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara secara adil dan sejahtera. Untuk mengimplementasikan semua itu tidak harus misalnya dengan menerapkan aturan-aturan pidana Islam di Indonesia ataupun bahkan dengan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam, namun yang terpenting bahwa Hukum Islam harus dapat menjiwai dan menjadi pondasi utama bagi struktur Hukum Nasional. Oleh karena itu, Hukum Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan dengan Hukum Nasional, namun Hukum Islam juga dapat berperan sebagai pondasi utama dan melengkapi kekurangan-kekurangan Hukum Nasional.

F.     Penutup.
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan, baik melalui saluran infrastruktur politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas, tuntutan dan dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi Hukum Islam ke dalam sistem Hukum Nasional. Bukti sejarah produk Hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat digugat kebenarannya.
Dalam menghadapi era globalisasi, Hukum Nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah (hukum) Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari Hukum Adat dan modernisasi positif dalam Hukum Barat, maka hendaknya Hukum Nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik dan berkeadilan.
Semoga Hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam itu sendiri dan jaminan konstitusi dasar Negara Indonesia.

Catatan: Tulisan telah diterbitkan di http://www.badilag.net/artikel/8981-urgensi-tahun-baru-hijriyah-sebagai-gerakan-pelaksanaan-hukum-islam-di-indonesia-oleh-.html
Footnote:

[1] Sebut misalnya Nabi Ibrahim as beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci.
[2] Maksudnya bulan Haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, tanah Haram (Makah) dan ihram.  Maksudnya janganlah kamu Menganiaya dirimu yaitu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan. Sedangkan bulan tersebut yaitu Muharram, Rajab, Zulqaedah dan Zulhijjah adalah bulan-bulan yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan, tetapi peraturan ini dilanggar oleh mereka dengan mengadakan peperangan di bulan Muharram, dan menjadikan bulan Safar sebagai bulan yang dihormati untuk pengganti bulan Muharram itu. Sekalipun bilangan bulan-bulan yang disucikan yaitu, empat bulan juga, tetapi dengan perbuatan itu, tata tertib di Jazirah Arab menjadi kacau dan lalu lintas perdagangan terganggu.
[3] Selain Piagam Madinah, ia juga dikenali dengan pelbagai nama seperti Perjanjian Madinah, Dustar al-Madinah dan juga Sahifah al-Madinah. Selain itu Piagam Madinah juga boleh dikaitkan dengan Perlembagaan Madinah kerana kandungannya membentuk peraturan-peraturan yang berasaskan Syariat Islam bagi membentuk sebuah negara (Daulah Islamiyah) yang menempatkan penduduk yang berbilang bangsa atau kaum.
[4] Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
[5] Fiqh Islam masa periode Taqnin.
[6] Rousseau misalnya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya. Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte generale), di mana seluruh rakyat secara langsung ambil bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu.
[7] Undang-undang dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan mengikat masyarakat secara umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan materil merupakan terjemahan dan wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam anti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking). Ini dilihat dari segi pembentukannya atau siapa yang membentuknya.
[8] Sebagaimana yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[9] Undang-undang ini terakhir diamandemen dengan UU Nomor 48 Tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini