A. PENDAHULUAN
Dengan demikian berarti dapat dikatakan bahwa antara Islam dan
Hukum Islam selalu beriringan tidak dapat dipisah-jauhkan.[2] Oleh karena itu
pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum Islamnya itu sendiri.[3] Jabatan Hakim dalam Islam
merupakan kelengkapan daripada pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan
peradilannya itu sendiri merupakan suatu kewajian kolektif (fardlu kifayah),
yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimana pun
juga.[4]
Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan sebutan
Pengadilan Agama, keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka, karena ketika
Islam mulai disebarkan di bumi nusantara Indonesia, pengadilan agama pun telah
ada bersamaan dengan perkembangan kelompok masyarakat di kala itu, kemudian
memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan
Islam.[5] Hal ini karena masyarakat
Islam atau kaum muslimin sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling
mentaati hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.[6]
Peradilan Islam dengan berbagai nama telah dikenal di Indonesia sejak
lama yaitu sebelum kedatangan penjajah Barat. Ia mengalami peran pasang surut
sampai sekarang. Pengembangannya yang naturalistik adalah menuju Pengadilan
Islam seperti berlaku pada masa lalu untuk hal-hal yang masih relevan dan atau Pengadilan Islam yang ideal di masa
depan sesuai cita-cita Islam sebagai agama wahyu, serta dalam rangka upaya
pengembangannya dalam konteks pembangunan hukum Nasional. Pada mulanya
Peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya pada masa awal Islam, lalu berkembang
sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang
dalam masyarakat.[7] Peradilan Islam dalam
sejarahnya yang panjang tidak hanya dilakukan hakim pengadilan secara khusus,
tetapi juga oleh pemerintah sebagai penguasa Eksekutif.
B. PERADILAN AGAMA PADA MASA AWAL MASUKNYA ISLAM
DAN PENDUDUKAN BARAT
1.
Masa Awal Pemelukan dan Kerajaan-Kerajaan Islam
Berdasarkan kenyataan sejarah ternyata bahwa Peradilan Agama di
Indonesia telah ada sejak Islam itu sendiri ada di bumi Indonesia pada abad ke
tujuh atau kedelapan Masehi,[8] sesuai dengan tingkat dan
bentuknya sebagaimana ditentukan oleh Hukum Islam. Tentunya, pada mulanya agama
Islam di Indonesia dianut oleh orang-orang secara sendiri-sendiri, artinya
belum terbentuk sebagai pranata masyarakat yang teratur dan sistematis, dan
pada akhirnya berkembang sebagaimana menjadi masyarakat Islam seperti sekarang
ini.
Dalam keadaan Islam masih dipeluk secara sendiri-sendiri, keadaan
Peradilan Agama pada saat itu masih berbentuk Tahkim, yakni; suatu
penyerahan kepada seseorang Muhakkam guna menjatuhkan suatu hukum atas
suatu persengketaan. Pengangkatannya secara langsung oleh para pihak yang
bersengketa. Sedangkan dalam masyarakat yang teratur namun belum sampai pada
bentuk masyarakat yang mempunyai pemerintahan, maka pembentukan dan
pengangkatan suatu peradilan dan jabatan hakimnya dapat dilakukan secara
musyawarah dan pemilihan serta ba’it Ahlul Hilli wa Aqdli. Yakni
pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh majelis atau kumpulan
orang-orang terkemuka dalam masyarakat seperti kepala suku atau kepala adat dan
lain-lain. Perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama dan hukum semakin
mengakar dan dominan mewarnai seluruh kehidupan sebagian besar bangsa
Indonesia. Kenyataan ini mulai berlaku sejak Islam ditetapkan sebagai agama
resmi pada Kerajaan Demak sekitar abad lima belas.[9]
Akhirnya di beberapa daerah di Indonesia seperti sultan-sultan di
Aceh, Pagaruyung, Bonjol, Pajang, Banjar, Pasai dan lain-lain memberlakukan
Islam sebagai agama resmi dan hukum negaranya. Puncak dominasi Islam ini
berlaku pada zaman Kerjaaan Mataram di tangan Sultan Agung sekitar tahun 1750
M, yang memberlakukan hukum Islam secara total 100% baik pidana maupun perdata.[10] Dalam keadaan seperti
ini, maka bentuk peradilannya pun sudah tidak lagi berbentuk Tahkim
seperti awal-awal pemelukan Islam, melainkan sudah meningkat kepada bentuk
peradilan (qadla). Sehingga dikenallah adanya istilah-istilah Sidang
Jumat, Rapat Ulama, Rapat Agama maupun Mahkamah Syara’ dan Soerambi,
yang istilah-istilah itu tak lain sebagai Peradilan Agama yang kita kenal
sekarang ini, pengangkatan pengambilan sebuah keputusan atau hakimnya pun,
sudah tidak lagi berdasarkan penunjukan langsung dari para pihak yang
bersengketa atau pemilihan dan ba’it Ahulul wal Aqdli, melainkan sudah
melalui pemberian Tauliyah (kekuasaan) dari Ulil Amri (Pemerintah
dan Pengusa). Maka oleh karena itu dikenallah adanya peraturan-peraturan adat
dan Swapraja maupun peraturan-peraturan Sultan atau Raja sebagai dasar
keberadaannya.[11]
Istilah-isilah lain yang kita kenal dengan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku
Mufti maupun Tuaku Qadi, di samping raja-raja dan bupati dahulu, adalah
penjelamaan dari watak dan kepribadian ketetanegaraan dari pelaksanaannya
syari’at Islam di Indonesia.[12]
2. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Ketika Kolonial Belanda mulai memasuki Indonesia melalui VOC,
yakni sebuah wadah dagang yang telah mengarahkan sasarannya untuk menjajah
Nusantra, tak dapat menyepelekan eksistensi Hukum Islam yang telah
berurat-berakar dilaksanakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Meskipun akhirnya
VOC semakin kokoh mencengkeram dan bahkan selanjutnya menjajah Nusantara ini,
tak mampu menekan dan membendung pelaksanaan Hukum Islam yang menjadi keyakinan
hidup bagi pemeluknya. Upaya penghapusan Hukum Islam sama sekali yang dilakukan
secara terus-menerus hanya mampu pada bidan hukum pidana.[13] Dengan mengadakan aturan
pemisahan antara peradilan keduniawian (werwldijke rechtpraak) yang
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan Gubermen dengan Peradilan Agama. Sementara
itu untuk bidang hukum perdata karena telah begitu mapannya dilaksanakan, maka
tetap dibiarkan hidup dan berjalan sendiri ditangani oleh Peradilan Agama.
Kenyataan itu dapat dilihat dalam satu Instruski bulan September 1808 M yang
antara lain isinya berbunyi sebagai berikut:
“…………. Sedangkan kepala-kepala pendeta[14]mereka dibiarkan untuk
memutus perkara-perkara tertentu dalam bidang-bidang perkawinan dan
kewarisan……...”[15]
Campur tangan Pemerintah Kolonial atas soal kekuasaan Peradilan
Agama (pelaksanaan hukum perdata Islam) baru dimulai pada tahun 1920 M,
sebagaimana tertuang dalam Stbl 1820 Nomor 24 pasal 13 yang diperjelas oleh
Stbl. 1835 Nomor 58 isinya antara lain:
“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain
mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang
sejenis yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka para “pendeta” memberi
putusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timul dari keputusan
para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.”
Bahkan atas usul L.WC. Van Den Berg (1845-1927) berdasarkan
teorinya reception in complexu, yaitu suatu paham yang mengatakan bahwa
hukum bagi orang Indonesia mengikuti agamanya,[16] pada akhirnya Pemerintah
Kolonial memberikan aturan secara formal dalam perundang-undangan yang lebih
kontrit atas pelaksanaan Hukum Islam. Hal ini diwujudkan dalam Stbl. 1882 Nomor
152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan nama Priesterrad[17].
Sedangkan untuk daerah luar Jawa daN Madura masih diserahkan kepada
peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja. Hal ini karena Jawa dan Madura
dianggap sebagai pilot proyek untuk menguasai wilayah Indonesia seluruhnya.
Meskipun pengadilan agama telah diatur secara formal sebagai
pengadilan negara sebagaimana halnya Pengadilan Gubermen, namun pada
kenyataannya yang terjadi bahwa pengadilan agama telah tidak didudukan secara
sama dengan pengadilan Gubermen. Tidak dapat dipungkiri kenyataannya untuk
pengadilan Gubermen, disediakan anggaran yang memadai dan pegawai-pegawainya
pun digaji oleh Negara, sementara untuk pengadilan agama tidak disediakan
anggaran dan pegawai-pegawainya tidak digaji dan demikian juga Ketuanya, bahkan
dalam kedudukannya sebagai Ketua disamakan dengan Penghulu Landraad.
Biaya-biaya yang diperlukan untuk kebutuhan-kebutuhan administrasi peradilan,
harus dicukupi dari biaya perkara yang dipungut dari pihak-pihak yang
berperkara. Akibatnya jarang orang-orang Alim (yang menguasai ilmu
agama) yang mau menjadi pegawai dan hakim pengadilan agama. Sehingga sering
terjadi pegawai-pegawainya diangkat dari pengurus-pengurus masjid yang kurang
menguasai ilmu agama.[18]
Berbeda dengan L.W.C. Van Den Berg, penganut dan pencetus teori reception
in complexu, adalah C. Snouck Hurgronye (1857-1936). Ia yang merupakan
salah satu seorang ahli Hukum Adat, mencetuskan teori baru yang sangat
bertentangan dengan teori L.W.C. Van Den Berg. Teori C. Snouck Hurgronye
tersebut dikenal dengan theori receptie, yakni teori yang mempunyai
jalan pikiran bahwa; sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat
asli. Ke dalam Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum Islam. Pengaruh
Hukum Islam itu, ….. baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima
oleh Hukum Adat dan dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum Adat bukan
sebagai Hukum Islam.[19] Berdasarkan teorinya ini,
maka C. Snouck Hurgronye yang menduduki jabatan sebagai panasehat Pemerintah
Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri, menganggap bahwa
keluarnya Stbl. 1882 Nomor 152 merupakan kesalahan yang patut disesalkan.
Sebab, Peradilan Agama ini seharusnya dibiarkan terus berjalan secara liar
tanpa campur tangan Pemerintah, sehingga keputusan-keputusannya tidak perlu
memperoleh kekuatan undang-undang.[20]
Atas desakan dan pengaruh
C. Snouck Hurgronye dalam kedudukannya tersebut, secara sistematis, halus dan
berangsur-angsur, hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan
dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan
banyak reaksi dan kekecewaan pada benak masyarakat Islam. Kenyataan tersebut di
atas seperti halnya perubahan ketentuan Pasal 134 I.S 1925 (yang bunyinya sama
dengan ketentuan Pasal 178 R.R 1907 dan R.R 1919 dulu) yang antara lain bunyi
ayat (2) nya:
“Kalau terjadi perselisihan perdata antara sesama penduduk inlander
atau penduduk yang dipersamakan dengan mereka, diputus oleh kepala agama atau
kepala adat mereka menurut undang-undang agamanya atau adat aslinya”
Sehingga dirubah menjadi:
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendaki dan
sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
Perubahan ini terjadi pada tahun 1929, berdasarkan Stbl. 1929 Nomor
221, dengan demikian berarti Hukum Islam telah dicabut dari lingkungan tata
hukum Hindia Belanda. Akibatnya, melalui Stbl. 1931 Nomor 53 terjadi
pengurangan kompetensi bagi Pengadilan Agama yang hanya mengenai sengketa di
bidang; nikah, talak, rujuk, perceraian dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan itu seperti mahar dan nafkah isteri. Sedangkan untuk bidang hadlanah
(penguasaan dan pemeliharaan anak), waris, wakaf dan lain-lainnya dicabut dan
selanjutnya diserahkan kepada Landraat.
Meskipun Stbl. 1931 Nomor
53 tidak sempat diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun
mengeluarkan ordonantie baru berupa; Stbl. 1937 Nomor 116 yang
diberlakukan mulai tanggal 1 April 1937 tentang Perubahan dan Penambahan atas
Stbl. 1882 Nomor 152, yang pada intinya isi dari pada Stbl. tersebut adalah
untuk mengurangi kompetensi Pengadilan Agama seperti halnya Stbl. 1931 Nomor 53
di atas, hal ini dapat dilihat dalam bunyi Pasal 2a ayat (1):
“Pengadilan agama hanya semata-mata berwenang untuk memeriksa dan
memutus perselishan hukum antara suami isteri yang beragama Islam, begitu pula
perkara-perkara lain tentang nikah, talak dan rujuk serta soal-soal perceraian
lain yang harus diputus oleh hakim agama, menyatakan perceraian dan menetapakan
bahwa syarat-syarat ta’lik sudah berlaku,………………………….kecuali dalam
perkara mahar (mas kawin) dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada isteri
yang sepenuhnya menjadi wewenang pengadilan agama”.
Selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan lagi Stbl.
1937 Nomor 610 tentang Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi yang berkedudukan di
Jakarta sebagai Pengadilan Agama Tingkat Banding untuk Jawa dan Madura, yang
mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1938, yang kompetensi hanya meliputi
bidang:
1. Memeriksa dan
mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan agama yang
dimintakan banding.
2. Memberikan
saran-saran atau pertimbangan-pertimbangan masalah agama Islam kepada
Pemerintah apabila diminta.[21]
Pada tanggal 21 Desember 1937 Pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan ordonansi lain, berupa; Stbl. 1937 Nomor 368 dan 369 tentang
Pengaturan dan Pembentukan Kadigerecht (Kerapatan Kadi) di sebagian
daerah Kalimantan Selatan (kecuali daerah Pulau Laut, Tanah Bumbu dan Hulu
Sungai), dan Het Opperkadigerecht (Kerapatan Kadi Besar) di Banjarmasin,
yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 1938. Sampai akhir masa kekuasaannya
(setelah dikalahkan Jepang) Pemerintah Kolonial Belanda tidak sempat mengatur
pengadilan agama untuk selain Jawa dan Madura serta sebagian Kalamantan Selatan
tersebut, sehingga keberadaannya untuk daerah tersebut tetap didasarkan kepada
peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja.
3.
Masa Pemerintahan Jepang
Pada tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang kebijaksanaan yang
dilakukan oleh Jepang tehadap undang-undang dan pengadilan ialah bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang berasal dari Pemerintahan Belanda dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Eksistensi pengadilan agama tetap
dipertahanakan dan tidak mengalami perubahan, namun nama pengadilan agama
diganti dengan sebutan “Soo-Rioo
Hooin” untuk Pengadilan Agama dan Kaikoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah
Islam Tinggi, berdasarkan aturan peralihan Pasal 3 Balatentara Jepang (Osanu
Seizu) tanggal 7 Maret 1942 Nomor 1.[22] Pada tanggal 29 April
1942 Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Balatentara Dai Nippon. Dalam Pasal 1
disebutkan bahwa di Tanah Jawa dan Madura telah didadakan “Gunsei Hooin”
(Pengadilan Pemerintahan Balatentara). Dalam Undang-undang ini tidak disebutkan
mengenai bentuk pengadilan termasuk pengadilan agama untuk wilayah Indonesia di
luar Jawa dan Madura.
Dalam Undang-undang ini pada Pasal 3-nya disebutkan bahwa untuk
sementara waktu “Gunsei Hooin” (Pengadilan Pemerintahan Balatentara)
terdiri atas:[23]
1.
Tiho Hooin (Pengadian Negeri).
2.
Keizai Hooin (Hakim Polisi).
3.
Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten).
4.
Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan).
5.
Kiaikoyo Kootoo
Hooin (Mahkamah Islam Tinggi).
6.
Sooryo Hooin (Rapat Agama).
Pada masa pendudukan Pemerintahan Balatentara Jepang, eksistensi
Peradilan Agama nyaris terancam tatkala pada akhir Januari 1945 Pemerintah
Balatentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan
Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud Pemerintahan
Balatentara akan memberikan hadiah kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yaitu
bagaimana sikap Dewan Pertimbangan Agung ini terhadap susunan penghlu dan cara
mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara
Indonesia Merdeka. Pada tanggal 14 April 1945 Dewan Pertimbangan Agung
memberikan jawaban sebagai berikut:
“Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan
agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa,
untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup
segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan
seorang ahli agama.”[24]
Selama kekuasaan Pemerintahan Balatentara Jepang di Indonesia
(kurun waktu tahun 1942-1945), pada dasarnya eksistensi pengadilan agama tidak
ada perubahan yang signifikan, keadaan ini bukan berarti Pemerintahan
Balatentara Jepang menyetujui susunan badan peradilan termasuk Peradilan Agama
yang telah diatur oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, akan tetapi semata-mata
karena kesibukannya dalam menghadapi perperangan di mana-mana selama
pemerintahannya di Indonesia. Dengan menyerahnya Jepang dan bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan
Dewan Pertimbangan Agung bentukan Pemerintahan Balatentara Jepang itu mati
sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis di samping peradilan-peradilan
yang lain.
Baik pada masa Pemerintahan
Kolonial Belanda maupun Pemerintahan Balatentara Jepang, pengadilan agama
berada dalam di bawah Departemen Kehakiman dan sebelumnya adanya Pengadilan
Agama Tigkat Bading (Mahkamah Islam Tinggi tahun 1937), jika ada ketidakpuasan
atas putusan pengadilan agama, maka satu-satunya jalan harus memohon peninjauan
kembali atas putusan tersebut kepada Gubernur Jenderal.[25]
C. PENGADILAN AGAMA PADA MASA KEMERDEKAAN DAN PEMERINTAHAN ORDE LAMA
DAN ORDE BARU
1. Masa Pasca Kemerdekaan dan
Pemeritahan Orde Lama
Beberapa saat setelah kemerdekaan, ibu kota Republik Indonesia
Jakarta diduduki oleh tentara sekutu. Dalam keadaan demikian, Pemerintah Pusat
Republik Indonesia diungsikan dari Jakarta ke Jogyakarata. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kehakiman Nomor T.2 Kedudukan Mahkamah Islam Tinggi ikut
dipindahkan dari Jakarta ke Surakarta. Atas kemerdekaan yang telah dapat diraih
oleh bangsa Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia mulai mengadakan perubahan
di segala bidang termasuk di bidang Peradilan Agama. Ketika Pemerintahan
Republik Indonesia mendirikan Departemen Agama berdasarkan Penetapannya tanggal
3 Januari 1946 Nomor 1/SD, urusan Peradilan Agama yang semula berada di bawah
Departemen Kehakiman, berdasarkan Penetapannya tanggal 25 Maret 1946,
dipindahkan di bawah Departemen Agama.
Sejalan dengan usaha perombakan susunan peradilan kolonial, maka
Pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948, sebagai bentuk
perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung sebagai realisasi Pasal 24 UUD 1945. Akan
tetapi, perubahan tersebut secara institusional masih bersifat euro-sentris,
dalam hal ini Belanda.[26] Karena
perangkat-perangkat peradilan dan hukum acaranya masih menggunakan produk
Kolonial Belanda. Undang-undang ini sudah
tiga lembaga peradilan Negara yakni; Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Pemerintah, dan Peradilan Ketentaraan, sementara Peradilan Agama tidak
disebutkan. Hal ini mengindikasikan adanya diskriminatif terhadap Peradilan
Agama yang telah eksis sebelum kemerdekaan.[27]
Ternyata isi Undang-undang ini menghendaki penghapusan Peradilan
Agama sebagai suatu lembaga peradilan yang berdiri sendiri, selanjutnya untuk
menangani perkara-perkara yang selama ini di tangani oleh pengadilan agama,
ditampung oleh pengadilan negeri secara istimewa dengan bentuk penanganan
perkaranya diketuai oleh seorang Hakim yang beragama Islam dan di dampingi oleh
dua orang Hakim yang ahli agama Islam.[28] Menyadari akan betapa
pahit getirnya kehendak Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 eksistensi Peradilan
Agama oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, undang-undang
tersebut tidak sampai diberlakukan. Untuk daerah-daerah yang secara de facto
dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesa, pelaksanaan Peradilan Agama
berdasarkan kepada ketentuan Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 masih didasarkan kepada Stbl. 1882
Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura.
Untuk daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara sekutu dan Belanda,
dibeberapa tempat didirikan pengadilan agama dengan nama Penghulu Gerechten
sebagai pengganti Priesteraaden. Sedangkan untuk pengadilan agama
tingkat bandingnya, telah pula didirikan beberapa Majelis Ulama. Hal ini untuk
mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang telah dipindahkan ke Surakarta.[29] Pasca penyerahan
kekuasaan dari Pemerintahan Kolonial Belanda kepada Pemerintahan Republik
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, maka peraturan-peraturan tentang
Penghulu Gerechten tersebut seperti Javaasche Caurant Nomor 32
Tahun 1946, Nomor 25 dan 39 Tahun 1949, Keputusan Recomba Jawa Barat
Nomor Rechtspraak. WJ. 29. 27 Tahun 1948 dan lain-lainnya, dianggap tidak
berlaku (terhapus) berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1950 yang diganti oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1950.
Selanjutnya, Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 dianggap
tetap berlaku.
Pada tahun 1951,
melalui Penetapan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1951diadakan panataan terhadap
pegawai Peradilan Agama, berupa pengangkatan para pegawainya menjadi Pegawai
Negeri Sipil. Sehingga dengan demikian, mereka yang waktu jaman penjajahan
tidak mendapat gaji, sekarang mendapatkannya secara tetap dari negara.[30] Selain itu pengangkatan
atas jabatan Ketua Pengadilan Agama beserta pegawai-pegawainya dan
memberhentikannya menjadi wewenang Menteri Agama, tidak lagi merupakan wewenang
Bupati atau Residen seperti halnya pada waktu jaman penjajahan.
Selanjutnya dalam
rangka usaha ke arah kesatuan dalam bidang
peradilan secara menyeluruh, maka Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan
Sementaran Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Pengadilan Sipil. Berdasarkan
Undang-undang ini, Pengadilan Adat dan Swapraja dihapuskan. Akibatnya,
Peradilan-peradilan di luar pulau Jawa dan Madura serta sebagian daerah
Kalimantan Selatan, merasa kurang mempunyai landasan hukum yang kuat. Oleh
karena itu jalan keluarnya berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan (4) Undang-undang
tersebut, bagi pengadilan agama yang berada dalam lingkungan Peradilan Adat dan
Swapraja, jika ia merupakan bagian tersendiri dari badan peradilan tersebut
(Adat dan Swapraja) tidak larut terhapus, dan sebagai kelanjutannya akan diatur
oleh Peraturan Pemerintah.
Guna memenuhi
kehendak Pasal 1 ayat (2) dan (4) Undang-undang tersebut dalam rangka
memberikan landasan hukum yang kuat bagi eksistensi Peradilan Agama di
daerah-daerah diluar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Selatan, maka
diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Pengadilan
Agama / Mahkamah Syari’ah untuk daerah Aceh yang segera mendapat pengesahan
dari Dewan Menteri dan akhirnya keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
1957. Peraturan Pemerintah tersebut, ternyata tidak dapat memberikan
penyelesaian bagi daerah-daerah lainnya secara integral. Pada akhirnya
Peraturan Pemerintah tersebut dicabut dandinyatakan tidak berlku, sehingga
digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah di daerah luar Jawa dan Madura serta
sebagian Kalimantan Selatan, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 9 Oktober
1957. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Menteri Agama
mengeluarkan Penetapannya Nomor 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan 54 Pengadilan
Agama / Mahkmah Syari’ah dan 4 Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah Provinsi
untuk daerah Sumatera. Kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama / Mahkmah
Syari’ah di Indonesia Bagian Timur dengan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah
Provinsi di Banjarmasin dan Ujung Pandang (Makassar).
2.
Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, tindakan pertama-tama yang
dilakukan dalam rangka penataan pelaksanaan Kekuasan Kehakiman secara murni
berdasarkan kehendak Undang-undang Dasar 1945, dan sesuai dengan ketentuan
Ketetapan Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: XIX/MPRS/1966
jo. Nomor: XXXIX/MPRS/1968, maka Pemerintah Orde Baru bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengadakan peninjauan terhadap
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1969 yang
menghendaki adanya suatu undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Untuk
merealisasikannya, pada tanggal 17 Desember 1970 disahkan dan
diundangkanlah Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yakni dengan disahkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Berdasarkan
ketentuan Undang-undang ini, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia semakin
kokoh sebagai salah satu lembaga pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Negara
Republik Indonesia. Bahkan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang ini,
kedudukan Badan Peradilan Agama setara
dan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti; Peradilan Umum,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kekokohan Badan Peradilan Agama semakin menonjol khsususnya dalam
kompetensinya, setelah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan[31] pada tanggal 2 Januari
1974 dan diundangkannya aturan pelaksananya pada tanggal 1 April 1975 dengan
sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai berlaku efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975. Kemudian disusul dengan diundangkannya Peratuarn
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik beserta Peraturan
Pelaksanaannya. Dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut di
atas, selain memperkokokh eksistensi Badan Peradilan Agama, sekaligus
memperluas beban tugasnya dan kewenangannya (absolute competence).
Dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut semakin jelas dan
kokoh peran dan fungsi Badan Peradilan Agama sebagai pelaksana
kekuasaankehakiman. Realitasnya kepercayaan para pihak pencari keadilan semakin
meningkat dan perkara-perkara yang masuk setiap tahunnya naik. Sebagai
bandingan, pada tahun 1974 sebanyak 28.650, tahun 1975 sebanyak 48.000 dan pada tahun 1976 sebanyak 142.069
perkara.[32]
Relevan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum umat
Islam di Indonesia, maka kasasi atas perkara-perkara yang diputus oleh
pengadilan agama mulai masuk ke Mahkmah Agung Republik Indonesia, sementara
hukum acara yang harus dimilikinya tentang hal itu sesuai ketentuan Pasal 12
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 belum ada. Oleh karena adanya kekosongan
hukum, untuk mengatasinya Mahkamah Agung RI pada tanggal 26 November 1977
mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun
1977 tentang Jalan Pengadilan Dalam Pemeriksaan Kasasi dalam Perkara Perdata
dan Perkara Pidana oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer, disertai Surat
Edarannya Nomor: MA/Pemb./0921/1977.
Dengan demikian, keberadaan Mahkamh Islam Tinggi, Kerapatan Kadi
Besar maupun Susunan, Kekuasaan dan Acara Peradilan Agama yang bersifat
integral sesuai kehendak Pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, untuk keseragaman
nama pengadilan agama yang selama ini berbeda-beda sebagai akibat dari
keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya (Stbl. 1882 Nomor 152
jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610, Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 1957), Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusannya
tanggal 28 Januari 1980 dengan Nomor 6 Tahun 1980. Berdasarkan keputusan
tersebut, Pengadilan Tingkat Bandingnya bernama Pengadilan Tinggi Agama, dan
nama-nama Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar maupun
Mahkamah Syari’ah dari Mahkmah Syari’ah Provinsi sudah tidak dipergunakan lagi.
Sejalan dengan kenyatan-kenyataan di atas, untuk dapat memantapkan
serta memegang teguh tugas dan fungsi pengadilan agama sebagai salah satu lingkungan
peradilan dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman di Negara Indonesia, pada tanggal
27 Maret 1982 Presiden Republik Indonesia mengangkat seorang Ketua Muda
Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian berarti tugas
pembinaan teknis yustisial terhadap Peradilan Agama yang selama ini di lakukan
langsung oleh Departemen Agama, telah menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik
Indonesia sesuai kehendak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Pada tahun 1982 Pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama Nomor
95 Tahun 1982, membentuk beberapa Cabang Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan
Agama untuk Indonesia Tengah dan Timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Timor
Timur, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Kemudian disusul daerah-daerah lainnya
dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama (Mahkamah Islam Tinggi) di Surakarta
dipindahkan kembali ke Jakarta, dan untuk Pengadilan Tinggi Banding bagi
Propinsi Jawa Tengah, didirikanlah Cabang Pengadilan Tinggi Agama di Semarang.
Akhirnya sebagai puncak dari kekokohan dan kemapanan Badan
Peradilan Agama sebagai Pengadilan Negara di Indonesia, adalah dengan disahkan
dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
pada tanggal 27 Desember 1989 termasuk di dalamnya memuat aturan tentang Susunan
Kekuasaan dan Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan agama. Dengan disahkan
dan diundangkannya Undang-undang ini terpenuhilah sudah kehendak Pasal 10 ayat
(1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kesetaraan dan kesejajaran
Peradilan Agama dengan Pengadilan Negara lainnya. Karena dalam Undang-undang
ini pengadilan agama sudah tidak lagi harus menggantungkan kepada pengadilan
negeri dalam hal melaksanakan putusannya (eksekusi), dan tidak lagi memerlukan
pengukuhan atas putusan-putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap sebelum dijalankan oleh
para pihak pencari keadilan.
D. PERADILAN AGAMA PADA MASA ERA REFORMASI
Sepanjang Pemerintahan Orde Baru, keberadaan Badan Peradian Agama sebagai salah satu Pelaksana
Kekuasaan Kehakiman pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh dua lembaga,
yakini Yudikatif dan Eksekutif. Di satu sisi, pembinaan tehnis dilakukan oleh
Mahkamah Agung, dan di sisi lain organisasi, administrasi oleh Departemen
Agama.[33] Keadaan seperti ini
karena aturan dasarnya yakni Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor
14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 5
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada masa
Pemerintah Orde Reformasi keadaan seperti ini dipandang tidak relevan lagi.
Untuk itu Badan-badan Peradilan, baik Peradilan Agama maupun
peradilan-peradilan lainnya, pembinaanya sepatutnya hanya dilakukan oleh
Mahkamah Agung RI, baik pembinaan yang menyangkut teknis, maupun yang
menyangkut organisasi, administrasi dan keuangannya. Untuk terpenuhinya hal
tersebut, maka dilakukan perbaikan dan perubahan atas Pasal 11 Undang-undang
Nomor 14 Ttahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tetang Perubahan Undang-undang Nomor 14
Ttahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal
30 Juli 1999. Dengan demikian, pembinaan terhadap Badan Peradilan Agama, juga
Badan Peradilan-peradilan lainnya, baik yang menyangkut teknis maupun
organisasi, administrasi dan keuangannya dilakukan oleh Makamah Agung RI.
Dengan
diundangkannya Undang-undang tersebut, merupakan perstiwa yang amat bersejarah
bagi Lembaga Kekuasaan Kehakiman, karena merupakan tonggak sejarah bagi terwujudnya
kemerdekaan dan kemandirian Kekuasaan Kehakiman secara utuh di bawah Mahkamah
Agung RI, setelah sekian lama pembinaannya dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan
yakni Eksekutif (Departemen yang bersangkutan) dan Yudikatif (Mahkamah Agung
RI). Pemisahan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Deparetemna Agama bagi
Peradilan Agama) yang diatur dan
dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, tidak lain
daripada memantapkan posisi Lembaga Peradilan Agama pada segi-segi hukum formal
dan teknis peradilan sehingga terwujud Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dengan
terselenggaranya peradilan yang bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan
Eksekutif.
Realisasi
kehendak Undang-undang tersebut yakni terlepasnya kekuasaan Eksekutif atas
Badan Peradilan Agama dan Badan-badan Peradilan lainnya di bidang keuangan,
organisasi dan finansial bagi Peradilan Agama setelah 58 tahun berada di bawah
kekuasaan Eksekutif, tepatnya pada tanggal 30 Juni 2004 berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004
Pengadilan Agama dialihkan ke bawah Mahkamah Agung RI, pengalihan inilah
populer dengan istilah satu atap (one roof system) yang sepanjang
Pemerintahan Orde Baru di mana kekuasaan Negara didominasi oleh kekuasaan
Eksekutif atau dikenal dengan ungkapan executive heavy, sehingga dengan
peraturan tersebut di atas Peradilan Agama pembinaan; Organisasi, Administrasi
dan Finansial di Lingkungan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung berlaku efektif
pada tanggal 1 Juli 2004.
Kemudian pada tahun 2006 dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 yang merupakan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Peradilan Agama
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk penyelenggaraan penegakkan
hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam dalam Pasal 49 disebutkan bahwa:
“Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut: Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; perkawinan, waris,wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah”.[34]
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan:
“Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah”
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi[35] bank
syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah,
dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah”.
Dengan penegasan kewenangan tersebut memberikan dasar hukum kepada
pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu termasuk pelanggaran atas
Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya, juga memperkuat landasan
hukum Mahkamah Syariah melaksanakan kompetensinya di bidang jinayah
berdasarkan qanun. Bahkan kompetensi pengadilan agama diperluas dalam
bidang sengketa ekonomi syariah, pilihan hukum (opsi) dalam kewarisan
dinyatakan dihapus. Dan dalam lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan
pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang,[36]
yakni pengadilan syariah Islam yang diatur tersendiri dengan undang-undang
yaitu Mahkamah Syari’ah di Provinsi NAD yang dibentuk dengan Undang-undang
Otonomi Khusus.[37]
Demikian juga sengketa hak milik atau sengketa perdataan lain
antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai sengketa objek
sengketa, maka menurut ketentuan Undang-undang Peradilan Agama dapat langsung
diputus oleh pengadilan agama.[38]
Kewenangan lainnya dalam perkara wasiat, wakaf, zakat dan infaq, dan kewenangan
baru bidang perkawinan penetapan pengangkatan anak serta memberikan isbat
kesaksian rukyat hilal dan kewenangan yang masih tetap dipertahankan
yakni dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah. Sementara untuk mempertegas kewenangan di
bidang ekonomi syariah diundangkan pula Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah tanggal 16 Juli 2008[39]
dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama.
Sebagai upaya untuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), maka
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perlu diganti. Sehingga lahirlah
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dengan diundangkan Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009, maka membawa perubahan pula terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
menjadi perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan
peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu (integrated justice system),terlebih Peradilan Agama secara konstitusional merupakan
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Perubahan signifikan dapat dilihat pada penguatan pengawasan hakim
(internal oleh Mahkamah Agungdan exsternal oleh Komisi Yudisial), memperketat
persyaratan pengangkatan hakim, pengaturan mengenai peradilan khusus[40]
dan hakim ad hoc, pengaturan mekanisme dan tata cara pengangatan dan
pemberhentian hakim, keamanan dan kesejahteraan hakim, transparansi putusan dan
limitasi pemberian salinan putusan, transparansi biaya perkara, bantuan hukum
serta Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim mentaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
E. KESIMUPULAN
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan
Agama keberadaannya telah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, ia mengalami
dinamika kesejarahan yang berbeda dengan peradilan lainnya, semenjak
Pemerintahan Kolonial Belanda mengalami pasang surut bahkan kekuasaannya selalu
dikerdilkan, hal demikian hampir sama sampai sebelum era reformasi. Pada masa
era reformasi eksistensi peradilan agama sebagai penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman diperkokoh, setara dan sejajar dengan peradilan lainnya yang berbeda
hanya dalam kompetensi absolut. Endingnya untuk
mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan peradilan yang
bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang
terpadu (integrated justice system).
DAFTAR PUSTAKA
ASA, Sejarah
Peradilan Agama, Serial Media Dakwah, Jakarta: Agustus 1989.
M.
Daud Ali, Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Panji Masyarakat,
Nomor 634, tanggal 1-10 Januari 1990.
Departemen
Agama RI, Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama,
Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian / Survey Keagamaan, 1971/1972.
----------------------------,
Yurisprodensi Badan Peradilan Agama, Jakarta: Ditbinbapera Islam, 1977.
----------------------------,
Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses
Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Diretorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet.
3, 2001.
F.Agsya,
Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Asa Mandiri, 2010.
Jaenal
Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet.
Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Muhammad
Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanan
Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Hamka,
Sejarah Umat Islam, Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Marulak
Pardede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Angkatan Bersenjata, 24 Agustus 1989.
Mahadi,
Peranan Pengadilan Agama di Indonesia, Kertas Kerja, Laporan Hasil
Simposium Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan
Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, 1982 / 1983.
Sayuti
Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Syed
Habibul Haq Nadvi, The Dynamic of Islam, diterjemahkan oleh Asep Hikmat
dengan judul “Dinamika Islam”, Bandung: Risalah, 1982.
Victor
Tanja, Forum RUUPA, Editor, Nomor 48/THN II, Jakarta: 5 Agustus 1989.
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit
Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, 1983.
Footnote:
[1] Lihat Pasal
24 Ayat (2) UUD 1945, bunyi pasal tersebut; “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan yang berada di bawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan yang ada di bawahnya
meliputi; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Lihat Muhammad
Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanan
Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004, hlm. 57
[2] M. Daud Ali,
Undang-undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, Nomor 634, tanggal 1-10
Januari 1990, Jakarta: hlm. 71
[3] Victor
Tanja, Forum RUUPA, Editor, Nomor 48/THN II, Jakarta: 5 Agustus 1989.
[4] Zaini Ahmad
Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di
Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hlm. 29
[5] Ibid.
[6] Syed Habibul
Haq Nadvi, The Dynamic of Islam, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan
judul “Dinamika Islam”, Bandung: Risalah, 1982, hlm. 212
[7] Dalam
tradisi qaedah hukum Islam, bahwa
hukum itu dapat mengalami berubahan sejalan dengan perubahan zaman,
tempat, keadaan dan niat.
[8] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III,
Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 35
[9] ASA, Sejarah
Peradilan Agama, Jakarta: Serial Media Dakwah, Agustus 1989.
[10] ASA, Op.,Cit.
[11] Marulak
Pardede, Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama Dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Angkatan Bersenjata, 24 Agustus 1989.
[12] Departemen
Agama RI, Laporan Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama,
Proyek Peningkatan Penelitian / Survey Keagamaan, Jakarta: 1971/1972, hlm. 71
[13] ASA, Op.,Cit.
[14] Pendeta disini maksudnya Ulama, karena
menurut Kolonial Belanda Ulama dikira sama dengan Pendeta.
[15] Mahadi, Peranan
Pengadilan Agama di Indonesia, Kertas Kerja, Laporan Hasil Simposium
Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum
dan Peradilan Agama, 1982 / 1983, hlm. 68
[16] Sayuti
Thalib, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 5
[17] Pengadilan
Agama disamakan sebutannya oleh Kolonial Belanda dengan Pengadilan Pendeta.
[18] Ahmad Zaini
Noeh dan Abdul Basit, Op.,Cit, hlm. 33
[19] Sayuti
Thalib, Op.,Cit, hlm 13.
[20] Zaini Ahmad
Noeh dan Abdul Basit Adnan, Op.,Cit, hlm. 34
[21] Ibid,
hlm. 38
[22] Departemen
Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta: Direktrat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Diretorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet.
3, 2001, hlm. 18. (lihat juga Ahmad Zaini Noeh dan Abdul Basit, Op.,Cit, hlm.
21).
[23] Ibid.
[24] Ibid,
hlm 19.
[25] Laporan
Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, hlm. 29
[26] Jaenal
Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet.
Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 174
[27] Ibid,
hlm. 175
[28] Zaini Ahmad
Noeh dan Abdul Basit Adnan, Op.,Cit, hlm. 54-55
[29] Laporan
Bagian Proyek Penelitin Yusisprodensi Peradilan Agama, hlm. 33
[30] Ibid.
[31] Namun dalam
Undang-undang ini, putusan Pengadilan Agama harus mendapatkan fiat eksekusi dari
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan putusannya.
[32] Departemen
Agama RI, Yurisprodensi Badan Peradilan Agama, Ditbinbapera islam,
Jakarta: 1977, hlm. 1
[33] Demikian
juga Lembaga-lembaga Peradilan lainnya, seperti halnya Peradilan Umumdan
Peradilan Tata Usaha Negara oleh Departemen Kehakiman.
[34]
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tenang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009.
[35] Ibid,
Penjelasan pasal demi pasal.
[36] Pasal 3A dan
Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009.
[37] Lihat Pasal
15 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang ini dihapus
dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009,.
[38] Lihat Pasal
50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009.
[39] Pasal
55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
[40] Pengkhususan
Peradilan adalah diferensisasi / spesialisasi di lingkungan pengadilan
agama dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah, pengadilan
niaga syariah, pengadilan tindakan kejahatan ekonomi syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini