DAMPAK YURIDIS PELAKSANAAN NIKAH SIRRI
A.
Latar
Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sehingga disebut sebagai
pasangan suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur menurut hukum Islam
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk membentuk
keluarga sakinah, mawwaddah, warrahmah atau dengan ungkapan lain menuju rumah
tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Islam memandang perkawinan bukan hanya
semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi lebih dari
itu disamping kontrak perdata juga mempunyai dimensi aspek ‘ubudiyah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa perkawinan merupakan
akad yang sangat kuat (mitsaaqon ghalidhan) untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]
Oleh karena itu perkawinan yang bernuansa syarat dengan nilai dan untuk mencapai
rumah tangga yang sakinah, mawwaddah dan rahmah perlu
dilaksanakan secara sempurna (paripurna) sejalan dengan ketentuan hukum yang
berlaku agar tercapai maqashid asy-syari’ah.
Prosesi suatu akad perkawinan haruslah
memenuhi syarat dan rukun akad. Akad
nikah adalah ikatan menurut cara yang sah dalam bentuk ijab yang
diikrarkan oleh wali atau wakilnya dan qabul berupa kerelaan penerimaan
ikrar wali oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Agar kuatnya akad dalam perjanjian menurut hukum perdata
dapat dibuktikan dengan
akta autentik. Dalam akad perkawinan akta nikah merupakan dokumen resmi yang diterbitkan atau
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah terjadinya suatu peristiwa hukum.
Namun realita
dan kenyataannya terkadang pasangan calon pengtin sengaja tidak mencatatkan
perkawinannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahkan
sering melalaikannya, sehingga terjadilah perkawinan liar atau kawin di bawah
tangan. Hal mana pihak pasangan pengantin ingin menghindar dari aturan
undang-undang. Peristiwa perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah pada Kantor Urusan Agama sesungguhnya baru muncul dalam kehidupan hukum masyarakat,
khususnya bagi umat Islam tepatnya pasca berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.[2] Dalam proses pelaksanaan akad nikah seperti
ini dilaksanakan oleh pihak keluarga pengantin wanita bersama pengantin pria.
Ijab dari pihak wali pengantin wanita / wakilnya (biasanya tokoh agama) dan
kabul dari pengantin pria / wakilnya. Biasanya perkawinan tersebut tidak
dihadiri oleh Pejabat Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama Kementerian
Agama Republik Indonesia.
Kesengajaan
untuk tidak mencatatatkan suatu peristiwa perkawinan tersebut kebanyakkan
terjadi dalam perkawinan di bawah umur karena hamil di luar nikah dan bagi
seseorang yang ingin melakukan berpoligami secara diam-diam agar tidak diketahui
oleh isteri dan anak-anak si suami. Jika rencana perkawinan ini diketahui oleh
isteri atau anak-anak si suami, pernikahan bisa gagal, atau dengan kata lain bahwa
pelaksanaan nikah seperti ini karena ingin menghindar dari aturan yang dimuat dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seperti mengharuskan seorang suami, apabila ingin beristeri lebih
dari satu, harus mendapatkan persetujuan dari isterinya atau isteri-isterinya
dan setelah mendapat izin dari Pengadilan Agama[3],
atau harus memenuhi umur bagi calon pengantin (16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi pria). Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut dalam masyarakat
dengan nikah di bawah tangan atau nikah sirri.
Padahal Kantor Urusan Agama adalah merupakan instansi yang diberi kewenangan
oleh Pemerintah Republik Indonesia
cq. Kementerian Agama RI untuk mencatat segala peristiwa perkawinan yang
terjadi dalam masyarakat Islam yang dilaksanakan melalui Kantor Urusan Agama
dan di hadapan penghulu selaku Pegawai Pencatat Nikah. Selanjutnya Kantor
Urusan Agama akan mengeluarkan akta
nikah dan duplikatnya diberikan kepada masing-masing pengantin pria dan wanita,
sebagai pegangan adanya kekuatan hukum dari akad pernikahan serta bukti mereka
telah melangsungkan pernikahan yang sah menurut hukum Islam dan hukum positif yang
berlaku dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pengantin pria dan wanita yang melaksanakan
nikah sirri biasanya tidak memiliki surat bukti nikah atau duplikat akta
nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Kenyataan
yang tidak dapat dipungkuri bahwa perkawinan yang dilakukan di bawah tangan
seringkali mendorong seseorang akan melakukan talak di bawah tangan karena
perkawinan tersebut mudah diterpa kegoncangan dan terjadi perselisihan dalam rumah tangga,
serta sanat mudah untuk memutuskannya bahkan kadangkala tidak jarang suami
terlalu mudah melakukan wanprestasi untuk mengingkari perkawinan yang telah
terjadi sehingga akibatnya suami akan menjatuhkan talak di bawah tangan tanpa
diucapkan oleh suami terhadap isterinya melalui proses persidangan Pengadilan
Agama. Dengan terjadinya talak di bawah tangan, perceraian tersebut tidak diputus
oleh Pengadilan Agama, dan pihak suami isteri yang bercerai tidak memiliki
surat bukti perceraian dari Pengadilan Agama. Sehingga akibatnya yang paling
mendasar dalam perkawinan ini tidak tercapainya tujuan untuk mewujudkan tujuan
utama dari perkawinan, yang ada justru membawa kemudharatan bagi suami isteri,
anak keturunan dan bahkan bagi masyarakat.
Jika demikian
kejadiannya makna dan tujuan perkawinan yang sesungguhnya sakral dan sebuah
ikatan luhur lahir bathin untuk membentuk kehidupan dengan tujuan membentuk
keluarga bahagia sesuai hukum Islam dan untuk mencapai redla Allah SWT. sulit
akan terwujud. Penyimpangan terhadap aturan dan makna perkawinan yang
sesungguhnya berarti telah melanggar aturan dasar al Quran, as Sunnah dan
peraturan perundang-undangan berlaku dan tentu akan membawa dampak yang besar. Tidak
efektifnya pelaksanaan peraturan perundangan-undang, terjadi demoralisasi,
perceraian, salah satu bentuk pelaksaan perkawinan di bawah tangan (nikah
sirri).
Nikah sirri istilah yang
sering dikenal oleh masyarakat namun sulit untuk membuktikan dan ditelusuri;
sebab bagi mereka yang melakukannya ada kecenderungan untuk menutup dan berdiam
diri, sebagai alternatif di tengah situasi dan kondisi yang darurat (imergency)
berkaitan dengan iklim pengamalan terhadap agama serta adanya pengaruh
kultural-sosial masyarakat adat. Bahkan kemungkinan besar dimensi
sosial-antropologis yang ada pada nikah sirri ada beberapa faktor, namun
barangkali faktor organisme dan religi cukup dominan dan memberi peluang dengan
mengesampingkan faktor nilai-nilai, budaya dan faktor sosial. Sebut saja bahwa kenyataannya
nikah sirri ini justru sering terjadi di kalangan birokrat, dan pemuka
agama (ulama) serta kalangan masyarakat elit lainnya.
Awalnya nikah
sirri didasarkan pada suatu pilihan hukum (racht opsion) yang
disadari oleh pelakunya, bahwa mereka menerima tidak mendaftarkan atau
mencatatkan perkawinanya dengan berbagai alasan atau agar tidak diketahui
masyarakat dan agar tidak ada tuntutan walimatul ‘ursy (resepsi) atau perkawinan ini untuk sementara
dirahasiakan dulu. Dari sinilah muncul masalah apakah perkawinan tersebut sah
atau dapat disahkan karena proses pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Padahal jika terjadi
proses perkawinan tanpa melalui pencatatan berdasarkan undang-undang
dianggap perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum atau bahkan
dianggap tidak ada secara hukum. Namun pada sisi lain mereka telah hidup
sebagai suami isteri bahkan telah melahirkan anak keturunan, yang memerlukan
bukti akta kependudukan.
Sepintas perkawinan
ini akan berdampak terhadap terjadinya perceraian di bawah tangan, anak-anak
yang dilahirkan akan sulit dibuktikan sebagai anak pasangan suami isteri, dan
secara hukum perdata juga akan sulit dinasabkan kepada orang tuanya. Masalah
pokoknya adalah terjadinya pelanggaran ketentuan pencatatan perkawinan melalui
Penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah
dari Kantor Urusan Agama.[4]
Realitasnya untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang ideal tidak mudah untuk
medambakannya, berbagai faktor penyebab kurangnya ketahanan dalam keluarga karena
adanya kencenderungan merahasiakan perkawinannya dengan berbagai faktor dan
alasan yang memberi peluang untuk tidak mencatatkan. Selain itu faktor yang
paling esensial tidak tercatatnya perkawinan adalah jauhnya kesadaran hukum
masyarakat untuk mentaati aturan perundang-undangan yang berlaku serta
kurangnya pemahaman nilai-nilai, moralitas dan pengamalan terhadap agama. Atau
dengan kata lain aturan telah ada yang mengaturnya, tetapi sangsinya tidak
tegas atau ringan.
B.
Pengertian
Nikah Sirri
Dalam pembahasan ini perlu terlebih dahulu mengindentifikasi dan
mengclearkan apa yang dimaksud dengan ‘nikah sirri’ atau ‘nikah di bawah
tangan’ untuk menyamakan persepsi mengenai pengertian istilah tersebut, dan
sekaligus untuk menghindari kerancauan istilah agar tidak confused atau misunderstanding,
nikah dibawah tangan, nikah agama, dan kawin sirri dalam artikel ini cukup
memakai istilah nikah sirri.
Dari kata “sirri” dari segi etimologis
berasal dari bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran dan sirriyyun.
Secara etimologi, kata sirran berarti secara
diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun
berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius,[5]
jadi nikah sirri, artinya nikah rahasia (secret marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan
orang banyak.[6] Kata sirri, sirran atau sirriyyun, dalam bahasa
Indonesia bukanlah kata baku dan pemakaiannya pun belum populer di Indonesia.
Namun demikian, kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah
dan sirri) pada sebagian masyarakat, terutama sebagian umat Islam
Indonesia, cukup banyak dikenal. Mengenai defenisi atau konsep nikah sirri,
setelah penulis meneliti dari sejumlah literatur dan berbagai pendapat umat
Islam, ternyata konsepnya berbeda-beda. Beberapa konsep nikah sirri yang
penulis temukan di antaranya sebagai
berikut:
Pertama, menurut seorang ulama terkemuka
yang pernah menjabat Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir, yaitu Mahmud
Syalthut,[7]
ia berpendapat bahwa nikah sirri merupakan jenis pernikahan di mana akad
atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para
saksi, tidak dipublikasikan (i’lan), tidak tercatat secara resmi, dan
sepasang suami isteri itu hidup secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada
orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqahak berpendapat nikah sirri
seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang
tidak terpenuhi yakni kesaksian. Jika
dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan secara umum,
maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun jika
kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya,
fuqahak sepakat akan kemakruhannya.
Kedua, konsep nikah sirri yang
paling banyak dikenal yaitu suatu pernikahan yang dilakukan berdasarkan
cara-cara agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik
oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak
dipublikasikan. Jadi, yang membedakan nikah sirri dengan nikah umum
lainnya, secara Islam terletak pada dua hal; (1) tidak tercatat secara resmi
oleh petugas pemerintah dan (2) tidak adanya publikasi.
Konsep nikah sirri seperti itu pada
umumnya dianggap sah. Hal itu dapat dipahami karena secara fiqih semua rukun
nikah yang merupakan keniscayaan pada saat akad atau transaksi nikah sirri
telah terpenuhi. Rukun nikah sebagaimana lazimnya lima telah terpenuhi. Jadi,
tidak adanya pencatatan secara resmi dan publikasi, menurut fiqih memang tidak
dapat mengakibatkan batal atau tidak sahnya suatu perkawinan.[8] Demikian pula publikasi sangat berguna
agar terhindar dari fitnah.
Ketiga, nikah sirri dalam pengertian suatu
pernikahan yang mengikuti ketentuan agama Islam dan tercatat oleh PPN atau KUA
tetapi belum diadakan resepsi secara terbuka dan luas, dalam pernikahan semacam
ini biasanya hanya memberitahu atau mengundang sebatas keluarga dekat atau
sebagian tetangga. Kalaupun ada makan-makan, biayanya
lebih sedikit.[9]
Penyebutan nikah sirri di sini jelas karena belum adanya publikasi dalam
bentuk acara walimahan atau resepsi secara terbuka. Dalam pernikahan semacam
ini biasanya tidak ada unsur kesengajaan upaya untuk tidak mempublikasikan
apalagi menyembunyikan atau merahasiakan. Akad nikah yang tidak disertai
walimahan atau resepsi lebih karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan
atau karena ada pertimbang-pertimbangan lain.
Keempat, menurut Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia[10] nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam
fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi
berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi,[11]
menjelaskan apa persisnya yang dimaksud dengan nikah sirri, menyebutkan
bahwa “nikah sirri” adalah pernikahan yang belum diresmikan, belum
diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum
dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara
terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah
dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan / walimatul urs.
Kelima, menurut terminologi Fiqih
Maliki, nikah sirri, ialah: [12]
هُوَ الَّذِى يُوْصِى فِيْهِ الزَّوْجُ
الشُّهُودُ بِكَتْمِهِ عَنْ إِمْرَاَتِهِ عَنْ جَمَاعَةٍ وَلَوْ أَهْلَ مَنْزِلٍ
Nikah yang
atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya,
sekalipun keluarga setempat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri
mempunyai beberapa devinisi, di antaranya adalah : pernikahan yang dipandang
sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama
(selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan), atau pernikahan
yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan, dan atau pernikahan
yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di
Kantor Urusan Agama), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah /
resepsi). Dari beberapa defenisi tersebut di atas dapat penulis menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan
telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang diatur dalam dalam fiqih
klasik, namun pernikahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dicatatkan
melalui Pegawai Pencatat Nikah.
C. Latar Belakang
Terjadinya Nikah Sirri.
Kebiasaan praktik nikah sirri dalam
masyarakat sesungguhnya tidak sepenuhnya dilandasi keinginan pemenuhan
kebutuhan biologis atau material semata. Namun pada perkembangan selanjutnya
kerap dijadikan tempat pelarian bagi yang ingin berpoligami, tetapi tidak
memberitahukan kepada isterinya karena tempat kerja yang jauh atau bagi suami
yang Pegawai Negeri Sipil yang ingin poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
Poligami yang berkendaraan nikah sirri inilah menjadi kebiasaan sebagai
senjata ampuh bagi suami yang hastrat seksualitasnya dengan cara beristeri
lebih dari satu. Tidak sedikit mereka mempergunakan jalur nikah sirri
sebagai aksi perselingkuhan, meskipun berbeda dengan perselingkuhan pada
umumnya, perselingkuhan melalui nikah sirri ini lebih mendapatkan
pengakuan kebiasaan masyarakat, artinya sebagian kalangan menganggap dengan
menikah sirri, ia dapat terhindar dari perbuatan zina.
Prof. H.A. Wasit Aulawi, ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya nikah sirri, yaitu faktor pengetahuan
masyarakat yang belum bulat, faktor fiqih yang tidak mengatur batas umur nikah,
dan faktor kekhawatiran orang tua yang berlebihan teradap jodoh anaknya.[13] Pengetahuan
masyarakat dalam hal ini terpecah-pecah, sehingga ada yang menyatakan
“perkawinan sah menurut agama”, “perkawinan sah menurut hukum“ dan sebagainya.
Fiqih memang tidak mengenal mengatur batas umur untuk nikah. Anak umur berapa
saja dapat dinikahkan. Karena anaknya masih kecil, biasanya nikahnya
dilaksanakan secara sirri. Demikian juga halnya adanya ketakutan orang
tua terhadap anaknya tidak mendapatkan jodoh.[14]
Drs. H. Wildan Suyuti Mustofa, S.H.,MH[15]
apabila memperhatikan dilakukannya nikah sirri, maka nampakanya ada dua
hal yang menyebabkannya, yaitu :
Pertama, adanya faktor-faktor di luar kemampuan si pelamar
seperti :
a. Menjaga hubungan
antara laki-laki dan perempuan agar terhindar dari hal-hal yang terlarang
menurut agama karena masih sama-sama kuliah atau sambil menunggu selesai
kuliah.
b. Tidak adanya izin
wali nikah (orang tua).
c. Sulitnya memperoleh
izin dari isteri dalam hal suami akan menikah lebih dari seorang.
d. Adanya kekhawatiran
kehilangan hak pensiun janda.
Kedua, adanya pendapat bahwa pencatatan
tidak merupakan perintah agama, karena tidak dilakukan di zaman Nabi.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Manan,
S.H.,S.Ip., M.Hum.,[16] Hakim Agung Mahkamah Agung RI
menyatakan, adapun faktor-faktor penyebab melakukan perkawinan secara diam-diam
(sirri) antara lain:
1) Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah
perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan
pemerintah / negara.
2) Adanya kekhawatiran dari seseorang akan
kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat
pencatat nikah.
3) Tidak ada izin isteri atau isteri-isterinya
dan pengadilan agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang.
4) Adanya
kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon isteri
/ suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan,
lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
5) Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan
terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan
pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka
perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Dalam ketentuan berikutnya,
penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan ketidaktahuan masyarakat
terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir
jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat.
Sebagian yang lain mempercayai, bahwa isteri simpanan kiai, tokoh dan pejabat
mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang di masyarakat,
kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu
begitu dalam terpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh
materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran
perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikahi secara sirri merasa enak
saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka,
sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan
terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus
diterima oleh perempuan begitu saja. Di antara sejumlah alasan umum yang
dilontarkan di atas, penulis menyebut setidaknya ada tiga alasan terpenting
mengapa nikah sirri sering menjadi pilihan sejumlah pihak, yaitu alasan
kesulitan ekonomi, kurangnya pemahaman hukum dan faktor kesegeraan melangsungkan
nikah agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
D.
Dampak
Yuridis Pelaksanaan Nikah Sirri
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan
yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
memiliki kekuatan hukum dan dianggap
tidak sah dimata hukum. Belum dimasukan pencatatan sebagai salah satu unsur
terpenting dalam perkawinan dalam fiqih-fiqih klassik hal tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dilalui oleh fiqih itu sendiri yang sejalan
dengan zaman atau waktu fiqih ditulis. Namun jika dianalisis lebih dalam
tentang ayat 282 surat
Al Baqarah mengindikasikan pencatatan didahulukan daripada kesaksian, namun
belum ada terobosan fiqih, tentang
pencatatan merupakan rukun nikah. Adanya positifisme ketentuan fiqih di
Indoensia seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun
1991 sudah sesuai dengan epistemologi hukum Islam dengan metode istislah
atau maslahat.
Meskipun tidak ada ketentuan ayat Al Quran dan Hadis yang memerintahkan pencatatan
perkawinan, kandungan maslahatanya sejalan dengan ketentuan syar’i untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Dengan demikian dapat tegaskan
pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan
oleh siapa saja, karena sesungguhnya memiliki landasan yang kuat dari sumber ijtihad
yakni mashlah mursalah yang dibangun atas dasar kejadian induktif. Hal
mana juga dapat dilihat tentang maqashid asy syari’ah yang diharapkan
sesuatu yang dikerjakan manusia tidak terlepas untuk kepentingan umat manusia
itu sendiri. Segala kemaslahatan yang timbul untuk kepentingan suami-isteri dan
anak keturunannya haruslah dipelihara yang merupakan lima tujuan pokok hukum itu disyariatkan salah
satunya untuk memelihara nasl (keturunan). Jika suatu perkawinan justru
akan membawa kemudaratan bagi yang melakukannya dan untuk keturunannya haruslah
dihindari.
Dengan demikian dampak secara umum diterima proses isbat
nikah sirri akan terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di Indonesia yang pada satu sisi harus ditegakan, namun di satu sisi yang lain jika
proses isbat nikah sirri ditolak akan terjadi ketidakpastian
dalam pelaksanaan nikah baik bagi suami-isteri maupun bagi anak keturunannya,
sementara tujuan penetapan hukum oleh hakim adalah untuk terwujudnya keadilan
masyarakat, bermamfaat dan menjamin ketertiban masyarakat. Jika dikaji lebih
jauh akibat nikah sirri secara yuridis, akan membawa impilkasi hukum
sebagai berikut :
1.
Terahadap
suami-isteri :
Perkawinan
yang dilakukan di luar ketentuan yang berlaku sehingga perkawinannya disebut
nikah sirri (rahasia) karena tidak dicatat melalui Pegawai Pencatat
Nikah (Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, jo. Pasal 2 dan 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam), jika
tidak dicatat perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah
(Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam), akibat perkawinan mereka
tidak sah, masing-masingnya tidak terikat dengan akad perkawinan sebagai
kontrak perdata, sehingga tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai
suami-isteri (Pasal 30, 31, 32, 33 dan 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 77 dan 78 Kompilasi Hukum Islam) yakni tidak dapat saling menikmati
kesenangan seperti untuk melakukan kehalalan melakukan persetubuhan, karena
akad perkawinan mereka termasuk dalam kategori nikah yang rusak (fasid)
bahkan bisa dikategorikan nikah batil dan tidak
termasuk dalam perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha) sebab tidak tercatat secara hukum, masing-masingnya
tidak dapat dikatakan sebagai hubungan suami-isteri yang halal, dengan demikian
hubungan kelamin yang dilakukan selama hidup bersama dihukum perbuatan "zina"
akibatnya jika salah satunya belum pernah kawin dapat dihukum had (jilid
100 kali) dan seandainya sudah pernah kawin dirajam sampai mati.
Apabila suami ingin menceraikan isteri, maka isteri tidak punya
kekuatan hukum untuk menggugat nafkah terhadap suami apabila ditinggalkan oleh
suami, penyelesaian kasus gugatan nikah sirri hanya bisa diselesaikan
melalui hukum adat, isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal,
seperti tunjangan jasa raharja, dan apabila suami sebagai pegawai negeri, maka
isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
2. Terhadap nasab anak
dan hak hadlanah :
Karena suami-isteri dikategorikan bukan sebagai
suami-isteri yang sah, maka status anak yang lahir dari nikah sirri, termasuk
dalam kategori anak yang bermasalah karena lahir dari perkawinan yang
bermasalah, sebab nikahnya tidak sah. Anak yang sah menurut Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sebab seorang
anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir
dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, sehingga anaknya disebut
dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah, oleh karena itu si anak
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 42
dan 43 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum
Islam), apabila dari pernikahan tersebut
diperoleh anak perempuan maka yang akan menjadi wali nikahnya di kemudian hari
adalah Wali Hakim (Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam). Jika anak tidak dapat
dibuktikan berlangsunglah pernikahan yang diharamkan, bertaburlah di dalam
masyarakat anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah, bahkan anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri
tersebut rentan dengan kekerasan, kemiskinan yang terus menderita, kurang
memperoleh kasih-sayang yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta
kelahiran, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya
dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta
kelahiran, akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik.
3.
Terhadap
harta gono-gini :
Harta
kekayaan dalam perkawinan menjadi harta bersama (syirkah) karena akibat
akad perkawinan (Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam) dan penyelesaiannya dapat
diajukan apabila terjadi perselisihan antara suami isteri kepada Pengadilan
Agama (Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam) sehingga adanya harta gono-gini baru
terjadi jika terjadi perceraian antara suami-isteri yang dilakukan di depan
sidang Pengadilan Agama, sementara untuk mengajukan perceraian, terlebih dahulu
dibuktikan sah atau tidaknya perkawinan, jika perkawinan tidak sah akibatnya
gugatan tidak mempunyai alasan hak (premature) dan pembagian harta
gono-gini tidak dapat diproses lebih lanjut. Dengan demikian karena status janda atau duda
tidak dapat diproses maka proses penyelesaiannya tidak dapat dilanjutkan melalui
Pengadilan Agam (Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).
4.
Terhadap
hak waris :
Apabila suami meninggal dunia, maka isteri dan
anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut tidak mendapatkan harta
warisan dari si suami yang meninggal tersebut, demikian pula sebaliknya, karena
salah satu sebab mendapatkan harta warisan adalah karena pertalian perkawinan
(Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam) sementara antara suami-isteri tidak terbukti
melakukan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 2
Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 4, 5 dan 6 Kompilasi
Hukum Islam), kecuali bagi anak ia hanya dapat dan saling mewarisi dengan ibu
dan keluarga ibunya (Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam).
Demikian barangkali jika nikah sirri
tersebut dikaitkan dan dianalisa dari sudut pandang yuridis yang akan membawa
dampak negatif bagi pasangan suami isteri dan anak keturunannya.
Footnote:
[1] Lihat Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991, Buku
I, lihat dalam, Himpunan Undang-undang Perdata Islam & Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, oleh Muhammad Amin Suma,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004}, hlm. 375
[2] Pasal 2 BAB I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dikutip, lihat Ibid., hlm. 329
[3] Pasal 3, 4 dan 5 BAB I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, lihat Ibid., hlm. 330
[4] Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
[5]
Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: 1984), h. 667-668
[6] Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status
Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar
Hukum, Nomor 28 Thn. VII,
(September-Oktober1996). h.
8. Lihat
juga Akmal, “Hukum Nikah Sirri”, http://www. akmal.multiply.com/journal/item/295 - Similar pages, 23 Juni 2008.
Lihat juga Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya ?, (Jakarta:
Visimedia, 2007), h. 22
[7] Mahmud Syalthut, Al-Fatawa: Dirasat li
Musykilat al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi al-Yaumiyah Wajib al-Ammah,
(Dar al-Qalam, t.t), h. 268-269, dalam karangan Dadi Nurhaedi, Nikah di
Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana,
2003), h.23
[8] Sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 Ayat (1)
UUP yakni memenuhi ketentuan syariat Islam secara sempurna (memenuhi rukun dan
syarat nikah), sedangkan pencatat nikah adalah perlu, tetapi tidaklah merupakan
syarat sahnya nikah melainkan kewajiban administrasi saja, karena pencatatan
resmi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hanya bersifat administras.
[9] Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan:
Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana, 2003), h.23
[10] Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI
II Tahun 2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah,
Masail Qanuniyyah, (Majelis Ulama Indonesia, 2006), h. 39
[11] A. Wasit Aulawi, “Nikah Harus Melibatkan Masyarakat”, Jurnal Dua
Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII,
(September-Oktober1996), h. 20
[12] Lihat Masjfuk Zuhdi, Op.,Cit., h. 8
[13] A. Wasit Aulawi, Op.,Cit., h. 22
[14] Ibid., h. 23
[15] Wildan Suyuti Mustofa, Op.,Cit., h. 36
[16] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, Ed. Pertama, h. 47-48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini