EKSISTENSIS DNA SEBAGAI ALAT BUKTI DI
PERSIDANGAN
PENETAPAN ASAL USUL KETURUNAN
1.
Latar Belakang Masalah
Eksistensi alat
bukti atau lebih dikenal dengan pembuktian merupakan aspek yang sangat urgen
dalam proses persidangan pengadilan supaya adanya kepastian dan penegakan hukum. Sebab akurasi atau kecermatan upaya
pembuktian itulah keadilan yang ingin diwujudkan sangatlah bergantung akan
adanya kepastian hukum. Pembuktian yang akurat adalah jalan menuju tegaknya akan
keadilan. Namun sebaliknya, pembuktian yang tidak akurat maka melahirkan
ketidakadilan dan ketidakpastian dalam hukum. Bahkan dengan adanya pembuktian
hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi
sengketa di pengadilan.[1] Dalam Alquran surat An-Nisaa’ ayat 58
Allah SWT. telah menyuruh dengan tegas dan gamblang kepada umat manusia untuk
mewujudkan keadilan dalam setiap upaya penegakan hukum (law enforcement):
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا .
Sesunguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu sekalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Sehingga untuk melaksanakan perintah dalam rangka mewujudkan keadilan tersebut diperlukan pembuktian yang sangat akurat, maka para hakim harus melakukan pembuktian yang akurat itu menghimpun sebanyak mungkin alat bukti agar vonis yang dijatuhkan atau penetapkan hukumnya (mengkonstituir)[2] yang akan diberikan kepada pihak yang sedang berperkara benar-benar memenuhi rasa dan kualifikasi adil. Dalam konteks inilah bahwa hakim tidak boleh menetapkan hukum terkecuali ia dapat membuktikannya dengan bukti-bukti yang menetapkan hak.
Sesuai ketentuan Pasal 164 HIR / 284 RBg ada 5
macam alat-alat bukti, yaitu: a). Bukti surat, b). Bukti saksi, c).
Persangkaan, d). Pengakuan, dan e). Sumpah.[3] Dalam hukum acara peradilan agama, selain alat bukti tersebut,
maka alat-alat bukti yang bisa digunakan oleh hakim dalam melakukan pembuktian,
bisa ditambah dengan alat bukti berikut a). Qarinah; b). Pendapat ahli; c).
Pengetahuan hakim. Sementara dalam praktek hukum acara pidana yang ditegaskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 184 alat-alat bukti yang sah itu adalah: a). Keterangan saksi; b). Keterangan
ahli; c). Surat; d). Petunjuk; dan e). Keterangan
terdakwa.[4]
Sementara itu di
tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini
serta terjadinya berbagai penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi modern ternyata banyak yang kondusif untuk upaya-upaya pembuktian
perkara yang dilakukan oleh hakim, di antaranya teknologi alat tes kebohongan,
perekam suara (audio record), perekam gambar (visual record), pelacak sidik
jari, dan tes DNA. Oleh karena
itu tulisan ini mencoba mengkaji penerapan DNA dan eksistensisnya sebagai alat
bukti di persidangan dalam penentuan keabsahan keturunan (nasab) di
Pengadilan Agama.
2. Pengertian
DNA
Akhir-akhir ini istilah DNA sering didengar di media
massa yang merupakan kesingkatan dari Deoxyribo Nucleic Acikahanid (asam
nukleat), yaitu suatu persenyawaan kimia yang membawa keterangan genetik dan
sel khusus dari makhluk secara keseluruhannya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam DNA terkandung informasi keturunan makhluk hidup yang akan
mengatur program keturunan selanjutnya.[5] Jadi DNA bertugas untuk menyimpan (record)
dan mentransfer informasi genetik (tranpormation of genetic information)
kemudian menerjemahkan informasi itu secara tepat dan akurat. Dengan karakteristiknya
yang sedemikian itu maka DNA pada dasarnya sangat potensial untuk dimanfaatkan
dalam melacak asal-usul keturunan seseorang (al ashl nasb).
Terkait dengan
itu, sekiranya terjadi persoalan hukum yang bertemali dengan asul-usul
keturunan seseorang, seperti pemerkosaan, pemalsuan wali, pemalsuan ahli waris
dan sebagainya, (kecuali halnya kaitannya dengan pembunuhan di mana DNA hanya
sebagai identifikasi baik pada mayat atau bendanya), maka informasi genetik
dalam DNA itu bisa sangat bermanfaat untuk upaya-upaya pembuktian di
pengadilan. Tetapi masalahnya pembuktian tindak pidana di pengadilan itu berada
dalam wilayah yuridis formal, sehingga sah tidaknya sesuatu untuk digunakan
sebagai alat bukti amat bergantung kepada ketentuan-ketentuan formal yang
mengaturnya. Jika dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan formal mengenai
alat-alat bukti yang sah, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif (khusus
dalam KUHAP), seperti telah dikemukakan di atas, maka jelas sekali bahwa hasil
tes DNA tidak termasuk kategori sebagai salah satu alat bukti. Akan tetapi di
dalam hukum Islam ada poin alat bukti yang disebut dengan istilah Qarinah
dan Keterangan ahli, demikian juga dalam hukum pidana positif ada salah satu
bentuk alat bukti yang disebut Keterangan ahli.
Dalam Alquran
surat Yusuf ayat 26-29[6] dimuat suatu kisah yang berkenaan
dengan penggunaan Qarinah sebagai alat bukti, yakni kisah tentang Nabi Yusuf
as yang kesohor ketampanannya. Dimana Yusuf dipaksa untuk berbuat zina oleh
Zulaikha, istri dari Qiftir atau Potifar. Namun Yusuf molaknya dan tidak mau
dengan ajakan itu, kemudian ia berusaha untuk lari dari ajakan mesum itu.
Zulaikha mencoba dengan berbagai cara untuk mengajak berbuat mesum dengan cara
menarik baju gamis Yusuf hingga sampai robek. Kejadian itu justru malah Yusuf
difitnah bahwa ia telah berusaha memperkosanya sehingga ia dipenjarakan. Dalam proses
pengadilan diajukan bukti berupa Qarinah, yaitu baju yang sobek itu
tadi. Kalau benar Yusuf yang berusaha memperkosa, maka bagian yang sobek tentunya
di depan. Tetapi ternyata bagian yang sobek itu di belakangnya, sehingga kuat
dugaan bahwa ia tidak melakukan perkosaan. Walau kenyataannya Yusuf tidak
bersalah berdasarkan bukti Qarinah demi kemaslahatan dan kehormatan keluarga
kerajaan, maka Yusuf tetap dipenjara.
Sementara itu dalam
kasus pembunuhan penggunaan alat bukti Qarinah juga pernah digunakan pada
zaman Rasulullah SAW., seperti dalam kisah dua anak Afra yang bersengketa
sehingga Rasulullah menetapkan pembunuhnya atas dasar pedang yang masih ada
darahnya yang menempel, darah tersebut sebagai Qarinah yang menentukan
telah terjadi tindak pidana pembunuhan (alqital).
3.
Anak Diluar Nikah
Akhir-akhir
ini juga masyrakat sering mendengar adanya istilah anak diluar nikah, yaitu
anak yang dihasilkan dari sebuah perkawinan yang tidak dilegalkan secara hukum
perdata, meskipun sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya
masing-masing atau menurut kepercayaannya itu.[7]
Dari ungkapan ini timbulah pertanyaan, bagaimana status hukumnya anak diluar nikah? Dan bagaimana hukum
keperdataannya pasca putusan Mahmakah Konstitusi Nomor: 46/UUVIII/2010?
Permalasahan ini harus dikupas habis baik dalam forum kajian ilmiah di kampus
maupun oleh kalangan organisasi keislaman agar masyarakat tidak binggung dan
agar masyarakat lebih tenang saat menghadapi masalah yang sama.
Dalam
pertimbangan hukumnya MK berpendapat dan menyimpulkan
bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945[8],
sehingga Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan diluar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Meskipun
ada yang berpendapat tes DNA dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk
mendapatkan hak keperdataan dari pengadilan bagi status anak diluar nikah.
Sebab, hasil tes itu akan menegaskan hak anak diluar nikah agar diakui eksistensisnya
dalam sistem hukum yang ada. Untuk itu mendapatkan hak keperdataan bisa
ditempuh dengan cara tes DNA, karena itu merupakan salah satu hasil teknologi
yang hadir dalam proses kehidupan hukum manusia sehingga dapat membuktikan
kedudukan anak diluar nikah.
Sesungguhnya
secara hukum perdata, tidak ada istilah anak hasil hubungan zina, karena yang
ada hanya anak diluar nikah. Namun konsekuensinya anak hasil hubungan diluar
nikah ini bisa kehilangan hak-hak keperdataan dan tidak dapat menggunakan nama
keluarga, dan hanya bisa menggunakan hak perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya. Bahkan status anak diluar nikah bisanya juga akan membawa danpak psikologis
bagi si anak untuk depannya. Imbas dari itu semua, hak atas pewarisan ayah
biologisnya diperhitungkan tidak akan sama dengan anak sah hasil perkawinan
yang sah. Tindakan kepada anak diluar nikah ini bukan atas dasar adanya
diskriminasi, namun memang harus diberikan secara proporsional sesuai hak
masing-masing antara anak yang sah dengan yang diluar nikah. Meskipun demikian
bahwa ayah biologisnya tetap harus bertanggungjawab atas kelangsungan hak hidup
anak tersebut. Yang terpenting juga yang harus difahami bahwa anak-anak bukan
properti atau aib dari perbuatan orangtuanya. Sebab, prinsip perlindungan anak jangan
dilakukan secara parsial, namun demikian putusan Mahmakah Konstitusi juga akan
menimbulkan efek domino yakni akan mengurangi hak anak yang sah dan menjadi problemtika
bagi isteri yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
4.
DNA dalam Pandangan Fuqahak
Untuk pertama kalinya bahwa Deoxyribo Nucleic Acikahanid (asam nukleat), telah
dibuktikan oleh Oswald Avery pada era tahun 1944, DNA bisa dijadikan sebagai
penguat akurasi keterkaitan hubungan nasab seseorang, DNA pun dijadikan alat
bukti kuat bagi beberapa kasus seperti tindak pelaku kriminalitas dan bantahan atau
pengukuhan atas klaim nasab seseorang. Tes DNA pernah dilakukan terhadap mantan
Presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson yang sempat menggemparkan, dari kajian
tes DNA itu disimpulkan bahwa salah satu pendiri Negara Paman Sam tersebut
terbukti memiliki anak dari perempuan berkulit hitam. Temuan itu mendapat
penolakan keras dari para ahli dari golongan kulit putih. Di Negara Rusia
metode yang sama juga pernah digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah mayat
yang diduga adalah keluarga Kaisar Nicholas II. Keberadaan mereka tak dapat
dilacak, pasca hukuman mati yang berlangsung pada tahun 1918. Setelah
membandingkan dengan tes DNA keluarga yang masih hidup, dinyatakan bahwa
mayat-mayat itu adalah keluarga sang kaisar. Demikian juga kecelakaan maut pesawat
Sukhoi di Gunung Salak Kabupaten Bogor Jawa Barat pada hari Rabu tanggal 09 Mei
2012 dalam Joy Flight yang seluruh penumpang berjumlah 48 orang meninggal
dunia, sehingga untuk memastikan akan keberadaan korban digunakanlah tes DNA
serpihan tubuh korban dengan keluarga yang merasa kehilangan sanak keluarga
mereka.
Dalam hukum Islam, hubungan nasab (nashl)
pada dasarnya diketahui antara lain dengan adanya hubungan pernikahan yang sah.
Hal ini sejalan dengan tuntunan hadis Rasulullah SAW. yang menyatakan bahwa
anak sah adalah hasil hubungan suami-istri yang sah (alwalidu li al firasy).
Pengukuhan nasab juga bisa ditempuh dengan persaksian (bayyinah)
oleh dua orang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat sebagai saksi baik segi
formil maupun meteril. Cara selanjutnya yaitu berupa pengakuan (istilhaq)[9] ayah
biologis di hadapan pengadilan (iqrar). Nah ternyata kemunculan DNA, telah
menciptakan diskusi menarik di kalangan fuqahak. Terlebih lagi kemunculan
DNA ini belum pernah muncul dalam kajian fiqih klasik. Konsensus ulama (ijma’)
pun terkait masalah ini juga belum pernah diperoleh. Sedangkan ikhtilaf
soal terkait atau tidaknya nasab itu sendiri pada dasarnya bisa dipicu hanya
oleh faktor sepele. Perbedaan kulit saja contohnya bisa menjadi persoalan, karena
permasalahan tersebut pernah juga terjadi di antara Usamah dan Zaid bin
Haritsah. Hubungan nasab antar keduanya sempat dipersoalkan, sebab kulit
Usamah berwarna hitam sementara ayahnya Zaid bin Haritsah berwarna kulit putih.
Dalam pertemuan Komite Fiqih Islam yang ke XVI
yang digelar di Makkah pada tahun 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di
bidang kedokteran, menghasilkan beberapa rekomendasi terkait penggunaan tes DNA
untuk memastikan nasab antara lain yaitu, DNA digunakan dengan penuh
kehati-hatian dan prosedur yang ketat. Kaidah penetapan nasab yang telah
diakui syariat, harus lebih dikedepankan.[10] Selain
itu DNA tidak boleh dipergunakan untuk menafikan nasab yang telah
dipastikan kebenarannya secara syariat. Penggunaan
DNA diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak
teridentifikasinya nasab karena beberapa faktor seperti ketiadaan bukti
fisik ataupun bukti tertulis. Menurut komite ini pula, DNA sah dipakai untuk
mengidentifikasi bayi-bayi yang lahir tertukar ketika berada di rumah sakit.
Sementara itu menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi,
DNA tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti pengukuhan nasab dari hasil
perbuatan zina. Meskipun syariat menekankan pentingnya pengukuhan nasab,
tetapi khusus dalam kasus zina, hal itu harus ditutupi. Menurutnya menutupi aib
dari zina penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat Muslim tetap terjaga
dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di
tengah-tengah mereka. Rasulullah SAW. pernah mengomentari sikap sahabat yang
menolak pengakuan berzina dari Ma’iz bin Malik, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Tidakkah engkau tutupi dengan ujung pakaianmu.” Tetapi dalam kasus
tertentu DNA bisa digunakan seperti sebagai bukti atas tuduhan berzina atau li’an
yang dituduhkan oleh seseorang.
Sedangkan dalam pandangan Mufti Dar Al-Ifta
Mesir, Syekh Ali Jum’ah, sesuai dengan kaidah yang berlaku di kajian fiqih
Islam, nasab seorang anak apa pun kondisinya akan tetap kembali ke ibunya.
Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Alquran surat al-Mujaadilah ayat 2 yang
berbunyi:
الَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ
أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا
مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ.
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara
kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu
ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka,
dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan
dusta dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.[11]
Pengukuhan nasab anak ke ayahnya hanya dapat
dibuktikan melalui pernikahan yang sah. Namun penggunaan DNA dianggap boleh
saat kondisi tertentu, misalnya ketika seorang suami ingkar terhadap anak
kandungnya dari pernikahan yang sah. Sementara di saat bersamaan tidak
ditemukan alat bukti atau dokumen pernikahan, DNA dalam kasus seperti ini sah
digunakan, demikian juga tes DNA juga boleh dipergunakan ketika terjadinya
kasus bayi tertukar. [12]
5.
DAN Sebagai Alat
Bukti di Persidangan
Penetapan
keabsahan anak yang dapat diakui secara sah oleh orangtua khususnya ayah
kandungnya, adalah hal yang tidak mudah bagi seorang anak yang meskipun lahir
dalam ikatan perkawinan yang sah namun mendapatkan pengingkaran atau penolkakan
dari ayah yang menjadi suami ibunya. Namun demikian fenomena kehidupan telah
banyak menggambarkan adanya pengingkaran tersebut, dengan kata lain anak tersebut
diakui oleh ayah atau suami sebagai anak baik akibat hasil zina atapun tidak.
Menurut hukum Islam keberadaan anak yang dikatakan sebagai anak zina, tidaklah
sah bila diakui sebagai anak kandung dari ayah (suami) yang meskipun telah
terikat oleh perkawinan. Namun demikian hukum Islam tidak memandang bahwa hal
ini dapat langsung menimbulkan perceraian bagi keduanya melainkan harus melalui
proses pembuktian persidangan pengadilan, dimana pembuktian merupakan salah
satu jalan untuk mendapatkan kebenaran. Bahkan di dalam menjalani proses
pembuktian bila benar terjadi adanya
perbuatan zina tersebut, maka hukum li'an wajib dijatuhkan oleh suami
terhadap isteri yang secara otomatis akan putus ikatan perkawinan mereka.
Sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa alat bukti yang sah dalam hukum Islam
dapat berupa Iqrar (pengakuan), Syahadah (kesaksian), serta Al-Yamin
(sumpah), Nukul (penolakan sumpah), Ilmul Qadli (pengetahuan
hakim), Qarinah (petunjuk keadaan). Akan tetapi selain melalui alat-alat
bukti tersebut, untuk membuktikan kebenaran dari keberadaan anak hasil zina
dapat juga dibuktikan dengan mencari keterangan-keterangan lain yang berupa
petunjuk suatu keadaan melalui proses pemeriksaan secara medis, yang saat ini
dikenal dengan istilah tes DNA. DNA merupakan
proses pemeriksaan yang dilakukan secara ilmu kedokteran yang memperlihatkan
sifat genetika sebagai proses penurunan sifat-sifat dari orangtua kepada
anaknya yang dilakukan melalui pemeriksaan golongan darah. Dan hal ini pun
dapat dijadikan sebagai alat bukti yang membantu memperkuat bukti-bukti lainnya
sehingga memberikan keyakinan terhadap kebenaran.
Proses
DNA melalui sistem golongan darah ini memperkenalkan beberapa sistem tes darah
dari perkalian (sistem silang) darah kedua orangtuanya, sehingga dapat
memberikan gambaran bahwa anak yang ada dalam perkawinannya adalah benar
sebagai anak mereka.
Dalam
proses DNA ini juga merupakan sebagai pembawa informasi genetika (genetic
information), dimana DNA melalui golongan darah dapat diperoleh bukti
akurasi hasil tes darah dari orang tua kepada anaknya hingga mencapai bisa
mencapai kisaaran angka 50 % sampai 5 % keakuratan tesnya. Sementara dari 25%
hasil tes darah, bisa saja menunjukkan ketidak akuratan hasil tes tersebut
sehingga belum dapat dikatakan mutlak 100 % benar. Kemudian dari pihak medis
(laboratorium / rumah sakit) mengeluarkan surat resmi yang berisikan penjelasan
mengenai hasil tes darah tersebut serta adanya kesaksian dari dokter sebagai
keterangan ahli yang dapat memberikan penjelasan dan kesaksian dihadapan sidang
pengadilan dalam penyelesaian kasus pembuktian anak zina sebagai keterangan
ahli yang dapat memberikan penjelasan dan kesaksian dihadapan sidang pengadilan
dalam penyelesaian kasus pembuktian anak zina.
Jika
demikian halnya dari sejumlah alat bukti dalam hukum Islam yang berupa
pengakuan, kesaksian, sumpah, penolakan sumpah, pengetahuan hakim serta
petunjuk suatu keadaan, maka eksistensis DNA melalui golongan darah belumlah
dapat digunakan sebagai alat bukti utama atau alat bukti sempurna dari ketujuh
alat bukti tersebut. Akan tetapi kedudukannya melalui golongan darah dalam
hukum Islam dapat masuk dalam katagori alat bukti syahada (kesaksian)
yang dapat berupa penjelasan dari ketarangan dokter ahli dapat berupa surat resmi
yang dikeluarkan oleh medis sebagai penjelasan hasil tes golongan darah antara
orangtua dengan anaknya. Bahkan dapat pula masuk kedalam katagori qarinah
(petunjuk suatu keadaan), dimana melalui DNA golongan darah ini sebagai jalan
yang menunjukkan kearah pembuktian terhadap penentuan anak zina. Sehingga DNA
merupakan alat bukti pelengkap yang boleh digunakan sebagai jalan hakim untuk
memutuskan perkara.
Namun sampai saat ini penggunaan alat bukti
tes DNA dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat
bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian sekunder sehingga masih memerlukan
dukungan alat bukti lain. Alat bukti tes DNA belum dilihat sebagai alat bukti
yang dapat mendukung proses pengidentifikasian dalam proses penetapan asal usul
keturunan. Hingga saat ini pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA baru
hanya diatur dalam KUHAP.[13] Mengingat
pembuktian dengan menggunakan tes DNA memang tidak diatur secara khusus dalam
KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif.
Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai
memanfaatkan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti di persidangan peradilan
agama, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun
nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa alat bukti tes DNA paling dekat
korelasinya dengan alat bukti petunjuk. Seperti mana halnya yang diatur dalam
KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai alat bukti petunjuk yang sah
menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti, demian juga dalam
proses penetapan asal usul keturunan lebih mengarah kepada alat bukti petunjuk (Qarinah).
Pengertian petunjuk ini dapat dilihat
dari pengertian yang disampaikan oleh R. Soesilo bahwa yang dimaksud dengan petunjuk
yaitu suatu perbuatan atau hal yang karena persesuaiannya baik antar satu
dengan yang lain. Adapun petunjuk tersebut dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa dalam proses pidana. Pemberian nilai atas
petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.[14]
Dengan
demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem
pembuktian sebuah proses persidangan di pengadilan. Sebagai suatu keyakinan
maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif.
Untuk mendapatkan sebuah keyakinan (conviction), hakim harus dapat
memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya. Dalam
hal ini penggunaan tes DNA yang menyajikan data secara detail atau rinci
mengenai susunan kromosom seseorang, sehingga memungkinkan hakim untuk dapat
memberikan penilaian atas hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA tersebut.
Berdasarkan
ilustrasi teknis di atas nampaknya alat bukti tes DNA dapat dijadikan salah
alat bukti petunjuk (Qarinah) dalam mengungkap kasus penetapan nasab,
dan penggunaan tes DNA sebagai alat bukti, sedangkan substansi dan kekuatan
pembuktian alat bukti tes DNA terletak pada:
1. Substansi
Pembuktiannya.
Dalam kasus
yang membutuhkan pembuktian mengenai asal-usul keturunan seseorang maka alat
bukti tes DNA bertindak (bernilai) sebagai alat bukti petunjuk (Qarinha)
karena bukan merupakan alat bukti langsung atau indirect bewijs.
2. Kekuatan
Pembuktiannya.
Penggunaan
tes DNA yang penyelesaiannya berkaitan dengan pelacakan asal-usul keturunan
dapat dijadikan sebagai bukti primer, yang berarti dapat berdiri sendiri tanpa
diperkuat dengan bukti lainnya, dengan alasan:
a. DNA
langsung diambil dari tubuh yang dipersengketakan dan dari yang bersengketa,
sehingga tidak mungkin adanya rekayasa genetika.
b. Unsur-unsur
yang terkandung dalam DNA seseorang berbeda dengan unsur DNA orang lain atau orang
yang tidak mempunyai garis keturunan (kalalah).
Tes DNA sebagai
salah satu bentuk alat bukti petunjuk (Qarinah) harus mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai alat bukti sempurna yang dapat ditunjukkan melalui beberapara
syarat di antaranya:
1. Kerahasiaan
(confidentially).
Penggunaan
alat bukti tes DNA mempunyai tingkat kerahasianan yang cukup tinggi (akurat),
mengingat informasi hasil tes DNA tidak disebarkan pada orang lain atau pihak
yang tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya. Dalam hal ini untuk mendapatkan
alat bukti tes DNA, pihak yang berwenang untuk mengeluarkan hasil pemerikasaan
adalah hanyalah rumah sakit yang telah direkomendasikan atau laboratorium yang
memiliki fasilitas khusus dengan aparat yang telah ditunjuk, sehingga tingkat
kerahasaiaan dapat terjaga.
2. Otentik
(autentify).
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini dapat diketahui
bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel yaitu satuan terkecil yang
memperlihatkan kehidupan, yang di dalamnya terdapat inti sel dan
organel-organel yang berperan dalam bidang masing-masing di dalam sel itu.
Sehubungan dengan itu bagian yang perannya sangat urgen dalam melakukan
pengendalian adalah inti sel. Di dalam inti sel ini terdapat kromosom dan nukleus.
Kromosom yang terdapat dalam inti sel tersusun atas bagian-bagian yang
dinamakan gen. Gen-gen ini bila diperiksa lebih lanjut ternyata terdiri atas
molekul-molekul yang merupakan sepasang rangkaian panjang yang saling
melilit. Tiap rangkaian berisi satuan-satuan yang dinamakan DNA yang tersambung
satu sama lain secara khas menurut urutan tertentu.[15]
Dari uraian
tersebut di atas dapat diketahui bahwa setiap manusia mempunyai susunan
kromosom yang identik dan berbeda-beda setiap orang, sehingga keotentikan dari
alat bukti tes DNA dapat teruji, disamping itu alat bukti tes DNA disahkan oleh
pejabat yang berwenang sehingga memperkuat kekuatan pembuktian alat bukti tes
DNA.
3. Keadaan
Objektif.
Hasil yang
diperoleh dari pemeriksaan DNA, merupakan hasil yang didapat dari pemeriksaan
berdasarkan keadaan obyektif yang sesungguhnya dan tidak memasukkan unsur
pendapat atau opini manusia di dalamnya, sehingga unsur subyektifitas seseorang
dapat diminimalisir bahkan bisa dikatakan sangat akurat.
4. Memenuhi
langkah-langkah ilmiah (Scientic).
Untuk
memperoleh hasil pemeriksaan alat bukti tes DNA, harus menempuh langkah-langkah
ilmiah yang hanya didapat dari uji laboratorium yang teruji secara klinis,
yaitu: Pertama, mengambil DNA dari salah satu organ tubuh mausia yang di
dalamnya terdapat sel yang masih hidup. Kedua, DNA yang telah diambil
tersebut dicampur dengan bahan kimia berupa proteinase yang berfungsi
untuk menghancurkan sel, sehingga dalam larutan itu tercampur protein, kabohidrat,
lemak, DNA dan lain-lain. Ketiga, pemisahan bagian-bagian lain selain
DNA dengan menggunakan larutan fenol, setelah langkah-langkah ini akan
diketahui bentuk DNA berupa larutan kental dan akan tergambar identitas
seseorang dengan cara membaca tanda-tanda atau petunjuk yang terkandung
di dalamnya.[16]
Dengan
demikian bahwa kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk (Qarinah) serupa,
sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain sehingga hakim tidak terikat atas
kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim
bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Sementara
menurut Prof. Yahya Harahap, S.H., berpendapat bahwa petunjuk sebagai alat
bukti tidak bisa berdiri sendiri, oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai
pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain.[17]
6.
Kesimpulan.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil
kesimpulan penggunaan DNA sebagai alat bukti persidangan sebagai berikut:
1.
DNA
dapat dijadikan sebagai alat di persidangan dalam rangka penentuan asal usul
anak (nasab) atau untuk mengingkari anak.
2.
Meskipun
DNA sebagai alat bukti dipersidangan belum atau tidak terdapat sebagai
alat-alat bukti, namun menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnolgi,
maka DNA dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk atau Qarinah.
3.
DNA
sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri hanya sebatas alat bukti
sekunder, sehingga masih memerlukan alat bukti lainnya seperti pengetahuan
hakim (keyakinan atau persangkaan hakim).
Referensi
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata
di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Media Group, Jakarta, 2006.
Ahmad Sya’bi, Kamus Al-Qalam
Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, Halim Jaya, Surabaya, tt.
Buku II, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan, Edisi Revisi 2010, Dirjen Badilag, 2011.
Michael R. Purba, Kamus Hukum Internasional
& Indonesia, Widyatamma, Jakarta, 2009.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politeia, Bogor, 1994.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006.
Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti
Tes DNA : Perspektif Hukum Islam & Hukum Positif, UII-Press, Jakarta, 2002.
Yahya Harap, M. Yahya Harap, Pembahasan,
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
HIR dan RBg.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/UUVIII/2010.
Quran in Word.
Catatan Kaki:
[1] Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana Media Group, Jakarta, hlm. 228, 2006
[2] Yaitu
menetapkan hukumnya atau memberikan keadilan kepada para pihak yang berkara,
lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty ,Yogyakarta,
2006, hlm. 201-203
[3] Lihat HIR
dan RBg.
[4] Lihat
KUHAP.
[6]
Lihat Quran in Word, terjemahan ayatnya: 26. Yusuf
berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan
seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju
gamisnya koyak di muka, Maka wanita itu benar dan Yusuf Termasuk orang-orang
yang dusta. 27. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita Itulah
yang dusta, dan Yusuf Termasuk orang-orang yang benar." 28. Maka tatkala
suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia:
"Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya
tipu daya kamu adalah besar." 29. (Hai) Yusuf: "Berpalinglah dari
ini, dan (kamu Hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu
Sesungguhnya Termasuk orang-orang yang berbuat salah."
[7]
Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[8] Lihat Putusan MK hlm. 35-36
[9] Lihat
Buku II, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, Edisi Revisi
2010, Dirjen Badilag, 2011, 2011, hlm.
159
[11] Al Qur’an
in Word.
[13] Berikut
adalah beberapa paparan mengenai pengaturan mengenai alat bukti tes DNA dari
peraturan hukum tersebut berdasarkan ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun
1981). Sebagai produk hukum yang mengatur mengenai pidana formil, di dalam
KUHAP tidak banyak kita temui pengaturan mengenai penggunaan alat bukti tes DNA
sebagai alat bukti. Dalam hal ini hanya terdapat satu pasal yang mengatur alat
bukti, yaitu dalam Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah
ialah”; (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5)
Keterangan terdakwa.
[14]
Lihat R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994, hlm.
167
[15]
Lihat Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA : Perspektif Hukum
Islam & Hukum Positif, UII-Press, Jakarta, 2002, hlm. 125
[16] Lihat
Taufiqul Hulam, 2002, hlm. 128
[17]
Lihat M. Yahya Harap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 317
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini