A. Perkembangan Wakaf di Indonesia :
Perkembangan wakaf
di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :
1. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia :
Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam
yang eksistensinya sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Wakaf adalah
lembaga Islam kedua tertua di Indonesia setelah (atau bersamaan dengan)
perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, wakaf langgar / surau
dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul
wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk
membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.
Pada mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering
dilakukan oleh umat Islam, sebagai konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Sekalipun lembaga wakaf merupakan salah satu pranata Islam,
tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan diantara para ahli hukum bahwa
pewakafan merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya
lembaga berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulannya.[1]
Sejak itu persoalan wakaf telah diatur dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak
tertulis dengan mengambil sumber dari Hukum Islam.
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih
kurang tiga abad yang lalu, maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah
tersebar di berbagai persada nusantara Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad
(Rad Agama / Peradilan Agama) berdasarkan Staatsblad Nomor 152 pada tahun 1882,
maka dalam praktek yang berlaku, masalah wakaf menjadi salah satu wewenangnya,
di samping masalah perkawinan, waris, hibah, shadaqah dan hal-hal lain yang
dipandang berhubungan erat dengan agama Islam.[2]
Pengakuan Belanda ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa
mengenai masalah wakaf dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum Islam
diajukan oleh masyarakat ke Mahkamah Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal
dengan berbagai nama di berbagai daerah di Indonesia.
Pada masa ini (baca juga penjajah), telah
dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf, antara lain :
a. SE Sekretaris Govememen pertama tanggal
31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196
tentang Toezicht op den bouw van Mohammaedaansche bedehuizen.
b. SE Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni
1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad 1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht
van de Regeering op Mohammaedaansche, Vridagdiensten en wakaf.
c. SE Sekretaris Govememen pertama tanggal
24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934
Nomor 13390 tentang Toezicht van de Regeering op mohammaedaansehe bedehuize,
Vrijdag diensten en wakafs.
2. Pasca Kemerdekaan
Republik Indonesia :
Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang
dikeluarkan pada masa penjajah Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal
17 Agusus 1945 masih tetap berlaku berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Maka untuk menyesuaikan dengan
Negara Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22
Desember 1953 tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian
D (Ibadaha Sosial), Jawatan Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah
dikeluarkan SE Nomor 5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.[3]
Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem
Hukum Agraria, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah
nasional, antara lain melalui Departemen Agama RI. Selama lebih tiga puluh
tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai Undang-undang, Peraturana
Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan lain-lain yang
berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960,
yang pada intinya menyatakan benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh
hukum adat di Indonesia, di samping kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf)
adalah salah satu sumber komplementer hukum Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat
(1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah untuk kepelruan
suci dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagaaan dan sosial yang
diakui dan dilingdungi oleh UU ini.
3. Era Peraturan
Perudang-undangan Republik Indonesia :
Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang
perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun dapat
memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah seuai dengan ketentuan pasal 49
ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan
berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang tentang perwakafan
sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak
berlaku.
Dalam rangka mengamankan, mengatur dan
mengelola tanah wakaf secara lebih baik maka pemerintah mengeluarkan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga mengatur
masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres ini, kondisi wakaf lebih
terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf
al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dan
atas dukungan political will Pemerintah secara penuh salah satunya
adalah lahirnya Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
Dari pasal undang-undang ini telah mewacana
yang mengemuka tentang wakaf tunai dan realitas respon dari berbagai kalangan
menjadi dasar pemikiran pentingnya penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang di dalamnya memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai satu-satunya peraturan
perundang-undangan tentang wakaf sama sekali tidak mengcover masalah
tersebut, Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan optimisme dan
keteraturan dalam pengelolaan wakaf secara umum dan wakaf tunai secara khusus
di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.
B.
Yang dimaksud dengan Wakaf tunai dan Wakaf Produktif.
1. Wakaf Tunai
1. Wakaf Tunai
Sebagaimana yang
dimaklumi selain ada pemikiran ulama tentang wakaf yang terkesan agak kaku, ada
juga sudah terlihat dinamis dan responsif. Gagasan tersebut sudah merespon
bahwa ada rekayasa yang dilakukan oleh manusia untuk menjadikan kebolehan
mewakafkan uang tentu saja merupakan pemikiran yang sangat maju dinamika
pemikiaran tentang wakaf tunai tetap diharapkan berlangsung terus serima dengan
perkembangan zaman. Sedangkan yang
dimaksud wakaf tunai “cash wakaf” adalah wakaf yang dilakukan seseorang,
kelompok orang, dan lembaga wakaf atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
Wakaf tunai menurut
Fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah wakaf uang (Cash wakaf / Waqf al-Nuqud)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai.[4]
Di antara wakaf benda bergerak yang ramai
diperbincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan wakaf tunai, namun
kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash
waqf diterjemahkan dengan wakaf uang. Hukum wakaf tunai telah menjadi
perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa
wakaf uang telah dipraktekan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.
Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi
yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak
lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu ia merupakan
komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab
itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat
memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak. Uang sebagai nilai harga sebuah
komoditas, tidak lagi dipandang semata-mata sebagai alat tukar, melainkan juga
komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan
misalnya, memberlakukan sertifikat-sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan
ke masyarakat.
2. Wakaf Produktif
2. Wakaf Produktif
Pemunculan wakaf
produktif, karenanya menjadi pilihan utama, ketika umat sedang dalam
keterpurukan kemiskinan akut. Wakaf produktif, berarti bahwa wakaf yang ada memperoleh prioritas
utama ditujukan pada upaya yang lebih menghasilkan. Tentu dengan ukuran-ukuran
paradigma yang berbeda dengan wakaf konsumtif, memberi harapan-harapan baru
bagi sebagian besar komunitas umat Islam. Wakaf ini tidak berkehendak untuk
mengarahkan wakaf pada ibadah mahdlah an sich, sebagaimana yang
diarahkan wakaf konsumtif.
Wakaf produktif memiliki dua visi sekaligus; menghancurkan
struktur-struktur sosial yang timpang dan menyediakan lahan subur untuk
mensejahterakan umat Islam. Visi ini secara langsung digapai ketika totalitas
diabdikan untuk bentuk-bentuk wakaf produktif yang selanjutnya diteruskan
dengan langkah-langkah taktis yang mengarah pada capaian tersebut. Langkah
taktis, sebagai derivasi dari filosofi disyariatkannya wakaf produktif dimana
lebih berupa teknis-teknis pelaksanaan wakaf yang produktif.
Jenis wakaf produktif ini tentu saja juga sangat berdimensikan
sosial. Ia semata-mata hanya mengabdikan diri pada kemaslahatan umat Islam.
Sehingga, yang tampak dari hal ini, adalah wakaf yang prokemanusiaan, bukan
wakaf yang hanya berdimensikan ketuhanan. Makanya juga, yang tampak dalam wakaf
jenis ini adalah wakaf lebih menyapa realitas umat Islam yang berujud
kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan. Wakaf produktif, dengan demikian,
merupakan pengembangan dari penafsiran-penafsiran lama tentang wakaf. Wakaf
produktif seperti dikemukakan di atas, dapat diselenggarakan paling kurang,
dengan dua cara yaitu wakaf uang dan wakaf saham.
C.
Persamaan Wakaf Tunai dengan Wakaf
Produktif :
Wakaf tunai dan
wakaf produktif keduanya merupakan yang dilakukan seseorang, kelompok orang,
lembaga atau badan hukum dalam bentuk wakaf yang lebih produktif. Wakaf dalam berbagai bentuknya, dipandang
sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif.
Karena di sini wakaf tidak lagi hanya sekedar dijadikan sebagai tempat ibadah
atau harta tidak hanya alat tukar menukar saja, lebih dari itu ia merupakan
komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab
itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, kedua bentuk wakaf ini juga
dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak, sama-sama sebagai
nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata-mata sebagai lahan
tidak produktif, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi.
Ini dapat diwujudkan dengan misalnya, memberlakukan sertifikat-sertifikat wakaf
uang yang siap disebarkan ke masyarakat
D.
Perbedaan Wakaf Tunai dengan Wakaf
Produktif.
1. Jika wkaf tunai hanya dalam bentuk uang
saja atau saham., sedangkan wakaf produktif bagaimana memanfaatkan aset-aset
wakaf baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak terus berkembang. Wakaf tunai hanya dalam bentuk harta
bergerak yakni uang, sedangkan wakaf produktif baik harta bergerak maupun tidak
bergerak.
E.
Prospek Wakaf Tunai di Indonesia adalah
sebagai berikut :
Sebagaimana yang telah dimaklumi bawah wakaf
adalah lembaga Islam kedua tertua di Indonesia setelah (atau bersamaan dengan)
perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, wakaf langgar / surau
dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya muncul
wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk membiayai
pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.
Perbincangan tentang wakaf tunai muai mengemuka
dalam beberapa tahun terkahir. Hal ini seiring berkembangnya sistem
perekonomian dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inosasi baru. Wakaf tunai
sebagai instrumen finansial (financial instrument), keuangan sosial dan
perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking)
dipelopori pertama kalinya oleh Prod. Dr. M. A Mannan (2002).[5]
Wakaf tunai merupakan suatu produk baru dalam sejarah perekonomian Islam.
Instrumen finansial yang dikenal dalam perekonomian Islam selama ini berkisar
pada mudharabah atau musyarakah untuk membiayai investasi di
bidang industri dan pertanian. Bank juga tidak mau menerima tanah atau aset
lain yang merupakan harta wakaf untuk dijadikan jaminan. Karena harta wakaf
bukan hak milik, melainkan hak pakai terhadap manfaat harta wakaf itu.
Munculnya gagasan atau wacana wakaf tunai
memang mengejutkan banyak kalangan, khususnya para ahli dan praktisi ekonomi
Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk
bertahun-tahun lamanya, bahwa wakaf itu berbentuk benda-benda tak bergerak.
Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak
seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf tunai dalam konsep
wakaf sebagai hasil interprestasi radikal yang mengubah definisi atau
pengertian mengenai wakaf. Tafisran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya
teori-teori ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, wakaf tunai yang
digagas oleh Mannan direspon secara positif oleh beberapa lembaga sosial
keagamaan seperti Dompet Dhuafa Republika (DDR), Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU), UI Yogyakarta dan beberapa lembaga lain. Dompet dhuafa misalnya, dari
hasil pengumpulan wakaf tunai dialokasikan untuk pembuatan rumah sakit
(ambulan) keliling bagi kaum lemah berupa Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) dan
mendirikan sekolah Smart Exelensia, Meskipun beberapa pola pengelolaan
wakaf tunai yang dijalankan oleh lembaga-lembaga nazhir (LSM) profesional
tersebut belum sesuai dengan semangat pemberdayaan wakaf sebagaimana yang
diajarkan Nabi, tapi paling tidak, wakaf tunai sudah mewacana dalam variable
aksi penanganan kesejahteraan sosial.[6]
Menurut Mannan, wakaf tunai mendapat perhatian
serius karena memiliki akar yang panjang dalam sejarah Islam. Sebagai instrumen
keuangan, wakaf tunai merupakan produk baru dalam sejarah Perbankan Islam.
Pemamfaatan Wakaf Tunai dapat dibedakan menjadi dua, yakni pengadaan barang
privat (private good) dan barang sosial (social good). Karena
itu, wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang
keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari warga yang
berpenghasilan tinggi dapat dimamfaatakan melalui penukaran sertifikat wakaf
tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai dapat
dibelanjakan untuk berbagiai tujuan, misalnya untuk pemeliharaan harta-harta
wakaf.[7]
Gagasan Mannan, secara ekonomi sangat potensial
untuk dikembangkan di Indonesia, karena dengan model wakaf itu daya jangkau
mobilisasinya akan jauh lebih merata kepada sebagian anggota masyarakat (bisa
dilakukan oleh si kaya dan si miskin) dibandingkan dengan model wakaf-wakaf
tradisional-konvensioanl, yaitu dalam bentuk harta fisik yang biasanya
dilakukan oleh keluarga yang terbilang relatif mampu (kaya).
Salah satu model yang dapat dikembangkan dalam
mobilisasi wakaf tunai di Indonesia
adalah Dana Abadi, yaitu dana yang dihimpun dari berbagai sumber dengan
berbagai cara yan sah dan halal, kemudian dana yang terhimpun dengan volume
besar diinvestasikan dengan tingkat keamanan yang tinggi melalui lembaga
penjamin Syari’ah. Keamanan investasi ini paling tidak mencakup dua aspek :
Aspek pertama, yaitu nilai pokok dana abadi sehingga tidak terjadi penyusutan
(jaminan keutuhan) ;
Aspek kedua, yaitu investasi dana abadi tersebut harus
produktif, yang mampu mendatangkan hasil atau pendaptan (incoming generating
allocation) karena dari pendapatan inilah pembiayaan kegiatan organisasi
akan dilakukan dan sekaligus menjadi sumber utama pembiayaan.[8]
Dari beberapa wacana yang mengemuka tentang
wkaf tunai dan realitas respon dari berbagai kalangan menjadi dasar pemikiran
pentingnya penyusunan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang di
dalamnya memuat aturan tentang wakaf tunai. Karena Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977, sebagai satu-satunya peraturan perundang-undangan tentang wakaf
sama sekali tidak mengcover masalah tersebut, Undang-undang ini
diharapkan dapat memberikan optimisme dan keteraturan dalam pengelolaan wakaf
secara umum dan wakaf tunai secara khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia
ke depan.
Kecenderungan untuk melakukan perbuatan hukum
berupa wakaf tunai (cash waqf) yang dinilai sebagai cara yang lebih
efektif dan praktis untuk berwakaf dan memiliki prospek ekonomi yang cukup
baik. Perluasan obyek wakaf berupa benda bergerak tersebut yang secara normatf
hukum berkaitan pula dengan masalah transaksi keuangan pada umumnya memerlukan
pengaturan yang cermat, karena itu perlu diatur dengan undang-undang.
Strategi pengembangan wakaf tunai di Indonesia
dalam berbagai bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi (problem
solving) yang dapat paradigma wakaf menjadi lebih ke arah produktif. Karena
uang di sini tidak lagi sebatas instrumen sebagai alat tukar menukar saja,
lebih dari itu uang merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal
pengembangan inonasi yang lain. Oleh sebab itu, sama dengan jenis komoditas
yang lain, wakaf tunai juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang
lebih banyak untuk kemaslahatan umat Islam ke depan.
Wakaf uang, sebagai nilai harga sebuah
komoditas, tidak lagi dipandang semata-mata sebagai alat tukar, melainkan juga
komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan cara;
misalnya memberlakukan sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke
masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel
mengalokasikan (tasharuf) hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini
karena wakif tidak memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya
dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam
satuan-satuan yang lebih kecil
Disamping itu wakaf tunai ternyata memudahkan
mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat wakaf tunai, karena beberapa
alasan:
Pertama, ruang
lingkup sasaran pokok pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding
dengan wakaf biasa pada umumnya.
Kedua, dengan
sertifikat wakaf tunai, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan
dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal
tinggi.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam
wakaf tunai, maka umat Islam akan lebih mudah memberikan kontribusi dalam wakaf
tanpa harus menunggu kapital (baca; ketika kaya) dalam jumlah modal besar. Umat Islam tidak mesti menunggu
menjadi tuan tanah (aghnia) untuk menjadi wakif. Selain itu, tingkat
kesadaran sosial dan sifat kedermawanan umat Islam Indonesia cukup menjanjikan,
sehingga penulis merasa optimis
mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf tunai.
Wakaf tunai sebagaimana yang telah penulis
uraikan pada segmen terdahulu pada dasarnya sudah lama dipraktekan pada di masa
Dinasti Mu’awiyyah. Bahkan wakaf tunai sudah menjadi pembahasan ulama
terdahulu; salah satunya Imam az-Zuhri (wafat tahu 124 H) yang membolehkan
wakaf uang (saat itu dinar dan dirham). Pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i
juga membolehkan wakaf uang. Mazhab Hanafi juga membolehkan dana wakaf tunai
untuk investasi mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan
dari bagi hasil digunakan untuk kepentingan umum.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama
Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf
al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya.
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam pasal 28-31 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf) pasal 22 -27 secara eksplisit menyebut tentang
bolehnya pelaksanaan wakaf uang.
Jumlah umat Islam yang terbesar di Indonesia
merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf
tunai dapat diimplementasikan, maka dana potensial yang sangat besar yang bisa
dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Perlu dicatat bahwa ada beberapa strategi penting untuk
optimalisasi wakaf tunai dalam rangka untuk menopang pemberdayaan dan
kesejahteraan ummat:
Pertama,
optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang. Seluruh komponen umat perlu
untuk terus penyampaikan konsep dan manfaat wakaf tunai pada seluruh lapisan
masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik pada level pemikiran
hukum (juris Islam) maupun pada level praktik. Fiqh wakaf yang progresif
dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas mazhab.
Pemikiran hukum wakaf mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat dijadikan acuan
komparatif (fihq al muqarin) bagi masyarakat kita yang mayoritas
bermazhab Syafi'i. Selain itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah
Islam serta studi komparatif dengan pengalaman di negara-negara Islam masa kini
dapat menjadi informasi penting dalam sosialisasi wakaf tunai. Fakta sejarah
telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan
bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Pada masa dinasti Umayyah
terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawab
pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyab terdapat lembaga wakaf yang
disebut dengan "Shadrul Wuquuf” yang mengurus administrasi dan
memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir
mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan
yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleb dinasti Fathimiyyah sebelumnya.
Kedua,
tindakan riil operasional wakaf uang melalui proyek percontohan (pilot
project). Prinsipnya, bila ada contoh sukses di depan mata, biasanya
masyarakat akan mengikuti dan berkreasi. Pendidikan dan pelatihan akan dengan
sendirinya menjadi kebutuhan pengembangan setelah wakaf uang tersebut menjadi fakta
di lapangan.
Adapun Dana wakaf yang terkumpul ini
selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha
yang halal dan produktif, Misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang
sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan waaf dan dari dana wakaf. Proyek
ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam
perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif
murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus
menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang,
sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti "wakaf tunai",
yang telah diujicobakan di Bangladesh.
Wakaf tunai (cash waqf). Konsep Temporary Waqf, pemanfaatan dana wakaf
dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada
muwaqif. Hal ini sangat menarik meski masih diperdebatakan kebolehannya. Wacana
lain yang menarik adalah memanfaatkan wakaf tunai untuk membiayai sektor
investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi
Syariah.
Pada poinnya, kita ingin melihat kemajuan wakaf
tunai di Indonesia
seperti kejayaan wakaf pada masa dinasti-dinasti Islam yang mampu membiayai
negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Footnote:
[1] Azhar Baasyir
Ahmad, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah-Syirkah, PT. Al-Ma’arif,
Bandung, 1977, hlm. 13
[2] Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura,
Yogyakarta, tanpa penerbit, 1953, hlm. 77
[3] Departemen
Agama, Bunga Rampai Perwakafan, Ditjen Bimas Islam, Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Jakarta, 2006.
[5] Departemen Agama, Proses Lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahu 2004
Tetang Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, 2006, hlm. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini