( ‘Ilm
al-Jarh wa al-Ta’dil )
A.
PENDAHULUAN.
1.Latar Belakang
Masalah.
Sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua setelah al Quran, eksistensi hadis, di samping telah
mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi
bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penelitian terhadap
hadis baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat
di dalamnya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya dalam menjelaskan
kandungan al Quran dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di
bidangnya.
Hasil-hasil dan
kajian ahli tersebut selanjutnya, telah didokumentasikan dan dipublikasikan
baik kepada kalangan akademisi di perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah
maupun pada kalangan masyarakat pada umumnya, bagi kalangan akademisi, adanya
berbagai hasil penelitian hadis tersebut telah membuka peluang untuk
diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam, yaitu bidang studi hadis.
Sejalan dengan
pemikiran tersebut, sebagaimana halnya hadis pun telah banyak diteliti para
ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap al Hadis lebih banyak
kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al Quran. Hal ini antara lain
dilihat dari segi datangnya al Quran dan al Hadis berbeda. Kedatangan (wurud), atau turun (nuzul)nya al
Quran secara mutawatir berasal dari Allah.[1]
Tidak satupun ayat al Quran yang
diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah Swt. Atas dasar ini, maka
dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat itu berasal dari Allah atau bukan.
Hal ini berbeda dengan al Hadis. Dari segi datang (al-wurud)nya hadis
tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari
selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafal-lafal hadis yang tidak
bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhap penulisan hadis pada zaman
Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena
sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.[2]
Itulah sebabnya
untuk memastikan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi perlu
diadakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and propetest), sehingga
diperlukan kaedah-kaedah pokok yang telah diletakkan para ulama untuk kritik
hadis serta untuk mengetahui mana yang
otentik dan mana yang palsu. Dari situ nampak bahwa mereka tidak
membatasi usaha mereka hanya kepada kritik matan saja tetapi juga memusatkan perhatian mereka terhadap sanad.
Telah kita lihat bagaimana mereka mengindentifikasi tanda-tanda kepalsuan. Buah
lain dari usaha penuh berkah ulama itu ialah lahirnya ilmu al jarh wa al’ta’dil
(evaluasi negatif dan evaluasi positif) atau juga dikenal sebagai ilmu mizan
al-rijal (kreteria tokoh-tokoh).[3]
Kritik sanad atau lazim disebut naql al-sanad atau al-naqd al-khariji
(kritik ekstern). Untuk kritik sanad tingkat akurasinya sangat tinggi.
Oleh karenanya
ilmu ini termasuk yang paling berharga, yang tumbuh dari gerakan yang
diberkati, yang barangkali tidak terdapat dalam sejarah ummat-ummat yang lain.,
dimana jerih payah tersebut tidak membatasi usaha kepada kritik sanad saja atau
menitik beratkan kepada matan saja. Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad dan
matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis
Nabi itu memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi.
Dalam karena itu sanad dan matan sama-sama harus diteliti, maka terbuka
beberapa kemungkinan terjadinya perbedaan kualitas antara sanad dan matan
hadis.
Makalah ini
membahas beberapa hal penting tentang kritik sanad dalam hubungannya dengan
upaya penelitian macam-macam kualitas hadis menurut kreterianya masing-masing;
yang dengan hasil tulisan ini hadis yang bersangkutan dapat diketahui status
kehujjahannya.
2.Permasalahan.
Dari uraian
pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam
penulisan makalah ini adalah : Apakah yang dimaksud dengan kritik sanad (‘ilm
al-jarh wa al-ta’dil) ?
B.
PEMBAHASAN.
1.
Pengertian,
Obyek Kajian dan Kegunaan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
- Pengertian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Al-Jarh yang secara
etimologis masdar dari kata jaraha-yajrihu[4]
berarti luka, cela, atau cacat, adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan
dan kedhabitanya.[5] Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan
dengan fisik, mislanya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan
non-fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh
seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang
ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan
keabsahan saksi.” Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh sebagai berikut
:
“Kecacatan pada perawai hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat
merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.
A.
Qadir Hasan mendefinisikan jarh
menurut istilah ilmu hadis ialah menunjukkan atau membayangkan kelemahan,
celaan atau cacat seseorang rawi, atau melemahkan dia, maupun semua itu benar
ada pada diri si rawi atau tidak.[7]
Lafd jarh ialah sifat rawi yang dapat mencatatkan keadilan dan kehafalannya.
Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti mensifati seorang
rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang
diriwayatkannya.[8] Dari
kata jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi yang tidak adil, atau
yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan
gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.
Sedangkan al-Ta’dil
asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala artinya :
mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang,[9]
yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan),[10]
meluruskan, membetulkan, membersihkan.[11]
Sedangkan ta’dil menurut mushthalah hadits ialah menunjukan atau
membayangkan kebaikan atau kelurusan seseorang rawi, maupun semua itu benar ada
pada diri si rawi atau tidak.[12]
Al-Ta’dil menurut istilah berarti :
“Lawan dari al-Jarh, yaitu
pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabit”.
Sedangkan Ulama
lain mendefinisikan al-Jarh dan al-Ta’dil dalam satu definisi,
yaitu :
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat
menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau memberishkan
mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.
Kata al-ta’dil mempunyai arti :
mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan
demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang
disampaikannya dapat diterima.
Contoh ungkapan tertentu untuk
mengetahui para perawi, antara lain فلان اوثق الناس (fulan
orang yang paling dipercaya) فلان ضاط (fulan kuat hafalannya) dan فلان
حجة(fulan hujjah). Sedangkan
contoh untuk mengetahui kecacatan para perawi tersebut antara
lain فلان
اكذب الناس (fulan orang yang paling berdusta) فلان
متهم اكذب
(fulan termasuk orang tertuduh
dusta) فلان لا حجة (fulan
bukan hujjah).
Dengan
demikian yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa al-ta’dil sebagaimna yang
didefinisikan oleh Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib adalah sebagai berikut :
Ialah sutu ilmu yang membahas hal-ihwal para
rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
- Obyek Kajian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Kecacatan rawi
itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya
dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan; bid’ah, yakni melakukan
tindakan tercela atau di luar ketentuan syari’ah; mukhalafah, yakni
berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqaqah; ghalath,
yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal,
yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat
al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.[16]
Sedangkan
informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui
dua jalan, yaitu :[17]
1.
Popularitas para perawi di kalangan
para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang
mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang
keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu
juga denga perawi yang terkenal dengan kefasiqkan atau dustanya maka tidak
perlu lagi dipersoalkan.
2. Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an
dari rawi lain yang adil. Bila seorang yang adil menta’dilkan seorang rawi yang
lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi
tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu
juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah
mentajrihkannya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Dalam kajian
atau obyek jarh yang terdapat dalam kitab-kitab Rijalul Hadits dan sebagainya,
dibagi kepada tiga macam, yaitu :[18]
1.
Jarh yang tidak
beralasan, maka jarh yang tidak disebut alasannya, masih gelap.
2.
Jarh yang tidak
diterangkan apa yang menyebabkan si rawi tercela atau jarh yang tidak
dijelaskan sebabnya, maka jarh yang tidak diterangkan sebabnya itu,
tidak dapat diterima karena gelap.
3. Jarh yang disebut
sebabnya, dengan mengetahui sebab-sebab itu, dapat diukur derajat kelemahan
seseorang rawi, yang menyebabkan seorang rawi tercela atau dianggap lemah,
sehingga riwayatnya tidak boleh diterima.
Diantara beberapa sifat yang
menyebabkannya adalah : Dusta yakni kadzdzab
atau dajjal; Salah yani ghalath (keliru), khatha ’(salah)
atau waham (salah sangkaan); Lupa atau lalai (ghaflah); Dungu
atau bodoh (mughaffal); Menyalahi (mukhalafah) yakni riwayat
seseorang rawi menyalahi riwayat orang kepercayaan atau yang lebih kuat daripadanya;
Fisq mempunyai beberapa makna diantaranya tidak taat, meninggalkan
perintah-perintah Allah, berbuat
kejahatan, berbuat dosa; Tidak terkenal (mahjul); Buruk hafalan (suul
hifzhi); Talqin (mengajar); Ikhthilath (akalnya bercampur); Tadlis
(menyamarkan); Bukan Ahlinya; Bersendiri dalam meriwayatkan; Mempermudah (tahasul)
sesuatu urusan ;
Sementara orang
yang melakukan ta’dil dan tajrih harus memenuhi syarat, sebagai
berikut : berilmu pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik
terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil
ini.
- Kegunaan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil.
Ulama menilai
sangat penting kedudukan sanad dalam riwayat hadis.[19]
Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang
dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tapi berita itu tidak memiliki sanad
sama sekali, maka berita itu oleh ulama hadis tidak dapat disebut sebagai
hadis. Sekiranya berita itu juga dinyatakan hadis oleh orang-orang tertentu,
misalnya oleh ulama yang bukan ahli hadis, maka berita itu oleh ulama hadis
dinyatakan sebagai hadis palsu atau maudhu’.
Sekiranya sanad
tidak ada niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya,
karena sanad merupakan bagian sangat urgen dari riwayat hadis.
Eksistensi suatu hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis ditentukan
juga oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.
Bahwa sanad
suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis tersebut dapat diterima,
sedang bila sanad itu tidak shahih, maka hadis tersebut harus
ditinggalkan. Sehingga lemahnya suatu sanad riwayat hadis tertentu
sesungguhnya belumlah menjadikan hadis yang bersangkutan secara absolut tidak
berasal dari Rasulullah. Dalam pada itu, riwayat hadis yang sanad-nya
lemah tidak dapat memberikan bukti yang kuat bahwa hadis yang bersangkutan
berasal dari Rasulullah. Padahal hadis Rasulullah adalah sumber ajaran Islam
dan karenanya, riwayat hadis haruslah terhindar dari keadaan yang meragukan.
Karenanya ilmu jarh
wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
“dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa
diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.[20]
Faedah
mengetahui ilmu jarh wa ta’dil itu ialah untuk menetapkan apakah
periwatatan seorang rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya
harus ditolak dan apa bila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis
dipenuhi.
Dengan adanya
penelitian hadis dilihat dari segi sanadnya melalui ilmu jarh wa ta’dil
kualitas sebuah hadis dapat diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahn hadis
yang bersangkutan. Hadis yang tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan
sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadis merupakan
salah satu sumber hukum Islam.
Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran
Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
Dalam
penelitian sanad pada dasarnya yang diteliti adalah kualitasa pribadi
dan kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad, di
samping metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat itu.
Menilai seseorang tidaklah semudah menilai benda mati. Dapat saja seseorang
dinyatakan baik pribadinya, padahal kenyataan yang sesungguhnya adalah
sebaliknya.[21]
2.
Sejarah
Munculnya Ilmu Jarh wa Ta’dil.
Hadis pada
zaman Nabi belum tercatat secara resmi di zaman Rasulullah saw, seperti halnya
dengan al Quran melainkan hanya dihafal. Namun setelah Nabi wafat banyak para
penghafal hadis yang wafat karena ikut berperang. Pernah terpikir oleh Umar bin Khattab untuk
membukukan sunnah, kemudian ia bermusyawarah dengan para Sahabat, maka mereka
mengemukan pendapat untuk membukukannya.
Pada masa Tabi’in
mulai timbul gerakan pemalsuan hadis, lalu generasi sesudah Tabi’in mencoba melawan
gerakan pemalsuan hadis ini. Maka para Tabi’in mencoba untuk membukukan karena
kuatir hilang dan guna mencegah dari kemungkinan penambahan dan pengurangan.[22]
Bahwa khalifah yang pertama yang memikirkan mengumpulkan dan pencatatan Sunnah
dari kalangan Tabi’in adalah Khalifah ibn Abdul Aziz (dari Bani Umayyah).
Kemudian untuk
menjamin data sebuah hadis yang diriwayatkan, lalu mulailah pembicaraan tentang
tokoh-tokoh riwayat, baik dalam arti positif maupun negatif, yang telah dimulai
sejaka zaman para Sahabat muda seperti Ibn Abbas (w.68 H), ‘Ubadah ibn Shamit
(w. 34 H), dan Anas ibn Malik (w. 93 H), lalu disusul oleh para tokok Tabi’in
seperti Sa’id ibn al-Musayyib (w. 93 H), al-Sya’bi (w. 104 H), Ibn Sirin (w.
110 H), kemudian diteruskan oleh Syu’bah (w. 160 H) yang secara mendalam
meneliti tokoh-tokoh yang ada dan tidak menuturkan sesuatu kecuali dari
kalangan yang benar-benar handal, dan akhirnya Imam Malik (w. 179 H).[23]
Dari antara
ulama al-jarh wa al-ta’dil pada abad kedua ini ialah Mu’ammar (w. 153
H), Hisyam al-Dustuwa’i (w. 154 H), al-Awza’i (w. 156 H), al-Tsawri (w. 175 H).
Setelah itu muncul sekelompok ulama lain seperti Ibn al-Mubarak (w. 181 H),
al-Fazari (w. 185 H), Ibn ‘Uyaynah (w. 197 H), Waki’ ibn al-Jarrah (w. 197 H).
Juga sangat terkenal dari kalangan mereka ini Yahya ibn Sa’id al-Qathathan (w.
189 H) dan ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H), yang keduanya itu adalah hujjah
(pribadi acuan dalam argumen-argumen dan handalan bagi orang banyak, sehingga
tokoh yang mereka terima.
Berikutnya
menyusul para sarjana di bidang itu dari kelompok lain seperti Yazid ibn Harun
(w. 206 H), Abu Dawud al-Thayalis (w. 204 H), Abd al-Raziq ibn Hammah (w. 211
H), dan Abu Ashim al-Nabil ibn Mukhlad (w. 212 H). Setelah itu semua, maka
mulailah penyusunan sistematis buku-buku tentang al-jarh wa al-ta’dil,
dengan dipelopori oleh Yahya ibn Mu’in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H),
Muhammad ibn Sa’ad (w. 230 H), penulis al-Waqidi dan pengarag al-Thabaqat, Ali
ibn al-Madini (w. 234 H), dan disusul oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Zar’ah, Abu
Hatim al-Raziyan, Abu Daud al-Sijistani, begitu seterusnya berturut-turut
tampil para sarjana sampai akhir abad kesembilan belas Hijrah, karangan demi
karangan yang ditulis dan membahas bebagai tokoh dan karenanya rampunglah
persoalan megenai para perawi hadis itu sehingga tidak sulit menemukan sejarah
siapapun tokoh yang kita ketemukan dalam kitab-kitab hadis.
Dari berbagai
kitab al-jarah dan al-ta’dil itu ada yang mengkhususkan pada pemabahasan
tokoh-tokoh handal semata, seperti kitab al-Tsiqat oleh Ibn Hibban
al-Busti, dan al-Tsiqat oleh Ibn Quthlubgha (w. 879 H) dalam empat
jilid, serta al-Tsiqat oleh Khalil ibn Syahin. Lalu ada juga yang
membatasi pembahasannya pada tokoh-tokoh lemah (al-dlu ‘afa’) saja
seperti yang ditulis oleh al-Bukhari, al-Nasa’i, Ibn Hibban, al-Daruquthni, al-Aqili,
Ibn al-Jawzi dan Ibn ‘Abdi. Buku yang terakhir ini adalah yang paling baik dari
semuanya di bidang ini. Dalam buku itu dibahas semua tokoh-tokoh kedua kitab
shahih (al-Bukhari dan Muslim), sebagaimana juga dibahas beberapa tokoh panutan
yang lain, karena mereka ini juga dibicarakan oleh lawan-lawan mereka semasa
hidup mereka sendiri.
Di samping itu
terdapat buku-buku yang menggabungkan pembahasan tentang orang-orang handal dan
orang-orang lemah, dan ini banyak sekali. Yang paling terkenal ialah kitab Tawarikh
oleh al-Bukhari, yang terdiri dari tiga bagian, yang besar memuat keterangan
tokoh-tokoh secara alfabetis, yang sedang dan yang kecil disusun menurut
urutan umur. Juga terkenal kitab al-jarah wa al-ta’dil oleh Ibn Hibban, al-jarah
wa al-ta’dil oleh Ibn Hatim al-Razi dan al-Thabaqat al-Kubra oleh
Ibn Sa’d. Yang paling bagus dari semuanya itu ialah kitab al-Takmil fi Ma’rifat
al-Tsiqat wa al-Dlu’afa wa al-Majahil oleh al-Hafidh ibn Katsir, yang
disitu ia menggabungkan antara Tahdzib oleh al-Mazzi dan Mizan
oleh al-Dzahabi disertai berbagai tambahan dan editing dalam ungkapan. Ia
merupakan buku yang paling bermamfaat untuk seorang ahli hadis dan fiqh yang
datang kemudian.
3.
Tiga Macam Tipe
Ulama Men-jarh wa Ta’dil.
Para ahli yang
mencurahkan perhatiannya di bidang ini tidaklah sama dalam ukuran-ukran yang
mereka gunakan untuk kritik atas para perwi. Ada tiga macam ulama yang men-jarh
wa al-ta’dil, seperti berikut :
1.
Dari mereka ada yang moderat (tawasul)
dan sedang, yang dapat digolongkan moderat ialah Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim.
;
2.
Ada pula yang sangat keras atau
ketat (tasyaddud) ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai
kelemahan atau kepalsuan hadis. seperti Ibn Mu’in, al-Qathathan, Ibn Hibban dan
Abu Hatim al-Razi.
3.
Juga ada yang sangat lunak atau
longgar (tasahul), seperti al-Turmuzi, al-Hakim dan Ibn Mahdi.
Karena itulah
pendapat mereka berbeda-beda tentag perawi hadis, sehingga ada yang sebagaian
mereka percayai justru ditolak oleh yang lain. Ini semua adalah akibat
perbedaan pandangan dan ukuran yang diletakkan oleh setiap sarjana dalam metode
kritiknya itu, malahan terjadi dari satu orang sarjana dikutip dua pendapat
yang berbeda tentang perawi. Satu saat ia berpendapat perawi itu handal, tapi
kemudian ia terpaksa menarik kembali penilaiannya itu, atau bisa juga justru terjadi
sebaliknya.[24]
Di antara
sebab-sebab perbedaan dalam evaluasi itu, baik yang positif maupun yang negaif,
ialah kecenderungan para ulama dalam melakukan ijtihad. Telah luas diketahui
perbedaan kecenderungan antara ahl al-hadis (para pengkiut hadis) dan ahl
al-rayi (para pengikut pendapat rasional), yang menyebabkan sebagaian ahl
al-hadist melakukan pencacatan (al-tha’n) terhadap sebagian pemuka ahl
al-rayi dan dimasukkan sebagian bersandar kepada sesuatu yang menfasiqkan
sehingga ia menganggap orang tertentu lemah (dlaif), padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian,
atau orang lain tidak berpendapat sama. Karena itulah disyaratakan adanya
keterangan tentang sebab-sebab yang ada dalam evaluasi negatif.
Dengan adanya
perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayatan dan kualitas
hadis tersebut berarti bahwa dalam penelitian hadis yang dinilai tidak hanya
para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritukusnya. Sekiranya terjadi
perbedaan dalam mengeritik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif.
4.
Contoh Nama
Orang Dinilai Sebagai Jarh dan Ta’dil.
Sebagaimana
yang telah diuraikan oleh ulama tentang ta’dil sebagai syarat-syarat seorang
rawi yang diriwayatkannya, salah satunya apabila seseorang dipuji oleh
seseorang, tetapi ada juga yang mencacat dia atau menunjukkan celaannnya, maka
yang dipakai ialah celaan orang itu, jika celaannya ini beralasan. Tentang ini
ulama-ulama ada membuat satu kaidah bunyi sebagai berikut :
Celaan itu didahulukan atas pujian.
Contohnya
seperti : Ibrahim bin Abi Yahya Abu Ishaq.
Imam Syafi’i dan Ibnu Ash-Bahani
menganggap dia sebagai seorang kepercayaan. Tetapi berkata Ibnu Hibban : “Adalah
ia berpendirian Qadariyah, dan bermazhab kepada perkataan Jahmiyah, tambahan
pula ia pernah berdusta dalam urusan hadis.” Syafi’i dan Ibnul-Ashbahani memuji
dia, sedang Ibnu Hibban menunjukkan cacatnya. Jadi yang terpakai disini ialah
perkataan Ibnu Hibban.
Sedangkan nama-nama rawi yang dianggap
adil dantaraya adalah :
1.
Said bin Abdil Aziz at Tanakhi ad
Dimiyati, salah seorang imam, mufti Dimisyq. Kata Nasa’i : ia kepercayaan, lagi
teguh, kata Ibnu Main : ia hujjah.
2.
Said bin Manshur bin Syu’bah al
Khurasani, seorang Hafizh yang kepercayaan: seorang yang mempunyai kitab Sunan,
Imam Ahmad memuji dia, Abu Hatim berkata ; ia dari golongan orang-orang yang
teliti yang teguh.
3.
Sufyan bin Uyainah al Hilal, salah
seorang kepercayaan, tersebut dalam Mizan : orang-orang telah ijma’ berhujjah
dengan dia adalah ia seorang yang kuat hafalannya. Kata Ibnu Khirasy ia seorang
kepercayaan.
4.
Salam bin Sulaim Abul Ahwash al
Hanafi al Kufi, seorang yang benar, lagi kepercayaan, tetapi rawi lain lebih
teguh daripadanya. Kata Ibnu Main ia seorang kepercayaan lagi teliti.
5.
Lafaz-lafaz dan
Tingkatannya.
Berdasarkan
hasil penelitian ulama ahli kritik hadis, ternyata keadaan para periwayatan
hadis bermacam-macam. Sesuai dengan keadaan pribadi para periwayat itu, maka
ulama ahli kritik hadis menyusun peringkat para periwayat dilihat dari kualitas
pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Keadaan para periwayat yang
bermacam-macam itu dibedakan dengan lafal-lafal tertentu yang dalam istilah ilmu-jarh
wat-ta’dil, urut-urutan lafal itu dikenal dengan sebutan maratib alfaz
al-jarh wat-ta’dil (peringkat lafal-lafal ketercelaan dan keterpujian).[26]
Jumlah
peringkat yang berlaku untuk al-jarh wat-ta’dil tidak disepakati oleh
ulama ahli hadis. Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi empat peringkat
untuk al-jarh dan empat peringkat untuk at-ta’dil, sebagian ulama
ada yang membaginya lima peringkat untuk al-jarh dan lima peringkat
untuk at-ta’dil dan sebagian ulama lagi ada yang membaginya
masing-masing (yakni untuk al-jarh dan untuk at-ta’dil) kepada
enam peringkat.[27]
Kerena terjadi perbedaan
jumlah peringkat, maka ada lafal yang sama untuk peringkat al-jarh
ataupun untuk at-ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz saduq,
misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat kedua dalam urutan at-ta’dil
dan ada ulama yang menempatkannya pada peringkat keempat.[28]
Terdapatnya ikhtilaf ketika
menempatkan peringkat lafal untuk al-jarh wat-ta’dil itu memberi
petunjuk bahwa untuk memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh lafal al-jarh
wat-ta’dil diperlukan penelitian, misalnya dengan menghubungkan penggunaan
lafal itu kepada ulama yang memakainya. Untuk memperoleh deskriptif yang lebih
jelas tentang macam-macam lafal untuk al-jarh wat-ta’dil beserta
peringkatnya masing-masing, perlu dipelajari lebih mendalam kitab-kitab yang
membahas al-jarh wat-ta’dil.
Menurut Ibnu Hajar
menyusunnya menjadi 6 tingkatan, untuk lafaz-lafaz yang digunakan untuk men’jarh-kan
rawi, yaitu :[29]
Pertama : menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af’alut-tafdihil atau ungkapan
lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya.
أوضع
الناس Orang yang paling dusta,
اكذب
الناس Orang yang paling bohong,
إليه
المنتهى فى الوضع Orang
yang paling populer kebohongannya.
Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafaz
berbentuk shighat muballaghah. Misalnya.
كذاب Orang yang pembohong,
وضاع Orang yang pendusta,
دجال Orang yang penipu.
Ketiga : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain
sebagainya. Misalnya.
فلان
متهم بالكذب Orang yang dituduh bohong,
او
متهم با لوضع Orang yang dituduh dusta,
فلان
فيه النظر Orang yang perlu diteliti,
فلان
ساقط Orang yang jujur.
Keempat : menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya.
مطرح
الديث Orang yang dilempar hadisnya,
فلان
ضعيف Orang yang tidak dikenal
identiasnya,
فلان
مردود الحديث Orang yang mungkar hadisnya.
Kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai
hafalannya. Misalnya.
فلان
لايحتج يه Orang yang tidak dapat dibuat hujjah,
فلان
مجهول Orang yang tidak
dikenal identitasnya,
فلان
منكرالحديث Orang yang mungkar hadisnya,
فلان
مضطرب الحديث Orang
yang kacau hadisnya.
Keenam : mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan
kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan ‘adil. Misalnya.
ضعف
حديثه Orang yang didla’ifkan
hadisnya,
فلان
مقال فيه Orang yang diperbincangkan,
فلان
فيه خلف Orang yang disingkirkan,
فلان
لين Orang yang lunak.
Sedangkan lafaz untuk menta’dil-kan rawi-rawi, yakni :[30]
Pertama : segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan
dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af’alut-tafdil atau
ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya :
أوثق الناس Orang yang
paling tsiqah,
أثبت الناس حفظ و عدالة Orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya,
أليه النمنتهى فى الثبت Orang
yang paling populer keteguhan hati dan lidahnya,
ثقة فوق الثقة Orang yang tsiqah melebihi
orang yang tsiqah.
Kedua : memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat
dari sifat-sifat yang menunjukan keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang
dibubuhi itu selafaz (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalya :
ثبت ثبت Orang
yang teguh lagi teguh,
ثقة ثقة Orang yang tsiqah lagi tsiqah,
حجة حجة Orang
yang ahli lagi patah lidahnya,
ثبت ثقة Orang yang teguh lagi tsiqah.
Ketiga : menunjuk keadilan dengan suatu lafaz yang mengandung arti kuat
ingatan. Misalnya.
ثبت Orang yang teguh (hati dan
lidahnya),
متقن Orang yang menyakinkan
(ilmunya),
ثقة Orang yang tsiqah,
حافظ Orang yang kuat hafalannya.
Keempat : menunjuk keadilan dan kadlabitan, tetapi dengan lafaz yang
tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya :
صدوق Orang yang sangat jujur,
مأمون Orang yang dapat memegang
amanat,
لابأس به Orang yang tidak cacat.
Kelima : menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak
terpaham adanya kedlabitan. Misalnya.
محله الصدق Orang yang
berstatus jujur,
جيد الحديث Orang yang baik haditsnya,
حسن الديث Orang yang bagus haditsnya,
مقارب
الحديث Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits
orang lain yang tsiqah.
Keenam : menunuk arti mendekati cacat, seperti sifa-sifat tersebut di
atas yang diikuti dengan lafaz “insyaallah” atau lafaz tersebut di-tashghir-kan
(pengecilan arti) atau lafaz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya.
صدوق إن شاء الله Orang yang jujur, insya
Allah,
فلان أرجو بأن لا بأس به Orang
yang diharapkan tsiqah,
فلان صويلح Orang yang sedikit
kesalehannya,
فلان مقبول حديثه Orang yang diterima haditsnya.
6.
Pengaruh
Kelompok, Ideologi dan SARA dalam Jarh wa Ta’dil.
Orang-orang
yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih
menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat dipakai sebagai ‘itibar
(tempat membanding).[31]
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat di atas sebagai hujjah.
Sedangkan hadis-hadis para rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan
keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh
hadis perawi lain[32]
Tumbuh dan
berkembangnya ilmu ini ialah sebuah keinginan para ulama untuk mengetahui
hal-ihwal para perawi hadis, sehingga mereka bedakan mana hadis shahih dari
yang lain. Karena itu mereka sendiri mengadakan penelitian atas tokoh-tokoh
yang hidup sezaman dengan mereka, yang terdiri dari para para perawi hadis, dan
mencari informasi tentang tokoh-tokoh terdahulu yang tidak hidup sezaman dengan
mereka, kemudian mereka mengumumkan pendapat mereka tentang para tokoh itu
tanpa bermaksud jahat atau pun dosa karena memang diperlukan untuk mencari
keotentikan sebuah hadis.
Para ahli yang
mencurahkan perhatiannya di bidang ini tidaklah sama dalam ukuran-ukuran yang
mereka gunakan untuk kritik sanad. Dari mereka ada yang moderat dan sedang, dan
ada pula yang sangat keras. Sehingga ada yag sebagian mereka dipercayai justru
ditolak oleh yang lain. Ini adalah akibat perbedaan pananganan dan ukuran yang
diletakkan oleh kritukus sanad dalam metodenya itu. Satu saat ia berpendapat
sanadnya handal, tapi kemudian ia terpaksa menarik kembali penilaiannya itu,
atau bisa juga justru terjadi sebaliknya. Dalam al-jarh wa al-ta’dil
pengaruh kelompok, ideologi dan SARA juga sangat dominan, sehingga sanad yang
dianggap dapat dipercayai oleh suatu kelompok bisa saja ditolak oleh kelompok
lain dan sebagainya.
Seperti halnya
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sering dipersoalkan karena
beberapa alasan. Pertama, ia terlalu sering meriwayatkan apa yang
sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah saw, kebiasaan ini menunjukkan
kecenderungan adanya kecerobohan dan ketidakhati-hatiannya dalam meriwayatkan
hadis-hadis. Kedua, diduga keras bahwa ia adalah orang yang pelupa dan
ia mengakui sifat pelupa ini. Tetapi berusaha menutupi kelemahan itu dengan
kisah ajaib bahwa Nabi Muhammad saw, pernah menyuruhnya membentangkan jubahnya
bila beliau berbicara. Ia mengaku bahwa dengan cara aneh ia tidak lagi
melupakan sesuatu pun. Ketiga, terlalu banyak jumlah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam waktu yang singkat. Ia meriwayatkan 5300
hadis hanya dalam waktu tiga tahun.[33]
Keempat, ia adalah orang yang pemalas yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap, selain mengikuti Rasulullah ke mana pun beliau pergi. Ia pernah menolak
pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar Ibn al-Khattab. Kelima, banyak hadis
yang diriwayatkannya bertentangan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
para sahabat yang terpercaya. Keenam, menurut Ahmad Amin karena ia tidak
punya pekerjaan yang tetap untuk makan sehari-hari ia tidak punya, sehingga ia
dekat dengan Nabi karena ingin mencari sesuap nasi saja.
Perbedaan
madzhab mempunyai dampak pada ta’dil dan tajrih. Ahlussunnah
melakukan tajrih terhadap banyak kalangan Syi’ah sampai-sampai mereka
mamastikan bahwa tidaklah sah sesuatu dari Ali bin Abi Thalib yang dituturkan
oleh para pendukung dan partainya. Yang sah hanyalah apa yang dituturkan dari
Ali oleh para pendukung Abdullah ibn Mas’ud. Begitu pula sikap kaum Syi’ah terhadap
Ahlussunnah. Mereka tidak percaya kecuali kepada apa yang diriwayatkan oleh
kaum Syi’ah sendiri dari kalangan Ahlulbait, dan begitulah seterusnya.[34]
Dari situ
timbul bahwa seseorang yang dianggap jujur oleh sebagian, dianggap cacat oleh
sebagian yang lain. Al-Dzahabi berkata, “Tidak ada dua orang dari kalangan para
ulama bidang ini yang sepakat untuk menganggap handal orang yang lemah dan
menganggap lemah orang yang handal.” Meskipun dalam ucapannya itu ada nada
berlebihan, namun menunjukan kepada kita tingkat perbedaan pandangan dalam tajrih
dan ta’dil. Dapat penulis kemukakan sebagai contoh Muhammad ibn Is’haq,
penulis sejarah terbesar tentang peristiwa-peristiwa Islam masa awal: Qatadah
mengatakan, “selama Muhammad ibn Is’haq masih hidup maka ilmu akan bertahan
pada umat manusia.” Tapi al-Nasa’i
berkata: “Ia tidak termasuk orang yang handal.” Sedangkan Sufyan mengatakan: “Tidak pernah
kudengar seorang pun mengajukan tuduhan terhadap Muhammad ibn Is’haq.” Namun
al-Daruquthni berpendapat: “Baik dia sendiri maupun ayahnya tidak dapat
dijadikan sumber argumen.” Dan kata Malik: “Aku bersaksi bahwa dia itu
pembohong.
Pembasan pada
pokok ini menyangkut dua pokok pembicaraan: pertama, berkenaan dengan
kaedah-kaedah tajrih dan ta’dil, dan kedua, mengenai pernyataan al-Dzahabi dan pendapat
mengenai Muhammad ibn Is’haq.
Pembicaraan pertama,
Ahmad Amin mengatakan telah melakukan generalisasi pembahasan di sini tentang
kaedah-kaedah tajrih dan ta’dil sebagaimana ia juga
menggeneralisasikan dampak perbedaan kemazhaban. Lahiriah ucapannya, “Dari situ
timbul bahwa orang yang dianggap jujur oleh sebagaian…” mengesahkan bahwa
sumber perbedaan dalam tajrih dan ta’dil ialah perbedaan kemazhaban.
Padahal pembahasan yang lebih rinci menunjukkan bahwa perbedaan dalam tajrih
dan ta’dil itu dapat terjadi antara sesama Ahlussunnah sendiri, atau
antara Ahlussunnah dengan kelompok-kelompok lain yang menentang mereka.[35]
Adapun
perbedaan antara sesama Ahlusunnah, maka sumbernya ialah perselisihan pandangan
tentang kebenaran penutur (rawi) atau kebohongannya, juga tentang kejujuran dan
kefasiqkannya, serta tentang daya ingat dan kelupaannya. Sedangkan perselisihan
antara Ahulussunnah dengan golongan lainnya tidaklah muncul dari perbedaan
madzhab, melainkan bahwa Ahlussunnah itu, sebagaimana telah diterangkan dalam pembahasan tentang jarh wa ta’dil, tidak memandang cacat
orang yang menentang mereka kecuali jika bi’dahnya menjurus kepada kekafiran
atau menodai sahabat Rasulullah atau jika orang itu propagandis bagi bid’ahnya,
atau kalaupun bukan propagandisnya namun hadisnya itu mencocoki apa yang
menjadi pandangannya. Mereka Ahlussunnah memandang hal itu menyebabkan keraguan
dalam kebenaran dan kejujuran orang tersebut. Jadi pengaruh golongan dalam tajrih
antara Ahlusunnah dan kelompok lain sebenarnya berpangkal pada keraguan tentang
kejujuran musnad dan rawi bukan hanya semata-mata perbedaan kemazhaban.
Kelompok
Khawarij dan Syi’ah menganut pandangan tertentu yang tidak sama dengan pandangan
mayoritas kelompok kaum Muslimin. Khawarij
memandang seluruh sahabat (sanad) sebelum terjadi fitnah jujur. Tapi karena alasan
ideologi mereka mengkafirkan Usman, Ali, dan mereka yang terlibat dalam “Peristiwa Unta” (perang antara Ali dan
Aisyah isteri Nabi) dan dalam tahkim (perdamaian antara Ali dan Mu’awiyah
di Shiffin) serta siapa saja yang
menerima tahkim itu dan dapat membenarkannya. Khawarij menolak
hadis-hadis sebagian besar Sahabat setelah fitnah karena menerima tahkim
dalam pandanganya golongan itu termasuk yang tidak bisa dipercaya.
Kaum Syi’ah
sesungguhnya mendiskualifikasi umumnya para Sahabat kecuali beberapa orang yang
dikenal kecintaannya kepada Ali, mereka membangun aliran mereka sendiri saja
dan menolak hadis dari umumnya para Sahabat. Syi’ah menyaratkan sanad hadis
harus dari kalangan mereka sendiri.
Sedangkan
kelompok mayoritas kaum Muslimin, memandang kejujuran para Sahabat semuanya,
baik mereka sebelum maupun sesudah fitnah. Juga sama apakah mereka terlibat
dalam fitnah itu atau menjauhinya. Umumnya orang-orang Muslim itu menerima
penuturan para Sahabat yang jujur dan dapat dipercaya, kecuali yang datang dari
jalur para pengikut Ali.
C.
KESIMPULAN.
Dari uraian
tersebut di atas, dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut ini
:
1.
Pentingnya penelitian hadis
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu ada yang berkaitan
dengan kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, di samping
Alquran; ada yang berhubungan dengan diri Nabi dalam berbagai kapasitasnya; dan
ada yang berhubungan dengan kesejajaran hadis Nabi itu sendiri, termasuk di
dalamnya proses dan metode serta sanadnya.
2.
Peneitian yang cakupannya sanad,
kaedah kritik sanad yang dilakukan oleh ulama hadis memberikan hasil
penelitian yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi sepanjang kaedah yang
dilaksanakan secara tepat dan cermat.
3.
Pengaruh kelompok, ideologi dan SARA
juga sangat mempengaruhi dalam al-Jarh wa al-Ta’dil.
DAFTAR PUSTAKA
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah
Hadits, cetakan VIII, Bandung: CV.
Penerbit Diponogoro, 2002.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
cetakan kesembilan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Ali al-Qadri, Syarh Nukhbah al-Fikr,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978 M.
Fachtur Rahman, Ikhtishar
Mushthalahu’i-Hadits, cetakah kedua, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978.
Ibn Abi Hatim ar-Razi, Kitab al-Jarh
wat-Ta’dil, Haiderabad: Majlis Da’irah al-Ma’arif, juz II, 1371 H / 1952 M.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Al-Isabah
fi Tamyz al-Shahabah, Kairo: Maktabat al-Dirasah al-Islamiyah dar
al-Nahdhah, vol. 7 t.t,.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 M
-----------------------, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, cetakan 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
-----------------------, Hadis Nabi Menurut
Pembela Pengingkar dan Pemalsuanya, cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press,
1995.
Musthafa Al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanathua
fi al-Tasyiri’ al-Islami, peny. Nurcholish Madjid, cetakan ketiga, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, cetakan
keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003,
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib,
Ushulu al-Hadits wa ‘Ulumuhu, Kairo: t.p, t.t.
Nur Al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum
Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Fikr, 1979.
Subhi Al Shahih, ‘Ulum
Al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayin, t.t.
Footnote:
[1]
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, cetakan kesembilan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm.237-238.
[3]
Musthafa Al-Siba’i, Al-Sunnah
wa Makanathua fi al-Tasyiri’ al-Islami, peny. Nurcholish Madjid, cetakan
ketiga, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995,
hlm.80.
[4]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuanya,
cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 73
[5]
Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, cetakan keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.31. Lihat juga A. Qadir Hasan, Ilmu
Mushthalah Hadits, cetakan VIII, Bandung: CV. Penerbit Diponogoro, 2002,
hlm. 445.
[6]
A. Qadir Hasan, Loc.,Cit.
[7]
Ibid.
[8]
Fachtur Rahman, Ikhtishar
Mushthalahu’i-Hadits, cetakah kedua, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978, hlm.268
[9]
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuanya,Op.,Cit.,
hlm.73..
[10]
Munzier Suparta, Op.,.Cit.,
hlm. 31
[11]
A. Qadir Hasan, Loc.,Cit.
[12]
Ibid.
[13]
Nur Al-Din ‘Itr, Op.,Cit.,
hlm. 92
[14]
Subhi Al Shahih, ‘Ulum Al-Hadits
wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayin, t.t, hlm. 109
[15]
Fachtur Rahman, Op.,Cit., hlm. 268
[16]
Munzier Suparta, Op.,Cit., hlm. 32
[17]
Ibid, hlm. 33
[18]
A. Qadir Hasan, Op.,Cit., hlm. 449-457
[19]
‘Ali al-Qadri, Syarh
Nukhbah al-Fikr, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978 M, hlm. 194
[20]
Munzier Suparta, Op.,Cit., hlm.32
[21]
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cetakan 1, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992, hlm.29
[25]
A. Qadir Hasan, Op.,Cit.,
hlm. 468
[26]
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 75
[27]
Ibn Abi Hatim ar-Razi, Kitab
al-Jarh wat-Ta’dil, Haiderabad: Majlis Da’irah al-Ma’arif, 1371 H / 1952 M,
juz II, hlm. 37. Lihat juga Faturrahman, Op.,Cit., hlm. 273
[28]
M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 M, hlm. 176-181
[29]
Lihat dalam Faturahman, Op.,Cit.,
hlm. 276-278
[30]
Lihat dalam Faturahman, Op.,Cit.,
hlm. 274-276
[31] Ibid,
hlm. 278.
[32] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulu
al-Hadits wa ‘Ulumuhu, Kairo: t.p, t.t, hlm, 277
[33] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Al-Isabah fi Tamyz al-Shahabah,
Kairo: Maktabat al-Dirasah al-Islamiyah dar al-Nahdhah, t.t, vol. 7, hlm. 432.
[34]
Mushthafa Al-Siba’i, Op.,Cit,
hlm. 222.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini