Rabu, 10 Agustus 2011

Nilai Filosofis Ibadah Puasa

Sulit dimungkiri kita seringkali memaknai ibadah puasa Ramadhan sebatas pada tataran praktis, seperti usaha untuk menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan hal-hal yang dapat membatalkan. Namun, jika kita cermati lebih jauh sesungguhnya seluruh ajaran dan perintah yang diberikan Allah SWT kepada umat-Nya memiliki muatan nilai-nilai filosofis, tidak terkecuali ibadah puasa Ramadhan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah menggambarkan bahwa dalam setiap ibadah terkandung esensi (filosofis) di balik praktik, termasuk di dalam pelaksanaan ibadah puasa. Sebagaimana sabda Rasulullah; “Betapa banyak orang berpuasa, namun perolehannya dari puasa itu hanyalah lapar dan dahaga, dan berapa banyaknya orang yang melakukan qiyamul-lail (ibadah malam), namun yang ia peroleh dari qiyamul-lail tersebut hanyalah kelelahan tidak tidur belaka.” (HR Ahmad dan Ibn Majah).
Jika dicermati secara saksama, pelaksanaan puasa memiliki beberapa makna filosofis. Pertama, penyempurnaan diri atau sering disebut takwa. Hal ini sebagaimana terekam dalam surah Al-Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Takwa merupakan sebuah identitas paripurna yang keberhasilan interaksinya dengan Allah tercermin dalam kebaikan interaksinya dengan sesama umat manusia. Karena itu, takwa sebagai tujuan akhir puasa, tidak sekadar berdimensi ketuhanan (ilahiah) atau spiritual, tapi juga berdimensi kemanusiaan (basyariyah), sosial.
Nilai filosofis kedua yang terkandung dalam perintahan menjalankan ibadah puasa Ramadhan adalah memupuk rasa kasih sayang antarsesama umat manusia. Dengan menahan rasa lapar dan dahaga hati kita akan tersentuh dan merasakan kesengsaraan kaum dhu’afa yang senantiasa serba kekurangan dalam segala hal. Mereka menanti uluran tangan dan kemurahan hati kita untuk menyisihkan sebagian harta kita guna didermakan. Itulah sebabnya, dalam bulan Ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan berbagi pada sesame dengan balasan pahala yang berlipat.
Nilai filosofis ketiga yang terkandung dalam perintah menjalankan ibadah puasa Ramadhan adalah membina dan menata diri kita kaum Muslim agar senantiasa hidup teratur, seperti dalam mengkonsumsi makanan dan minuman atau dalam mengatur waktu. Terkait hal ini, Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS 7: 31) Jika kita mengkonsumsi makanan dan minuman dengan cara tidak teratur tentu akan mengakibatkan gangguan pencernaan atau kesehatan. Karena itu, dengan mengatur pola makan dan minum secara teratur akan menjadikan kita lebih sehat.
Nilai filosofis keempat dari perintah menjalankan ibadah puasa yang tidak kalah penting adalah manajemen hati agar lebih suci dan bersih. Hal ini memiliki arti penting agar kita terhindar dari sifat-sifat tercela, seperti dengki, iri hati, dan riya’ (pamer). Jika sifat-sifat tercela itu tumbuh subur di hati kita, maka ibadah puasa kita tidak akan mendapatkan ganjaran apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.
Harus diakui masih banyak di antara kita yang terjebak pada rutinitas ibadah puasa semata. Puasa tidak lain sekadar menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Untuk itu, dengan mengetahui nilai-nilai filosofis di balik perintah menjalankan ibadah puasa tersebut diharapkan kaum Muslim akan kian suka cita dan khusyuk dalam menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya selama bulan Ramadhan. Selain itu, kita juga akan lebih termotivasi dalam menjalankan ibadah puasa Ramdhan guna mencapai ridha Allah SWT. Mari kita jadikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini sebagai momentum untuk penyempurnaan diri lebih baik lagi.
Sumber:  http://edukasi.kompasiana.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini