Kamis, 23 Juni 2011

DINAMIKA SEJARAH KEKUASAAN KEHAKIMAN PADA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A.     PENDAHULUAN
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Badan Peradilan Agama di Indonesia sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman[1] telah cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang  agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah merupakan agama hukum dalam arti kata; sebuah aturan yang mengatur manusia dengan Allah Yang Maha Esa (habluminallah) yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi (person), juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (habluminannas) dan berada dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelanggara negara untuk melaksanakannya secara paripurna.
Dengan demikian berarti dapat dikatakan bahwa antara Islam dan Hukum Islam selalu beriringan tidak dapat dipisah-jauhkan.[2] Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum Islamnya itu sendiri.[3] Jabatan Hakim dalam Islam merupakan kelengkapan daripada pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilannya itu sendiri merupakan suatu kewajian kolektif (fardlu kifayah), yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimana pun juga.[4]
Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan sebutan Pengadilan Agama, keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka, karena ketika Islam mulai disebarkan di bumi nusantara Indonesia, pengadilan agama pun telah ada bersamaan dengan perkembangan kelompok masyarakat di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.[5] Hal ini karena masyarakat Islam atau kaum muslimin sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.[6]
Peradilan Islam dengan berbagai nama telah dikenal di Indonesia sejak lama yaitu sebelum kedatangan penjajah Barat. Ia mengalami peran pasang surut sampai sekarang. Pengembangannya yang naturalistik adalah menuju Pengadilan Islam seperti berlaku pada masa lalu untuk hal-hal yang masih relevan dan  atau Pengadilan Islam yang ideal di masa depan sesuai cita-cita Islam sebagai agama wahyu, serta dalam rangka upaya pengembangannya dalam konteks pembangunan hukum Nasional. Pada mulanya Peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang diajukan kepadanya pada masa awal Islam, lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang  dalam masyarakat.[7] Peradilan Islam dalam sejarahnya yang panjang tidak hanya dilakukan hakim pengadilan secara khusus, tetapi juga oleh pemerintah sebagai penguasa Eksekutif.

B. PERADILAN AGAMA PADA MASA AWAL MASUKNYA ISLAM DAN PENDUDUKAN BARAT
1.   Masa Awal Pemelukan dan Kerajaan-Kerajaan Islam
Berdasarkan kenyataan sejarah ternyata bahwa Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak Islam itu sendiri ada di bumi Indonesia pada abad ke tujuh atau kedelapan Masehi,[8] sesuai dengan tingkat dan bentuknya sebagaimana ditentukan oleh Hukum Islam. Tentunya, pada mulanya agama Islam di Indonesia dianut oleh orang-orang secara sendiri-sendiri, artinya belum terbentuk sebagai pranata masyarakat yang teratur dan sistematis, dan pada akhirnya berkembang sebagaimana menjadi masyarakat Islam seperti sekarang ini.
Dalam keadaan Islam masih dipeluk secara sendiri-sendiri, keadaan Peradilan Agama pada saat itu masih berbentuk Tahkim, yakni; suatu penyerahan kepada seseorang Muhakkam guna menjatuhkan suatu hukum atas suatu persengketaan. Pengangkatannya secara langsung oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam masyarakat yang teratur namun belum sampai pada bentuk masyarakat yang mempunyai pemerintahan, maka pembentukan dan pengangkatan suatu peradilan dan jabatan hakimnya dapat dilakukan secara musyawarah dan pemilihan serta ba’it Ahlul Hilli wa Aqdli. Yakni pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat seperti kepala suku atau kepala adat dan lain-lain. Perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama dan hukum semakin mengakar dan dominan mewarnai seluruh kehidupan sebagian besar bangsa Indonesia. Kenyataan ini mulai berlaku sejak Islam ditetapkan sebagai agama resmi pada Kerajaan Demak sekitar abad lima belas.[9]
Akhirnya di beberapa daerah di Indonesia seperti sultan-sultan di Aceh, Pagaruyung, Bonjol, Pajang, Banjar, Pasai dan lain-lain memberlakukan Islam sebagai agama resmi dan hukum negaranya. Puncak dominasi Islam ini berlaku pada zaman Kerjaaan Mataram di tangan Sultan Agung sekitar tahun 1750 M, yang memberlakukan hukum Islam secara total 100% baik pidana maupun perdata.[10] Dalam keadaan seperti ini, maka bentuk peradilannya pun sudah tidak lagi berbentuk Tahkim seperti awal-awal pemelukan Islam, melainkan sudah meningkat kepada bentuk peradilan (qadla). Sehingga dikenallah adanya istilah-istilah Sidang Jumat, Rapat Ulama, Rapat Agama maupun Mahkamah Syara’ dan Soerambi, yang istilah-istilah itu tak lain sebagai Peradilan Agama yang kita kenal sekarang ini, pengangkatan pengambilan sebuah keputusan atau hakimnya pun, sudah tidak lagi berdasarkan penunjukan langsung dari para pihak yang bersengketa atau pemilihan dan ba’it Ahulul wal Aqdli, melainkan sudah melalui pemberian Tauliyah (kekuasaan) dari Ulil Amri (Pemerintah dan Pengusa). Maka oleh karena itu dikenallah adanya peraturan-peraturan adat dan Swapraja maupun peraturan-peraturan Sultan atau Raja sebagai dasar keberadaannya.[11] Istilah-isilah lain yang kita kenal dengan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti maupun Tuaku Qadi, di samping raja-raja dan bupati dahulu, adalah penjelamaan dari watak dan kepribadian ketetanegaraan dari pelaksanaannya syari’at Islam di Indonesia.[12]

2.   Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Ketika Kolonial Belanda mulai memasuki Indonesia melalui VOC, yakni sebuah wadah dagang yang telah mengarahkan sasarannya untuk menjajah Nusantra, tak dapat menyepelekan eksistensi Hukum Islam yang telah berurat-berakar dilaksanakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Meskipun akhirnya VOC semakin kokoh mencengkeram dan bahkan selanjutnya menjajah Nusantara ini, tak mampu menekan dan membendung pelaksanaan Hukum Islam yang menjadi keyakinan hidup bagi pemeluknya. Upaya penghapusan Hukum Islam sama sekali yang dilakukan secara terus-menerus hanya mampu pada bidan hukum pidana.[13] Dengan mengadakan aturan pemisahan antara peradilan keduniawian (werwldijke rechtpraak) yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan Gubermen dengan Peradilan Agama. Sementara itu untuk bidang hukum perdata karena telah begitu mapannya dilaksanakan, maka tetap dibiarkan hidup dan berjalan sendiri ditangani oleh Peradilan Agama. Kenyataan itu dapat dilihat dalam satu Instruski bulan September 1808 M yang antara lain isinya berbunyi sebagai berikut:
“…………. Sedangkan kepala-kepala pendeta[14]mereka dibiarkan untuk memutus perkara-perkara tertentu dalam bidang-bidang perkawinan dan kewarisan……...”[15]

Campur tangan Pemerintah Kolonial atas soal kekuasaan Peradilan Agama (pelaksanaan hukum perdata Islam) baru dimulai pada tahun 1920 M, sebagaimana tertuang dalam Stbl 1820 Nomor 24 pasal 13 yang diperjelas oleh Stbl. 1835 Nomor 58 isinya antara lain:
“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka para “pendeta” memberi putusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timul dari keputusan para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.”

Bahkan atas usul L.WC. Van Den Berg (1845-1927) berdasarkan teorinya reception in complexu, yaitu suatu paham yang mengatakan bahwa hukum bagi orang Indonesia mengikuti agamanya,[16] pada akhirnya Pemerintah Kolonial memberikan aturan secara formal dalam perundang-undangan yang lebih kontrit atas pelaksanaan Hukum Islam. Hal ini diwujudkan dalam Stbl. 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan nama Priesterrad[17]. Sedangkan untuk daerah luar Jawa daN Madura masih diserahkan kepada peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja. Hal ini karena Jawa dan Madura dianggap sebagai pilot proyek untuk menguasai wilayah Indonesia seluruhnya.
Meskipun pengadilan agama telah diatur secara formal sebagai pengadilan negara sebagaimana halnya Pengadilan Gubermen, namun pada kenyataannya yang terjadi bahwa pengadilan agama telah tidak didudukan secara sama dengan pengadilan Gubermen. Tidak dapat dipungkiri kenyataannya untuk pengadilan Gubermen, disediakan anggaran yang memadai dan pegawai-pegawainya pun digaji oleh Negara, sementara untuk pengadilan agama tidak disediakan anggaran dan pegawai-pegawainya tidak digaji dan demikian juga Ketuanya, bahkan dalam kedudukannya sebagai Ketua disamakan dengan Penghulu Landraad. Biaya-biaya yang diperlukan untuk kebutuhan-kebutuhan administrasi peradilan, harus dicukupi dari biaya perkara yang dipungut dari pihak-pihak yang berperkara. Akibatnya jarang orang-orang Alim (yang menguasai ilmu agama) yang mau menjadi pegawai dan hakim pengadilan agama. Sehingga sering terjadi pegawai-pegawainya diangkat dari pengurus-pengurus masjid yang kurang menguasai ilmu agama.[18]
Berbeda dengan L.W.C. Van Den Berg, penganut dan pencetus teori reception in complexu, adalah C. Snouck Hurgronye (1857-1936). Ia yang merupakan salah satu seorang ahli Hukum Adat, mencetuskan teori baru yang sangat bertentangan dengan teori L.W.C. Van Den Berg. Teori C. Snouck Hurgronye tersebut dikenal dengan theori receptie, yakni teori yang mempunyai jalan pikiran bahwa; sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Ke dalam Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum Islam. Pengaruh Hukum Islam itu, ….. baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat dan dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum Adat bukan sebagai Hukum Islam.[19] Berdasarkan teorinya ini, maka C. Snouck Hurgronye yang menduduki jabatan sebagai panasehat Pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri, menganggap bahwa keluarnya Stbl. 1882 Nomor 152 merupakan kesalahan yang patut disesalkan. Sebab, Peradilan Agama ini seharusnya dibiarkan terus berjalan secara liar tanpa campur tangan Pemerintah, sehingga keputusan-keputusannya tidak perlu memperoleh kekuatan undang-undang.[20]
 Atas desakan dan pengaruh C. Snouck Hurgronye dalam kedudukannya tersebut, secara sistematis, halus dan berangsur-angsur, hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan banyak reaksi dan kekecewaan pada benak masyarakat Islam. Kenyataan tersebut di atas seperti halnya perubahan ketentuan Pasal 134 I.S 1925 (yang bunyinya sama dengan ketentuan Pasal 178 R.R 1907 dan R.R 1919 dulu) yang antara lain bunyi ayat (2) nya:
“Kalau terjadi perselisihan perdata antara sesama penduduk inlander atau penduduk yang dipersamakan dengan mereka, diputus oleh kepala agama atau kepala adat mereka menurut undang-undang agamanya atau adat aslinya”

Sehingga dirubah  menjadi:
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendaki dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.

Perubahan ini terjadi pada tahun 1929, berdasarkan Stbl. 1929 Nomor 221, dengan demikian berarti Hukum Islam telah dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Akibatnya, melalui Stbl. 1931 Nomor 53 terjadi pengurangan kompetensi bagi Pengadilan Agama yang hanya mengenai sengketa di bidang; nikah, talak, rujuk, perceraian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu seperti mahar dan nafkah isteri. Sedangkan untuk bidang hadlanah (penguasaan dan pemeliharaan anak), waris, wakaf dan lain-lainnya dicabut dan selanjutnya diserahkan kepada Landraat.
Meskipun Stbl.  1931 Nomor 53 tidak sempat diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun mengeluarkan ordonantie baru berupa; Stbl. 1937 Nomor 116 yang diberlakukan mulai tanggal 1 April 1937 tentang Perubahan dan Penambahan atas Stbl. 1882 Nomor 152, yang pada intinya isi dari pada Stbl. tersebut adalah untuk mengurangi kompetensi Pengadilan Agama seperti halnya Stbl. 1931 Nomor 53 di atas, hal ini dapat dilihat dalam bunyi Pasal 2a ayat (1):
“Pengadilan agama hanya semata-mata berwenang untuk memeriksa dan memutus perselishan hukum antara suami isteri yang beragama Islam, begitu pula perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perceraian lain yang harus diputus oleh hakim agama, menyatakan perceraian dan menetapakan bahwa syarat-syarat ta’lik sudah berlaku,………………………….kecuali dalam perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada isteri yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan agama”.

Selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan lagi Stbl. 1937 Nomor 610 tentang Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi yang berkedudukan di Jakarta sebagai Pengadilan Agama Tingkat Banding untuk Jawa dan Madura, yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1938, yang kompetensi hanya meliputi bidang:
1.  Memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan agama yang dimintakan banding.
2.  Memberikan saran-saran atau pertimbangan-pertimbangan masalah agama Islam kepada Pemerintah apabila diminta.[21]
Pada tanggal 21 Desember 1937 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi lain, berupa; Stbl. 1937 Nomor 368 dan 369 tentang Pengaturan dan Pembentukan Kadigerecht (Kerapatan Kadi) di sebagian daerah Kalimantan Selatan (kecuali daerah Pulau Laut, Tanah Bumbu dan Hulu Sungai), dan Het Opperkadigerecht (Kerapatan Kadi Besar) di Banjarmasin, yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 1938. Sampai akhir masa kekuasaannya (setelah dikalahkan Jepang) Pemerintah Kolonial Belanda tidak sempat mengatur pengadilan agama untuk selain Jawa dan Madura serta sebagian Kalamantan Selatan tersebut, sehingga keberadaannya untuk daerah tersebut tetap didasarkan kepada peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja.

3.     Masa Pemerintahan Jepang
Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang kebijaksanaan yang dilakukan oleh Jepang tehadap undang-undang dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari Pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Eksistensi pengadilan agama tetap dipertahanakan dan tidak mengalami perubahan, namun nama pengadilan agama diganti dengan sebutan  “Soo-Rioo Hooin” untuk Pengadilan Agama dan Kaikoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi, berdasarkan aturan peralihan Pasal 3 Balatentara Jepang (Osanu Seizu) tanggal 7 Maret 1942 Nomor 1.[22] Pada tanggal 29 April 1942 Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Balatentara Dai Nippon. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa di Tanah Jawa dan Madura telah didadakan “Gunsei Hooin” (Pengadilan Pemerintahan Balatentara). Dalam Undang-undang ini tidak disebutkan mengenai bentuk pengadilan termasuk pengadilan agama untuk wilayah Indonesia di luar Jawa dan Madura.
Dalam Undang-undang ini pada Pasal 3-nya disebutkan bahwa untuk sementara waktu “Gunsei Hooin” (Pengadilan Pemerintahan Balatentara) terdiri atas:[23]
1.      Tiho Hooin (Pengadian Negeri).
2.      Keizai Hooin (Hakim Polisi).
3.      Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten).
4.      Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan).
5.      Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi).
6.      Sooryo Hooin (Rapat Agama).

Pada masa pendudukan Pemerintahan Balatentara Jepang, eksistensi Peradilan Agama nyaris terancam tatkala pada akhir Januari 1945 Pemerintah Balatentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud Pemerintahan Balatentara akan memberikan hadiah kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana sikap Dewan Pertimbangan Agung ini terhadap susunan penghlu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia Merdeka. Pada tanggal 14 April 1945 Dewan Pertimbangan Agung memberikan jawaban sebagai berikut:
“Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.”[24]

Selama kekuasaan Pemerintahan Balatentara Jepang di Indonesia (kurun waktu tahun 1942-1945), pada dasarnya eksistensi pengadilan agama tidak ada perubahan yang signifikan, keadaan ini bukan berarti Pemerintahan Balatentara Jepang menyetujui susunan badan peradilan termasuk Peradilan Agama yang telah diatur oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, akan tetapi semata-mata karena kesibukannya dalam menghadapi perperangan di mana-mana selama pemerintahannya di Indonesia. Dengan menyerahnya Jepang dan bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung bentukan Pemerintahan Balatentara Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis di samping peradilan-peradilan yang lain.
 Baik pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda maupun Pemerintahan Balatentara Jepang, pengadilan agama berada dalam di bawah Departemen Kehakiman dan sebelumnya adanya Pengadilan Agama Tigkat Bading (Mahkamah Islam Tinggi tahun 1937), jika ada ketidakpuasan atas putusan pengadilan agama, maka satu-satunya jalan harus memohon peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada Gubernur Jenderal.[25]

C.  PENGADILAN AGAMA PADA MASA KEMERDEKAAN DAN PEMERINTAHAN ORDE LAMA DAN ORDE BARU

1.   Masa Pasca Kemerdekaan dan Pemeritahan Orde Lama
Beberapa saat setelah kemerdekaan, ibu kota Republik Indonesia Jakarta diduduki oleh tentara sekutu. Dalam keadaan demikian, Pemerintah Pusat Republik Indonesia diungsikan dari Jakarta ke Jogyakarata. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor T.2 Kedudukan Mahkamah Islam Tinggi ikut dipindahkan dari Jakarta ke Surakarta. Atas kemerdekaan yang telah dapat diraih oleh bangsa Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia mulai mengadakan perubahan di segala bidang termasuk di bidang Peradilan Agama. Ketika Pemerintahan Republik Indonesia mendirikan Departemen Agama berdasarkan Penetapannya tanggal 3 Januari 1946 Nomor 1/SD, urusan Peradilan Agama yang semula berada di bawah Departemen Kehakiman, berdasarkan Penetapannya tanggal 25 Maret 1946, dipindahkan di bawah  Departemen Agama.
Sejalan dengan usaha perombakan susunan peradilan kolonial, maka Pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1948 telah mengeluarkan Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948, sebagai bentuk perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung sebagai realisasi Pasal 24 UUD 1945. Akan tetapi, perubahan tersebut secara institusional masih bersifat euro-sentris, dalam hal ini Belanda.[26] Karena perangkat-perangkat peradilan dan hukum acaranya masih menggunakan produk Kolonial Belanda. Undang-undang ini sudah   tiga lembaga peradilan Negara yakni; Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah, dan Peradilan Ketentaraan, sementara Peradilan Agama tidak disebutkan. Hal ini mengindikasikan adanya diskriminatif terhadap Peradilan Agama yang telah eksis sebelum kemerdekaan.[27] 
Ternyata isi Undang-undang ini menghendaki penghapusan Peradilan Agama sebagai suatu lembaga peradilan yang berdiri sendiri, selanjutnya untuk menangani perkara-perkara yang selama ini di tangani oleh pengadilan agama, ditampung oleh pengadilan negeri secara istimewa dengan bentuk penanganan perkaranya diketuai oleh seorang Hakim yang beragama Islam dan di dampingi oleh dua orang Hakim yang ahli agama Islam.[28] Menyadari akan betapa pahit getirnya kehendak Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 eksistensi Peradilan Agama oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, undang-undang tersebut tidak sampai diberlakukan. Untuk daerah-daerah yang secara de facto dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesa, pelaksanaan Peradilan Agama berdasarkan  kepada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 masih didasarkan kepada Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura.
Untuk daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara sekutu dan Belanda, dibeberapa tempat didirikan pengadilan agama dengan nama Penghulu Gerechten sebagai pengganti Priesteraaden. Sedangkan untuk pengadilan agama tingkat bandingnya, telah pula didirikan beberapa Majelis Ulama. Hal ini untuk mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang telah dipindahkan ke Surakarta.[29] Pasca penyerahan kekuasaan dari Pemerintahan Kolonial Belanda kepada Pemerintahan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, maka peraturan-peraturan tentang Penghulu Gerechten tersebut seperti Javaasche Caurant Nomor 32 Tahun 1946, Nomor 25 dan 39 Tahun 1949, Keputusan Recomba Jawa Barat Nomor Rechtspraak. WJ. 29. 27 Tahun 1948 dan lain-lainnya, dianggap tidak berlaku (terhapus) berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 yang diganti oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1950. Selanjutnya, Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 dianggap tetap berlaku.
            Pada tahun 1951, melalui Penetapan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1951diadakan panataan terhadap pegawai Peradilan Agama, berupa pengangkatan para pegawainya menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sehingga dengan demikian, mereka yang waktu jaman penjajahan tidak mendapat gaji, sekarang mendapatkannya secara tetap dari negara.[30] Selain itu pengangkatan atas jabatan Ketua Pengadilan Agama beserta pegawai-pegawainya dan memberhentikannya menjadi wewenang Menteri Agama, tidak lagi merupakan wewenang Bupati atau Residen seperti halnya pada waktu jaman penjajahan.
            Selanjutnya dalam rangka usaha ke arah kesatuan dalam bidang  peradilan secara menyeluruh, maka Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementaran  Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Pengadilan Sipil. Berdasarkan Undang-undang ini, Pengadilan Adat dan Swapraja dihapuskan. Akibatnya, Peradilan-peradilan di luar pulau Jawa dan Madura serta sebagian daerah Kalimantan Selatan, merasa kurang mempunyai landasan hukum yang kuat. Oleh karena itu jalan keluarnya berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan (4) Undang-undang tersebut, bagi pengadilan agama yang berada dalam lingkungan Peradilan Adat dan Swapraja, jika ia merupakan bagian tersendiri dari badan peradilan tersebut (Adat dan Swapraja) tidak larut terhapus, dan sebagai kelanjutannya akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.
            Guna memenuhi kehendak Pasal 1 ayat (2) dan (4) Undang-undang tersebut dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat bagi eksistensi Peradilan Agama di daerah-daerah diluar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Selatan, maka diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah untuk daerah Aceh yang segera mendapat pengesahan dari Dewan Menteri dan akhirnya keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1957. Peraturan Pemerintah tersebut, ternyata tidak dapat memberikan penyelesaian bagi daerah-daerah lainnya secara integral. Pada akhirnya Peraturan Pemerintah tersebut dicabut dandinyatakan tidak berlku, sehingga digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah di daerah luar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Selatan, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 9 Oktober 1957. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Menteri Agama mengeluarkan Penetapannya Nomor 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan 54 Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah dan 4 Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah Provinsi untuk daerah Sumatera. Kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah di Indonesia Bagian Timur dengan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah Provinsi di Banjarmasin dan Ujung Pandang (Makassar).

2.     Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, tindakan pertama-tama yang dilakukan dalam rangka penataan pelaksanaan Kekuasan Kehakiman secara murni berdasarkan kehendak Undang-undang Dasar 1945, dan sesuai dengan ketentuan Ketetapan Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: XIX/MPRS/1966 jo. Nomor: XXXIX/MPRS/1968, maka Pemerintah Orde Baru bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengadakan peninjauan terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1969 yang menghendaki adanya suatu undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Untuk  merealisasikannya, pada tanggal 17 Desember 1970 disahkan dan diundangkanlah Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yakni dengan disahkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Berdasarkan ketentuan Undang-undang ini, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia semakin kokoh sebagai salah satu lembaga pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang ini, kedudukan Badan Peradilan Agama setara  dan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti; Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kekokohan Badan Peradilan Agama semakin menonjol khsususnya dalam kompetensinya, setelah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[31] pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkannya aturan pelaksananya pada tanggal 1 April 1975 dengan sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Kemudian disusul dengan diundangkannya Peratuarn Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik beserta Peraturan Pelaksanaannya. Dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut di atas, selain memperkokokh eksistensi Badan Peradilan Agama, sekaligus memperluas beban tugasnya dan kewenangannya (absolute competence). Dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut semakin jelas dan kokoh peran dan fungsi Badan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaankehakiman. Realitasnya kepercayaan para pihak pencari keadilan semakin meningkat dan perkara-perkara yang masuk setiap tahunnya naik. Sebagai bandingan, pada tahun 1974 sebanyak 28.650, tahun 1975 sebanyak  48.000 dan pada tahun 1976 sebanyak 142.069 perkara.[32]
Relevan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum umat Islam di Indonesia, maka kasasi atas perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan agama mulai masuk ke Mahkmah Agung Republik Indonesia, sementara hukum acara yang harus dimilikinya tentang hal itu sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 belum ada. Oleh karena adanya kekosongan hukum, untuk mengatasinya Mahkamah Agung RI pada tanggal 26 November 1977 mengeluarkan Peraturan  Nomor 1 Tahun 1977 tentang Jalan Pengadilan Dalam Pemeriksaan Kasasi dalam Perkara Perdata dan Perkara Pidana oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer, disertai Surat Edarannya Nomor: MA/Pemb./0921/1977.
Dengan demikian, keberadaan Mahkamh Islam Tinggi, Kerapatan Kadi Besar maupun Susunan, Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama yang bersifat integral sesuai kehendak Pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, untuk keseragaman nama pengadilan agama yang selama ini berbeda-beda sebagai akibat dari keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya (Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610, Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957), Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusannya tanggal 28 Januari 1980 dengan Nomor 6 Tahun 1980. Berdasarkan keputusan tersebut, Pengadilan Tingkat Bandingnya bernama Pengadilan Tinggi Agama, dan nama-nama Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar maupun Mahkamah Syari’ah dari Mahkmah Syari’ah Provinsi sudah tidak dipergunakan lagi.
Sejalan dengan kenyatan-kenyataan di atas, untuk dapat memantapkan serta memegang teguh tugas dan fungsi pengadilan agama sebagai salah satu lingkungan peradilan dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman di Negara Indonesia, pada tanggal 27 Maret 1982 Presiden Republik Indonesia mengangkat seorang Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian berarti tugas pembinaan teknis yustisial terhadap Peradilan Agama yang selama ini di lakukan langsung oleh Departemen Agama, telah menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia sesuai kehendak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Pada tahun 1982 Pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 95 Tahun 1982, membentuk beberapa Cabang Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama untuk Indonesia Tengah dan Timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Kemudian disusul daerah-daerah lainnya dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama (Mahkamah Islam Tinggi) di Surakarta dipindahkan kembali ke Jakarta, dan untuk Pengadilan Tinggi Banding bagi Propinsi Jawa Tengah, didirikanlah Cabang Pengadilan Tinggi Agama di Semarang.
Akhirnya sebagai puncak dari kekokohan dan kemapanan Badan Peradilan Agama sebagai Pengadilan Negara di Indonesia, adalah dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 27 Desember 1989 termasuk di dalamnya memuat aturan tentang Susunan Kekuasaan dan Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan agama. Dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang ini terpenuhilah sudah kehendak Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kesetaraan dan kesejajaran Peradilan Agama dengan Pengadilan Negara lainnya. Karena dalam Undang-undang ini pengadilan agama sudah tidak lagi harus menggantungkan kepada pengadilan negeri dalam hal melaksanakan putusannya (eksekusi), dan tidak lagi memerlukan pengukuhan atas putusan-putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum  yang tetap sebelum dijalankan oleh para pihak pencari keadilan.


D.   PERADILAN AGAMA PADA MASA ERA REFORMASI
Sepanjang Pemerintahan Orde Baru, keberadaan Badan  Peradian Agama sebagai salah satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh dua lembaga, yakini Yudikatif dan Eksekutif. Di satu sisi, pembinaan tehnis dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan di sisi lain organisasi, administrasi oleh Departemen Agama.[33] Keadaan seperti ini karena aturan dasarnya yakni Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
            Pada masa Pemerintah Orde Reformasi keadaan seperti ini dipandang tidak relevan lagi. Untuk itu Badan-badan Peradilan, baik Peradilan Agama maupun peradilan-peradilan lainnya, pembinaanya sepatutnya hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, baik pembinaan yang menyangkut teknis, maupun yang menyangkut organisasi, administrasi dan keuangannya. Untuk terpenuhinya hal tersebut, maka dilakukan perbaikan dan perubahan atas Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Ttahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999  tetang Perubahan Undang-undang Nomor 14 Ttahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 30 Juli 1999. Dengan demikian, pembinaan terhadap Badan Peradilan Agama, juga Badan Peradilan-peradilan lainnya, baik yang menyangkut teknis maupun organisasi, administrasi dan keuangannya dilakukan oleh Makamah Agung RI.
            Dengan diundangkannya Undang-undang tersebut, merupakan perstiwa yang amat bersejarah bagi Lembaga Kekuasaan Kehakiman, karena merupakan tonggak sejarah bagi terwujudnya kemerdekaan dan kemandirian Kekuasaan Kehakiman secara utuh di bawah Mahkamah Agung RI, setelah sekian lama pembinaannya dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan yakni Eksekutif (Departemen yang bersangkutan) dan Yudikatif (Mahkamah Agung RI). Pemisahan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Deparetemna Agama bagi Peradilan Agama) yang diatur   dan dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, tidak lain daripada memantapkan posisi Lembaga Peradilan Agama pada segi-segi hukum formal dan teknis peradilan sehingga terwujud Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dengan terselenggaranya peradilan yang bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan Eksekutif.
            Realisasi kehendak Undang-undang tersebut yakni terlepasnya kekuasaan Eksekutif atas Badan Peradilan Agama dan Badan-badan Peradilan lainnya di bidang keuangan, organisasi dan finansial bagi Peradilan Agama setelah 58 tahun berada di bawah kekuasaan Eksekutif, tepatnya pada tanggal 30 Juni 2004 berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 Pengadilan Agama dialihkan ke bawah Mahkamah Agung RI, pengalihan inilah populer dengan istilah satu atap (one roof system) yang sepanjang Pemerintahan Orde Baru di mana kekuasaan Negara didominasi oleh kekuasaan Eksekutif atau dikenal dengan ungkapan executive heavy, sehingga dengan peraturan tersebut di atas Peradilan Agama pembinaan; Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2004.
Kemudian pada tahun 2006 dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang merupakan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama   sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk penyelenggaraan penegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam dalam Pasal 49 disebutkan bahwa:
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; perkawinan, waris,wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah  dan ekonomi syari'ah.[34]

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan:
“Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi[35]  bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.

Dengan penegasan kewenangan tersebut memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu termasuk pelanggaran atas Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya, juga memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah melaksanakan kompetensinya di bidang jinayah berdasarkan qanun. Bahkan kompetensi pengadilan agama diperluas dalam bidang sengketa ekonomi syariah, pilihan hukum (opsi) dalam kewarisan dinyatakan dihapus. Dan dalam lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang,[36] yakni pengadilan syariah Islam yang diatur tersendiri dengan undang-undang yaitu Mahkamah Syari’ah di Provinsi NAD yang dibentuk dengan Undang-undang Otonomi Khusus.[37]
Demikian juga sengketa hak milik atau sengketa perdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai sengketa objek sengketa, maka menurut ketentuan Undang-undang Peradilan Agama dapat langsung diputus oleh pengadilan agama.[38] Kewenangan lainnya dalam perkara wasiat, wakaf, zakat dan infaq, dan kewenangan baru bidang perkawinan penetapan pengangkatan anak serta memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dan kewenangan yang masih tetap dipertahankan yakni dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah. Sementara untuk mempertegas kewenangan di bidang ekonomi syariah diundangkan pula Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tanggal 16 Juli 2008[39] dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama.
Sebagai upaya untuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perlu diganti. Sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dengan diundangkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, maka membawa perubahan pula terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan menjadi perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system),terlebih Peradilan Agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Perubahan signifikan dapat dilihat pada penguatan pengawasan hakim (internal oleh Mahkamah Agungdan exsternal oleh Komisi Yudisial), memperketat persyaratan pengangkatan hakim, pengaturan mengenai peradilan khusus[40] dan hakim ad hoc, pengaturan mekanisme dan tata cara pengangatan dan pemberhentian hakim, keamanan dan kesejahteraan hakim, transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan, transparansi biaya perkara, bantuan hukum serta Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
E.      KESIMUPULAN
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama keberadaannya telah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, ia mengalami dinamika kesejarahan yang berbeda dengan peradilan lainnya, semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda mengalami pasang surut bahkan kekuasaannya selalu dikerdilkan, hal demikian hampir sama sampai sebelum era reformasi. Pada masa era reformasi eksistensi peradilan agama sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diperkokoh, setara dan sejajar dengan peradilan lainnya yang berbeda hanya dalam kompetensi absolut. Endingnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system).


DAFTAR PUSTAKA
ASA, Sejarah Peradilan Agama, Serial Media Dakwah, Jakarta: Agustus 1989.
M. Daud Ali, Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Panji Masyarakat, Nomor 634, tanggal 1-10 Januari 1990.
Departemen Agama RI, Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian / Survey Keagamaan,  1971/1972.
----------------------------, Yurisprodensi Badan Peradilan Agama, Jakarta: Ditbinbapera Islam, 1977.
----------------------------, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Diretorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet. 3, 2001.
F.Agsya, Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Asa Mandiri, 2010.
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet. Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Marulak Pardede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Angkatan Bersenjata, 24 Agustus 1989.
Mahadi, Peranan Pengadilan Agama di Indonesia, Kertas Kerja, Laporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1982 / 1983.
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamic of Islam, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul “Dinamika Islam”, Bandung: Risalah, 1982.
Victor Tanja, Forum RUUPA, Editor, Nomor 48/THN II, Jakarta: 5 Agustus 1989.
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Footnote:

[1] Lihat Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, bunyi pasal tersebut; “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan yang ada di bawahnya meliputi; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha  Negara, dan Peradilan Militer. Lihat Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 57
[2] M. Daud Ali, Undang-undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, Nomor 634, tanggal 1-10 Januari 1990, Jakarta:  hlm. 71
[3] Victor Tanja, Forum RUUPA, Editor, Nomor 48/THN II, Jakarta: 5 Agustus 1989.
[4] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hlm. 29
[5]  Ibid.
[6] Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamic of Islam, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul “Dinamika Islam”, Bandung: Risalah, 1982, hlm. 212
[7] Dalam tradisi qaedah hukum Islam, bahwa  hukum itu dapat mengalami berubahan sejalan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan dan niat.
[8]  Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 35
[9] ASA, Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Serial Media Dakwah, Agustus 1989.
[10]  ASA, Op.,Cit.
[11] Marulak Pardede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Angkatan Bersenjata, 24 Agustus 1989.
[12] Departemen Agama RI, Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, Proyek Peningkatan Penelitian / Survey Keagamaan, Jakarta: 1971/1972, hlm. 71
[13]  ASA, Op.,Cit.
[14]  Pendeta disini maksudnya Ulama, karena menurut Kolonial Belanda Ulama dikira sama dengan Pendeta.
[15] Mahadi, Peranan Pengadilan Agama di Indonesia, Kertas Kerja, Laporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1982 / 1983, hlm. 68
[16] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 5
[17] Pengadilan Agama disamakan sebutannya oleh Kolonial Belanda dengan Pengadilan Pendeta.
[18] Ahmad Zaini Noeh dan Abdul Basit, Op.,Cit, hlm. 33
[19] Sayuti Thalib, Op.,Cit, hlm 13.
[20] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Op.,Cit, hlm. 34
[21] Ibid, hlm. 38
[22] Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta: Direktrat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Diretorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet. 3, 2001, hlm. 18. (lihat juga Ahmad Zaini Noeh dan Abdul Basit, Op.,Cit, hlm. 21).
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm 19.
[25] Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, hlm. 29
[26] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet. Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 174
[27] Ibid, hlm. 175
[28] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Op.,Cit, hlm. 54-55
[29] Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, hlm. 33
[30] Ibid.
[31] Namun dalam Undang-undang ini, putusan Pengadilan Agama harus mendapatkan fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan putusannya.
[32] Departemen Agama RI, Yurisprodensi Badan Peradilan Agama, Ditbinbapera islam, Jakarta: 1977, hlm. 1
[33] Demikian juga Lembaga-lembaga Peradilan lainnya, seperti halnya Peradilan Umumdan Peradilan Tata Usaha Negara oleh Departemen Kehakiman.

[34] Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tenang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[35] Ibid, Penjelasan pasal demi pasal.
[36] Pasal 3A dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[37] Lihat Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang ini dihapus dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009,.
[38] Lihat Pasal 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[39] Pasal 55  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[40] Pengkhususan Peradilan adalah diferensisasi / spesialisasi di lingkungan pengadilan agama dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya  pengadilan arbitrase syariah, pengadilan niaga syariah, pengadilan tindakan kejahatan ekonomi syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini