Sabtu, 07 Januari 2012

Nikah Sirri

DAMPAK YURIDIS PELAKSANAAN NIKAH SIRRI
 
A.    Latar Belakang Masalah
 Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sehingga disebut sebagai pasangan suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawwaddah, warrahmah atau dengan ungkapan lain menuju rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Islam memandang perkawinan bukan hanya semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi lebih dari itu disamping kontrak perdata juga mempunyai dimensi aspek ‘ubudiyah. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaaqon ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1] Oleh karena itu perkawinan yang bernuansa syarat dengan nilai dan untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawwaddah dan rahmah perlu dilaksanakan secara sempurna (paripurna) sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku agar tercapai maqashid asy-syari’ah.
Prosesi suatu akad perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun akad.  Akad nikah adalah ikatan menurut cara yang sah dalam bentuk ijab yang diikrarkan oleh wali atau wakilnya dan qabul berupa kerelaan peneri­maan ikrar wali oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Agar kuatnya akad  dalam perjanjian menurut hukum perdata dapat  dibuktikan  dengan  akta  autentik.  Dalam akad perkawinan akta nikah  merupakan dokumen resmi yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagai alat bukti autentik tentang te­lah  terjadinya suatu peristiwa hukum.
Namun realita dan kenyataannya terkadang pasangan calon pengtin sengaja tidak mencatatkan perkawinannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahkan sering melalaikannya, sehingga terjadilah perkawinan liar atau kawin di bawah tangan. Hal mana pihak pasangan pengantin ingin menghindar dari aturan undang-undang. Peristiwa perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sesungguhnya baru muncul dalam kehidupan hukum masyarakat, khususnya bagi umat Islam tepatnya pasca berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[2]  Dalam proses pelaksanaan akad nikah seperti ini dilaksanakan oleh pihak keluarga pengantin wanita bersama pengantin pria. Ijab dari pihak wali pengantin wanita / wakilnya (biasanya tokoh agama) dan kabul dari pengantin pria / wakilnya. Biasanya perkawinan tersebut tidak dihadiri oleh Pejabat Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama Kementerian Agama Republik Indonesia.
Kesengajaan untuk tidak mencatatatkan suatu peristiwa perkawinan tersebut kebanyakkan terjadi dalam perkawinan di bawah umur karena hamil di luar nikah dan bagi seseorang yang ingin melakukan berpoligami secara diam-diam agar tidak diketahui oleh isteri dan anak-anak si suami. Jika rencana perkawinan ini diketahui oleh isteri atau anak-anak si suami, pernikahan bisa gagal, atau dengan kata lain bahwa pelaksanaan nikah seperti ini karena ingin menghindar dari aturan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seperti mengharuskan  seorang suami, apabila ingin beristeri lebih dari satu, harus mendapatkan persetujuan dari isterinya atau isteri-isterinya dan setelah mendapat izin dari Pengadilan Agama[3], atau harus memenuhi umur bagi calon pengantin (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi pria). Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut dalam masyarakat dengan  nikah di bawah tangan atau nikah sirri. Padahal Kantor Urusan Agama adalah merupakan instansi yang diberi kewenangan oleh Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Agama RI untuk mencatat segala peristiwa perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Islam yang dilaksanakan melalui Kantor Urusan Agama dan di hadapan penghulu selaku Pegawai Pencatat Nikah. Selanjutnya Kantor Urusan Agama akan mengeluarkan  akta nikah dan duplikatnya diberikan kepada masing-masing pengantin pria dan wanita, sebagai pegangan adanya kekuatan hukum dari akad pernikahan serta bukti mereka telah melangsungkan pernikahan yang sah menurut hukum Islam dan hukum positif yang berlaku dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan  pengantin pria dan wanita yang melaksanakan nikah sirri biasanya tidak memiliki surat bukti nikah atau duplikat akta nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkuri bahwa perkawinan yang dilakukan di bawah tangan seringkali mendorong seseorang akan melakukan talak di bawah tangan karena perkawinan tersebut mudah diterpa kegoncangan dan  terjadi perselisihan dalam rumah tangga, serta sanat mudah untuk memutuskannya bahkan kadangkala tidak jarang suami terlalu mudah melakukan wanprestasi untuk mengingkari perkawinan yang telah terjadi sehingga akibatnya suami akan menjatuhkan talak di bawah tangan tanpa diucapkan oleh suami terhadap isterinya melalui proses persidangan Pengadilan Agama. Dengan terjadinya talak di bawah tangan, perceraian tersebut tidak diputus oleh Pengadilan Agama, dan pihak suami isteri yang bercerai tidak memiliki surat bukti perceraian dari Pengadilan Agama. Sehingga akibatnya yang paling mendasar dalam perkawinan ini tidak tercapainya tujuan untuk mewujudkan tujuan utama dari perkawinan, yang ada justru membawa kemudharatan bagi suami isteri, anak keturunan dan bahkan bagi masyarakat.
Jika demikian kejadiannya makna dan tujuan perkawinan yang sesungguhnya sakral dan sebuah ikatan luhur lahir bathin untuk membentuk kehidupan dengan tujuan membentuk keluarga bahagia sesuai hukum Islam dan untuk mencapai redla Allah SWT. sulit akan terwujud. Penyimpangan terhadap aturan dan makna perkawinan yang sesungguhnya berarti telah melanggar aturan dasar al Quran, as Sunnah dan peraturan perundang-undangan berlaku dan tentu akan membawa dampak yang besar. Tidak efektifnya pelaksanaan peraturan perundangan-undang, terjadi demoralisasi, perceraian, salah satu bentuk pelaksaan perkawinan di bawah tangan (nikah sirri).
Nikah sirri istilah yang sering dikenal oleh masyarakat namun sulit untuk membuktikan dan ditelusuri; sebab bagi mereka yang melakukannya ada kecenderungan untuk menutup dan berdiam diri, sebagai alternatif di tengah situasi dan kondisi yang darurat (imergency) berkaitan dengan iklim pengamalan terhadap agama serta adanya pengaruh kultural-sosial masyarakat adat. Bahkan kemungkinan besar dimensi sosial-antropologis yang ada pada nikah sirri ada beberapa faktor, namun barangkali faktor organisme dan religi cukup dominan dan memberi peluang dengan mengesampingkan faktor nilai-nilai, budaya dan faktor sosial. Sebut saja bahwa kenyataannya nikah sirri ini justru sering terjadi di kalangan birokrat, dan pemuka agama (ulama) serta kalangan masyarakat elit lainnya.
Awalnya nikah sirri didasarkan pada suatu pilihan hukum (racht opsion) yang disadari oleh pelakunya, bahwa mereka menerima tidak mendaftarkan atau mencatatkan perkawinanya dengan berbagai alasan atau agar tidak diketahui masyarakat dan agar tidak ada tuntutan walimatul ‘ursy  (resepsi) atau perkawinan ini untuk sementara dirahasiakan dulu. Dari sinilah muncul masalah apakah perkawinan tersebut sah atau dapat disahkan karena proses pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Padahal jika terjadi  proses perkawinan tanpa melalui pencatatan berdasarkan undang-undang dianggap perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum atau bahkan dianggap tidak ada secara hukum. Namun pada sisi lain mereka telah hidup sebagai suami isteri bahkan telah melahirkan anak keturunan, yang memerlukan bukti akta kependudukan.
Sepintas perkawinan ini akan berdampak terhadap terjadinya perceraian di bawah tangan, anak-anak yang dilahirkan akan sulit dibuktikan sebagai anak pasangan suami isteri, dan secara hukum perdata juga akan sulit dinasabkan kepada orang tuanya. Masalah pokoknya adalah terjadinya pelanggaran ketentuan pencatatan perkawinan melalui Penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah  dari Kantor Urusan Agama.[4] Realitasnya untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang ideal tidak mudah untuk medambakannya, berbagai faktor penyebab kurangnya ketahanan dalam keluarga karena adanya kencenderungan merahasiakan perkawinannya dengan berbagai faktor dan alasan yang memberi peluang untuk tidak mencatatkan. Selain itu faktor yang paling esensial tidak tercatatnya perkawinan adalah jauhnya kesadaran hukum masyarakat untuk mentaati aturan perundang-undangan yang berlaku serta kurangnya pemahaman nilai-nilai, moralitas dan pengamalan terhadap agama. Atau dengan kata lain aturan telah ada yang mengaturnya, tetapi sangsinya tidak tegas atau ringan.

B.     Pengertian Nikah Sirri
Dalam pembahasan ini perlu terlebih dahulu mengindentifikasi dan mengclearkan apa yang dimaksud dengan ‘nikah sirri’ atau ‘nikah di bawah tangan’ untuk menyamakan persepsi mengenai pengertian istilah tersebut, dan sekaligus untuk menghindari kerancauan istilah agar tidak confused atau misunderstanding, nikah dibawah tangan, nikah agama, dan kawin sirri dalam artikel ini cukup memakai istilah nikah sirri.
Dari kata “sirri” dari segi etimologis berasal dari bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran dan sirriyyun. Secara etimologi, kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius,[5] jadi nikah sirri, artinya nikah rahasia (secret marriage), pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.[6] Kata sirri, sirran atau sirriyyun, dalam bahasa Indonesia bukanlah kata baku dan pemakaiannya pun belum populer di Indonesia. Namun demikian, kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah dan sirri) pada sebagian masyarakat, terutama sebagian umat Islam Indonesia, cukup banyak dikenal. Mengenai defenisi atau konsep nikah sirri, setelah penulis meneliti dari sejumlah literatur dan berbagai pendapat umat Islam, ternyata konsepnya berbeda-beda. Beberapa konsep nikah sirri yang penulis temukan  di antaranya sebagai berikut:
Pertama, menurut seorang ulama terkemuka yang pernah menjabat Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir, yaitu Mahmud Syalthut,[7] ia berpendapat bahwa nikah sirri merupakan jenis pernikahan di mana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan), tidak tercatat secara resmi, dan sepasang suami isteri itu hidup secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqahak berpendapat nikah sirri seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak  terpenuhi yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, fuqahak sepakat akan kemakruhannya.
Kedua, konsep nikah sirri yang paling banyak dikenal yaitu suatu pernikahan yang dilakukan berdasarkan cara-cara agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak dipublikasikan. Jadi, yang membedakan nikah sirri dengan nikah umum lainnya, secara Islam terletak pada dua hal; (1) tidak tercatat secara resmi oleh petugas pemerintah dan (2) tidak adanya publikasi.
Konsep nikah sirri seperti itu pada umumnya dianggap sah. Hal itu dapat dipahami karena secara fiqih semua rukun nikah yang merupakan keniscayaan pada saat akad atau transaksi nikah sirri telah terpenuhi. Rukun nikah sebagaimana lazimnya lima telah terpenuhi. Jadi, tidak adanya pencatatan secara resmi dan publikasi, menurut fiqih memang tidak dapat mengakibatkan batal atau tidak sahnya suatu perkawinan.[8] Demikian pula publikasi sangat berguna agar terhindar dari fitnah.
Ketiga, nikah sirri dalam pengertian suatu pernikahan yang mengikuti ketentuan agama Islam dan tercatat oleh PPN atau KUA tetapi belum diadakan resepsi secara terbuka dan luas, dalam pernikahan semacam ini biasanya hanya memberitahu atau mengundang sebatas keluarga dekat atau sebagian tetangga. Kalaupun ada makan-makan, biayanya lebih sedikit.[9] Penyebutan nikah sirri di sini jelas karena belum adanya publikasi dalam bentuk acara walimahan atau resepsi secara terbuka. Dalam pernikahan semacam ini biasanya tidak ada unsur kesengajaan upaya untuk tidak mempublikasikan apalagi menyembunyikan atau merahasiakan. Akad nikah yang tidak disertai walimahan atau resepsi lebih karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan atau karena ada pertimbang-pertimbangan lain.
Keempat, menurut Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia[10] nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi,[11] menjelaskan apa persisnya yang dimaksud dengan nikah sirri, menyebutkan bahwa “nikah sirri” adalah pernikahan yang belum diresmikan, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan / walimatul urs.
Kelima, menurut terminologi Fiqih Maliki, nikah sirri, ialah: [12]
هُوَ الَّذِى يُوْصِى فِيْهِ الزَّوْجُ الشُّهُودُ بِكَتْمِهِ عَنْ إِمْرَاَتِهِ عَنْ جَمَاعَةٍ وَلَوْ أَهْلَ مَنْزِلٍ 
Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri mempunyai beberapa devinisi, di antaranya adalah : pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan), atau pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan, dan atau pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di Kantor Urusan Agama), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah / resepsi). Dari beberapa defenisi tersebut di atas dapat penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang diatur dalam dalam fiqih klasik, namun pernikahan tersebut tidak dipublikasikan dan tidak dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah.

C.       Latar Belakang Terjadinya Nikah Sirri.
Kebiasaan praktik nikah sirri dalam masyarakat sesungguhnya tidak sepenuhnya dilandasi keinginan pemenuhan kebutuhan biologis atau material semata. Namun pada perkembangan selanjutnya kerap dijadikan tempat pelarian bagi yang ingin berpoligami, tetapi tidak memberitahukan kepada isterinya karena tempat kerja yang jauh atau bagi suami yang Pegawai Negeri Sipil yang ingin poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Poligami yang berkendaraan nikah sirri inilah menjadi kebiasaan sebagai senjata ampuh bagi suami yang hastrat seksualitasnya dengan cara beristeri lebih dari satu. Tidak sedikit mereka mempergunakan jalur nikah sirri sebagai aksi perselingkuhan, meskipun berbeda dengan perselingkuhan pada umumnya, perselingkuhan melalui nikah sirri ini lebih mendapatkan pengakuan kebiasaan masyarakat, artinya sebagian kalangan menganggap dengan menikah sirri, ia dapat terhindar dari perbuatan zina.
Prof. H.A. Wasit Aulawi, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya nikah sirri, yaitu faktor pengetahuan masyarakat yang belum bulat, faktor fiqih yang tidak mengatur batas umur nikah, dan faktor kekhawatiran orang tua yang berlebihan teradap jodoh anaknya.[13] Pengetahuan masyarakat dalam hal ini terpecah-pecah, sehingga ada yang menyatakan “perkawinan sah menurut agama”, “perkawinan sah menurut hukum“ dan sebagainya. Fiqih memang tidak mengenal mengatur batas umur untuk nikah. Anak umur berapa saja dapat dinikahkan. Karena anaknya masih kecil, biasanya nikahnya dilaksanakan secara sirri. Demikian juga halnya adanya ketakutan orang tua terhadap anaknya tidak mendapatkan jodoh.[14]
Drs. H. Wildan Suyuti Mustofa, S.H.,MH[15] apabila memperhatikan dilakukannya nikah sirri, maka nampakanya ada dua hal yang menyebabkannya, yaitu :
Pertama, adanya faktor-faktor di luar kemampuan si pelamar seperti :

a.  Menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan agar terhindar dari hal-hal yang terlarang menurut agama karena masih sama-sama kuliah atau sambil menunggu selesai kuliah.

b.    Tidak adanya izin wali nikah (orang tua).

c.    Sulitnya memperoleh izin dari isteri dalam hal suami akan menikah lebih dari seorang.

d.    Adanya kekhawatiran kehilangan hak pensiun janda.

Kedua, adanya pendapat bahwa pencatatan tidak merupakan perintah agama, karena tidak dilakukan di zaman Nabi.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Manan, S.H.,S.Ip., M.Hum.,[16] Hakim Agung Mahkamah Agung RI menyatakan, adapun faktor-faktor penyebab melakukan perkawinan secara diam-diam (sirri) antara lain:
1) Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah / negara.

2) Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah.

3)  Tidak ada izin isteri atau isteri-isterinya dan pengadilan agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang.
4)   Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon isteri / suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

5) Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Dalam ketentuan berikutnya, penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa isteri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam terpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikahi secara sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja. Di antara sejumlah alasan umum yang dilontarkan di atas, penulis menyebut setidaknya ada tiga alasan terpenting mengapa nikah sirri sering menjadi pilihan sejumlah pihak, yaitu alasan kesulitan ekonomi, kurangnya pemahaman hukum dan faktor kesegeraan melangsungkan nikah agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.

D.    Dampak Yuridis Pelaksanaan Nikah Sirri
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan  hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum. Belum dimasukan pencatatan sebagai salah satu unsur terpenting dalam perkawinan dalam fiqih-fiqih klassik hal tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang dilalui oleh fiqih itu sendiri yang sejalan dengan zaman atau waktu fiqih ditulis. Namun jika dianalisis lebih dalam tentang ayat 282 surat Al Baqarah mengindikasikan pencatatan didahulukan daripada kesaksian, namun belum ada terobosan fiqih, tentang  pencatatan merupakan rukun nikah. Adanya positifisme ketentuan fiqih di Indoensia seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 sudah sesuai dengan epistemologi hukum Islam dengan metode istislah atau maslahat.
Meskipun tidak ada ketentuan ayat Al Quran dan  Hadis yang memerintahkan pencatatan perkawinan, kandungan maslahatanya sejalan dengan ketentuan syar’i untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Dengan demikian dapat tegaskan pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh siapa saja, karena sesungguhnya memiliki landasan yang kuat dari sumber ijtihad yakni mashlah mursalah yang dibangun atas dasar kejadian induktif. Hal mana juga dapat dilihat tentang maqashid asy syari’ah yang diharapkan sesuatu yang dikerjakan manusia tidak terlepas untuk kepentingan umat manusia itu sendiri. Segala kemaslahatan yang timbul untuk kepentingan suami-isteri dan anak keturunannya haruslah dipelihara yang merupakan lima tujuan pokok hukum itu disyariatkan salah satunya untuk memelihara nasl (keturunan). Jika suatu perkawinan justru akan membawa kemudaratan bagi yang melakukannya dan untuk keturunannya haruslah dihindari.
Dengan demikian dampak secara umum diterima proses isbat nikah sirri akan terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang pada satu sisi harus ditegakan, namun di satu sisi yang lain jika proses isbat nikah sirri ditolak akan terjadi ketidakpastian dalam pelaksanaan nikah baik bagi suami-isteri maupun bagi anak keturunannya, sementara tujuan penetapan hukum oleh hakim adalah untuk terwujudnya keadilan masyarakat, bermamfaat dan menjamin ketertiban masyarakat. Jika dikaji lebih jauh akibat nikah sirri secara yuridis, akan membawa impilkasi hukum sebagai berikut :
1.      Terahadap suami-isteri :
Perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan yang berlaku sehingga perkawinannya disebut nikah sirri (rahasia) karena tidak dicatat melalui Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, jo. Pasal 2 dan 3 Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975 dan  Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam), jika tidak dicatat perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah (Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam), akibat perkawinan mereka tidak sah, masing-masingnya tidak terikat dengan akad perkawinan sebagai kontrak perdata, sehingga tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai suami-isteri (Pasal 30, 31, 32, 33 dan 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 77 dan 78 Kompilasi Hukum Islam) yakni tidak dapat saling menikmati kesenangan seperti untuk melakukan kehalalan melakukan persetubuhan, karena akad perkawinan mereka termasuk dalam kategori nikah yang rusak (fasid) bahkan bisa dikategorikan nikah batil dan tidak termasuk dalam perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha) sebab tidak tercatat secara hukum, masing-masingnya tidak dapat dikatakan sebagai hubungan suami-isteri yang halal, dengan demikian hubungan kelamin yang dilakukan selama hidup bersama dihukum perbuatan "zina" akibatnya jika salah satunya belum pernah kawin dapat dihukum had (jilid 100 kali) dan seandainya sudah pernah kawin dirajam sampai mati.
Apabila suami ingin menceraikan isteri, maka isteri tidak punya kekuatan hukum untuk menggugat nafkah terhadap suami apabila ditinggalkan oleh suami, penyelesaian kasus gugatan nikah sirri hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat, isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja, dan apabila suami sebagai pegawai negeri, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
2.      Terhadap nasab anak dan hak hadlanah :
Karena suami-isteri dikategorikan bukan sebagai suami-isteri yang sah, maka status anak yang lahir dari nikah sirri, termasuk dalam kategori anak yang bermasalah karena lahir dari perkawinan yang bermasalah, sebab nikahnya tidak sah. Anak yang sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sebab seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, sehingga anaknya disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah, oleh karena itu si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 42 dan 43 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam),  apabila dari pernikahan tersebut diperoleh anak perempuan maka yang akan menjadi wali nikahnya di kemudian hari adalah Wali Hakim (Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam). Jika anak tidak dapat dibuktikan berlangsunglah pernikahan yang diharamkan, bertaburlah di dalam masyarakat anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah, bahkan anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tersebut rentan dengan kekerasan, kemiskinan yang terus menderita, kurang memperoleh kasih-sayang yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta kelahiran, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran, akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik.
3.      Terhadap harta gono-gini :
Harta kekayaan dalam perkawinan menjadi harta bersama (syirkah) karena akibat akad perkawinan (Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam) dan penyelesaiannya dapat diajukan apabila terjadi perselisihan antara suami isteri kepada Pengadilan Agama (Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam) sehingga adanya harta gono-gini baru terjadi jika terjadi perceraian antara suami-isteri yang dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, sementara untuk mengajukan perceraian, terlebih dahulu dibuktikan sah atau tidaknya perkawinan, jika perkawinan tidak sah akibatnya gugatan tidak mempunyai alasan hak (premature) dan pembagian harta gono-gini tidak dapat diproses lebih lanjut. Dengan demikian karena status janda atau duda tidak dapat diproses maka proses penyelesaiannya tidak dapat dilanjutkan melalui Pengadilan Agam (Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).
4.      Terhadap hak waris :
Apabila suami meninggal dunia, maka isteri dan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut tidak mendapatkan harta warisan dari si suami yang meninggal tersebut, demikian pula sebaliknya, karena salah satu sebab mendapatkan harta warisan adalah karena pertalian perkawinan (Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam) sementara antara suami-isteri tidak terbukti melakukan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 4, 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam), kecuali bagi anak ia hanya dapat dan saling mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam).
Demikian barangkali jika nikah sirri tersebut dikaitkan dan dianalisa dari sudut pandang yuridis yang akan membawa dampak negatif bagi pasangan suami isteri dan anak keturunannya.

Footnote:

[1] Lihat Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991, Buku I, lihat dalam, Himpunan Undang-undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, oleh Muhammad Amin Suma, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004}, hlm. 375
[2] Pasal 2 BAB I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikutip, lihat  Ibid., hlm. 329
[3] Pasal 3, 4 dan 5 BAB I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lihat Ibid., hlm. 330
[4] Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
[5]  Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: 1984), h. 667-668
[6] Masjfuk Zuhdi, “Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII,  (September-Oktober1996). h. 8. Lihat juga Akmal, “Hukum Nikah Sirri”, http://www. akmal.multiply.com/journal/item/295 - Similar pages, 23 Juni 2008. Lihat juga Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya ?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 22
[7] Mahmud Syalthut, Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi al-Yaumiyah Wajib al-Ammah, (Dar al-Qalam, t.t), h. 268-269, dalam karangan Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana, 2003), h.23
[8] Sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 Ayat (1) UUP yakni memenuhi ketentuan syariat Islam secara sempurna (memenuhi rukun dan syarat nikah), sedangkan pencatat nikah adalah perlu, tetapi tidaklah merupakan syarat sahnya nikah melainkan kewajiban administrasi saja, karena pencatatan resmi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya bersifat administras.
[9] Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana, 2003), h.23
[10] Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II Tahun 2006, Masail Asasiyah Wathaniyah, Masail Waqi’iyyah Mu’ashirah, Masail Qanuniyyah, (Majelis Ulama Indonesia, 2006), h. 39
[11] A. Wasit Aulawi, “Nikah Harus Melibatkan Masyarakat”, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 28 Thn. VII,  (September-Oktober1996), h. 20
[12] Lihat Masjfuk Zuhdi, Op.,Cit., h. 8
[13] A. Wasit Aulawi, Op.,Cit., h. 22
[14] Ibid., h. 23
[15] Wildan Suyuti Mustofa, Op.,Cit., h. 36
[16] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. Ke-1, Ed. Pertama, h. 47-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini