1. Latar
Belakang Biografinya.
Ahmad
Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta tahun 1868 M dengan nama Muhammad
Darwis. Ayahnya adalah KH. Abubakar seorang Khatib Masjid besar Kesultanan
Yogyakarta yang apabila dilacak silsilahya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim.
Ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim, Penghulu Kesultanan Yogyakarta.[1]
Ia diasuh dan dididik mengaji Al Quran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh
ayahnya sendiri di rumah, belajar Fiqh kepada KH. Muhammad Shaleh, Nahwu kepada
KH. Muhsin dan kepada KH. Muhammad Nur serta KH. Abdul Hamid dalam berbagai
disiplin ilmu.
Pada
tahun 1889 M ia dikawinkan dengan Siti Walidah, putri KH. Muhammad Fadhil,
kepala penghulu Kesultanan Yogyakarta.[2]
Beberapa bulan setelah perkawinanaya, ia menunaikan ibadah Haji pada tahun 1890
M (1308 H), setelah melaksanakan Umrah ia bersilaturrahim dengan para ulama
Indonesia maupun Arab. Ia mendatangi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan
mendapat ijazah bernama Haji Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia pulang
dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan Shafar 1309 (1891 M).
Ia
membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Akhirnya juga dipercaya
mengajar para santri dewasa maupun tua, lalu mendapat sebutan KH. Ahmad Dahlan.[3]
Pada tahun 1896 KH. Abubakar wafat, jabatan Khatib masjid besar oleh Kesultanan
Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada KH. Ahamad Dahlan dengan gelar Khatib Amin.
Lama kelamaan dirasa bahwa persedian ilmunya masih kurang, maka berangkatlah ia
naik Haji lagi pada tahun 1903 dan bermukim di Makkah selama dua tahun, dalam
hal ini ia belajar: (1) ilmu Fiqh kepada Syekh Saleh Bafedal, Syekh Sa’id
Yamani dan Syekh Sa’id Bagusyel; (2) ilmu Hadis kepada Mufti Syafi’i; (3) ilmu
Falak kepada Kyai Asy’ari Bawean, dan (4) ilmu Qiraat kepada Syekh Ali Misri
Makkah. Di samping itu juga kepada Syekh Ahmad Khattib Al Minangkabawi
(Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten), Kyai Mas Abdullah (Surabaya), KH. Fakih
(Maskumambang).[4]
Berbagai masalah sosial keagamaan yang dialami di tanah air dijadikan topik
diskusi dengan mereka. Sepulang dari Makkah, ia membangun pondok pesantren
untuk menampung murid-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta dan
kota-kota Jawa Tengah.
Di
antara materi pengajian yang diistimewakan pemberiannya kepada para muridnya
antara lain ilmu falak, tauhid dan tafsir dari Mesir.[5]
Dapat dipastikan bahwa bacaan beliau semenjak Haji kedua dan seterusnya adalah
karya tulis para pendukung ide pembaharuan dalam Islam. Di antaranya ialah: (1)
Karya Muhammad Abduh: Risalah Tauhid, Tafsir Juz’ Amma, dan Al-Islam
wan Nasraniah; (2) karya Ibnu Taimiyah: At-Tawasul wal Washilah; (3)
karya Rasyid Ridla: Tafsir Al-Manar; (4) karya Farid Wajdi: Dairtul
Ma’arif; (5) karya Rahmatullah al-Hindi: Izharul Haq; (6) karya
‘Ataillah: Matan Al-Hikmah; (7) karya Mazhab Hanbali: kitab-kitab Hadis;
(8) majalah al-Urwatul Wustqa dan Al-Manar.[6]
Pada
tahun 1909 ia bertemu dengan Dr. Wahidin Sudirihusodo di Ketandan Yogyakarta.
Ia menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya, dan
setelah mendengar ia menyatakan menjadi anggota bahkan diminta agar menjadi
anggota yang merupakan organisasi modern pertama di Indonesia. Pada tahun 1910
ia pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta.
Organisasi ini membina hubungan dengan pemimpin-pmimpin di negara-negara Islam
yang telah maju, dan memperoleh majalah Islam dari sana, dari organisasi ini
memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan AD,
daftar anggota yang tercatat, rapat-rapar berkala), dan mendirikan suatu
sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern.
2. Mendirikan
Organisasi Pasyarikatan Muhammadiyah.
Dari
pengalaman bergabung dengan organisasi tersebut, ia menyadari bahwa perbaikan
masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan dengan sendirian. Maka dengan
pengalamannya ia dirikan sekolah sendiri yang mengajarkan ilmu biasa dan agama
Islam, sekolah ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911, dengan nama sekolah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sedangkan nama oranisasi dipilih “Muhammadiyah”
Untuk menyusun anggaran dasar Muhammadiyah mendapat bantuan dari R.
Sosrosugondo, yang kesepakatan bulat pendirian Muhammadiyah pada tanggal 18
November 1912 (Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 22 Agustus 1914.
Statuten Muhammadiyah) atau tanggal 8 Dzulhijjah 1330.[7]
Pada
tanggal 20 Desember 1912 diajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda agar persyarikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai
suatu badan hukum. Wilayah gerak Muhammadiyah itu penduduk pribumi di Jawa dan
Madura. Maka Gubernur Jenderal mengirim surat permintaan pertimbangan kepada
Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan
Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Setelah
menerima semua saran dan pertimbangan lalu meminta kepada Hoofdbstuur
Muhammadiyah, agar mengubah kata-kata “Jawa dan Madura” mejadi Residentie
Yogyakarta, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai
badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914 Nomor
81[8]
tujuannya telah tegas, cara-cara mencapainya telah terarah yang menghasilkan
berbagai amal usaha nyata.
3. Pemikirannya.
Ditinjau
dari faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran KH. Ahamd Dahlan untuk mendirkian Persyarikatan Muhamamdiyah, secara
garis besar dapat dibedakan menjadi 2
(dua) faktor penyebab yaitu :[9]
a. Faktor Subyektif.
Faktor
subyektif sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor
penentu yang mendorong berdirinya
Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA Dahlan terhadap Al Quran baik dalam
hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya.
Sikap seperti ini dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang
tersimpul dalam QS. An Nias’ ayat 82 dan QS Muhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur
atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang
tersirat dalam setiap ayat, dan menatap QS Ali Imran ayat 104. Memahami seruan
ayat ini di atas, KHA Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah
perkumpulan organisais atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya
berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam amar makruf nahi munkar di
tengah-tengah masyarakat luas.
b. Faktor Obyektif.
Ada
beberapa sebab bersifat obyektif yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah, yang dapat dikelompokkan dalam faktor internal yaitu penyebab
yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan faktor
eksternal yaitu penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
1) Faktor obyektif yang bersifat
internal :
-
Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al
Quran dan as Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam
Indonesia.
-
Lembaga pendidikan yang dimilki umat Islam belum mampu
menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah Allah di atas
bumi”.
2) Faktor subyektif yang bersifat
eksternal :
-
Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.
-
Penetrasi bangsa-bangasa Eropa, terutama bangsa Belanda ke
Indonesia.
-
Pengaruh dari gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.
4. Ide-ide
Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan dan Pengaruhnya.
KHA.
Dahlan adalah sosok yang cerdas dalam menangkap pesan al Quran dan al Hadis
serta tanda-tanda zaman. Beliau berfikir rasional dan kritis, berwawasan luas
dan futuristik. Menurutnya agama Islam berasal dari Tuhan dan absolut, tetapi
perlu difahami melalui medium penafsiran manusia yang berlaku dalam setting
lingkungan sosial yang kompleks. Oleh karenanya, hasil interprestasi manusia
bersifat nisbi dan harus terus menerus dievaluasi dan direvisi.
KHA.
Dahlan berpendapat bahwa dengan akal fikiran manusia dapat memperoleh kebenaran,
akan tetapi kebanyakan manusia tidak mampu memegang teguh kebenaran itu karena
kuatir kehilangan kesenangan duniawi.[10]
Gagasannya tidak semata teoritis, tetapi sekaligus praktis. Islam adalah
kebenaran doktrinal yang praksis, tidak teoritis, tidak abstrak. Implemenatasi
ajaran Islam merupakan tujuan utama dari makna Islam yang sesungguhnya dan
karena itu menjadi standar dalam mengukur komitmen seorang Muslim.[11]
KHA.
Dahlan menawarkan gagasan yang cerdas sebagai solusi memenahi sistem pendidikan
yaitu sistem sekolah dan madrasah / pesantren, yang tujuannya adalah untuk
menciptakan ulama intelek dan intelek yang ulama. Model pendidikan yang digagas
KHA. Dahlan ini sekarang telah menjadi model pendidikan di Indonesia, baik
negeri maupun swasta.[12]
Dalam menafsirkan hadis ia berpijak pada teks dan konteksnya bahkan maqoshidus
syari’ah dari teks tersebut.[13]
Terhadap
kemiskinan dan ketepurukkan ekonomi yang menimpa kaum Muslimin, KHA. Dahlan
menyerukan kepada umat Islam agar menjalankan amalan-amalan sosial seperti yang
diperintahkan agama, dibangkitkan perasaan masyarakat yang sudah lemah dalam
usaha tolong-menolong sehingga orang memiliki sikap sosial yang positif. Untuk
itu beliau mempelopori mendirikan rumah yatim, rumah miskin dan rumah sakit.
Zakat, qurban, shadaqah digerakkan dan digembirakan. Beliau ikut mempedayakan
ekonomi pribumi yang termarginalkan oleh praktek ekonomi Belanda, bahkan beliau
adalah enterpreneur yang handal. Untuk menggapai kejayaan uamat Islam
harus memiliki basis ekonomi yang kuat.
Terhadap
kerusakan aqidah, KHA. Dahlan mengajak kaum Muslimin untuk kembali kepada
kemurinian tauhid beradasrkan al Quran dan Hadis. Hanya percaya kepada ke-Esaan
Allah SWT. semata dan hanya kepada-Nya manusia menyembah dan memohon
pertolongan. Beliau berpendapat salah satu sebab kemunduran umat Islam karena
terbelenggu mitos-mitos yang diciptakan oleh para penguasa atau pengaruh ajaran
Hindu-Budha.
Untuk
mengatasi kebekuan (statis) dalam fiqh, KHA. Dahlan mengajak uamt Islam
mempelajari Islam dari sumber aslinya, al Quran dan al Hadis. Kemudian diajak
pula mengadakan penyelidikan dan analisa terhadap ajaran al Quran dan al Hadis
sehingga dengan demikian Islam dapat lepas dari ikatan yang sempit dan mencoba
menilai aktiviatas keseharian yang bermacam-macam itu dengan nilai agama.
Beliau termasuk orang yang tidak mengikatkan diri pada salah satu mazhab
sehingga sering dituduh keluar dari mainstreim (arus besar) Islam.
Banyak ide-ide beliau yang telah diwujudkan dalam amalan praktis sehari-hari
berbeda dengan prakek populer masyarakat pada zamannya yang merujuk pendapat
salah satu mazhab.
Langkah
yang ditempuh KHA. Dahlan mengantisipasi kemajuan agama Kristen dan Katholik
adalah dengan mempergiat dan menggembirakan tabligh, menata dan
mempermodern oraginasinya. Beliau termasuk orang yang percaya diri dan
menguasai seluk beluk ajaran Islam sehingga tidak ragu-ragu menantang dialog
dengan para pastur dan pendeta.
Footnote:
[1] Mustafa Kamal Pasha
dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, dalam Perspektif
Historis dan Ideologis, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam,
Yogyakarta, 2002, hlm. 103
[2] Sudjak, Muhammadiyah
dan Pendirinya, PP Muhammadiyah Majelis Pustaka, Yogyakarta, 1989, hlm. 2
[3] Ibid., hlm. 2-3
[4] Mustafa Kamal Pasha
dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 106
[6] Hadjid, KHR, Falsafah
Ajaran KHA Dahlan, Siaran, Yogyakarta, t.th, hlm. 5
[7] Lihat Soeara
Moehammadijah nomor 6 Juli 1947, hlm. 57
[8] Kamal Pasha dan Ahmad
Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 111
[9] Ibid., hlm. 113-120
[10] Hadjijd, Op.Cit.,
hlm. 7
[11] A. Zahri, KH. Ahmad
Dahlan dan Ide-ide Pembaharuannya, dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum
Nomor 62 Thn. XIV 2003, Al Hikmah & DITBINPERA, hlm. 114
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini