A. PENDAHULUAN.
1. Latar Belakang Masalah.
Program nasional Keluarga Berencana (Birth Control) telah berjalan dengan
baik dan berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk beberapa persen setiap
tahun. Keberhasilan ini sangat menunjang program pembangunan nasional, yang
sedang menuju kepada terciptanya keadilan dan kemakmuran yang merata dalam
masyarakat. Sebagai bagian mayoritas penduduk Indonesia, umat Islamlah yang
paling banyak disentuh oleh gerakan program nasional Keluarga Berencana (KB).
Karena itu diperlukan penjelasan tericinci tentang tinjauan hukum Islam
terhadap pelaksanaan KB.
Dalam pelaksanaan program nasional Keluarga
Berencana telah diperkenalkan kepada masyarakat
beberapa alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh suami-isteri untuk
menyukseskan program tersebut. Misalnya pil,
kondom, susuk, IUD dan sterilisasi
(vasektomi dan tubektomi).[1]
Dari segi etika, hampir setiap alat kontrasepsi tersebut dibenarkan oleh Islam,
kecuali IUD (spiral). IUD sebagai alat kontrasepsi yang dipasang pada rahim
wanita memerlukan metode tertentu agar tidak melanggar etika Islam. Penggunaan
IUD dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya dilakukan oleh tenaga
medis wanita, atau jika terpaksa dapat dilkukan oleh tenaga medis laki-laki
dengan disampingi oleh oleh suami atau wanita lain.
Kalau IUD akhirnya dibenarkan secara bersyarat,
sterilisasi melalui vaseksomi dan tubektomi tidak dibenarkan oleh ulama
pada masa. Kedua metode sterilisasi ini dianggap bertentangan dengan hukum
Islam, karena pada awalnya terjadi pemandulan. Namun demikian, karena para
pakar kodekteran telah menemukan alternatif terbaik pelaksanaan vasektomi dan
tubektomi sehingga cara tersebut tidak lagi bersifat pemandulan abadi,
melainkan dapat dibuka dan disambung lagi secara aman (rekanalisasi). Maka kedua cara tersebut dapat ditoleransi oleh
hukum Islam. Oleh karenanya biaya rekanalisasi
sangat mahal, maka hal tersbut hanya dibenarkan bagi orang sudah memiliki dua
atau tiga orang anak. Sebaliknya, bagi yang belum atau hanya memiliki seorang
anak, sebaiknya jangan melakukan sterilisasi.
2. Permasalahan.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi masalah
pokok dalam tulisan ini adalah bagaimana hukum sterilisasi melalui vaseksomi dan tubektomi dalam melakukan
Keluarga Berencana ?
B.
TINJAUAN UMUM TENTANG VASEKTOMI DAN TUBEKTOMI.
1.
Pengertian Vasektomi dan Tubektomi.
Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau
wanita dengan jalan operasi (pada umumnya) agar tidak dapat menghasilkaan keturunan.
Sterilisasi pada lelaki disebut vasektomi atau vas ligation.
Vasektomi ialah usaha untuk mengikat (memotong) saluran sperma, sehingga sel
mani laki-laki tidak dapat berfungsi.[2]
caranya ialah memotong saluran mani (vas deverens) kemudian kedua
ujungnya diikat, sehingga sel sperma tidak dapat mengalir keluar penis (urethrai).[3]
Sterilisasi lelaki termasuk operasi ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah
sakit dan tidak menggagu kehidupan seksual. Lelaki tidak kehilangan sifat
kelelakiannya karena operasi. Nafsu seks dan potensi lelaki tetap dan waktu
melakukan koitus, terjadi pula ejakulasi, tetapi yang terpencar hanya semacam
lender yang tidak mengadung sel sperema.
Lelaki yang disterilisasi itu testisnya (buah
zakar) masih tetap berfungsi, sehingga lelaki masih mempunyai semua hormon yang
diperlukan. Juga kepuasan seks tetap sebagaimana biasa. Demikian pula
kelenjer-kelenjer yang membuat cairan putih tidak berubah, sehingga pada waktu
puncak kenikamatan seks (orgasme), cairan putih masih keluar dari penis.[4]
Sedangkan pada wanita disebut tubektomi
atau tubal ligation. Tubektomi adalah usaha mengikat (memotong) saluran
ovum sehingga sel telur wanita tidak dapat dibuahi.[5]
Caranya ialah dengan memotong kedua saluran sel telur (tuba palupii) dan
menutup kedua-duanya, sehingga sel telur tidak dapat keluar dan sel sperma
tidak dapat pula masuk bertemu dengan sel telur, sehingga tidak terjadi kehamilan.[6]
2.
Pendapat Ulama Tentang Vasektomi dan Tubektomi.
Sebagaimana diketahui pada mulanya ditemukan sterilisasi
baik untuk lelaki (vasektomi) maupun untuk wanita (tubektomi)
sama dengan abortus, bisa mengakibatkan kemandulan sehingga membawa
danpak kemandulan bagi yang bersngkuatan. Dalam permasalahan ini para ulama
berpendapat sebagai berikut :
1. Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi berpendapat
sebagai berikut dengan mengemukakan beberapa alasan :[7]
a. Sterilisasi (vasektomi
/ tubektomi) berakibat pemandulan tetap. Hal ini bertenatangan dengan
tujuan pokok perkawinan menurut Islam, yakni : perkawinan lelaki dan wanita
selain bertujuan untuk mendapatkan kebahagian suami isteri dalam hidupnya di
dunia dan di akhirat, juga untuk mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan
menjadi anak yang saleh sebagai penerus cita-citanya.
b. Mengubah ciptaan Tuhan
dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi
(saluran mani / telur).
c. Melihat aurat orang lain
(aurat besar).
Selanjutnya apabila suami isteri
dalam keadaan yang sangat terpaksa (darurat / emergency), seperti untuk
menghindari penurunan penyakit dari bapak / ibu terhadap anak keturunannya yang
bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau melahirkan
bayi, maka sterilisasi diperbolehkan oleh Islam.
2. Majelis Ulama Indonesia.[8]
Dalam sidang Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia tanggal 13 Juli 1977, setelah membahas beberapa kertas kerja
tentang vasektomi / tubektomi yang disusun, serta pendapat-pendapat para
peserta sidang, yang antara lain mengutarakan :
a. Pemandulan dilarang oleh
agama ;
b. Vasektomi / tubektomi
adalah salah satu usaha pemandulan ;
c. Di Indonesia belum dapat
dibuktikan bahwa vasektomi / tubektomi, dapat disambung kembali.
Berdasarkan hal dmikian MUI
memutuskan bahwa vasektomi / tubektomi hukumnya haram.
C.
ANALSISIS.
1.
Pendekatan Dalam Penemuan Hukum.
Sebagaimana yang telah diketahui dari pendapat
ulama terdahulu bahwa vasektomi dan tubektomi tidak dibenarkan, karena
kedua bentuk kontrasepsi sterilisasi ini sebagai kontrasepsi yang berusaha
untuk pemandulan baik pada laki-laki maupun pada perempuan, oleh karenanya
ulama terdahulu berpendapat dan beranggapan hal demikian bertentangan dengan
tujuan hukum Islam, karena terjadnya pemandulan.
Namun demikian, karena para pakar kedoketeran
telah menemuklan jalan alternatif terbaik untuk pelaksanaan vasektomi dan
tubektomi sehingga cara tersebut ternyata idak lagi bersifat pemandulan abadi,
melainkan dari hasil tekhnologi ilmu kedokteran sterilisasi melalui kedua
metode ini dapat dibuka dan disambung lagi secara aman (rekanalisasi).
Maka berdasarkan pada teori penemuan hukum dalam Islam dengan memakai metode istislahi
(metode kemaslahatan), maka vasektomi dan tubektomi telah bergeser status
hukumnya yang semula haram karena membawa danpak pemandulan permanen terhadap
sua,I atau isteri sehingga bertentangan dengan konsep hukum perkawinan dalam
Islam, yakni memperoleh keturunan, maka pada saat ini ditemukan bahwa vasektomi
dan tubektomi bisa kembali disambung (tidak pemandulan permanen), oleh
karenanya ditoleransi dan dibenarkan oleh hukum Islam.
Islam hanya membolehkan vasektomi dan tubektomi
karena hanya semata-mata alasan kemaslahatan jika ada efek negatif baik kepada
si ibu atau terhadap anak, karena setiap kemafsadatan harus dihilangkan,
seperti kebolehan kemaslahatan tersebut dengan alasan medis Maka berdasarkan metode istislahi sterilisasi
baik secara vasektomi maupun tubektomi hukumnya boleh, dengan beberapa syarat :
a. Adanya azas sukarela,
artinya yang bersangkutan telah diberitahu berbagai alat / cara kontrasepsi dan
yang bersangkutan secara sukarela memilih vasektomi atau tubektomi.
b. Adanya azas bahagia,
artinya yang bersangkutan terikat dalam perkawinan yang sah dan harmonis, telah
punya anak karena tujuan perkawinan
adalah untuk mendapatkan keturunan.
Dalam teori istislahi ini dapat juga dikemukan
bahwa laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi, sedangkan lapangan pekerjaan
semakin sempit, sehingga daripada meninggalkan generasi yang lemah dan agar
hasil pembangunan nasional dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, maka
vasektomi dan tubektomi diperbolehkan sebagai salah satu menekan laju pertumbuhan
penduduk.
D.
Teori Kemaslahatan.
Kemudian jika suami isteri dalam keadaan
terpaksa / darurat (emergency),
seperti untuk menghindari penurunan penyakit dari bapak / ibu terhadap anak
yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu bila ia mengandung atau
melahirkan bayi, maka sterilisasi dengan metode vasektomi dan tubektomi
diperbolehkan oleh Islam dan termasuk dalam kategori teori maslahat.
1.
Dalam Ketegori
Darurat, atau Hajjiyat atau Tahsiniyat.
Berdasarkan dengan alasan yang telah dikemukakan
di atas, dan sesuai dengan ketentuan kaidah-kaidah hukum Islam, maka vasektomi
dan tubektomi diperbolehkan dalam Islam, tidak harus dalam keadaan darurat,
melainkan juga dapat diizinkan dalam keadaan hajjiyat bahkan dapat
dilakukan dalam keadaan tahsiniyat (normal) biasa, dengan syarat :
a. Selektif dan persuasif
dengan memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.
b. Berhak mendapatkan
pelayanan vasektomi (penyambungan kembali saluran sperma) atau reanastomisis
(penyambungan kembali saluran telur), apabila suami / isteri yang menjalani
sterilisasi mengalami musibah, misalnya anak-anaknya meninggal karena
kecelakaan, atau salah satu darisuami / isteri meninggal, sedangkan yang masih
hidup mau kawin lagi, padahal ia telah menjalani sterilisasi.
Guna untuk kepentingan penetapan hukum, maka
vasektomi dan tubektomi dapat saja menjadi tiga peringkat daruriyat, hajiyyat
dan tahsniyat. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala
priritasnya. Yang dimaksud dengan memelihara kelompok dururiyat adalah
memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kebutuhan seksualitas
seseorang jika bukan metode ini dipakai karena metode yang lain kurang cocok
bahkan membawa mafsadat, maka vasektomi dan tubektomi dapat saja pada tingkat
dururiyat. Jika tidak terpenuhinya yang esensial ini akan mengancam lima tujuan
pokok yang harus dipelihara yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.
Berbeda jika dalam tahap hajiyyat, tidak
termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan
manusia dari kesulitan dalam hidupnya, namun jika vasektomi dan tubektomi tidak
ditempuh, maka akan mengalami kesulitan bagi suami isteri, dalam tahap ini erat
kaitannya dengan rukhsah atau keringan dalam ilmu fiqh, seperti suami isteri
memakai metode ini dalam upaya untuk mengatur tingkat kelahiran anak karena
kontrasepsi yang lain dikuatirkan membawa kegagalan dalam ber-KB.
Sedangkan vasektomi dan tubektomi dalam tingkat
tahsiniyat adalah kebutuhan yang menunjang dalam peningkatan gairah seksualitas
suami isteri karena beban psikologis terhindar karena kegagalan dalam metode
sterilisasi ini kecil kemungkinan terjadi sesuai dengan kepatutan.
2.
Maqasid Syari’ah.
Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa kontrasepsi mantap pria dan wanita dengan jalan vaseksotmi
dan tubektomi dapat dibenarkan dalam Islam. Sebab vasektomi dan tubektomi pada
saat sekarang tidak lagi pemandulan permanen, karena kemajuan tekhnologi
kodokteran yang canggih dewasa ini dengan cara mikroskopik dapat
dilakukan vasovasostomi dan reanastomisis dengan hasil yang cukup
memuaskan. Oleh karena vasektomi dan tubektomi termasuk dari lima tujuan
syari’ah yang harus dilindungi.
Tujuan hukum merupakan dalam rangka upaya
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum menjawab
persoalan-persoalan hukum kontemporer, sehingga vasektomi dan tubektomi dapat
diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan dari yang
sifatnya permanent telah berubah kepada sesuatu yang dapat disambung kembali.
Dengan demikian maqasid syari’ah menjadi kunci bagi keberasilan program KB
melalui vasektomi dan tubektomi.
Demikian pula halnya vasektomi dan tubektomi
bukan persoalan ibadah, akan tetapi masuk dalam aspek mu’amalah yang pada
dasarnya bidang mu’amalah dalam ilmu fiqh dapat diketahui makna dan rahasianya
oleh manusia, jadi tujuan penetapan hukumnya akan lebih mudah diketahui oleh
manusia itu sendiri dan tujuan akhir penetapan hukum itu adalah dalam rangka
untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat
baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian termasuk dalam kategori lima
tujuan hukum yang harus dipelihara karena jika tidak memakai metode vasektomi
dan tubektomi akan membawa kesulitan dalam hidup suami siteri, tidak
terpeliharanya kelompok ini akan mengancam hidup suami isteri, yaitu bertitik
tolak lima pokok kemaslahatan yaitui : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
E. Qaidah Fiqiyah dan
Penetapan Kasus.
Berikut ini kaidah-kaidah fiqiyah yang dapat
dikemukan dalam penemuan hukum dalam masalah vasektomi dan tubektomi sebagai
berikut :
1. Jika keadaan vasektomi dan
tubektomi merupakan sesuatu yang yang bersifat darurat (emergency), hal
ini berdasarkan kaidah :
الضرورة تبيح المحظورات
Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.[9]
ماابيح للضرورة
بقدر تعذرها
Sesuatu yang diperbolehkan karena terpaksa, adalah menurut kadar
halangannya.[10]
2. Jika dilihat bahwa vasektomi dan tubektomi pada mulanya
haram karena pemandulan permanen, namun dengan perkembnagan ilmu penegtahuan
dan tekhnologi, maka hukum vasektomi dan tubektomi ditolerir, dengan alasan
kaidah :
الحكم يدور مع
العلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar bersama illatnya alasan yang menyebakan adanya hukum
atau tidak adanya.[11]
تغير الأحكام بتعير الأزمنة والأمكنة والأحوال
Hukum-hukum itu bisa berubah karena perubahan zaman, temapt dan keadaan.[12]
3. Di dalam Al Quran dan Al Hadis yang menjadi sumber pokok
hukum Islam dan yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam, tidak ada nash yang
terang melarang ataupun yang memerintahkan vasektomi dan tubektomi secara
eksplisit. Karena itu, hukumnya harus dikebalikan kepada kaidah hukum Islam
yang menyatakan :
الأصل فى الأشياء
والأفعال الإياحة حتى يدل الدليل على تحريمها
Pada dasarnya segala sesuatu dan perbuatan itu boleh sehingga ada dalil
yang menunjukan atas keharamannya.[13]
4. Meode vasektomi dan tubektomi baik yang dibolehkan
ataupun secara bersyarat oleh hukum Islam dapat dilkukan dengan ketentuan tidak
membahayakan, namun jika dapat membahayakan keselamatan manusia hukumnya dapat
berbalik menjadi haram, oleh karenanya setiap kemudharatan harus dihilangkan, sebagaimana
kaidah yang menyatakan :
درء المفاسد وجلب
المصالح
Menghindari kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan.[14]
5. Jika vasektomi dan tubektomi merupakan sesuatu yang harus
ditempuh, guna untuk mendapatkan kemudahan, maka kaidah yang berkenan dengan
ini adalah :
المشقة تجلب
التيسير
Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan.[15]
الضرر يزال
Kemadlorotan itu harus dihilangkan.[16]
6. Seorang dokter boleh mengerjakan profesi vasektomi dan
tubektomi bagi suami isteri yang mengnginkannya (butuh) jika jalan ini yang
lebih aman untuk melakukan KB, kaidah yang berkaitan dengan ini yaitu :
الحجة تنزل منزلة
الضرورة عامة كانت ام خاصة
Hajat (kebutuhan) itu menduduki kedudukan darurat, baik hajat umum (semua
orang) ataupun hajat khusus (satu golongan atau perorangan).[17]
7. Jika terdapat beberapa alat kontrasepsi yang dapat digunakan oleh suami-isteri, namun
salah satunya terdapat secara bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus
diteliti mana yang lebih kecil atau lebih ringan dari kedua mafsadat tersebut,
sedangkan yang lebih besar mafsadatnya ditinggalkan, dikerjakan yang lebih
ringan madlaratnya, kaiadah yang berkenaan dengan persoalan vasektomi dan
tubektomi, jika memang dengan metode ini mudlaratnya yang lebih kecil, maka
boleh mempegunakan sterilisasi ini :
إذا تعارض مفسدتان
روعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفها
Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar
madlaratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan madlaratnya.[18]
Dari arti kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas
tadi menunjukan bahwa kemadlaratan itu telah terjadi dan akan terjadi, apabila
demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Dari berbagai macam kaiadah ini dapat
ditetapkan bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka seseorang diperkenankan
melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak
demikian munkin akan menimbulkan suatu kemadlaratan pada diri suami isteri jika
tidak menempuh metode vasektomi dan tubektomi.
Jika memang vasektomi dan tubektomi haram pada mulanya
karena metode ini membawa kemandulan permanen, kenyataannya karena perubahan
zaman, tempat dan kepentingan bahwa vasekstomi dan tubektomi tidak lagi
demikian halnya, tetapi bisa disambung kembali, sehingga perubahan fatwa hukum
suatu masalah bisa dimungkinkan, karena illat hukum yang menjadi alasan hukum
ijtihad itu telah berubah, atau karena zaman, waktu dan situasi kondisinya yang
telah berubah pula.
F. Hikmah, Nilai Positif
atau Rahasia Hukum.
Dalam berbagai ayat dalam Al Quran mengingatkan
kepada umat Islam agar harta dan anak-anaknya tidak menjadi penghalang dalam
beribadah kepada Allah SWT. Tidak jarang ditemukan keluarga yang berantakan
justru diakibatkan oleh anak-anak mereka yang tidak terdidik, malah tanpa
kualitas dan moralitas. Apalagi jika jumlah anak itu banyak, bukan hanya mengakibatkan
kemelaratan dan kebobrokan keluarga, tetapi juga dapat membawa kemurkaan Allah
SWT di akhirat kelak.
Berdasaekan argument di atas, maka program
Keluarga Berebcana dengan menggunakan sterilisasi baik vasektomi dan tubektomi
sebagai salah program keluarga berencana perlu dilestarikan dalam uapaya
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan bangsa. Sebab dengan perubahan dan
perkembangan zaman ternyata vasektomi dan tubektomi tidak lagi bersifat
pemandulan abadi, melainkan dapat dibuka dan disambung kembali secara aman,
sehingga memudahkan untuk mengontrol kehamilan bahkan dapat direncanakan secara
matang ketimbang memakai alat kontrasepsi yang lain
Tentu kehadiran vasektomi dan tubektomi ini
sebagai alternatif bagi pasangan suami isteri untuk melakukan KB, maka secara
tidak langsung telah membawa suatu perubahan mendasar dalam pola pimikiran umat
Islam, paling tidak setiap klnik KB dilengkapi dengan ahli tentang hukum Islam,
maka program ini akan berjalan secara lebih baik dan kualitas, tidak saja berkualitas
di mata manusia tetapi juga baik dan berkualitas di mata Allah SWT. Sehingga
penggunaan tenaga ahli Islam menambah nilai positif untuk meningkatkan
pelayanan program KB sesuai dengan cita-cita hukum Islam. Sebab jika
pelaksanaannya mengabaikan hukum Islam, besar peluangnya untuk gagal diterapkan
dalam masyarakat Islam.
Hikmahnya tentu dalam upaya yang bertujuan
untuk kemaslahatan manusia, seperti meningkatkan kesejahteraan dan kebahagian
hidup masyakarat, baik material maupun spiritual. Sebab umat yang sedikit lebih
baik daripada banyak tapi kurang berkualitas, olehkarena itu program KB dengan
metode ini salah satu termasuk yang diperbolehkan dalam Islam setelah ditemukan
bahwa vasektomi dan tubektomi tidak lagi pemandulan permanent, namun dapat disambung
ulang.
Di samping itu, terkadang alat kontrasepsi
membawa side effect terhadap wanita berupa pendarahan, rasa mal-mual,
kegemukan, dan sebagaimnya yang tentu akan sang isteri yang sebagian kurang
cocok dengan alat / cara kontrasepsi tertentu, maka wajarlah salah satu hikmah
diperbolehkan cara yang lain, dimana sang suami berpartisipasi penuh memakai
alat / cara kontrasepsi tertentu dengan persetujuan isteri dengan cara
vesektomi karena ternyata tidak ada akibat sampingan bagi suami, sebab
sebagaimana yang diketahui bahwa vasektomi tidak mengurangi gairah seks seorang
laki-laki, masih tetap bisa ereksi, ejakulasi dan merasakan nimatnya jima (sexsualitas
pleasure), bahkan sisi positifnya bisa menjadi potensialnya meningkat,
karena beban psisikologis hilang karena tidak kwatir lagi gagal KB-nya.
G.
KESIMPULAN.
Dari uraian yang telah penulis paparkan dalam
jawaban di atas, maka yang menjadi kesimpulannya adalah sebagai berikut :
1. Vasektomi dan tubektomi bisa
ditolelir karena tidak membawa akibat kemandulan permanen, dan lebih dapat
ditolelir sang suami menjalani vasektomi, apabila sang isteri mendapat berbagai
macam side effect dengan memakai ala-alat / cara-cara KB yang lain.
2. Jika dilihat dari teori
maslahat ternyata vasektomi dan tubektomi dapat saja dalam upaya memelihara
kemaslahatan baik dururiyat, hajjiyat dan tahsiniayat.
3. Kebolehan sterilisasi
melalui vasektomi dan tubektomi ternayta didukung oleh dalil syar’i dan
kaidah-kaidah fiqiyah.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdu al-Rahman
Isa, al-Mu’amalah al-Haditsah wa Ahkamuha, Maktabah Mukhaimir, Mesir, (tt.).
Al Sayuti, Al-Asybah wa al-Nadzir, Mathba’ah Mustafa Muhammad, 1936,
hlm. 60.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, 2003.
Masjfuk Zuhdi, Islam dan
Keluarga Berencana di Indonesia, cet. V, Bina Ilmu, Surabaya, 1986.
-----------------,
Masailul Fiqh, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
Muhammad ‘Izzuddin bin Abdi as-Salam, lihat Abdul Mudjib, Kaidah-Kadaiha
Ilmu Fiqh (Al-Qaea’idul Fiqiyah), cet. 3, Kalam Mulia, Jakarta, 1999.
Umar Shihab, Kontekstualitas
Al Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Cet. III,
PT. Penamadani, Jakarta, 2005.
Footnote:
[1] Pendapat di atas
dikemukakan oleh ‘Abdu al-Rahman Isa, al-Mu’amalah al-Haditsah wa Ahkamuha,
Maktabah Mukhaimir, Mesir, (tt.), hlm 83-91.
[2] Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an
Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Cet. III, PT.
Penamadani, Jakarta, 2005, hlm. 467.
[3] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqh, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,
hlm. 67.
[4] Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia,
cet. V, Bina Ilmu, Surabaya, 1986, hlm. 40-41.
[5] Umar Shihab, Op.Cit,
hlm. 467.
[6] Masjfuk Zuhdi, Loc.Cit,
1987, hlm. 43.
[7] Masjfuk Zuhi, Op.Cit.
1987, hlm. 68.
[8]Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, 2003, hlm. 331.
[14] Kaidah ini dicetuskan oleh Muhammad ‘Izzuddin bin Abdi as-Salam, lihat
Abdul Mudjib, Kaidah-Kadaiha Ilmu Fiqh (Al-Qaea’idul Fiqiyah), cet. 3,
Kalam Mulia, Jakarta, 1999, hlm. 10.
[16] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini