Sabtu, 22 Oktober 2011

WARNA PEMIKIRAN PEMBARUAN ISLAM DI INDONESIA


-          Awal Kelahiran Gerakan Pemabaruan Islam di Indonesia :
Agama Islam masuk ke Indonesia pertama kalinya di sekitar abad XIII Masehi[1] dan perkembangan Islam tidak dicampuri  oleh sesuatu usaha pemerintah manapun juga, dimana daerah dan pulau-pulau kecil yang lain satu persatu masuk Islam, terutama dengan usaha saudagar-saudagar Islam. Ketika Islam masuk ke Indonesia, ia bukannya menjumpai masyarakat yang masih bersih dari berbagai acam ragam keyakinan hidup. Masyarakat Indonesia pra Islam adalah masyarakat yang telah memiliki kepercayaan, seperi animisme, dinamisme, Hindu maupun Budha yang diyakini dan telah menyatu dalam seluruh aspek kehidupannya sedemikian rupa. Dan ketika mereka dengan kesadarannya sendiri mau menerima seruan dan ajakan Islam, ternyata sisa-sisa kepercayaan sebelumnya tidak serta-merta ditanggalkan dari kebiasaan hidupnya. Gejala bercampur-aduknya antara kepercayaan lama dengan keyakinannya yang baru tidak mungkin dapat dihindari.
Di lain pihak, Islam yang datang ke Indonesia bukannya dibawa oleh para mubaligh yang langsung datang dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh para pedagang dan mubligh dari Gujarat-India. Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia ini adalah hasil pekerjaan kaum Sufi dan Mistik, sedangkan dalam masalah fiqih yang menguasai lapangan pendidikan dan pengajaran tradisional Islam di Indonesia –disamping tasawwuf- muslim Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i.
Dari uarain singkat di atas jelaslah bahwa kondisi keberagaman masyarakat Indonesia sejak semula memang tidak menggambarkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu suatu agama yang sangat sederhana sekali, bernalar, dan mudah dilaksanakan.[2]
Namun kedamaian umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan kehidupan keagamaan dan dakwahnya yang berlangsung selama lebih kurang tiga abad, di sekitar awal abad XVI tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya bangsa-bangsa Eropa untuk mennjajah secara silih berganti antara bangsa Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda, datang ke Indonesia yang dengan  3 motif utama, yaitu motif ekonomi (gold), motof politik (glory) dan motif penyebaran agama Kristen (gospel).
Kondisi umat Islam di Indonesia seperti di atas berjalan-beratus tahun lamanya. Baru pada sekitar tahun 1803 bersamaan dengan kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari menunaikan ibadah haji dan untuk sementara waktu bermukim, mereka pulang kembali ke kampung halamannya di Minangkabau dengan membawa semangat Islam yang diilhami Gerakan Wahabi yang puritan.[3]
Sementara di daerah Luhak Agam para tuanku mengadakan kebulatan tekad untuk memperjuangan tegaknya syara’ sekaligus memberantas segala macam kemaksiatan yang sudah mulai semarak dikerjakan oleh kaum adat. Mereka teridri dari Tuaku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuaku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuaku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Kedelapan-orang inilah yang terkenal dengan julukan ‘Harimau nan Selapan’,[4] di samping itu mucul juga tokoh lain dari gerakan Paderi yang namanya cukup legendaris, yaitu Muhammad Syabab, yang kemdian terkenal dengan nama Tuaku Imam Bonjol, yang memerangi kaum adat yang penuh dengan kemusyrikan, namun dalam perjalanannya kaum adat meminta bantuan ke Belanada pada akhirnya perlawanan bukan melawan kaum adat melainkan melawan kaum kafir Belanda.
Syaik Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang lahir di Bukitttimnggi tahun 1855 ketika berusia 21 tahun pergi ke Makkah untuk belajar memperdalam pengetahuan agama Islam yang berfahamkan mazhab Syafii. Pada puncak kariernya ia menjadi imam dari mazhab Syafii di Masjidil Haram. Ia adalah sosok ulama yang cerdas, kritis dan toleran.  Di samping itu ia mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama Islam menurut faham mazhab Syafi’i dan mempelajari kitab-kitab dari para pembaharu Islam seperti kitab tafisir Al Manar karangan Muhamamd Abduh atau majalah Al Urwatul Wutsqa. Murid-muridnya yang datang dari Indonesia banyak yang berlajar dengan beliau, diantaranya Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Abdul Karim Amarullah (Hamka), Abdullah Ahmad, Ahmad Dahlan dan sebagainya, mereka tertarik dengan ide-ide pembaharuan yang diajarkan oleh Ahmad Khatib. Namun sebagian muridnya yang lain tetap berpegang pada mazhab Syafii antara lain, seperti Syaik Sulaiaman Ar Rasuli Candung Bukiittingi, Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur dan sebagainya.[5]
Dari para muridnya inilah yang membawa gerakan pembahruan Islam pertama kali di Indonesia, tokoh-tokoh tersebut mayoritas muncul di Minangkabau, tokoh-tokoh tersebut mencoba memajukan anak-anak bangsa pada agama yang lurus dan ber’itikad yang betul. Tokoh ini pengetahuannya tentang Islam diakui oleh ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konferensi Khilafat di Kairo tahun 1926.[6]

-          Warna Gerakan Pemabaruan Islam di Indonesia :
Memasuki abad XX di Indonesia, terutama di puau Jawa perjuangan menegakkan agama Islam sehingga kemuliaan Islam sebagai idealita dan kejayaan umat Islam sebagai realita dapat direalisasikan secara konkrit telah dimulai dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai saat ini menyadari bahwa cita-cita yang demikian besar lagi berat seperti di atas hanya dapat diperjuangan lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat perjuangan yang namanya “organisasi”.  Maka bermuculanlah berbagai Gerakan Pembaharuan dalam Islam, baik yang bergerak dalam bidang politik kenegaraan seperti Syarikat Islam, Partai Islam Indonesia, Partai Islam Masyumi, Partai Muslimin Indonesia, maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan seperti As-Islah wal-Irsyad atau terkenal dengan Al-Irsyad, Persatuan Islam, dan Muhammadiyah.
Sesungguhnya dua pola perjuangan pemikiran pembaharuan seperti di atas telah ada ‘blue print’ atau cetak birunya sebagaimana yang dirintis oleh gerakan salafiyah yang ditokohi oleh Jamaluddin al-Afghany yang teori perjuanganya lebih dititik beratkan untuk merebut dan mengasai berbagai lembaga kenegaraan, terutama legislatif, dengan keyakinan bahwa dengan dikuasainya berbagai lembaga kenegaraan tersebut maka Islam akan dapat menentukan berbagai perundang-undangan, aturan, keputusan dan kebijakan negara yang benar-benar Islamy. Sedangkan pengaruh Muhamamd Abduh yang berpendapat disamping memakai teori Jamaluddin al-Afghany, ditambah  lewat pendidikan yang benar-benar Islami akan lebih melahirkan kader-kader yang siap menyebarkan ide-ide pembaharuan ke seluruh penjuru dunia, dan sekaligus menjadi pendukung yang setia untuk tampil ke depan mengisi tugas-tugas kenegaraan dan kemasyarakatan.
Dua bidang garap berupa politik dan bidang sosial kemasyarakatn seperti di atas pula yang menjadi platform gerakan  warna pembaharuan Islam di Indonesia. Yang kemudian memunculkan pemikir-pemikir pembaharu Islam di Indonesia. Jika kita gambarkan menjadi bahasan tersendiri, berikut polanya tersebut, yaitu :
1        Gerakan Politik Islam :
a.       Partai Serikat Islam Indonesia.
b.      Partai Islam Masjumi.
2        Gerakan Sosial Kemasyarakatan Islam :
a.       Al-Jamiat al-Khair :
b.      Gerakan Al-Islah wal Irsyad.
c.       Persatuan Islam (Persis).
d.      Persarikatan Muhammadiyah.
3        Gerakan Pemikiran Modern Islam :
a.       Model Prof. Dr. H. Nurkolis Madjid.
b.      Model Prof. Dr. H. Harun Nasution.
c.       Model Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA.
d.      Model Prof. Dr. H. Deliar Noer.
e.       Model Prof. Dr.H.Jalaluddin Rahmat, MA.

Footnoote:

[1] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 75
[2] Lihat QS. Al-Hajj-22: 78)
[3] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 84
[4] Ibid.
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1990-1942, LP3ES, Jakarta, hlm. 38-39
[6] Ibid., hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini