Minggu, 25 September 2011

KH. AHMAD DAHLAN DAN PEMIKIRANNYA


1.      Latar Belakang Biografinya.
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah KH. Abubakar seorang Khatib Masjid besar Kesultanan Yogyakarta yang apabila dilacak silsilahya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim, Penghulu Kesultanan Yogyakarta.[1] Ia diasuh dan dididik mengaji Al Quran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah, belajar Fiqh kepada KH. Muhammad Shaleh, Nahwu kepada KH. Muhsin dan kepada KH. Muhammad Nur serta KH. Abdul Hamid dalam berbagai disiplin ilmu.
Pada tahun 1889 M ia dikawinkan dengan Siti Walidah, putri KH. Muhammad Fadhil, kepala penghulu Kesultanan Yogyakarta.[2] Beberapa bulan setelah perkawinanaya, ia menunaikan ibadah Haji pada tahun 1890 M (1308 H), setelah melaksanakan Umrah ia bersilaturrahim dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Ia mendatangi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan mendapat ijazah bernama Haji Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia pulang dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan Shafar 1309 (1891 M).
Ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Akhirnya juga dipercaya mengajar para santri dewasa maupun tua, lalu mendapat sebutan KH. Ahmad Dahlan.[3] Pada tahun 1896 KH. Abubakar wafat, jabatan Khatib masjid besar oleh Kesultanan Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada KH. Ahamad Dahlan dengan gelar Khatib Amin. Lama kelamaan dirasa bahwa persedian ilmunya masih kurang, maka berangkatlah ia naik Haji lagi pada tahun 1903 dan bermukim di Makkah selama dua tahun, dalam hal ini ia belajar: (1) ilmu Fiqh kepada Syekh Saleh Bafedal, Syekh Sa’id Yamani dan Syekh Sa’id Bagusyel; (2) ilmu Hadis kepada Mufti Syafi’i; (3) ilmu Falak kepada Kyai Asy’ari Bawean, dan (4) ilmu Qiraat kepada Syekh Ali Misri Makkah. Di samping itu juga kepada Syekh Ahmad Khattib Al Minangkabawi (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten), Kyai Mas Abdullah (Surabaya), KH. Fakih (Maskumambang).[4] Berbagai masalah sosial keagamaan yang dialami di tanah air dijadikan topik diskusi dengan mereka. Sepulang dari Makkah, ia membangun pondok pesantren untuk menampung murid-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta dan kota-kota Jawa Tengah.
Di antara materi pengajian yang diistimewakan pemberiannya kepada para muridnya antara lain ilmu falak, tauhid dan tafsir dari Mesir.[5] Dapat dipastikan bahwa bacaan beliau semenjak Haji kedua dan seterusnya adalah karya tulis para pendukung ide pembaharuan dalam Islam. Di antaranya ialah: (1) Karya Muhammad Abduh: Risalah Tauhid, Tafsir Juz’ Amma, dan Al-Islam wan Nasraniah; (2) karya Ibnu Taimiyah: At-Tawasul wal Washilah; (3) karya Rasyid Ridla: Tafsir Al-Manar; (4) karya Farid Wajdi: Dairtul Ma’arif; (5) karya Rahmatullah al-Hindi: Izharul Haq; (6) karya ‘Ataillah: Matan Al-Hikmah; (7) karya Mazhab Hanbali: kitab-kitab Hadis; (8) majalah al-Urwatul Wustqa dan Al-Manar.[6]
Pada tahun 1909 ia bertemu dengan Dr. Wahidin Sudirihusodo di Ketandan Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya, dan setelah mendengar ia menyatakan menjadi anggota bahkan diminta agar menjadi anggota yang merupakan organisasi modern pertama di Indonesia. Pada tahun 1910 ia pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta. Organisasi ini membina hubungan dengan pemimpin-pmimpin di negara-negara Islam yang telah maju, dan memperoleh majalah Islam dari sana, dari organisasi ini memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan AD, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapar berkala), dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern.

2.      Mendirikan Organisasi Pasyarikatan Muhammadiyah.
Dari pengalaman bergabung dengan organisasi tersebut, ia menyadari bahwa perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan dengan sendirian. Maka dengan pengalamannya ia dirikan sekolah sendiri yang mengajarkan ilmu biasa dan agama Islam, sekolah ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911, dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sedangkan nama oranisasi dipilih “Muhammadiyah” Untuk menyusun anggaran dasar Muhammadiyah mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, yang kesepakatan bulat pendirian Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 (Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 22 Agustus 1914. Statuten Muhammadiyah) atau tanggal 8 Dzulhijjah 1330.[7]
Pada tanggal 20 Desember 1912 diajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar persyarikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Wilayah gerak Muhammadiyah itu penduduk pribumi di Jawa dan Madura. Maka Gubernur Jenderal mengirim surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Setelah menerima semua saran dan pertimbangan lalu meminta kepada Hoofdbstuur Muhammadiyah, agar mengubah kata-kata “Jawa dan Madura” mejadi Residentie Yogyakarta, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914 Nomor 81[8] tujuannya telah tegas, cara-cara mencapainya telah terarah yang menghasilkan berbagai amal usaha nyata.

3.      Pemikirannya.
Ditinjau dari faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran KH. Ahamd Dahlan         untuk     mendirkian        Persyarikatan Muhamamdiyah, secara garis  besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) faktor penyebab yaitu :[9]
a.       Faktor Subyektif.
Faktor subyektif sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong  berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA Dahlan terhadap Al Quran baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Sikap seperti ini dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam QS. An Nias’ ayat 82 dan QS Muhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat, dan menatap QS Ali Imran ayat 104. Memahami seruan ayat ini di atas, KHA Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan organisais atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
b.      Faktor Obyektif.
Ada beberapa sebab bersifat obyektif yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, yang dapat dikelompokkan dalam faktor internal yaitu penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan faktor eksternal yaitu penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
1)      Faktor obyektif yang bersifat internal :
-          Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al Quran dan as Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
-          Lembaga pendidikan yang dimilki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah Allah di atas bumi”.
2)      Faktor subyektif yang bersifat eksternal :
-          Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
-          Penetrasi bangsa-bangasa Eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
-          Pengaruh dari gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.


4.      Ide-ide Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan dan Pengaruhnya.
KHA. Dahlan adalah sosok yang cerdas dalam menangkap pesan al Quran dan al Hadis serta tanda-tanda zaman. Beliau berfikir rasional dan kritis, berwawasan luas dan futuristik. Menurutnya agama Islam berasal dari Tuhan dan absolut, tetapi perlu difahami melalui medium penafsiran manusia yang berlaku dalam setting lingkungan sosial yang kompleks. Oleh karenanya, hasil interprestasi manusia bersifat nisbi dan harus terus menerus dievaluasi dan direvisi.
KHA. Dahlan berpendapat bahwa dengan akal fikiran manusia dapat memperoleh kebenaran, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mampu memegang teguh kebenaran itu karena kuatir kehilangan kesenangan duniawi.[10] Gagasannya tidak semata teoritis, tetapi sekaligus praktis. Islam adalah kebenaran doktrinal yang praksis, tidak teoritis, tidak abstrak. Implemenatasi ajaran Islam merupakan tujuan utama dari makna Islam yang sesungguhnya dan karena itu menjadi standar dalam mengukur komitmen seorang Muslim.[11]
KHA. Dahlan menawarkan gagasan yang cerdas sebagai solusi memenahi sistem pendidikan yaitu sistem sekolah dan madrasah / pesantren, yang tujuannya adalah untuk menciptakan ulama intelek dan intelek yang ulama. Model pendidikan yang digagas KHA. Dahlan ini sekarang telah menjadi model pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta.[12] Dalam menafsirkan hadis ia berpijak pada teks dan konteksnya bahkan maqoshidus syari’ah dari teks tersebut.[13]
Terhadap kemiskinan dan ketepurukkan ekonomi yang menimpa kaum Muslimin, KHA. Dahlan menyerukan kepada umat Islam agar menjalankan amalan-amalan sosial seperti yang diperintahkan agama, dibangkitkan perasaan masyarakat yang sudah lemah dalam usaha tolong-menolong sehingga orang memiliki sikap sosial yang positif. Untuk itu beliau mempelopori mendirikan rumah yatim, rumah miskin dan rumah sakit. Zakat, qurban, shadaqah digerakkan dan digembirakan. Beliau ikut mempedayakan ekonomi pribumi yang termarginalkan oleh praktek ekonomi Belanda, bahkan beliau adalah enterpreneur yang handal. Untuk menggapai kejayaan uamat Islam harus memiliki basis ekonomi yang kuat.
Terhadap kerusakan aqidah, KHA. Dahlan mengajak kaum Muslimin untuk kembali kepada kemurinian tauhid beradasrkan al Quran dan Hadis. Hanya percaya kepada ke-Esaan Allah SWT. semata dan hanya kepada-Nya manusia menyembah dan memohon pertolongan. Beliau berpendapat salah satu sebab kemunduran umat Islam karena terbelenggu mitos-mitos yang diciptakan oleh para penguasa atau pengaruh ajaran Hindu-Budha.
Untuk mengatasi kebekuan (statis) dalam fiqh, KHA. Dahlan mengajak uamt Islam mempelajari Islam dari sumber aslinya, al Quran dan al Hadis. Kemudian diajak pula mengadakan penyelidikan dan analisa terhadap ajaran al Quran dan al Hadis sehingga dengan demikian Islam dapat lepas dari ikatan yang sempit dan mencoba menilai aktiviatas keseharian yang bermacam-macam itu dengan nilai agama. Beliau termasuk orang yang tidak mengikatkan diri pada salah satu mazhab sehingga sering dituduh keluar dari mainstreim (arus besar) Islam. Banyak ide-ide beliau yang telah diwujudkan dalam amalan praktis sehari-hari berbeda dengan prakek populer masyarakat pada zamannya yang merujuk pendapat salah satu mazhab.
Langkah yang ditempuh KHA. Dahlan mengantisipasi kemajuan agama Kristen dan Katholik adalah dengan mempergiat dan menggembirakan tabligh, menata dan mempermodern oraginasinya. Beliau termasuk orang yang percaya diri dan menguasai seluk beluk ajaran Islam sehingga tidak ragu-ragu menantang dialog dengan para pastur dan pendeta.

Footnote:

[1] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Yogyakarta, 2002, hlm.  103
[2] Sudjak, Muhammadiyah dan Pendirinya, PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, Yogyakarta, 1989, hlm. 2
[3] Ibid., hlm. 2-3
[4] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 106
                [5] Sudjak, Op.,Cit., hlm. 13
[6] Hadjid, KHR, Falsafah Ajaran KHA Dahlan, Siaran, Yogyakarta, t.th, hlm. 5
[7] Lihat Soeara Moehammadijah nomor 6 Juli 1947, hlm. 57
[8] Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 111
[9] Ibid., hlm. 113-120
[10] Hadjijd, Op.Cit., hlm. 7
[11] A. Zahri, KH. Ahmad Dahlan dan Ide-ide Pembaharuannya, dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum Nomor 62 Thn. XIV 2003, Al Hikmah & DITBINPERA, hlm. 114
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini