Kamis, 07 Juni 2012

Eksistensi DNA Sebagai Alat Bukti di Persidangan

EKSISTENSIS DNA SEBAGAI ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN
PENETAPAN ASAL USUL KETURUNAN
1.      Latar Belakang Masalah
Eksistensi alat bukti atau lebih dikenal dengan pembuktian merupakan aspek yang sangat urgen dalam proses persidangan pengadilan supaya adanya kepastian dan penegakan  hukum. Sebab akurasi atau kecermatan upaya pembuktian itulah keadilan yang ingin diwujudkan sangatlah bergantung akan adanya kepastian hukum. Pembuktian yang akurat adalah jalan menuju tegaknya akan keadilan. Namun sebaliknya, pembuktian yang tidak akurat maka melahirkan ketidakadilan dan ketidakpastian dalam hukum. Bahkan dengan adanya pembuktian hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan.[1] Dalam Alquran surat An-Nisaa’ ayat 58 Allah SWT. telah menyuruh dengan tegas dan gamblang kepada umat manusia untuk mewujudkan keadilan dalam setiap upaya penegakan hukum (law enforcement):
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا .

Sesunguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu sekalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Sehingga untuk melaksanakan perintah dalam rangka mewujudkan keadilan tersebut diperlukan pembuktian yang sangat akurat, maka para hakim harus melakukan pembuktian yang akurat itu menghimpun sebanyak mungkin alat bukti agar vonis yang dijatuhkan atau penetapkan hukumnya (mengkonstituir)[2] yang akan diberikan kepada pihak yang sedang berperkara benar-benar memenuhi rasa dan kualifikasi adil. Dalam konteks inilah bahwa hakim tidak boleh menetapkan hukum terkecuali ia dapat membuktikannya dengan bukti-bukti yang menetapkan hak.  
Sesuai ketentuan Pasal 164 HIR / 284 RBg ada 5 macam alat-alat bukti, yaitu: a). Bukti surat, b). Bukti saksi, c). Persangkaan, d). Pengakuan, dan e). Sumpah.[3] Dalam hukum acara peradilan agama, selain alat bukti tersebut, maka alat-alat bukti yang bisa digunakan oleh hakim dalam melakukan pembuktian, bisa ditambah dengan alat bukti berikut a). Qarinah; b). Pendapat ahli; c). Pengetahuan hakim. Sementara dalam praktek hukum acara pidana yang ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 184 alat-alat bukti yang sah itu adalah: a). Keterangan saksi; b). Keterangan ahli; c). Surat;  d). Petunjuk; dan e). Keterangan terdakwa.[4]
Sementara itu di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini serta terjadinya berbagai penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern ternyata banyak yang kondusif untuk upaya-upaya pembuktian perkara yang dilakukan oleh hakim, di antaranya teknologi alat tes kebohongan, perekam suara (audio record), perekam  gambar (visual record), pelacak sidik jari, dan tes DNA. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengkaji penerapan DNA dan eksistensisnya sebagai alat bukti di persidangan dalam penentuan keabsahan keturunan (nasab) di Pengadilan Agama.

2.      Pengertian DNA
Akhir-akhir  ini istilah DNA sering didengar di media massa yang merupakan kesingkatan dari Deoxyribo Nucleic Acikahanid (asam nukleat), yaitu suatu persenyawaan kimia yang membawa keterangan genetik dan sel khusus dari makhluk secara keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam DNA terkandung informasi keturunan makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya.[5] Jadi DNA bertugas untuk menyimpan (record) dan mentransfer informasi genetik (tranpormation of genetic information) kemudian menerjemahkan informasi itu secara tepat dan akurat. Dengan karakteristiknya yang sedemikian itu maka DNA pada dasarnya sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam melacak asal-usul keturunan seseorang (al ashl nasb).
Terkait dengan itu, sekiranya terjadi persoalan hukum yang bertemali dengan asul-usul keturunan seseorang, seperti pemerkosaan, pemalsuan wali, pemalsuan ahli waris dan sebagainya, (kecuali halnya kaitannya dengan pembunuhan di mana DNA hanya sebagai identifikasi baik pada mayat atau bendanya), maka informasi genetik dalam DNA itu bisa sangat bermanfaat untuk upaya-upaya pembuktian di pengadilan. Tetapi masalahnya pembuktian tindak pidana di pengadilan itu berada dalam wilayah yuridis formal, sehingga sah tidaknya sesuatu untuk digunakan sebagai alat bukti amat bergantung kepada ketentuan-ketentuan formal yang mengaturnya. Jika dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan formal mengenai alat-alat bukti yang sah, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif (khusus dalam KUHAP), seperti telah dikemukakan di atas, maka jelas sekali bahwa hasil tes DNA tidak termasuk kategori sebagai salah satu alat bukti. Akan tetapi di dalam hukum Islam ada poin alat bukti yang disebut dengan istilah Qarinah dan Keterangan ahli, demikian juga dalam hukum pidana positif ada salah satu bentuk alat bukti yang disebut Keterangan ahli.
Dalam Alquran surat Yusuf ayat 26-29[6] dimuat suatu kisah yang berkenaan dengan penggunaan Qarinah sebagai alat bukti, yakni kisah tentang Nabi Yusuf as yang kesohor ketampanannya. Dimana Yusuf dipaksa untuk berbuat zina oleh Zulaikha, istri dari Qiftir atau Potifar. Namun Yusuf molaknya dan tidak mau dengan ajakan itu, kemudian ia berusaha untuk lari dari ajakan mesum itu. Zulaikha mencoba dengan berbagai cara untuk mengajak berbuat mesum dengan cara menarik baju gamis Yusuf hingga sampai robek. Kejadian itu justru malah Yusuf difitnah bahwa ia telah berusaha memperkosanya sehingga ia dipenjarakan. Dalam proses pengadilan diajukan bukti berupa Qarinah, yaitu baju yang sobek itu tadi. Kalau benar Yusuf yang berusaha memperkosa, maka bagian yang sobek tentunya di depan. Tetapi ternyata bagian yang sobek itu di belakangnya, sehingga kuat dugaan bahwa ia tidak melakukan perkosaan. Walau kenyataannya Yusuf tidak bersalah berdasarkan bukti Qarinah demi kemaslahatan dan kehormatan keluarga kerajaan, maka Yusuf tetap dipenjara.
Sementara itu dalam kasus pembunuhan penggunaan alat bukti Qarinah juga pernah digunakan pada zaman Rasulullah SAW., seperti dalam kisah dua anak Afra yang bersengketa sehingga Rasulullah menetapkan pembunuhnya atas dasar pedang yang masih ada darahnya yang menempel, darah tersebut sebagai Qarinah yang menentukan telah terjadi tindak pidana pembunuhan (alqital).

3.      Anak Diluar Nikah
Akhir-akhir ini juga masyrakat sering mendengar adanya istilah anak diluar nikah, yaitu anak yang dihasilkan dari sebuah perkawinan yang tidak dilegalkan secara hukum perdata, meskipun sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya masing-masing atau menurut kepercayaannya itu.[7] Dari ungkapan ini timbulah pertanyaan, bagaimana status hukumnya anak  diluar nikah? Dan bagaimana hukum keperdataannya pasca putusan Mahmakah Konstitusi Nomor: 46/UUVIII/2010? Permalasahan ini harus dikupas habis baik dalam forum kajian ilmiah di kampus maupun oleh kalangan organisasi keislaman agar masyarakat tidak binggung dan agar masyarakat lebih tenang saat menghadapi masalah yang sama.
Dalam pertimbangan hukumnya MK berpendapat dan menyimpulkan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945[8], sehingga Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Meskipun ada yang berpendapat tes DNA dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk mendapatkan hak keperdataan dari pengadilan bagi status anak diluar nikah. Sebab, hasil tes itu akan menegaskan hak anak diluar nikah agar diakui eksistensisnya dalam sistem hukum yang ada. Untuk itu mendapatkan hak keperdataan bisa ditempuh dengan cara tes DNA, karena itu merupakan salah satu hasil teknologi yang hadir dalam proses kehidupan hukum manusia sehingga dapat membuktikan kedudukan anak diluar nikah.
Sesungguhnya secara hukum perdata, tidak ada istilah anak hasil hubungan zina, karena yang ada hanya anak diluar nikah. Namun konsekuensinya anak hasil hubungan diluar nikah ini bisa kehilangan hak-hak keperdataan dan tidak dapat menggunakan nama keluarga, dan hanya bisa menggunakan hak perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Bahkan status anak diluar nikah bisanya juga akan membawa danpak psikologis bagi si anak untuk depannya. Imbas dari itu semua, hak atas pewarisan ayah biologisnya diperhitungkan tidak akan sama dengan anak sah hasil perkawinan yang sah. Tindakan kepada anak diluar nikah ini bukan atas dasar adanya diskriminasi, namun memang harus diberikan secara proporsional sesuai hak masing-masing antara anak yang sah dengan yang diluar nikah. Meskipun demikian bahwa ayah biologisnya tetap harus bertanggungjawab atas kelangsungan hak hidup anak tersebut. Yang terpenting juga yang harus difahami bahwa anak-anak bukan properti atau aib dari perbuatan orangtuanya.  Sebab, prinsip perlindungan anak jangan dilakukan secara parsial, namun demikian putusan Mahmakah Konstitusi juga akan menimbulkan efek domino yakni akan mengurangi hak anak yang sah dan menjadi problemtika bagi isteri yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

4.      DNA dalam Pandangan Fuqahak
Untuk pertama kalinya bahwa Deoxyribo Nucleic Acikahanid (asam nukleat), telah dibuktikan oleh Oswald Avery pada era tahun 1944, DNA bisa dijadikan sebagai penguat akurasi keterkaitan hubungan nasab seseorang, DNA pun dijadikan alat bukti kuat bagi beberapa kasus seperti tindak pelaku kriminalitas dan bantahan atau pengukuhan atas klaim nasab seseorang. Tes DNA pernah dilakukan terhadap mantan Presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson yang sempat menggemparkan, dari kajian tes DNA itu disimpulkan bahwa salah satu pendiri Negara Paman Sam tersebut terbukti memiliki anak dari perempuan berkulit hitam. Temuan itu mendapat penolakan keras dari para ahli dari golongan kulit putih. Di Negara Rusia metode yang sama juga pernah digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah mayat yang diduga adalah keluarga Kaisar Nicholas II. Keberadaan mereka tak dapat dilacak, pasca hukuman mati yang berlangsung pada tahun 1918. Setelah membandingkan dengan tes DNA keluarga yang masih hidup, dinyatakan bahwa mayat-mayat itu adalah keluarga sang kaisar. Demikian juga kecelakaan maut pesawat Sukhoi di Gunung Salak Kabupaten Bogor Jawa Barat pada hari Rabu tanggal 09 Mei 2012 dalam Joy Flight yang seluruh penumpang berjumlah 48 orang meninggal dunia, sehingga untuk memastikan akan keberadaan korban digunakanlah tes DNA serpihan tubuh korban dengan keluarga yang merasa kehilangan sanak keluarga mereka.
Dalam hukum Islam, hubungan nasab (nashl) pada dasarnya diketahui antara lain dengan adanya hubungan pernikahan yang sah. Hal ini sejalan dengan tuntunan hadis Rasulullah SAW. yang menyatakan bahwa anak sah adalah hasil hubungan suami-istri yang sah (alwalidu li al firasy). Pengukuhan nasab juga bisa ditempuh dengan persaksian (bayyinah) oleh dua orang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat sebagai saksi baik segi formil maupun meteril. Cara selanjutnya yaitu berupa pengakuan (istilhaq)[9] ayah biologis di hadapan pengadilan (iqrar). Nah ternyata kemunculan DNA, telah menciptakan diskusi menarik di kalangan fuqahak. Terlebih lagi kemunculan DNA ini belum pernah muncul dalam kajian fiqih klasik. Konsensus ulama (ijma’) pun terkait masalah ini juga belum pernah diperoleh. Sedangkan ikhtilaf soal terkait atau tidaknya nasab itu sendiri pada dasarnya bisa dipicu hanya oleh faktor sepele. Perbedaan kulit saja contohnya bisa menjadi persoalan, karena permasalahan tersebut pernah juga terjadi di antara Usamah dan Zaid bin Haritsah. Hubungan nasab antar keduanya sempat dipersoalkan, sebab kulit Usamah berwarna hitam sementara ayahnya Zaid bin Haritsah berwarna kulit putih.
Dalam pertemuan Komite Fiqih Islam yang ke XVI yang digelar di Makkah pada tahun 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di bidang kedokteran, menghasilkan beberapa rekomendasi terkait penggunaan tes DNA untuk memastikan nasab antara lain yaitu, DNA digunakan dengan penuh kehati-hatian dan prosedur yang ketat. Kaidah penetapan nasab yang telah diakui syariat, harus lebih dikedepankan.[10] Selain itu DNA tidak boleh dipergunakan untuk menafikan nasab yang telah dipastikan kebenarannya secara syariat.  Penggunaan DNA diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak teridentifikasinya nasab karena beberapa faktor seperti ketiadaan bukti fisik ataupun bukti tertulis. Menurut komite ini pula, DNA sah dipakai untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang lahir tertukar ketika berada di rumah sakit.
Sementara itu menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi, DNA tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti pengukuhan nasab dari hasil perbuatan zina. Meskipun syariat menekankan pentingnya pengukuhan nasab, tetapi khusus dalam kasus zina, hal itu harus ditutupi. Menurutnya menutupi aib dari zina penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat Muslim tetap terjaga dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka. Rasulullah SAW. pernah mengomentari sikap sahabat yang menolak pengakuan berzina dari Ma’iz bin Malik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidakkah engkau tutupi dengan ujung pakaianmu.” Tetapi dalam kasus tertentu DNA bisa digunakan seperti sebagai bukti atas tuduhan berzina atau li’an yang dituduhkan oleh seseorang. 
Sedangkan dalam pandangan Mufti Dar Al-Ifta Mesir, Syekh Ali Jum’ah, sesuai dengan kaidah yang berlaku di kajian fiqih Islam, nasab seorang anak apa pun kondisinya akan tetap kembali ke ibunya. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Alquran surat al-Mujaadilah ayat 2 yang berbunyi:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ.
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka, dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.[11]

Pengukuhan nasab anak ke ayahnya hanya dapat dibuktikan melalui pernikahan yang sah. Namun penggunaan DNA dianggap boleh saat kondisi tertentu, misalnya ketika seorang suami ingkar terhadap anak kandungnya dari pernikahan yang sah. Sementara di saat bersamaan tidak ditemukan alat bukti atau dokumen pernikahan, DNA dalam kasus seperti ini sah digunakan, demikian juga tes DNA juga boleh dipergunakan ketika terjadinya kasus bayi tertukar. [12] 

5.      DAN Sebagai Alat Bukti di Persidangan
Penetapan keabsahan anak yang dapat diakui secara sah oleh orangtua khususnya ayah kandungnya, adalah hal yang tidak mudah bagi seorang anak yang meskipun lahir dalam ikatan perkawinan yang sah namun mendapatkan pengingkaran atau penolkakan dari ayah yang menjadi suami ibunya. Namun demikian fenomena kehidupan telah banyak menggambarkan adanya pengingkaran tersebut, dengan kata lain anak tersebut diakui oleh ayah atau suami sebagai anak baik akibat hasil zina atapun tidak. Menurut hukum Islam keberadaan anak yang dikatakan sebagai anak zina, tidaklah sah bila diakui sebagai anak kandung dari ayah (suami) yang meskipun telah terikat oleh perkawinan. Namun demikian hukum Islam tidak memandang bahwa hal ini dapat langsung menimbulkan perceraian bagi keduanya melainkan harus melalui proses pembuktian persidangan pengadilan, dimana pembuktian merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan kebenaran. Bahkan di dalam menjalani proses pembuktian bila benar terjadi adanya perbuatan zina tersebut, maka hukum li'an wajib dijatuhkan oleh suami terhadap isteri yang secara otomatis akan putus ikatan perkawinan mereka.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa alat bukti yang sah dalam hukum Islam dapat berupa Iqrar (pengakuan), Syahadah (kesaksian), serta Al-Yamin (sumpah), Nukul (penolakan sumpah), Ilmul Qadli (pengetahuan hakim), Qarinah (petunjuk keadaan). Akan tetapi selain melalui alat-alat bukti tersebut, untuk membuktikan kebenaran dari keberadaan anak hasil zina dapat juga dibuktikan dengan mencari keterangan-keterangan lain yang berupa petunjuk suatu keadaan melalui proses pemeriksaan secara medis, yang saat ini dikenal dengan istilah tes DNA. DNA merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan secara ilmu kedokteran yang memperlihatkan sifat genetika sebagai proses penurunan sifat-sifat dari orangtua kepada anaknya yang dilakukan melalui pemeriksaan golongan darah. Dan hal ini pun dapat dijadikan sebagai alat bukti yang membantu memperkuat bukti-bukti lainnya sehingga memberikan keyakinan terhadap kebenaran. Proses DNA melalui sistem golongan darah ini memperkenalkan beberapa sistem tes darah dari perkalian (sistem silang) darah kedua orangtuanya, sehingga dapat memberikan gambaran bahwa anak yang ada dalam perkawinannya adalah benar sebagai anak mereka.
Dalam proses DNA ini juga merupakan sebagai pembawa informasi genetika (genetic information), dimana DNA melalui golongan darah dapat diperoleh bukti akurasi hasil tes darah dari orang tua kepada anaknya hingga mencapai bisa mencapai kisaaran angka 50 % sampai 5 % keakuratan tesnya. Sementara dari 25% hasil tes darah, bisa saja menunjukkan ketidak akuratan hasil tes tersebut sehingga belum dapat dikatakan mutlak 100 % benar. Kemudian dari pihak medis (laboratorium / rumah sakit) mengeluarkan surat resmi yang berisikan penjelasan mengenai hasil tes darah tersebut serta adanya kesaksian dari dokter sebagai keterangan ahli yang dapat memberikan penjelasan dan kesaksian dihadapan sidang pengadilan dalam penyelesaian kasus pembuktian anak zina sebagai keterangan ahli yang dapat memberikan penjelasan dan kesaksian dihadapan sidang pengadilan dalam penyelesaian kasus pembuktian anak zina.
Jika demikian halnya dari sejumlah alat bukti dalam hukum Islam yang berupa pengakuan, kesaksian, sumpah, penolakan sumpah, pengetahuan hakim serta petunjuk suatu keadaan, maka eksistensis DNA melalui golongan darah belumlah dapat digunakan sebagai alat bukti utama atau alat bukti sempurna dari ketujuh alat bukti tersebut. Akan tetapi kedudukannya melalui golongan darah dalam hukum Islam dapat masuk dalam katagori alat bukti syahada (kesaksian) yang dapat berupa penjelasan dari ketarangan dokter ahli dapat berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh medis sebagai penjelasan hasil tes golongan darah antara orangtua dengan anaknya. Bahkan dapat pula masuk kedalam katagori qarinah (petunjuk suatu keadaan), dimana melalui DNA golongan darah ini sebagai jalan yang menunjukkan kearah pembuktian terhadap penentuan anak zina. Sehingga DNA merupakan alat bukti pelengkap yang boleh digunakan sebagai jalan hakim untuk memutuskan perkara.
Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA belum dilihat sebagai alat bukti yang dapat mendukung proses pengidentifikasian dalam proses penetapan asal usul keturunan. Hingga saat ini pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA baru hanya diatur dalam KUHAP.[13] Mengingat pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif.
Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di persidangan peradilan agama, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA paling dekat korelasinya dengan alat bukti petunjuk. Seperti mana halnya yang diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti, demian juga dalam proses penetapan asal usul keturunan lebih mengarah kepada alat bukti petunjuk (Qarinah). Pengertian petunjuk ini  dapat dilihat dari pengertian yang disampaikan oleh R. Soesilo bahwa yang dimaksud dengan petunjuk yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu dengan yang lain. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa dalam proses pidana. Pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.[14]
Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian sebuah proses persidangan di pengadilan. Sebagai suatu keyakinan maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan sebuah keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci mengenai susunan kromosom seseorang, sehingga memungkinkan hakim untuk dapat memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut.
Berdasarkan ilustrasi teknis di atas nampaknya alat bukti tes DNA dapat dijadikan salah alat bukti petunjuk (Qarinah) dalam mengungkap kasus penetapan nasab, dan penggunaan tes DNA sebagai alat bukti, sedangkan substansi dan kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA terletak pada:
1.      Substansi Pembuktiannya.
Dalam kasus yang membutuhkan pembuktian mengenai asal-usul keturunan seseorang maka alat bukti tes DNA bertindak (bernilai) sebagai alat bukti petunjuk (Qarinha) karena bukan merupakan alat bukti langsung atau indirect bewijs.
2.      Kekuatan Pembuktiannya.
Penggunaan tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan:
a.    DNA langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa, sehingga tidak mungkin adanya rekayasa genetika.
b.   Unsur-unsur yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan unsur DNA orang lain atau orang yang tidak mempunyai garis keturunan (kalalah).
Tes DNA sebagai salah satu bentuk alat bukti petunjuk (Qarinah) harus mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti sempurna yang dapat ditunjukkan melalui beberapara syarat di antaranya:
1.      Kerahasiaan (confidentially).
Penggunaan alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi (akurat), mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang lain atau pihak yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal ini untuk mendapatkan alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan adalah hanyalah rumah sakit yang telah direkomendasikan atau laboratorium yang memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat kerahasaiaan dapat terjaga.
2.      Otentik (autentify).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini dapat diketahui bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel yaitu satuan terkecil yang memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu. Sehubungan dengan itu bagian yang perannya sangat urgen dalam melakukan pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus. Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian-bagian yang dinamakan gen. Gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas molekul-molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling melilit. Tiap rangkaian berisi satuan-satuan yang dinamakan DNA yang tersambung satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu.[15]
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes DNA.
3.      Keadaan Objektif.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari pemeriksaan berdasarkan keadaan obyektif yang sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsur subyektifitas seseorang dapat diminimalisir bahkan bisa dikatakan sangat akurat.
4.      Memenuhi langkah-langkah ilmiah (Scientic).
Untuk memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis, yaitu: Pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di dalamnya terdapat sel yang masih hidup. Kedua, DNA yang telah diambil tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat, lemak, DNA dan lain-lain. Ketiga, pemisahan bagian-bagian lain selain DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung di dalamnya.[16]
Dengan demikian bahwa kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk (Qarinah) serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain sehingga hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Sementara menurut Prof. Yahya Harahap, S.H., berpendapat bahwa petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri, oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain.[17]
6.      Kesimpulan.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan penggunaan DNA sebagai alat bukti persidangan sebagai berikut:
1.     DNA dapat dijadikan sebagai alat di persidangan dalam rangka penentuan asal usul anak (nasab) atau untuk mengingkari anak.
2.     Meskipun DNA sebagai alat bukti dipersidangan belum atau tidak terdapat sebagai alat-alat bukti, namun menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnolgi, maka DNA dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk atau Qarinah.
3.   DNA sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri hanya sebatas alat bukti sekunder, sehingga masih memerlukan alat bukti lainnya seperti pengetahuan hakim (keyakinan atau persangkaan hakim).
Referensi
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Media Group, Jakarta, 2006.
Ahmad Sya’bi, Kamus Al-Qalam Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, Halim Jaya, Surabaya, tt.
Buku II, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, Edisi Revisi 2010, Dirjen Badilag, 2011.
Michael R. Purba, Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Widyatamma, Jakarta, 2009.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006.
Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA : Perspektif Hukum Islam & Hukum Positif, UII-Press, Jakarta, 2002.
Yahya Harap, M. Yahya Harap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
HIR dan RBg.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/UUVIII/2010.
Quran in Word.

 Catatan Kaki:

[1] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Media Group, Jakarta, hlm. 228, 2006
[2] Yaitu menetapkan hukumnya atau memberikan keadilan kepada para pihak yang berkara, lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty ,Yogyakarta, 2006, hlm. 201-203
[3] Lihat HIR dan RBg.
[4] Lihat KUHAP.
[6] Lihat Quran in Word, terjemahan ayatnya: 26. Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang yang dusta. 27. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita Itulah yang dusta, dan Yusuf Termasuk orang-orang yang benar." 28. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar." 29. (Hai) Yusuf: "Berpalinglah dari ini, dan (kamu Hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu Sesungguhnya Termasuk orang-orang yang berbuat salah."
[7] Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[8]  Lihat Putusan MK hlm. 35-36 
[9] Lihat Buku II, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, Edisi Revisi 2010,  Dirjen Badilag, 2011, 2011, hlm. 159
[11] Al Qur’an in Word.
[13] Berikut adalah beberapa paparan mengenai pengaturan mengenai alat bukti tes DNA dari peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981). Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat bukti, yaitu dalam Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah”; (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa.
[14] Lihat R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994, hlm. 167
[15] Lihat Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA : Perspektif Hukum Islam & Hukum Positif, UII-Press, Jakarta, 2002, hlm. 125
[16] Lihat Taufiqul Hulam, 2002, hlm. 128
[17] Lihat M. Yahya Harap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 317

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini