A. Istilah Syariah
Kata syari’ah banyak dimuat dalam ayat
Al Quran, dengan berbagai tashrif-nya (surat as-Syura ayat 13 dan 21,
surat al-Maidah ayat 48, surat al-‘Araf ayat 162, dan surat al-Jaatsiyah ayat
18).
Kata syari’ah menurut bahasa mempunyai
banyak arti sesuai dengan uslub kalimatnya itu sendiri. Sering kali syari’ah
berarti “ketetapan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.” Syariah secara etimologi (bahasa) berrarti
“jalan tempat keluarnya air untuk minum”[1]
Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus
diturt.[2] Di
dalam QS. al-Jaatsiyah ayat 18 disebutkan :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ
مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[3]
Secara terminologis (istilah) syari’ah
menurut Mahmud Syaltut, mengandung arti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah
syari’atkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.[4]
Menurut Faruq Nabhan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada
hamba-hamba-Nya.[5]
Sedangkan menurut Manna’ al-Qathan berarti segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak
maupun mu’amalah.[6]
Dari defenisi tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa syari’ah itu identik dengan agama. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 48 berbunyi :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا
جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al
Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.[7]
Walaunpun pada manya syari’ah dengan agama,
tetapi kemudian dikhusukan untuk hukum ‘amaliyah. Pengkhususan ini untuk
membedakan antara agama dengan syari’ah, karena pada hakikatnya agama itu satu
dan berlaku secara universal. Dalam perkembangan selanjunya kata syari’ah
tertuju atau digunakan untuk menunjukan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan
langsung oleh al-Quran dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran
manusia (ijtihad). Contoh syari’ah adalah : sholat 5 waktu, kewajiban
zakat dan hajji.
B. Istilah Fiqih.
Secara semantik kata fiqih bermakna “mengetahui
sesuatu dan memahaminya dengan baik”[8] Di dalam Al Quran tidak kurang dari 19 ayat
yang berkaitan dengan kata fiqih dan semuanya dalam bentuk kata kerja,
seperti di dalam QS At-Taubah ayat 122 :
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ
قَضَى أَجَلا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[9]
Sedangkan secara terminologis, fiqih menurut
Abu Zahroh dalam kitab Ushu al-Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’
yang bersifat ‘amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci.[10]
Sedangkan menurut al-Amidi berarti ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang
bersifat furu’iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlal.[11]
Dari defenisi tersebut di atas dapat diambil
kesimpulan bawa fiqih itu bukanlah hukum syara’ itu sendiri, tetapi
interprestasi terhdap hukum syara’. Karena fiqih hanya merupakan interprestasi
yang bersifat zhanni yang terikat dengan situasi dan kondisi yang
melingkupinya, maka fiqih senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan
tempat.
Secara ringkas fiqih adalah dugaan kuat yang
dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Tuhan.[12] Contoh
fiqh adalah bagaimana tata cara pelaksanaan
akad nikah adanya rukun dan syarat.
C. Istilah Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti
“keulitan atau kesusahan”[13]
dan juga berarti mengerjakan sesuatu
dengan segala kesungguhan atau upaya
mengerahkan seluruh kemampuan intelektual
dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Ijtihad
menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang ahl fiqh yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah
(praktis) dari dalil-dalil yang terperici.[14]
Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya
dengan hukum adalah : “Mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat
meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung
sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah.
Adapun Ijtihad dalam bidang putusan
hakim (qadha’) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum,
baik yang berhubungan dngan teks undang-undang maupun dengan mengistinbathkan
hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.[15]
Pengertian yang diberikan para ulama tersebut
membatasi ruang lingkup ijtihad kepada persoalan hukum saja. Seseorang yang
melakukan pengkajian di luar bidang hukum Islam tidak disebut sebagai mujtahid.
Sebab, pengkajian yang dilakukan oleh mujtahid dalam disipilin ilmu hukum tidak
berbeda dengan pengkajian yang dilakukan oleh mujtahid dalam disiplin ilmu
lain. Oleh karena itu sebaiknya pengertian ijtihad dikembangkan kepada
pengertian etimologisnya, yakni segala daya yang mengarah kepada pengkajian,
baik dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya.[16]
Para fuqahak boleh melakukan ijtihad apabla
dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu motode untuk menggali sumber hukum
Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat.[17].
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT.
QS. An-Nisa ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.[18]
Dari ayat tersebut dapat dipahami kobolehan
melakukan ijihad dalam suatu persoalan yang mungkin dalam fonomena kehidupan
masyarakat dengan mengacu kepada aturan Allah dan Rasul-Nya.
Contoh-contoh hasil ijtihad adalah ijtihad tentang masalah bayi
tabung, sewa rahim, bank sperma dan bursa efek.
D. Istilah Fatwa :
Fatwa jamak fatawa yakni pandangan dan
keputusan hukum yang dirumuskan oleh ahli-ahli hukum Islam.[19]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan fatwa jawaban (keputusan,
pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah, ataua nasehat orang
alim ; pelajaran baik ; petuah.[20]
Dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor : U-596/MUI/X/1997 dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 7
dijelaskan bahwa Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama
mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.[21]
Keputusan Fatwa adalah hasil Sidang Komisi tentang suatu masalah hukum yang
telah disetujui oleh anggota Komisi dalam siding Komisi.[22]
Fatwa atau espons adalah memecahkan
masalah yang timbul yang diajukan oleh masyarakat terhadap ahli hukum Islam
yang berusaha menyelaraskan praktek-praktek baru dengan hukum Islam atau
menolaknya.[23] Jadi
dengan demikian yang dimaksud denga fatwa adalah hasil sebuah keputusan ahli
hukum atau lembaga terhadap sesuatu masalah hukum yang muncul dan keputusan
tersebut tidak bersifat mengikat. Contohnya :
1. Fatwa sahabi.
2. Fatwa Abu Ishak Ash-Shatibi dalam kitabnya
Al-Muwafaqat, Al-I’tisam dan Nayl al-Ibtihaj, yang jumlah keseluruhannya 40,
seperti fatwanya tentang penafsiran, masalah teologi, ritual dan ibadah dan
seterusnya.[24]
3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia, seperti
Haramnya Liberalis Agama dan lain-lain sebagainya.
E. Istilah Qanun :
Qanun disebut juga dengan istilah Qanun-wadl’i
yaitu undang-undang aturan manusia.[25] Qanun artinya undang-undang, rich atau
law, kata qanun sekarang di Barat dipakai dalam arti syari’at gereja,
dalam Bahasa Arab melalui bahasa Suryani, pada mulanya dipakai dalam arti
“garisan”, kemudian dipakai dalam arti “kaidah”. Dalam Bahasa Arab qanun
berarti “ukuran” dari makna inilah diambil perkataan : qanun kesehatan, qanun
tabi’at, dan sebagainya. Fuqahak Muslimin sedikit sekali memakai kata ini dalam
istilahnya. Mereka memakai kata “syari’at” dalam hukum syara’ sebagai pengganti
qanun. [26]
Qanun dapat juga berarti syari’at dalam arti
sempit ahli fiqih memakai istilah syari’at dan qanun, sedangkan ahli Ushul Fqih
memakai istilah hukum dalam arti qanun.[27]
Kata qanun sekarang dipakai dalam arti :
(1). Code
atau codex.
(2).
Syara’ dan syari’at, atau jus, law, dro’t, recht.
(3).
Kaidah-kaidah mu’amalah, atau lex, a law, loi Gezet.
Pernah pula kata syari’ah dipergunakan dengan
arti qanun, sebagaimana halnya ulama Ushul mempergunakan kata qanun dalam arti
pencipta undang-unang. Qanun dalam arti kaidah tidak sama dengan arti “kaidah
fiqh”, karena kaidah fiqih itu mencakup bagian ibadah dan mu’amalah, sedangkan
kaidah sebagai kata qanun hanyalah mengenai urusan mu’amalah saja. Al Ghazali
dari golongan fuqahak memakai kata qanun - dalam arti kaidah-kaidah umum yang
memastikan. Dengan kata lain berarti undang-undang positif suatu negara atau
daerah Islam. Contoh Qanun di antaranya :
1. Pengaturan Pemerintah Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) terhadap seluruh bidang Syari’ah yang mencakup bidang aqidah,
ibadah dan syiar Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dan Nomor 11
Tahun 2002. Dalam Qanun ini diatur mulai dari bentuknya sampai sanksi atas
pelanggaran terhadapnya.
2. Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia,
dinamakan Hukum Qanun Melaka, yang mencakup bidang qishash, hudud, diyyah,
ta’zir, muamalat, hukum perkawinan, hukum pembuktian, hukum acara dan
administarsi dan hukum tentang syarat-syarat penguasa.
3. Undang-undang Perkawinan Yordania Nomor
92 Tahun 1951 dengan nama Qanun, Huquq al-‘A’liah.
Footnot:
[1] Muhammad Faruq
Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islam, Dar al-Shadir, Beirut, tt,
Jilid VIII, hlm. 10.
[2] Manna’
al-Qathan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh al-Islam, Muassasah al-Risalah, tt,
hlm. 14.
[3] Departemen
Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al
Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik
Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H,
hlm.817.
[4] Muhammad Hsbi
Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, Cet. V, Bulan Bintang Jakarta, 1993,
hlm.21.
[5] Muhammad Faruq
Nabhan, Op..Cit, hlm.13.
[6] Manna’
al-Qathan, Loc.,Cit, hlm.15.
[7] Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.168.
[8] Amir
Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam Falsafah Hukum Islam),
Departemen Agama, Bumi Aksara dan Depag, ed.1, Cet. II, Jakarta, 1992, hlm.15.
[9] Departemen
Agama RI, Op.Cit, hlm.301.
[10] Muhammad Abu
Zahroh, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958, hlm.56.
[11] Saifudin
al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Muassasah al-Halabi Kairo, 19767,
Jilid I, hlm.8.
[12] Amir
Syarifuddin, Op.Cit, hlm.13.
[13] Lebih lanjut
lihat, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah,
Dar al-Fikr li al Thaba’ah wal Nasyr, Bairut, 1979, Juz 1, hlm. 486.
[14] Muhammad Abu
Zahroh, Ushul al Fiqh, alih bahasa Sefullah Ma’shum, ddk, Cet. VI,
Pustaka Firdaus, Jakarta,2000, hlm.567.
[15] Khairul Umam,
dkk, Ushul Fiqih II, cet. II, CV.
Pustaka Setia, Bandung, 2001. hlm. 131.
[16] Umar Shihab, Kontekstual
Al-Qur’an Kajian Tematik atas Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an. Cet. 3,
Penamadani, Jakarta, 2005, hlm.372.
[17] Rachmat
Syafe’i, Ushul Fiqih, Cet I, CV.
Pustaka Setia, Bandung,
1991. hlm.101.
[18] Depag RI, Op.,Cit,
hlm. 128
[19] Cyril Glasse, Ensklopedi
Islam (Ringkas), by. Ghufron A. Mas’adi, Ed. 1, Cet. 2, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hlm.95.
[20] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Cet. I, Balai
Pustaka, Jakarta, 2001, hlm.314.
[21] Bagian Proyek
dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI,
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2003, hlm.4.
[22] Ibid.
[23] Muhammad
Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Penyadur
Yudian W. Asmin, Al-Ikhlas Surabaya, 1977, hlm.125.
[24] Ibid,
126.
[25] Muhammad Hsbi
Ash-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet. 5, Bulan Bintang , Jakarta,
1967, hlm.222.
[26] Ibid,
hlm. 7
[27] Ibid,
hlm. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini